Share

Bab 4

Author: Liza zarina
last update Last Updated: 2025-11-11 12:21:03

Lima menit setelah Axel pergi, sebuah mobil sport hitam masuk garasi. Wanita berusia 26 tahun berpakaian seksi turun dari mobil dengan sedikit terhuyung. Dia mengangkat kacamata hitamnya, matanya menyipit karena silau. Aroma alkohol tercium dari tubuh wanita muda itu.

Suara heels membentur lantai. Dia menutup mulut dengan tangan, menahan mual yang bergejolak. Semua orang membungkuk hormat ketika berhadapan dengannya. Tak ada sapaan, bahkan wanita itu terkesan tak peduli pada siapapun.

“Mama!” Dario berteriak memanggil Naomi. Tuan muda kecil itu berlari dan memeluk kaki mamanya, berharap mendapat pelukan hangat.

“Lepas, Dario!” sentak Naomi, mendorong-dorong pelan Dario menjauh. “Mama lelah, mau istirahat.”

“Ma, aku—”

Dario tidak sempat mengucapkan apa-apa. Naomi sudah mendorongnya dengan kuat sampai tubuh kecilnya terjerembab ke lantai. Sambil menahan pusing, Naomi menatap tajam putra semata wayangnya.

“Jangan manja, Dario. Minta pada maid. Mama lelah!” tegas Naomi, tanpa mempedulikan tatapan nanar putranya, dia naik ke lantai atas dan menutup pintu kamar dengan kuat.

Dahayu terhenyak melihat pemandangan di depannya. Hanya Bi Ambar yang peduli, menarik pelan tangan Dario. Sementara, yang lainnya sibuk dengan pekerjaan mereka sendiri.

Suara dering ponsel dari sakunya menyentak Dahayu. Melihat nama yang tertera di layar benda pipih itu, ia segera mencari tempat sepi untuk menerima panggilan. Senyum merekah ketika ia menggeser icon hijau dan menempelkan ponsel usang itu ke telinganya.

“Bu?” sapanya hangat. Senyum manis terlukis di wajahnya yang cantik. “Aku kangen Ibu.” Tidak ragu ia mengutarakan kerinduan yang menyiksa.

“Bagaimana kabarmu, Nak?” Suara parau ibunya menggetarkan hati Dahayu. Mata gadis itu berkaca, tetapi senyum tetap terukir di wajahnya.

Sebelum menjawab, Dahayu menarik nafas agar ia terlihat baik. “Aku baik, Bu. Bagaimana kabar Ibu dan adik-adik?”

“Seperti biasa.” Suara Lestari, ibunya Dahayu serak.

“Ibu sakit?” tanya Dahayu, menggenggam erat ponsel untuk menahan tangis.

“Cuma batuk aja, kok.” Lestari terdiam sejenak, kemudian melanjutkan, “Pekerjaanmu di sana gimana? Kamu nyaman, nggak?”

“Nyaman, Bu!” Dahayu menjawab cepat agar tidak menimbulkan kecurigaan. “Di sini semuanya baik-baik.” Namun, otaknya langsung membantah, dia langsung teringat tatapan tajam Axel yang membuatnya takut.

“Kalau nggak nyaman, lebih baik pulang saja. Ibu lebih suka kamu dekat dengan Ibu. Uang bisa dicari, Ibu selalu khawatir kamu di sana,” ucap Lestari, suaranya semakin parau karena menangis.

“Bu, nggak perlu khawatir berlebihan. Kalau aku kerja di sini, hidup kita lebih terjamin. Besok, aku kirimin uang buat ganti genteng yang bocor, ya, Bu.” Suara Dahayu melembut, diusapnya air mata yang jatuh di pipi.

“Kemarin Jordi dan keluarganya datang melamar kamu.”

Dahayu dan Lestari sama-sama terdiam. Dada Dahayu sesak, dia menatap langit yang begitu cerah, menarik nafas dalam-dalam, menunggu ibunya lanjut berbicara.

“Usiamu sudah 24 tahun,” lanjut Lestari.

“Ibu menerima lamaran mereka?” tanyanya resah. Dia tak menyukai pemuda yang telah menyatakan cinta ratusan kali padanya itu.

Lestari menggeleng di balik telepon. “Nggak. Ibu masih harus nanya kamu.”

Dahayu lega mendengarnya. “Bu, aku nggak papa telat nikah, asal Ibu dan adik-adikku bisa hidup dengan baik. Aku tau, sejak Bapak meninggal, nggak mudah bagi Ibu menghidupi kami berenam. Biarkan aku membantu dengan caraku, Bu.”

