“Kenapa tuan acuh sekali dengannya?” tanya Amora.Gery yang masih menggandeng lengan Amora cukup menoleh tajam, memberi peringatan supaya Amora tetap diam. Amora pun menurut.“Gery, kau sudah pulang?” sapa Wenda saat hendak menuju dapur.Gery hanya mengangguk. “Kau tunggu sini, aku mau mandi dulu,” kata Gery pada Amora.Melihat mereka berdua bergandengan tangan, tak terasa senyum Wenda mengembang. “Kau tunggu di sini dengan bibi.”Gery sudah naik ke atas dan Amora pergi ke dapur bersama Wenda. Amora diajak Wenda membuat puding. Wenda bilang pada Amora kalau suaminya sangat suka puding.“Apa bibi selalu buat sendiri?” tanya Amora sambil mengambil wadah berukuran sedang.Wenda tersenyum dan meraih wadah yang Amora ulurkan. “Tentu saja. Ayah Gery tidak mau kalau pelayan yang membuatkannya.”Apa kau bisa buat puding?” tanya Wenda kemudian. Satu bungkus agar-agar bubuk ia tuang ke dalam wadah.Malu-malu, Amora mengangguk. “Aku sudah terbiasa membuat apapun di rumah.”“Benarkah?”
Gery yang sudah panik segera keluar dari mobil. Sampai di depan badan mobil Belva, Gery langsung mengetuk-ngetuk bagian kaca jendela dan menempelkan wajah di sana.Di dalam, Gery bisa melihat kalau Belva tengah meringis sambil memijat keningnya. Mungkin Belva terpentok bundaran setir.“Buka pintunya!” pinta Gery dari luar.Belva pun membuka pintu, menurunkan kedua kakinya bergantian dan Gery berjalan mundur untuk memberi ruang.“Kau tidak apa-apa?” tanya Gery sambil mengamati wajah Belva.Belva mendesis lirih. “Tidak apa-apa, cuma sedikit sakit di bagian kening.” Belva masih memijat keningnya.“Biar kulihat.” Gery menyibakkan poni Belva lalu mengusap dengan ibu jari bagian yang terpentok itu.Belva terdiam. Ia membiarkan Gery mengusap keningnya. Rasanya nyaman dan ingin terus. Sudah lama sekali Belva tidak menghirup aroma tubuh Gery sedekat ini. Rasa rindu dan penyesalan, serasa merusak kala mengingat masa di mana dirinya meninggalkan Gery.“Terimakasih,” kata Belva tiba-tiba.
Sentuhan bibir itu masih melekat di benak Amora. Kecupan yang kemudian berubah menjadi sebuah ciuman, Amora tak akan memikirkan tentang ini sebelumnya. Gery datang mengendap-endap hanya untuk memberi ciuman? Kenapa?”Amora kini terduduk lunglai di atas ranjang dengan kaki menjuntai. Kelima jarinya yang masih gemetaran, kini sedang menyentuh bibirnya. Bibir kenyal itu sungguh masih begitu terasa. Amora masih bisa merasakan basah dan hangat lidah yang meruak mencoba membuka bibirnya yang kenyal.“Dia itu kenapa?” gumam Amora. “Dan ada apa ini? Di-dia, dia sudah mengambil ciuman pertamaku.” Amora mendadak seperti orang linglung.Saat masih termenung, mata Amora tertuju pada benda kotak yang tergeletak di atas meja. Amora setengah berdiri dan menggapai benda tersebut kemudian duduk kembali.Benda kotak itu terbuka dan benda bulat melingkar dengan mata berlian di tengah kembali membuat mata Amora terkagum. Benda mahal ini miliknya sekarang. Amora mengangkat tangan sebelah kiri kemudian
Satu minggu lebih sudah berlalu sejak kejadian malam itu. Malam di mana Gery tiba-tiba datang menemui Amora dan memberi sebuah kejutan yang tak pernah keduanya duga.Pernikahan berlangsung cukup mewah dan pada akhirnya ada dua pasang pengantin di sini. Ya, pernikahan Gery dan Theo dilangsungkan secara bersamaan. Meskipun Gery sempat menolak, tapi akhirnya mau daripada harus disuruh satu bulan lagi menunggu.Ayah bilang kalau tradisi keluarga tidak boleh menikah mendahului yang tertua. Kakak perempuan maupun kakak laki-laki, yang pertama harus didahulukan.Dua pasang pengantin kini sudah berdiri berjejeran setelah perjanjian suci diucapkan selesai. Mereka bergantian menerima ucapan selamat dari para tamu undangan. Jika Keluarga Belva terlihat begitu disambut, lain dengan Amora. Keluarga Amora tentu merasa terasingkan karena memang berasal dari kalangan kelas bawah.“Kapan acara selesai?” gerutu Gery dalam hati. “Aku sudah gerah!”Beberapa menit kemudian, acara berjabat pun usai. P
