Setelah malam berganti pagi, dan hari-hari mulai membaik. Suryawijaya dan sang Ayah kembali ke rumah, meredakan suasana gundah sanak saudara dan para pelayan yang khawatir dengan kondisi dua penguasa itu.Nawangsih melenggang keluar dari kamar dengan senyum damai yang merekah di wajahnya. Sekembalinya dar rumah sakit, aktivitasnya kembali seperti sedia kala. Kini dia benar-benar menjadi pelayan hati sang pangeran.Nawangsih menaruh alat melukis di lantai seraya tersenyum dan berkata, "Mas Surya harus punya kegiatan baru selain melamun. Lukis aku, ayo..."Suryawijaya yang mengalami cidera di tangan kirinya mendengus. "Kamu mengejekku?" tukasnya heran, "aku masih belum bisa bergerak dengan baik. Tanganku lihat..." Tangan kiri di gips, tangan kanan banyak bekas luka.Nawangsih menggeleng perlahan, tangannya sibuk menata cat dan alat lukis di meja, di beranda rumah utama. Tempat di mana Suryawijaya memilih menghabiskan waktu sambil terdiam. "Tidak, bukan begitu maksudku, Mas. Dokter meny
Nawangsih berseru. "Jangan bahas-bahas rasa sayang. Itu maha dahsyat, Mas!"Bimo dan Citra segera menengahi perdebatan mereka dengan mengangkat kedua tangan. Memandangi keduanya sambil geleng-geleng kepala."Harusnya kalian dipisahkan lagi saja. Daripada jatuh cinta lagi dan lagi." Bimo menasehati.Suryawijaya mengangguk, wajahnya seketika mengerut sakit. Sakit karena dipisahkan lagi tidak ada pada rencananya. Biar seperti ini saja sudah lega."Mas Suryawijaya sebaiknya istirahat." kata Bimo, mendekat seraya bersiap membantu Suryawijaya beranjak.Suryawijaya menatap Nawangsih dengan senyum malunya. Malu karena kesempurnaan sudah tidak bisa lagi dia berikan untuk Nawangsih."Kamu benar, Nia. Aku akan menurutimu saja." Akunya malas, "tolong bawakan lukisanku ke kamar."Nawangsih membuntuti kedua kakaknya ke kamar Suryawijaya. Lelaki itu masih tertatih saat berjalan. Dan Bimo dengan perhatian memapahnya perlahan."Jadi kamu nikahnya kapan, Cit?" tanya Nawangsih.Citra menggelengkan kepala
Seminggu sekali, Nawangsih dengan senang terus menemani Suryawijaya kontrol kesehatan di rumah sakit, mengajaknya keliling rumah sambil menceritakan apa saja yang pernah terjadi di sana atau mengunjungi galeri Dendra. Tentu hanya kenangan mereka saja yang Nawangsih ceritakan, yang lain tidak penting katanya. Suryawijaya tersenyum. Banyak yang menarik untuk di kenang di galeri Dendra, tapi di rumah dia merasa seluruh rumah itu memberikan ingatan yang lebih kuat."Yang lain tidak penting karena kamu tidak menerimanya." kata Suryawijaya, mereka berhenti di taman belakang rumah, memilih tempat yang cukup hangat untuk berjemur.Nawangsih mengernyit, "Maksudnya? Ah iya... Mbak Keneswari pasti khawatir kalau tahu Mas celaka." ucapnya lugas, "Itu kan yang Mas maksud? Memori lama yang bikin aku pergi?"Nawangsih menyipitkan mata dengan raut wajah penasaran. Suryawijaya gemas, raut wajah itu menghiburnya."Kamu benar, tapi Keneswari tidak akan menginjakkan kaki di sini lagi." Suryawijaya berkat
Suryawijaya mengetuk kamar Nawangsih sewaktu suasana rumah utama terasa sepi.Nawangsih mengerucut bibir. Sebagai sahabat dan adik, kelakuan Suryawijaya yang memanggil-manggil namanya dengan pelan tapi buru-buru membuatnya jengkel."Kenapa?" Nawangsih hanya membuka pintu kamarnya sedikit. "Aku lagi sibuk cari kampus baru, Mas. Lagi meeting juga sama Pak Doris.""Katanya sudah menjadi pengangguran." Suryawijaya mengembuskan napas. "Meeting apa dengan Pak Doris? Kesehatan Andrew terganggu?""Ngawur." Nawangsih mempersempit jarak pandang keduanya dengan mendorong daun pintu. "Aku keluar sejam lagi, itu kalo Mas masih perlu sama aku! Bye..."Nawangsih menutup pintu dan menguncinya, mencegah Suryawijaya masuk dengan cepat.Suryawijaya menerima penolakan itu dengan pasrah, padahal niatnya baik. Dia pergi ke ruang keluarga, di sana hanya ada kehampaan karena Ibu dan Ayahnya pergi ke rumah sakit bersama Kakak dan Adiknya."Harus mulai dari mana aku?" Dia menatap sekujur tubuhnya yang menjadi s