“Ibu nggak mau kamu telat nikah, Dahayu!” Lestari menentang, suaranya meninggi dan disusul batuk. Wanita berusia 55 tahun itu memegangi dada. “Kamu harus nikah secepatnya, ya, Nak! Bahagiakan dirimu sendiri.”

Cukup lama Dahayu terdiam karena tak setuju dengan permintaan ibunya. Akan tetapi, ia tak mau membantah. “Iya, Bu.”

“Kamu ada pegang uang?” tanya Lestari, merasa tak enak hati pada putri sulungnya.

“Berapa, Bu?”

“Adikmu ditagih uang sekolah, udah nunggak 6 bulan. Ibu belum ada kerjaan lagi.” Suaranya terdengar begitu lirih.

“Nanti Dahayu kirim, ya, Bu.”

“Terima kasih, Nak! Jaga kesehatan, Ibu tutup, ya.”

Setelah panggilan telepon terputus, Dahayu terdiam sembari memeluk ponselnya. Dalam diam ia menangis, merindukan keluarganya di desa. Tetapi, mana mungkin ia menyerah pada keadaan.

Dahayu melihat foto Ibu dan kelima adiknya. Sebagai anak sulung, dia turut menanggung beban. Meski ibunya tak pernah menghalangi mimpi, tapi ia cukup tahu diri.

“Baru dua hari kerja, aku nggak berani minta pinjaman. Uang kemarin sudah habis untuk ongkos. Aku harus pinjam ke siapa, ya?” Dahayu menggigit bibir, tercetus satu nama yang menjadi satu-satunya harapan.

***

Jarum jam terus berputar cepat. Sinar matahari perlahan meredup, bersiap kembali ke peraduannya. Burung-burung sudah kembali ke sangkar, sementara bintang-bintang mulai bermunculan di langit jingga yang kian gelap.

Naomi berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya yang sudah merias diri. Seharusnya, ia sudah pergi sejak lima menit lalu, tetapi ada hal penting yang ingin ia bicarakan dengan Axel, itu sebabnya ia memilih menunggu kepulangan suaminya.

Namun, menunggu Axel selalu menghadirkan rasa muak yang tak tertahan. Wajah lelaki itu, yang diagung-agungkan banyak wanita, kini hanya membuat Naomi jijik. Enam tahun menikah, tapi ia bahkan tidak memiliki kontak sang suami.

‘Kenapa dia lama sekali?’ gumam Naomi, berulang kali memeriksa jam di ponselnya.

Saat Naomi sedang asik berselancar di sosial media sambil senyum-senyum, pintu kamar terbuka. Wajah tampan pria itu tampak terkejut melihat keberadaan istrinya yang masih di rumah. Selama enam tahun ini, mereka sangat jarang bertemu.

Axel tak menggubris keberadaan Naomi. Seakan menganggap istrinya tak ada.

Dia membuka lebar pintu kamar, terlihatlah Dahayu yang berdiri di belakang Axel sambil memegang jas pria itu.

Axel masuk ke dalam dan berdiri di tengah ruangan. Dia memperhatikan Dahayu yang berjalan masuk sambil menunduk, meletakkan jas Axel di keranjang, kemudian berbalik hendak keluar.

“Ke mana?” tegur Axel yang langsung menghentikan langkah Dahayu.

“Keluar, Tuan,” jawabnya pelan.

“Tugasmu belum selesai,” ujar Axel, menarik pergelangan tangan Dahayu hingga gadis itu berdiri tepat di hadapannya.

Dahayu merasa tidak enak hati karena tau sejak tadi dirinya diperhatikan Naomi. Terlebih sikap Axel terlihat sangat dekat dengannya, padahal pria itu sungguh menyebalkan.

“Kau mau dipecat?” ancam Axel, sejak tadi dia menunggu tapi, Dahayu malah mematung dengan mata yang melirik pada Naomi.

‘Orang-orang ini, selalu mengancam akan memecatku,’ keluh Dahayu dalam hati.

Dahayu menggeleng. “Maaf, Tuan.”

Tangan Dahayu bergetar saat akan membukakan dasi Axel. Dia menelan ludah kala menyentuh kancing kemeja pria itu dan membukanya satu-persatu. Dahayu merasa lega karena majikannya mengenakan kaos dalam.

“Sudah, Tuan,” ucap Dahayu, dia ingin cepat-cepat keluar dari kamar yang menyesakkan. Tatapan tajam Naomi seakan melucutinya.

“Lakukan tugasmu sampai tuntas.” Axel memperhatikan wajah Dahayu yang terbingkai kacamata besar.

“A-apa lagi yang harus saya lakukan, Tuan?” tanyanya kebingungan.

‘Nggak mungkin bantuin buka celananya, kan?’ batin Naomi, jangan sampai itu benar-benar terjadi. Belum mendapat perintah pun, Naomi sudah gemetar tak karuan.

