Share

PEKERJAAN PERTAMA CASEY

Author: wulfelyn
last update Last Updated: 2025-01-08 01:08:51

PERINGATAN UNTUK PEMBACA :

Cerita ini ditujukan khusus untuk pembaca dewasa berusia 18 tahun ke atas.

Cerita ini mungkin mengandung:

Adegan kekerasan, Bahasa eksplisit

Pembaca di bawah usia 18 tahun dilarang melanjutkan. Mohon Harap Bijak membaca

Casey mendapati dirinya berdiri di tengah padang rumput yang luas. Angin berhembus lembut, menyapu wajahnya dengan kehangatan yang menenangkan. Tempat ini terasa asing, namun penuh kedamaian. Casey menyadari bahwa ini pasti mimpi.

Di tengah lamunannya, suara yang sangat familiar memanggil namanya.

“Casey!”

Casey menoleh cepat, mencari sumber suara. Dari kejauhan, ia melihat sosok pria bertubuh gemuk berdiri dengan senyum lebar. Pria itu tampak hangat dan penuh kasih, sosok yang sangat dikenalnya. Ayahnya. Sosok yang selama ini ia cari, sosok yang selalu ia rindukan.

“Ayah…” ucap Casey dengan suara bergetar dan berwajah sedih. Ia langsung berlari kecil menghampiri ayahnya. Sang ayah pun melakukan hal yang sama, berlari kecil menghampiri putrinya. Seperti adegan yang sempurna dari drama, mereka akan saling memeluk untuk melepas kerinduan yang mendalam setelah sekian lama terpisah.

Namun, sesuatu yang aneh terjadi. Tepat saat ayahnya mendekat, Casey tiba-tiba mengeluarkan pedang dengan bilah yang tajam. Ayahnya menyadari bahaya itu, segera berbalik arah untuk menghindar. Momen yang seharusnya penuh kehangatan berubah menjadi pengejaran yang intens.

“Tunggu, Casey! Apa yang kamu lakukan pada ayahmu?” teriak pria itu dengan nada panik dan bergetar.

“Tentu saja menghabisimu, sialan! Kau membuatku hampir mati!” Casey berteriak marah, mengarahkan pedangnya dengan penuh kemarahan sambil terus mengejar pria itu.

“Biarkan ayah menjelaskan!” pria itu memohon dengan nada putus asa, tetapi Casey tak memedulikannya. Ia mempercepat langkahnya, wajahnya penuh determinasi. Pedangnya terangkat tinggi, mengincar sasarannya.

Sang ayah tersandung akar dan jatuh ke tanah, membuatnya tak bisa berlari lebih jauh. Casey berhenti sejenak, menatap ayahnya yang terkapar dengan mata tajam dan senyuman menyeringai.

“Hehehe… sepertinya kepala Ayah lebih cocok jadi santapan buaya peliharaan Tuan Harrison,” ucap Casey dengan tawa seramnya yang membuat bulu kuduk meremang. Pedangnya terangkat tinggi, siap untuk mengakhiri hidup orang di hadapannya.

“TUNGGU, CASEY…!”

‘BYURR!’

Guyuran air dingin menyirami wajah Casey yang sedang tertidur, membuatnya terbangun seketika. Ia terengah-engah, mencoba mengatur napas. Tangannya mengusap wajahnya yang basah, dan di sampingnya berdiri seorang pelayan dengan ekspresi datar dan tatapan tajam.

Casey menatap pelayan itu, berniat meluapkan kekesalannya, namun tatapan dingin pelayan itu membuatnya membeku.

“Cepat ganti baju,” ucap pelayan itu dingin, menyerahkan seragam pelayan kepada Casey, lalu berlalu pergi tanpa banyak bicara.

Saat di depan pintu, pelayan itu sempat menoleh dan berkata,

“Setelah itu, langsung ke ruangan Tuan Harrison.”

Pelayan itu pergi begitu saja. Casey masih duduk terpaku, sibuk dengan basahnya pakaian yang ia kenakan. Ia menggerutu, mengusap rambutnya yang ikut basah.Ia sadar akan pesan terakhir pelayan itu, buru-buru menuju pintu untuk bertanya di mana ruangan Tuan Harrison, tetapi pelayan itu sudah menghilang.

