Share

Bab 2

Author: Liza zarina
last update Last Updated: 2025-11-11 12:19:28

Dahayu mengatupkan tangan di atas kepala, menundukkan pandangan agar tak lagi melihat milik tuannya yang membuat dia merasa malu. Dahayu takut dia akan dipecat.

“Maaf, Tuan, saya … nggak sengaja, lantainya licin. Saya sembarangan narik biar nggak jatuh. Taunya … handuk Tuan yang jatuh.” Mata Dahayu langsung terpejam begitu ingatan memalukan barusan melintas dalam kepalanya.

“Keluar!” Suara Axel bagai petir yang menggelegar, tampaknya dia benar-benar marah pada Dahayu.

Dahayu langsung melarikan diri, berusaha menghilang dari pandangan Axel. Begitu pintu tertutup, dia membungkuk sambil memegang dada. Nafasnya ngos-ngosan, menepuk kepala agar gambaran kejadian tadi lenyap.

Dahayu tak menyangka, di hari pertama dan pada pengalaman pertamanya bekerja, dia mengalami hal memalukan dengan majikannya sendiri. Gadis itu meringis, memeluk diri dengan mata memerah. Merasa bersalah karena terlalu banyak bergerak.

“Mataku ternoda. Kalau Nyonya Naomi tau, aku bisa dihabisi,” gumamnya, bergetar takut.

Dahayu mengedarkan pandang, memastikan tak ada seorang pun yang melihatnya. Ia menegakkan tubuh, merapikan kacamata dan anak rambut yang berantakan karena keringat, lalu mengatur senyum. Beberapa kali ia menghela napas, menggeleng pelan seolah ingin menyingkirkan serpihan ingatan yang masih mengganggu.

“Syukurlah… nggak ada yang lihat,” gumamnya, merasa sedikit lega.

Namun, ketenangan itu tak bertahan lama. Wajahnya mendadak meringis ketika menyadari sesuatu. “Tapi bagaimana caraku melayani Tuan Axel? Aku akan selalu berhadapan dengannya.”

Dahayu turun ke dapur melihat Bi Ambar, wanita yang membantunya bekerja di rumah mewah ini sedang mengaduk susu. Dia berdiri di samping Bi Ambar, tersenyum manis ketika wanita berusia 45 tahun itu menatapnya.

“Sudah bertemu Tuan Axel?” tanyanya santai, berjalan mengambil nampan dan menaruh gelas susu di atasnya.

Dahayu menelan ludah. Setiap kali mendengar nama Axel, dia merasa malu sendiri. Merasa ditatap Ambar, Dahayu mengangguk pelan.

“Bagaimana? Dia tampan, kan?” tanya Dahayu, menolak pelan gadis berkacamata itu dengan tubuhnya, kemudian terkikik sendiri.

Ambar menepuk jidat. “Aku lupa. Ini susu untuk Tuan muda.” Ambar mencium bau badannya sendiri, hidungnya berkerut karena mencium aroma tak sedap. “Dahayu, tolong antarkan susu ini pada Tuan muda, ya. Sudah malam, aku mau mandi dulu.”

“Kamarnya di mana?” tanyanya pada Ambar yang sudah berjalan cepat menuju kamarnya di halaman belakang.

“Di samping kamar Tuan Axel!” seru Ambar, menunjuk kamar yang berada di lantai atas.

Wajah Dahayu berubah tegang. Perlahan kepalanya menoleh pada kamar yang dimaksud, jantungnya seakan ditabuh. Susah payah Dahayu melarikan diri, sekarang dia harus berhadapan dengan Axel lagi.

“Ah, nggak apa-apa. Kamarnya tuan kan masih di sebelahnya lagi. Harusnya sih masih aman.” Gadis itu tersenyum, meski tangannya yang memegang nampan agak bergetar.

Suasana rumah sudah gelap dan sunyi, hampir semua pekerja di rumah itu sudah beristirahat. Dahayu berjalan sepelan mungkin agar suara langkahnya tidak mengganggu. Saat kakinya menapaki anak tangga, Dahayu terpikir bagaimana sikap Tuan muda?

Seandainya dia bertanya sedikit tentang Tuan muda pada Ambar, mungkin dia bisa menghadapi kenakalan anak itu. Setahunya, anak-anak orang kaya pasti nakal karena sering dimanja.

Dahayu mengetuk pintu, tapi tak ada jawaban. Dia memegang handle pintu, bersiap membuka dengan perasaan was-was. Namun, lampu kamar itu mati, hanya ada cahaya temaram dari meja belajar

Di sana, seorang anak laki-laki, kira-kira berusia lima tahun lebih, duduk dengan tekun. Pensil warnanya menari di atas kertas tanpa memperdulikan seseorang yang datang menghampiri. Ia bahkan tak menoleh ketika segelas susu diletakkan di sampingnya.