“Celanaku belum.” Axel menjawab terang-terangan tanpa memperdulikan keberadaan Naomi diantara mereka.

“Apa?” Dahayu shock. Dia langsung menoleh pada Naomi yang terkesan biasa saja. Tatapan Dahayu kembali pada Axel yang diam, namun wajahnya mengisyaratkan tak menerima bantahan.

“Saya—” Dahayu menelan ludah yang terasa mengiris tenggorokan. Dia ingin menolak, tetapi takut dengan ancaman Axel.

Tangan Dahayu semakin bergetar. Tidak menyangka akan berada di posisi ini. Dia menahan nafas ketika membuka ikat pinggang Axel.

“Keluar,” ucap Axel tanpa mengalihkan tatap dari Dahayu.

“Sepertinya kalian sudah sangat dekat. Kalau begitu, aku yang akan keluar.” Naomi menyambar tasnya dan langsung keluar.

Axel menggenggam tangan Dahayu yang memegang ikat pinggangnya. Wajah Dahayu bersemu merah, malu bercampur takut. Kenapa malah Naomi yang keluar? Otak Dahayu sangat berisik.

“Tuan, Nyonya nggak salah paham, kan?” tanya Dahayu, takut mendapat masalah.

Tatapan pria itu menajam, menarik pergelangan tangan Dahayu hingga tubuh gadis itu menempel padanya. Dengan satu tangan yang lain, Axel meremas rahang gadis itu.

“Apa rencana Naomi? Menggunakan kamu untuk bercerai dariku?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pelayan Hasrat Tuan Majikan   Bab 9

    “Kenapa, Kak?” tanya Dario sambil menggoyang pelan tangan Dahayu. Bocah itu ikut menoleh ke belakang, berusaha mencari tahu apa yang dilihat Dahayu.Dahayu tersentak, lalu cepat-cepat tersenyum kecil sambil menggeleng. Ia tak ingin membuat Dario khawatir. Hatinya mencoba menepis perasaan aneh itu, menganggapnya hanya rasa takut berlebihan karena membawa anak pria paling kaya ke tempat umum.‘Mana mungkin ada yang berani berbuat jahat di tempat seramai ini,’ batinnya, berusaha menguatkan diri.Mereka pun masuk ke toko ice cream. Meski sudah berulang kali menegaskan pada diri sendiri bahwa takkan ada apa-apa, Dahayu tetap waspada. Ia sengaja memilih meja di tengah ruangan agar lebih mudah mengawasi sekitar, lalu memesan dua ice cream coklat. Satu untuknya, satu untuk Dario.Begitu pesanan mereka datang, Dahayu tidak langsung mengizinkan Dario melahapnya. Sambil tersenyum, ia lebih dulu mengambil sedikit ice cream milik bocah itu dan mencicipinya. Setelah yakin aman, barulah ia menganggu

  • Pelayan Hasrat Tuan Majikan   Bab 8

    Axel dan Dahayu sama-sama menoleh ketika Dario tiba-tiba berlari ke arah mereka. Panik, Dahayu ingin segera menolak Axel yang berada di atasnya, takut bocah itu salah paham. Namun, sebelum sempat bergerak, Dario lebih dulu melompat dan menduduki punggung papanya.Axel yang sedang menopang tubuhnya dengan kedua tangan kehilangan keseimbangan. Tubuhnya ambruk, membuat dirinya dan Dahayu benar-benar menempel tanpa celah.Bruk!Bibir mereka bertabrakan. Kedua pasang mata langsung melotot, membeku dalam posisi yang tak bisa dihindari.Jantung Dahayu berdegup kencang, begitu keras hingga terasa ingin meloncat keluar dari dadanya. Nafas gadis itu tersengal, wajahnya panas karena tubuh Axel menindihnya.“Hmmm!” Dahayu yang terbungkam berusaha menyadarkan Axel dengan suaranya. “Hmmhh!” Suara Dahayu yang tercekik terdengar seperti desahan lirih di telinga Axel. Dalam posisi terhimpit itu, tubuh pria yang kepalanya ditekan Dario justru bereaksi. Dahayu membelalak ketika merasakan milik sang maj