“Aish! Cepat sekali langkahnya. Padahal aku mau tanya di mana ruang  kerja Tuan Harrison itu,” gerutunya dengan nada kesal.

Tak mau buang waktu, Casey segera mengenakan seragam pelayan itu dan melangkah keluar dari kamar, menuju ruang kerja Tuan Harrison.

“Telat 1 jam 30 menit,” ucap Harrison dengan nada dingin, matanya tajam menatap arloji yang melingkar di pergelangan tangannya, lalu beralih ke Casey yang baru saja tiba di ruang kerjanya. Sementara itu, Casey yang napasnya masih tersengal menundukkan kepalanya, berusaha mengatur napas yang terengah-engah.

“Maafkan saya, Tuan. Tadi saya tersesat. Ke depannya, saya tidak akan terlambat lagi,” ucapnya dengan nada lemas, terlihat kelelahan setelah mencari ruang kerja Harrison. Meskipun ia pernah datang kemarin, bangunan ini begitu luas dan penuh dengan ruangan-ruangan yang sulit diingat. Ini adalah hari pertama memasuki bangunan tersebut, dan sangat wajar jika dia merasa kesulitan mengingatnya. Yang membuatnya semakin kesal adalah kenyataan bahwa tidak ada seorang pun yang membantunya. Beberapa orang sempat melihatnya kesulitan, namun mereka memilih mengabaikan dan bahkan menghindar ketika ia meminta bantuan.

“Baiklah...” ucap Harrison, membuat Casey menghela napas lega. Namun, kalimat selanjutnya membuatnya terkejut.

“Namun, jika kamu terlambat lagi, tidak ada kesempatan lagi bagimu,” ucap Harrison dengan nada yang lebih dingin, membuat Casey merinding ketakutan.

“Ba...ik,” jawabnya, kepalanya masih tertunduk, mencoba menahan kecemasan yang mendera.

Harrison tersenyum mendengar itu, namun senyumannya terlihat dingin. Lalu, ia menghampiri Casey, sementara Casey yang kepalanya masih tertunduk merasakan kedatangan Harrison. Ia menahan napasnya, mencoba menutupi ketakutannya. Ada aura dingin yang menyelimuti Harrison, membuat suasana terasa mencekam.

“Angkat kepalamu,” perintahnya dengan tegas dan dingin.

Casey pun mengangkat kepalanya perlahan, tatapan matanya bertemu dengan tatapan Harrison yang penuh tekanan.

“Ikut aku. Ada yang harus kau bereskan,” ucap Harrison, lalu ia berbalik dan melangkah keluar. Tanpa bertanya, Casey mengikuti langkahnya dengan gemetar, berusaha menyembunyikan ketakutannya.

Awalnya, Casey tidak merasa curiga saat mengikuti langkah Harrison. Namun, rasa tenang itu perlahan memudar ketika ia menyadari bahwa Harrison membawanya menuju lantai bawah. Bahkan lebih dalam, menuju ruang yang jauh dari kamarnya.

Lorong yang mereka masuki semakin gelap, hanya diterangi cahaya lilin yang redup. Udara di sekitarnya terasa lembap, dan suasana yang sunyi menambah kesan mencekam. Casey mulai merasakan kecemasan yang merayap, tubuhnya terasa dingin.

Ke mana dia membawaku? Apa dia akan menghukumku karena terlambat? Bukankah tadi dia bilang aku masih punya kesempatan? pertanyaan-pertanyaan itu bergema di benaknya, membuat hatinya dipenuhi ketakutan.

Langkah kaki Harrison akhirnya terhenti di depan sebuah pintu besi besar. Dari balik pintu itu, tercium bau anyir yang menyengat, membuat Casey refleks menutup hidung dengan tangannya. Aroma itu sangat kuat, seperti darah yang sudah lama mengering, bercampur dengan udara lembap yang menusuk.

Harrison dengan tenang membuka pintu besi tersebut. Suara deritnya yang berat memecah keheningan lorong, menambah rasa ngeri yang sudah melingkupi Casey.

Apa yang terlihat di balik pintu itu membuat Casey langsung terpaku. Matanya membelalak, mulutnya terbuka, namun tak ada suara yang keluar, Casey masih menutup hidungnya dengan erat. Aroma tajam yang menguar dari ruangan itu terasa semakin pekat saat pintu besi terbuka,. Jantungnya berdegup kencang, seakan ingin keluar dari dadanya.