"Begini kan bagus, Mas. Dua gram, apa itu? Cilik banget." gerutu Nawangsih sembari melihat gelang bintang-bintang seberat lima gram yang menghiasi pergelangan tangannya setelah Suryawijaya langsung membelikannya di toko emas langganan Ibunya."Buat Mbak Keneswari saja mampu puluhan jutah... buat aku, dua gram. Apa itu? Pilih kasih!"Suryawijaya memasang mimik wajah tersiksa. Selain sedang dalam masa persahabatan yang harus menerima seadanya sahabat dengan luapang dada dan hati yang ikhlas, dia tidak dapat protes."Keneswari itu tanggungan Ibu, bukan aku. Ya memang tanggunganku kalau Ibu tidak ambil alih. Jadi kamu jangan iri. Jangan nambah bebanku. Itu perbuatan tidak baik, adik dan sahabat kok tidak memahami kakaknya."Ooo... Astaga, Suryawijaya mulai banyak bicara itu pertanda dia dalam keadaan baik.Nawangsih menurunkan tangannya ke sisi tubuh, menyingkirkan sebentar emas itu dari pandangannya agar dapat melihat wajah Suryawijaya dengan lekat."Aku sih pasti menjadi bebanmu, Mas. Ba
"Aku tidak mengganggu, Nawangsih. Ibu. Aku bersumpah. Kita hanya bercanda-canda." Suryawijaya mengaku di hadapan Ibunya yang meminta penjelasan. Tetapi penjelasanya tidak mempengaruhi rasa curiga Ibunya."Kamu memangnya bisa bercanda?""Bisa saja... Aku ini juga punya darah pelawak kok." Suryawijaya menghela napas. Baiklah, tiada gunanya bercanda dengan Ibunya, wanita itu terlalu peka akan batin anaknya.Suryawijaya menatap Ibunya. "Kami bersahabat sekarang, dan kami ingin memulai perubahan itu dengan berteman baik.""Berteman baik?"Suryawijaya mengamati Ibunya melihat sekeliling. "Ada apa, Ibu? Mau membicarakan sesuatu yang rahasia dan penting?"Ibunya mengangguk. "Kamu ikut ke kantor sekarang, Ayahanda sudah ada yang jaga."Suryawijaya mengikuti Ibunya dengan tidak tenang. Persoalan cinta dengan adik angkat pun tidak ada habisnya bahkan ketika dia sudah menyerah bagaimana nasibnya sendiri kelak. Mungkin dialah yang akan menjadi jomblo abadi.Suryawijaya menghidupkan steker lampu kar
Nawangsih menghela napas setelah keluar dari kamar ayahnya, meninggalkan Suryawijaya dan Ayahnya yang kembali membahas pekerjaan.Di dapur, tak ada siapapun kecuali dia dan cicak di atas plafon."Ya Tuhan, di saat aku ingin menjauh dan melupakan semuanya. Restu itu hadir tanpa aku duga. Tapi aku merasa tidak mengerti harus memilih jalan mana. Menikah atau tetap menjadi sahabat selamanya."Gadis itu termenung, membiarkan benaknya bicara dan berdebat. Begitupun Suryawijaya, ruang kerja ayahnya adalah tempatnya menepi setelah pembicaraan dengan ayahnya selesai."Tak ada yang lebih menentramkan hati ketimbang utuhnya sebuah keluarga. Terlebih setelah Ayahanda sakit, keluargaku masih terus di sorot media. Sekarang mungkin benar apa yang di katakan Keneswari dulu, jika apa yang terjadi antara aku dan Nawangsih adalah sesuatu yang justru akan menodai harkat dan martabat keluarga ini."Suryawijaya menghembuskan napas sambil meraba kebenaran dalam setiap kata Keneswari. Dia mengangguk samar dan
Hari-hari kembali melaju meninggalkan jejak, menjadi momen yang terus menguatkan beragam kegundahan Nawangsih dan Suryawijaya selama berpisah. Meski begitu segalanya terasa seperti angin lalu. Rasa rindu itu tidak lagi menjadi beban, rasa khawatir itu tetap ada walau terkesan biasa saja. Suryawijaya tenang Nawangsih di rumah bersama keluarganya, sementara dia tinggal bersama keluarga kakeknya seolah keadilan tetap di tegakkan oleh orang tua mereka. Keduanya memiliki pengawasan hingga tak perlu risau berjauhan.Suryawijaya yang memiliki jiwa seni dan petualang tinggi mulai mendedikasikan diri pada dua hal-hal itu dalam prespektif yang positif.Lelaki itu mulai membuka workshop dan enterpreneur di Australia sekaligus mengembangkan bakat melukisnya dengan pelukis-pelukis handal maupun jalanan. Sementara pekerjaan tetapnya masih memantau sapi-sapi yang menghasilkan susu berkualitas tinggi entah sampai kapan hukuman itu berlanjut, dia hanya perlu pasrah dan menunggu karena ituNawangsih pun