Cukup lama susu itu dibiarkan tak tersentuh. Dahayu menatap penuh tanda tanya, lalu matanya jatuh pada gambar di hadapannya. Itu lukisan keluarga Tuan Axel, Tuan Muda, dan Nyonya Naomi. Tapi tidak seperti gambar anak-anak pada umumnya, mereka tidak bergandengan tangan. Mereka terpisah, berdiri sendiri-sendiri.

Wajah Tuan Axel digambarkan datar, tanpa senyum. Tuan Muda kecil justru tampak murung, dan Nyonya Naomi tergambar dengan sorot marah. Tapi Dahayu tak ambil pusing.

“Tuan muda, silakan diminum susunya.” Suara lembut Dahayu menghentikan gerakan tangan Tuan muda kecil. Dia menoleh, mengamati wajah Dahayu yang baru dilihat.

“Kakak baru?” tanyanya yang langsung dijawab dengan anggukan.

“Sudah jam sepuluh. Kenapa belum tidur?” tanya Dahayu, senyum manis terlukis di wajahnya, dia mengingat adik-adiknya di desa.

“Aku belum ngantuk.” Pria kecil itu menggeleng, menatap nanar gelas susu di hadapannya.

“Biasanya, apa yang membuat Tuan muda bisa tidur?” tanya Dahayu, senyumnya kembali merekah kala mata sendu itu menatap padanya.

Dario membisu, menggeleng pelan. “Biasanya aku tidur sendiri.”

“T-tidur sendiri?” tanya Dahayu. Memang tak ada yang aneh, tapi bukankah Dario terlalu mandiri? Pandangan Dahayu tertuju pada selembar kertas lukisan, dia tersenyum canggung.

“Minumlah susunya! Setelah itu, Kakak bacakan dongeng. Mau?” tawar Dahayu.

Dario menatap tak percaya. “Dongeng sebelum tidur?” tanyanya memastikan.

“Kamu mau?” tanyanya lagi, hatinya terenyuh melihat bola mata bulat itu menatapnya nanar.

“Kakak nggak bohong?” Dario memastikan.

“Serius, dong!” Dahayu mengacungkan dua jarinya sambil tersenyum lebar.

Dario meminum habis susu yang hampir dingin. Dia begitu bersemangat membuka laci dan mengeluarkan beberapa buku dongeng yang masih baru, masih terbungkus rapi. Dia menjejerkan semua buku, meminta Dahayu memilih.

“Kakak mau bacakan buku yang mana?” tanya Dario, matanya berkedip-kedip imut.

Dahayu tercenung melihat semua buku dongeng itu masih berbalut rapi. “Bukumu sebanyak ini, kenapa nggak dibaca?”

Bibir Dario berkerut. “Aku ingin. Tapi, nggak ada yang mau membacakan untukku, Kak. Mama dan Papa … sibuk.” Suaranya semakin pelan, seakan tertahan kekecewaan.

Dahayu tersenyum. “Jadi, Tuan muda mau dibacakan yang mana?”

Dario menggeleng cepat. “Kakak saja yang pilih.”

“Kamu aja. Kakak bisa bacakan semua yang kamu mau.”

Dario mendongak. “Kalau Dario yang pilih, Kakak nggak marah?”

“Nggak, dong!” Dahayu menaikkan dagu, meminta pria kecil itu cepat memilih.

Dario langsung menunjuk sebuah buku dongeng yang sedang hits. “Ini. Boleh?”

“Boleh. Ayo ke tempat tidur. Kakak bacakan sekarang.”

Dario berlari kecil, begitu tidak sabar akan dibacakan dongeng oleh Dahayu. Dia menarik selimut sampai sebatas dada menepuk tempat di sebelahnya.

Dahayu mulai membacakan cerita pengantar tidur untuk Dario, sesekali tangannya mengelus kepala Tuan muda kecil, bahkan saat alur ceritanya menakutkan, Dahayu tak segan memeluk Dario. Dia sudah terbiasa melakukan semua ini dengan adik-adiknya.

Tanpa mereka sadari, Axel berdiri di depan pintu mengintip interaksi mereka. Dia mematung, bibirnya melengkungkan senyum sinis.

“Apa tujuanmu sebenarnya? Kau dikirim Naomi untukku tapi juga berusaha merebut hati putraku?” Tangan Axel mengepal, tak suka melihat kedekatan Dario dan Dahayu.