  • Pelayan Hasrat Tuan Majikan   Bab 7

    Matahari mulai merangkak di ufuk timur, sinarnya masih malu-malu menyingkap kabut. Hari tampak menjanjikan cerah. Dari dapur, aroma kopi yang baru diseduh menguar memenuhi ruangan.Dahayu menggenggam erat-erat cangkir kopi, seolah bisa menenangkan hatinya yang bergejolak. Napasnya ia atur pelan, namun tetap saja ia merasa gelisah.Setiap kali berhadapan dengan Axel, tidak pernah ada hal baik yang ia dapatkan. Pria itu selalu membuatnya gentar, tatapannya menusuk, dan kata-katanya bagai pisau. Bahkan, Axel kerap menuduhnya dengan hal-hal yang bahkan tak pernah Dahayu pahami.Gadis itu menatap nanar lantai dingin yang ia pijaki, berdecak kecil ketika menoleh ke lantai atas karena pagi ini dia harus berhadapan dengan pria itu lagi. Hati kecilnya menolak, tetapi tanggung jawab yang diemban memaksanya tetap disana.Sesekali Dahayu memeriksa jam yang melingkar di pergelangan tangannya, jangan sampai telat membangunkan majikannya. Getar ponsel di saku roknya mengejutkan Dahayu. Lagi-lagi, b

  • Pelayan Hasrat Tuan Majikan   Bab 6

    Dahayu menelan ludah, lalu menggeleng mantap. “Sepertinya Tuan salah paham. Saya permisi.” Dengan cepat ia membalikkan badan, melangkah pergi tanpa menoleh lagi.Axel tersenyum sinis memandangi kepergian Dahayu. Mengingat mata yang berkaca-kaca dan gadis itu yang langsung mundur, kelihatannya Dahayu benar-benar kaget dan takut. Axel terkekeh dengan tangan mengepalkan tinju, mana mungkin dia percaya dengan gadis yang dianggapnya pandai bersandiwara itu.“Kau terlalu pintar berpura-pura. Aku mau lihat, apa kau bisa dijinakkan dengan uang?” Setelah berganti mengenakan setelan olahraga, Axel melangkah keluar kamar. Ia menuju ruang olahraga di lantai atas, lalu berdiri menghadap kaca besar. Pandangannya terarah ke luar jendela, membiarkan sinar matahari pagi menyapu tubuhnya.Axel sedang berlari di atas treadmill, kaus tanpa lengan menempel pada tubuhnya yang basah oleh keringat. Nafasnya berat dan teratur.Dahayu masuk perlahan, membawa nampan berisi mangkuk buah segar. Dia melangkah hat

  • Pelayan Hasrat Tuan Majikan   Bab 5

    Dahayu menautkan alis, matanya memerah karena cengkraman Axel meninggalkan rasa sakit yang tak tertahan. Posisi mereka cukup dekat, mungkin detak jantungnya yang cepat bisa dirasakan Axel. Dahayu menggeleng, berusaha membantah tuduhan majikannya yang tak dimengerti. Gadis itu menolak pelan dada Axel, tetapi pria itu malah semakin merapatkan diri dan menguatkan cengkraman.“Sa-sakit…,” ucap Dahayu lirih. Air mata yang sejak tadi menganak, jatuh di pipinya yang merah.Axel menolak Dahayu yang menunduk sambil menahan tangis. Tidak menyangka Axel akan memperlakukannya sekasar ini padahal dia tidak mengerti apa-apa. Dahayu ingin melangkah pergi, melarikan diri dari tempat mengerikan ini.Namun, langkahnya terhenti kala ia teringat suara batuk ibunya yang membutuhkan uang untuk pengobatan. Bahkan, dia belum mendapatkan pinjaman untuk membayar biaya sekolah adiknya. Setetes air menitik di pipi, mengisyaratkan luka batin yang memaksanya menetap.“Keluar.” Axel lebih memilih menatap benda-ben

  • Pelayan Hasrat Tuan Majikan   Bab 4

    Lima menit setelah Axel pergi, sebuah mobil sport hitam masuk garasi. Wanita berusia 26 tahun berpakaian seksi turun dari mobil dengan sedikit terhuyung. Dia mengangkat kacamata hitamnya, matanya menyipit karena silau. Aroma alkohol tercium dari tubuh wanita muda itu.Suara heels membentur lantai. Dia menutup mulut dengan tangan, menahan mual yang bergejolak. Semua orang membungkuk hormat ketika berhadapan dengannya. Tak ada sapaan, bahkan wanita itu terkesan tak peduli pada siapapun.“Mama!” Dario berteriak memanggil Naomi. Tuan muda kecil itu berlari dan memeluk kaki mamanya, berharap mendapat pelukan hangat. “Lepas, Dario!” sentak Naomi, mendorong-dorong pelan Dario menjauh. “Mama lelah, mau istirahat.” “Ma, aku—”Dario tidak sempat mengucapkan apa-apa. Naomi sudah mendorongnya dengan kuat sampai tubuh kecilnya terjerembab ke lantai. Sambil menahan pusing, Naomi menatap tajam putra semata wayangnya.“Jangan manja, Dario. Minta pada maid. Mama lelah!” tegas Naomi, tanpa mempedulik

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status