Pemandangan di depan matanya begitu mengejutkan, melebihi segala yang pernah ia bayangkan.

Di balik pintu besi itu, Casey mendapati pemandangan yang membuatnya bergidik ngeri. Ruangan itu seperti diwarnai oleh kekacauan yang tak terlukiskan. Sisa-sisa kehidupan yang hancur berserakan tanpa pola, seakan waktu dan kehancuran bersekongkol menciptakan pemandangan ini.

Ada benda-benda yang menyerupai serpihan mimpi buruk, berantakan di mana-mana. Di sudut ruangan, sesuatu tampak seakan-akan pernah menjadi utuh, kini hanya meninggalkan bayangan samar yang membuat Casey merasakan dingin menjalar hingga ke tulang.

Yang paling membuat tubuhnya gemetar adalah tatapan kosong yang terasa menusuk, seolah masih menuntut jawaban dari dunia yang telah meninggalkannya. Casey merasa mata itu seperti mengarah langsung padanya, membawa pesan bisu yang tak bisa ia pahami.

Ia berdiri membeku, tubuhnya bergetar hebat. Otaknya berusaha mencerna apa yang ia lihat, namun pikirannya penuh dengan pertanyaan.

Apa maksud ia menunjukkan ini padaku?

Namun, berbeda dengan Casey yang gemetar ketakutan, Harrison tetap tenang, bahkan tampak tidak terusik oleh pemandangan yang ada di hadapannya. Wajahnya dingin, tak menunjukkan emosi, seperti seseorang yang sudah terbiasa menghadapi sesuatu yang tak terbayangkan.

Harrison melipatkan tangannya dengan santai, lalu menghela napas panjang, seolah pemandangan ini hanya sesuatu yang sepele baginya.

“Kamu bereskan sampah ini,” perintahnya dengan nada tegas,  datar namun dingin.

Casey dengan cepat menoleh ke arah Harrison, matanya penuh dengan pertanyaan.

Apa maksudnya? Aku membereskan 'itu'? Namun, Harrison tidak segera menjawab tatapan itu. Ia tetap menatap lurus ke depan, lalu ia  berbalik dan menatap Casey saat Casey menatap matanya. Mata mereka bertemu, dan Casey merasa seolah seluruh tubuhnya membeku di bawah sorot tajam pria itu.

Melihat keraguan di wajah Casey, Harrison menyeringai tipis.

“Kenapa? Kamu menolak?” katanya, suaranya pelan namun mengandung tekanan.

“Aku sudah bilang kemarin, kamu harus melakukan apa pun yang kuperintahkan. Tapi sekarang, hanya untuk membereskan ‘sampah’ ini, kau terlihat seperti ingin mundur?.”

Harrison melangkah lebih dekat, auranya semakin mencekam. Tatapannya tajam, wajahnya tampan namun penuh ketegasan dingin yang membuat Casey merasa seperti terpojok. Casey dengan cepat menggelengkan kepalanya, mencoba menyangkal keraguan yang terlihat di wajahnya.

Melihat tindakan Casey yang menurut, Harrison tersenyum puas. Ia melirik arloji di pergelangan tangannya, lalu berkata dengan nada dingin yang tegas,

“Karena ini hari pertama kerjamu, aku tidak memberi batasan waktu untuk menyelesaikan ini. Jadi, pastikan tidak ada yang tersisa.”

Casey hanya mengangguk pelan. Wajahnya pucat, matanya terlihat kosong. Perutnya terasa mulas, dan aroma tajam yang menyengat masih terus melekat meski ia mencoba menutup hidung dengan tangannya. Harrison memperhatikannya sejenak, lalu mengeluarkan sesuatu dari saku jasnya.

“Oh, ya. Jika kamu terganggu dengan baunya, pakai ini. Pekerjaan akan memakan waktu lebih lama jika kau terus bekerja dengan satu tangan,” katanya sambil menyerahkan masker kepada Casey.

Casey menerima masker itu dengan tangan gemetar dan langsung memakainya untuk menutup hidung dan mulutnya. Meski sedikit membantu, bau anyir dan busuk itu tetap terasa menyelinap masuk, membuatnya semakin sulit berkonsentrasi. Dengan langkah yang berat, ia memasuki ruangan itu.