Tak lama, hembusan nafas Dario mulai teratur, menandakan pria kecil itu sudah terlelap. Dahayu menutup buku, tersenyum tipis menatap wajah tampan yang membuat hatinya tenang. Kerinduan Dahayu pada adik-adiknya terobati.

“Maaf tadi Kakak salah sangka. Ternyata kamu anak yang baik.”

Setelah menyimpan kembali buku cerita, Dahayu mengambil gelas susu dan hendak membawanya keluar. Dahayu terkejut melihat Axel berdiri di depan pintu.

Refleks, ia mundur beberapa langkah hingga tersandung kakinya sendiri. Namun, sebelum sempat terjatuh, Axel dengan sigap meraih tangannya dan menahan pinggangnya. Gelas di tangannya terlepas, jatuh, dan pecah berhamburan di lantai. Sejenak, keduanya saling bertatapan dalam diam. Jarak yang begitu dekat membuat Dahayu bahkan tak berani bernapas.

“Jangan menipu putraku,” ucap Axel penuh ancaman.

Dahayu mengernyit. “Menipu? Saya nggak —” Dahayu mengulum bibir kala menyadari Axel terus memperhatikan bibirnya.

Axel melepaskan Dahayu. “Keluar.”

“Tapi, pecahan kacanya belum dibersihkan, Tuan.” Dahayu menelan ludah melihat tatapan tajam Axel yang hampir menelannya.

Dahayu mengangguk. “Saya permisi, Tuan.” Dia menunduk, berjalan tergesa-gesa meninggalkan Axel.

‘Menipu? Apa maksudnya? Kenapa tuan kelihatan marah begitu?’ tanya Dahayu dalam hati.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pelayan Hasrat Tuan Majikan   Bab 30

    Dahayu tercenung, tubuhnya membeku, mata gadis itu membola dengan bibir terbuka. Matanya tak bisa berkedip meski perih, shock mendengar permintaan Naomi yang tidak etis. Tidak menyangka, Naomi bisa meminta hal seperti itu.“A-apa?” tanyanya dengan lirih. Suaranya tertahan di tenggorokan. “Me-melayani Tuan Axel di … ranjang?” Gadis itu terbata-bata.Namun, Naomi tidak merasa bersalah sama sekali. Justru tertawa melihat ekspresi Dahayu. Wanita itu menghampiri Dahayu, menepuk pelan pundak sang gadis, sengaja menggantung kartu kredit di depan mata gadis desa itu. Dia mendekat, menghirup aroma tubuh Dahayu dan mengangguk-anggukkan kepala, seakan puas. Mengelilingi gadis tersebut, membuka kacamata yang membingkai wajah. “Kamu cantik. Kenapa harus menutupinya?” tanya Naomi, membelai pipi gadis itu dengan lembut. Dahayu mundur selangkah. Sangat risih dengan perlakukan Naomi padanya. Dia tersenyum meringis, merebut kacamata dari tangan sang nyonya dan cepat memakai lagi. Sadar dengan penaw

  • Pelayan Hasrat Tuan Majikan   Bab 29

    Di bawah guyuran air shower, Axel terkekeh pelan mengingat ucapan Naomi tadi. Hanya Naomi, istri yang tega melempar suaminya ke ranjang wanita lain karena enggan melayaninya sendiri.Ironis. Seorang Axel, kaisar bisnis yang disegani banyak orang, justru begitu bodoh dalam urusan cinta. Semua demi mempertahankan pernikahan palsu yang sudah lama kehilangan makna, hanya agar hati anaknya tidak terluka.Pria itu menyugar rambut, membiarkan air melewati miliknya yang berdenyut. Sudah seminggu dia tidak mengeluarkan magma putihnya.Axel pria normal. Sudah tujuh tahun dia bermain solo untuk memenuhi hasrat biologisnya. Padahal, dia memiliki istri yang cantik, seksi, dan sempurna. Namun, semua itu tak berarti apa-apa bagi Axel yang hanya bisa memandangi kemolekan istrinya dan membayangkan tanpa pernah menyentuh.Ia ingin mencintai dan memuaskan gairahnya dengan cara yang semestinya, sebagai seorang suami. Akan tetapi, bagaimana dengan Dario? Dia masih menjaga diri karena berharap pernikahan i