Mimpi waktu memang belum bisa Amora lakukan. Rasa bersalah pada Andy, masih terus menghantui pikiran Amora. Pria yang mengajaknya menikah namun Amora tolak, kini sudah bukan menjadi siapa-siapa lagi. Memikirkan cara bagaimana menemui Andy dan meminta maaf bahkan masih Amora pikirkan sampai detik ini.Di ruangan ini, di sebuah kamar mewah dengan lampu yang terang. Amora harusnya bisa menepikan sesaat tentang keadaan Andy. Amora sudah menjadi seorang istri, tentunya memikirkan pria lain bukanlah ide yang baik.“Ganti bajumu dan tidurlah,” kata Gery yang sedang melepas kemejanya.Amora sendiri sudah membawa pakaian seadanya, itupun ayah yang menyiapkannya. Mereka berdua saling memunggungi. Amora tengah membongkar tasnya, sementara Gery kini sudah berbaring bertelanjang dada. Matanya terpejam, Amora tahu itu. Karena tak mau tenggorokannya terus menelan ludah melihat tumpukkan roti sobek itu, Amora kembali membuang muka.Memeluk mamanya, Amora berjalan menunduk menuju kamar mandi.“As
Mereka sudah sampai di rumah dan tentunya langsung disambut para pelayan yang membantu mereka bergantian membawa barang-barang. Dua pelayan membantu Gery dan Amora, dua pelayan lagi membantu Theo dan Belva. Tidak ada pembicaraan apapun di antara mereka karena langsung menuju kamar masing-masing. Mungkin acara kemarin masih menyisakan rasa lelah teramat. Dion yang ternyata juga di sana, ikut membantu Gery membawa barang-barang menuju kamarnya di lantai dua. “Terimakasih kau sudah datang sepagi ini,” kata Gery sembari menepuk pundak Dion. “Pekerjaan kantorku kan belum dimulai, jadi kupikir sebaiknya membantumu dulu,” ujar Dion. Gery, Dion dan Amora sudah masuk ke kamar, Theo dan Belva juga masuk ke kamarnya sendiri. Mereka tetap terlihat acuh dan enggan untuk saling menyapa satu sama lain. “Sini aku bantu.” Amora tiba-tiba berlari menghampiri Gery yang duduk di sofa. Amora kemudian berjongkok dan membantu melepas sepatu Gery. Dion yang melihat itu, melirik Gery dengan seutas senyu
Sore hari, usai mandi Gery mendapati Amora tengah duduk di sofa sambil memijat ponselnya. Entah sedang chatting dengan siapa, Gery tak ingin tahu. Yang ada di kepala Gery saat ini adalah benda ber cup yang ukurannya cukup besar itu.Gery memang sempat melihat tubuh Amora saat mandi, tapi tidak terlalu jelas di bagian dada. Hanya melihat tubuh Amora yang memang molek dan menggiurkan.“Shit!” umpat Gery sambil menggosok rambut basahnya dengan kasar menggunakan handuk.Amora yang terkejut, sampai-sampai menjatuhkan ponselnya dan buru-buru berdiri. “Ada apa?” tanya Amora saat itu juga.Gery yang tidak sadar kalau ucapannya terdengar, hanya bisa melengos dan pura-pura berwajah masam. “Tidak. Aku hanya asal bicara.”Amora lantas menunduk dan menggamit ponselnya yang tergeletak di lantai. Sementara Gery, ia sudah beranjak keluar dari kamar hanya dengan mengenakan celana kolor selutut dan kaos oblong.“Hai Gery,” sapa Belva saat Gery baru saja menampakkan kedua kakinya di lantai satu.
Sekedar kesalahan membuat kopi, Gery bisa sampai marah besar. Amora masih tidak mengerti kenapa itu bisa terjadi. Pasalnya, takaran gula yang ia gunakan sama persis saat membuatkan untuk ayah di rumah, dan rasanya Amora yakin sudah pas.Lalu, kenapa Gery bilang itu kemanisan?Amora yang wajahnya kini sembab dengan mata memerah, memilih berdiam diri di kamar setelah selesai membereskan pecahan cangkir. Masih untung belum ada siapapun di bawah sana, terkecuali Ira yang sempat bertanya kenapa.Amora yang memang tidak mau ada yang tahu, tentunya menjawab kalau gelas itu jatuh karena tersenggol. Namun sayangnya, mata sembabnya tak bisa menyembunyikan sesuatu.“Besok, aku akan kasih tahu apa yang Tuan Gery suka dan tidak suka,” kata Ira saat Amora sedang mencuci tangannya.Amora yang salah tingkah karena Ira bisa tahu, lantas tersenyum sekenanya. Setelah ngobrol singkat di dapur, Amora sudah kembali ke kamar. Ia berencana untuk tidak ikut makan malam karena takut bertemu Gery.Selepas