“Aku akan menunggu di luar,” ujar Harrison.

 “Tutup pintunya yang rapat. Aku tidak ingin bau ini menyebar ke atas.”

Casey mengangguk lagi, kali ini tanpa menoleh, lalu menutup pintu di belakangnya sesuai perintah Harrison. Suara pintu yang tertutup terdengar berat dan menggema, membuat ruangan itu terasa lebih hening dan mencekam.

Dengan langkah perlahan dan gemetar, Casey mulai mendekat. Aroma itu masih begitu pekat meskipun masker telah menutupi wajahnya. Jantungnya berdebar semakin cepat, dan tangannya bergetar setiap kali ia mencoba bergerak. Ruangan itu seperti menyimpan sisa-sisa bayangan gelap yang terus mengintai.

Casey memutar bola matanya, mencari sesuatu yang bisa membantunya menyelesaikan tugas ini. Saat matanya tertumbuk pada sebuah ember besar, ia dengan cepat mengambilnya lalu melangkah mendekat ke arah benda yang tersebar di lantai. Dengan hati-hati, ia mulai memindahkan potongan-potongan itu satu per satu, seolah setiap gerakan yang dilakukannya adalah usaha terakhir untuk menahan kegelisahan dalam dirinya.

Rasa jijik dan ketakutan menyelubungi dirinya. Setiap kali tangannya menyentuh sesuatu yang dingin dan lembap, ia merasa seolah dunia ini terlalu berat untuk ditanggung. Air mata mengalir tanpa bisa dihentikan, tanda betapa sulitnya ia menghadapi kenyataan ini. Darah, yang mulai melumuri tangannya, menambah berat rasa itu. Ia berusaha keras untuk tetap tenang, tetapi tubuhnya seperti menolak, tak sanggup menahan kekhawatiran yang semakin merasuk. Segala yang ada di sekelilingnya terasa seperti bayangan suram yang menekan dari segala arah.

Tangan yang memegang potongan itu kini terlumuri warna merah yang membuatnya merasa semakin terjebak dalam ketakutan. Ia ingin berlari, tapi kakinya terasa terikat, tak mampu bergerak.

Casey merasa seperti ada beban besar yang menindih dadanya, setiap detik terasa semakin sulit untuk dihadapi. Ia ingin berlari, jauh dari semua ini, tapi seolah ada rantai yang mengikat kakinya, memaksanya untuk tetap berada di tempat. Pikirannya dipenuhi dengan rasa takut dan kebingungan, namun di balik semua itu, ada satu hal yang membuatnya bertahan, nyawa dirinya dan adiknya yang tergantung pada keputusan ini.

Setelah membersihkan bagian-bagian kecil dari tubuh tersebut, Casey perlahan-lahan memindahkan bagian yang lebih besar seperti lengan, kaki, badan, hingga kepala. Dengan napas yang ia tahan untuk meredam rasa takutnya, Casey berusaha keras untuk tidak menatap objek yang sedang ia pindahkan.

Entah sudah berapa lama Casey menyelesaikan semuanya. Ia dengan teliti menyusuri lantai, memastikan tak ada yang tertinggal. Setelah yakin semuanya bersih, dengan cepat ia berlari ke pintu dan membukanya. Napasnya masih tersengal-sengal, akibat bau anyir dan busuk yang terus menghantui, ditambah ketegangan yang menyesakkan dadanya.

Ketika Casey membuka pintu, Harrison yang berdiri menunggu di depan menatapnya dengan tajam. Namun, tatapannya segera beralih pada arloji yang melingkar di pergelangan tangannya.

"Hmm...50 menit, lebih lama dari yang kuperkirakan," ucapnya dengan nada dingin.

"Tapi tidak masalah, karena ini hari pertama kerjamu. Kedepannya, saya harap kamu bisa menyelesaikannya lebih cepat dari ini."

Harrison kemudian menatap Casey dengan sorot serius dan tajam.

"Apa semuanya sudah beres? Tidak ada yang tersisa, kan?" tanyanya tegas.

Casey, yang terlalu gugup untuk berbicara, hanya menganggukkan kepalanya dengan cepat, memberi isyarat bahwa semuanya telah selesai tanpa ada yang tertinggal.