  • Pelayan Hasrat Tuan Majikan   Bab 28

    Revan tertawa melihat respon Axel yang dianggap berlebihan. Kendati demikian, dia tidak mau menyerah memperjuangkan hati yang terlanjur terpaut. Pria itu melipat kaki, berusaha merayu dengan senyum menawan.“Kak Axel, cuma satu wanita saja. Kamu tidak mungkin keberatan, kan?” ucapnya merayu, mengacungkan jari telunjuk kemudian menggenggam tangan dan mengguncang pelan. Axel mengakhiri tatapan dengan lirikan sinis. Lanjut menikmati teh susu meskipun permohonan Revan sangat mengganggu ketenangan. “Kak Axel, kali ini aku janji akan menjaganya seumur hidup,” ucapnya, tangan kanan menepuk pundak Axel agar pria itu mendengarkannya. “Sepertinya kamu sangat menyukai gadis itu,” gurau Gio, geleng-geleng kepala melihat Revan beraksi. Mereka berempat tau segila apa Revan memperjuangkan bunga yang ingin dihisap madunya. “Ahh!” Revan memegang dadanya, memejamkan mata sambil tersenyum manis membayangkan wajah cantik yang terbingkai kacamata. “Aku … kena panah asmara.”“Cih.” Kenzo berdecih geli

  • Pelayan Hasrat Tuan Majikan   Bab 27

    “Saya permisi menyiapkan pakaian Tuan Axel, Nyonya.” Dahayu menunduk, kemudian langsung masuk ke walk in closet. Di sana, dia berdiri sambil memegangi dada. Sesekali berhadapan langsung dengan Naomi malah ditanya hal paling pribadi. Gadis itu mengatur napas, geleng-geleng kepala melihat sikap Naomi. “Mereka memang cocok makanya berjodoh. Sama-sama mesum,” gumam Dahayu. Melanjutkan tugasnya karena tak mau berlama-lama berada di sana.***Di meja makan, senyum Dario merekah melihat Axel dan Naomi turun bersamaan dan duduk di meja makan. Akan tetapi, pria kecil itu tak berani bereaksi berlebihan. Wajah datar Naomi membuat dia terdiam, takut menuntut perhatian yang hanya memancing amarah mamanya.Namun, Dario tidak bisa menahan rasa senangnya. Selama enam tahun, hanya beberapa kali mereka berkumpul di meja makan. “Mama, malam ini … bolehkah aku tidur denganmu?” pinta Dario, tersenyum tipis menunggu jawaban.Naomi menghentikan gerakan tangan, menatap Dario seraya menggelengkan kepala. “

  • Pelayan Hasrat Tuan Majikan   Bab 26

    Mata Axel menyipit. “Menjijikkan?” “Menyingkirlah, Axel. Aku nggak sudi melihat wajahmu!” seru Naomi, berteriak tepat di depan wajah suaminya. Dia menolak dada bidang sang suami, tidak segan memukul agar pria itu segera turun dari atasnya. “Aku lebih menjijikkan dari pria yang … sudah menidurimu?” tanya Axel dengan suara lirih tertahan. Dada terasa sesak ketika matanya tertuju pada bekas kemerahan itu lagi. “Apa … maksudmu?” Naomi terpegun, menelan ludah sambil menatap wajah suaminya yang begitu serius. Sedetik kemudian, Naomi tersadar bahwa ada tanda cinta yang tertinggal bekas pergumulan semalam. Dia menolak Axel menjauh, mengubah posisi menjadi duduk seraya buru-buru mengancing piyama yang mengekspos dada. Naomi melipat tangan di dada, membenarkan rambut hingga menutup area leher. Menyandarkan punggung, memeluk bantal sebagai bentuk pertahanan jika pria itu melakukan sesuatu. “Siapa dia?” tanya Axel, sejak tadi memperhatikan Naomi yang serba salah. Tangannya mengepal, menahan

  • Pelayan Hasrat Tuan Majikan   Bab 25

    Entah apa yang Axel pikirkan bisa terbatuk sekeras itu mendengar penuturan Dario. Wajah pria itu memerah, tenggorokan perih, tangannya pelan memukul dada. Dahayu sigap berdiri, menuangkan air putih dan menyodorkan pada Axel. Setelah minum beberapa teguk, batuknya mereda. Pria itu agak menunduk, tangannya erat mencengkram gelas. Perlahan, dia menatap Dario yang juga sedang memperhatikannya. “Papa baik-baik saja?” tanya Dario, wajahnya tampak lega melihat Axel sepenuhnya membaik.“Apa yang kamu katakan, Dario?” Axel mempertanyakan dengan tegas. Tentu, dia melihat perubahan raut wajah Dario yang kebingungan. “Melayani?” tanya mengulang, seakan mempertegas pertanyaannya yang membingungkan.Para maid yang berdiri di belakang mereka saling pandang, mengerutkan dahi kemudian menaikkan bahu. Ekspresi yang sama ditunjukkan Dahayu, alisnya bertaut, sukar menoleh dari Axel. “Ma-maaf, Pa,” ujar Dario, suaranya melirih sembari menundukkan kepala. Takut menatap langsung wajah masam sang papa.“

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status