Harrison tersenyum puas, tak menunjukkan sedikit pun empati saat melihat Casey yang masih terengah-engah dengan wajah pucat penuh ketakutan. Sudut bibirnya terangkat, membentuk senyum dingin yang membuat suasana semakin mencekam.

"Oh ya, kalau kamu penasaran siapa ‘sampah’ itu," ucapnya santai sambil melirik ke arah Casey,

"Dia adalah salah satu anggota saya. Korban penipuan investasi bodong yang dilakukan oleh ayahmu."

"Aku membunuhnya karena dia terlalu bodoh," lanjut Harrison dengan nada datar namun tajam. "Menggunakan anggaran Carter untuk transaksi yang tidak jelas. Ironis, bukan? Dia memang korban, tapi... aku tidak menyukai orang bodoh, karena itu aku membunuhnya."

Mata Casey melebar, terkejut mendengar penjelasan itu. Namun Harrison hanya menyeringai lebih lebar, senyum sinisnya menyayat udara di antara mereka.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pelayan Cantik dalam Cengkraman Sang Mafia   Bab 11. Leon

    “Hei, kau. Bangun,” terdengar suara pria itu memanggil. Casey membuka matanya perlahan, masih dalam keadaan setengah sadar, ia mengangkat kepalanya dan mengucek kedua matanya.Begitu matanya terbuka sepenuhnya, ia terkejut mendapati pria yang semalam terbaring pingsan kini sudah siuman. Pria itu menatapnya dengan sorot mata tajam, membuat jantung Casey berdetak lebih cepat.Dengan gugup, Casey segera membetulkan posisi duduknya dan menghindari kontak mata. Ia menyadari dirinya terlambat untuk bersiap jika pria itu berniat menyerang. Perlahan, matanya melirik ke sekitar pria itu. Tidak ada benda tajam ataupun pistol di sekitarnya, ia pun bernapas lega.Meskipun begitu, Casey tidak boleh lengah. Jika pria itu menyerang tiba-tiba, satu-satunya pilihannya adalah langsung ke titik vitalnya lalu melarikan diri.Namun pria itu tetap bergeming, sorot matanya tajam dan menusuk, tak lepas dari wajah Casey. Tatapan itu membuat detak jantung Casey berdebar tak karuan, tubuhnya membeku dan gemetar

  • Pelayan Cantik dalam Cengkraman Sang Mafia   Pria Misterius

    Waktu sudah menuju larut malam. Para pelayan sudah kembali ke kamar mereka masing-masing. Suara burung hantu menggema di seluruh penjuru mansion, menciptakan suasana yang mencekam. Casey melangkah cepat, bahkan nyaris berlari menuju kamarnya. Kamarnya terletak hampir di lantai bawah, di ujung lorong yang minim cahaya, diterangi oleh beberapa lampu tua yang nyalanya redup.Suara burung hantu itu kembali terdengar, kali ini lebih keras dan menggelegar, membuat jantung Casey berdegup kencang. Mansion ini memang tampak mewah dan megah di siang hari, namun saat malam tiba, tempat ini berubah menjadi sangat menyeramkan. Casey yakin di dalam kemewahan dan kemegahan mansion ini tidak luput ada hantu di dalamnya, Casey yang sangat takut pada hantu segera berlari cepat untuk memasuki kamarnya.Namun, di tengah perjalanan, Casey mencium bau anyir yang menyengat aroma besi yang menusuk hidung dan membuat perutnya mual. Jantungnya berdetak makin tak karuan. Apakah bos mafia itu sedang menyiksa ses

  • Pelayan Cantik dalam Cengkraman Sang Mafia   Tatapan yang Mengunci

    Casey yang masih duduk di kasur Harrison, sesekali melirik pria itu yang sedang tenggelam dalam tumpukan kertas berjilid. Tangan Harrison bergerak cepat, membolak-balikkan halaman demi halaman, mengamati setiap tulisan dengan teliti. Suasana terasa sunyi, kecuali suara kertas yang berdesir halus. Casey merasa canggung, seakan ruang ini terlalu besar dan sunyi untuk mereka berdua. Ia ingin pergi dari sini, tetapi tubuhnya yang masih lemas setelah pingsan tadi menahannya untuk tetap tinggal.Pikirannya terus berputar, mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa Harrison bisa tahu jika dia tidak makan siang? Apakah Ema? Namun Ema yang selalu terlihat acuh dan jarang berbicara, jelas tidak mungkin memberitahukan hal itu. Lalu, apakah Harrison hanya berasumsi karena melihat Casey pingsan? Namun, menurutnya, itu tidak masuk akal. Seharusnya Harrison berpikir secara nasional kalau dia pingsan karena kelelahan setelah membereskan ruangannya dalam waktu singkat siapa pun bisa pingsan

  • Pelayan Cantik dalam Cengkraman Sang Mafia   Senyuman yang Mengikat

    Setelah menyelesaikan tugas pertamanya Casey merogoh saku seragam dan meraih sesuatu di dalamnya, sebuah memo yang diberikan Ema sebelum Casey melakukan pekerjaannya. Casey menelusuri tulisan yang di memo tersebut.“Membersihkan kamar Aidan sudah, selanjutnya-“ gumam Casey pelan sedang bicara sendiri namun perkataannya terpotong oleh suara yang tidak asing bagi Casey."Sepertinya kau sudah melakukan pekerjaan dengan baik." Suara itu begitu tenang, namun mencekam, penuh tekanan halus yang seolah-olah mengikat udara di sekitarnya. Jantung Casey berdegup kencang. Suasana di sekelilingnya berubah menjadi dingin, tubuhnya seolah membeku seiring dengan semakin dekatnya sosok yang tak asing baginya.Casey perlahan membalikkan badannya, Harrison berada di belakangnya dan kini mereka berhadapan. Harrison berdiri dengan senyum ramah yang memikat, wajah tampannya semakin tampak sempurna dengan sorot mata yang lembut. Siapa pun yang pertama kali bertemu dengan pria ini pasti akan langsung jatuh

  • Pelayan Cantik dalam Cengkraman Sang Mafia   Aidan Cassius Raymond

    Waktu istirahat akhinya berakhir, beberapa pelayan yang bercengkrama di dapur langsung berlarian keluar semua. Mereka pun mengerjakan tugas mereka masing-masing. Casey yang termasuk pelayan baru dan tidak tau apa yang harus dikerjakan. Menyadari hal itu Ema pun memberikan memo yang tertuliskan job list yang harus dikerjakan oleh Casey sembari menjelaskan agar Casey paham.“Kamu cukup kerjakan apa yang memo saya tulis, ini hanya pekerjaan sepele karena kamu masih baru, jika kamu sudah mengerti dan bisa beradaptasi pada lingkungan ini kamu akan diberi tugas tambahan oleh tuan Harrison”ujar Ema memberi penjelasan pada CaseyBaru kali ini Ema bicara cukup panjang lebar, karena biasanya dia hanya mengucapkan seperempat kalimat saja. Setelah di beri penjelasan Ema pun melangkah dan meninggalkan Casey begitu saja.Casey yang masih berdiri dan menatap memo yang di berikan oleh Ema barusan. Membaca tulisan itu berulang ulang agar ia tidak melakukan kesalahan lagi, Dengan tubuh masih semangat i

  • Pelayan Cantik dalam Cengkraman Sang Mafia   MAKAN SIANG

    Waktu makan siang pun tiba, Ema dan Casey segera menuju ke dapur yang dituntun oleh Ema. Saat mereka ke dapur, beberapa pelayan sudah mengantri dengan wajah lelah, menunggu giliran untuk makan siang mereka. Begitu Ema dan Casey masuk menghadiri ruangan tersebut, suasana yang semula tenang langsung berubah. Beberapa pelayan menatap Casey dengan pandangan sinis bahkan tidak ramah, seolah-olah keberadaannya di sana adalah sesuatu yang tidak diinginkan dan menganggu.Casey merasakan tatapan tajam itu seolah dadanya ditusuk oleh pisau. Ia merasa sangat tidak nyaman, seperti berada di tengah kawanan serigala yang siap memangsa. Tanpa sadar, ia mundur sedikit dan menutup tubuhnya dengan tubuh Ema, berharap bisa melindungi dirinya dari tatapan penuh kebencian itu."Apa-apaan tatapan itu? Kalian pikir aku mau kerja di tempat berbahaya ini?" gerutunya dengan kesal, meski suaranya pelan dan hanya terdengar oleh dirinya sendiri.Namun, meski dalam hati penuh dengan kebencian dan kesal, ia tahu ba

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status