Kata-kata Suryawijaya yang diucapkan dengan keyakinan penuh itu memberi efek samping bagi Nawangsih. "Kira-kira di hukum apa, ya? Padahal tadi ibu yang pengen karena sudah lama tidak mendapat ruang untuk berekspresi." batinnya kecut seraya menambahkan. "Apalagi ini ada Mbak Keneswari, lengkap sudah hukuman ini. Malu-maluin aku sendiri!" Ia menepuk dahi.Tersemat rasa gelogok kenapa harus ada perempuan menawan itu yang kadang kala berkata dengan lembut nan manja khas putri kerajaan kepada Suryawijaya yang acuh tak acuh kepadanya. "Jadi selain hobi melukis, Mas Surya suka apa saja?" tanya Keneswari. Hanya suara dia yang memenuhi mobil. Sementara Nawangsih dan Citra lebih banyak diam sambil terus bergenggaman tangan saling menguatkan."Saya suka apa saja yang menurut saya pantas untuk disukai." jawab Suryawijaya. Jalanan yang dilewati semakin berkelok dan sempit juga bergeronjal. "Apa saya pantas, Mas?" Keneswari memiringkan tubuhnya hingga menghadap ke arah Suryawijaya."Pantas saja."
"Kencan berempat?" Nawangsih dan Citra membeo sembari saling pandang. Mereka tidak menduga bahwa hukuman yang sejak tadi menakutkan bagi mereka adalah kencan?"Tidak mau?" tanya Suryawijaya, mencari batu karang yang bisa dijadikan tempat duduk."Ya-ya, mau." Nawangsih tergagap. "Tapi kan Ayahanda dan Ibunda ada di sana. Kalau ketahuan gimana?""Orang kencannya cuma ngobrol." Suryawijaya tersenyum lebar. "Mau kencan yang bagaimana memangnya?"“Mas Surya sudah tau!" tukas Nawangsih sambil menahan dress-nya agar tidak berkibar bebas.Suryawijaya meringis sebentar, ditatapnya Bimo yang bergeming di belakang Citra."Kecil-kecil cabe rawit, Mas. Maunya yang pedas-pedas kencannya." kekeh Suryawijaya."Adik kita memang perlu di hukum, Mas. Semakin besar semakin berani sepertinya." Bimo memberikan dukungan.Nawangsih yang menyandarkan tubuhnya di batu karang cemberut. "Mas Bimo juga ikut-ikutan! Tuh lihat, Rara juga cemberut karena kencan yang Mas Bimo berikan di luar ekspektasi!" cibir Nawangs
Pandu terkekeh-kekeh sembari mendatangi kedua gadis yang masih menanggung malu akan kejadian yang menimpa mereka. Citra berpikir tamat sudah riwayatnya, terkapar tak berdaya dan semakin merasa bukan mantu idaman mereka."Napa? Mau jemuran?" selorohnya seraya berjongkok di depan mereka. Dia terkekeh lagi saat mengabadikan pose itu dengan kamera ponselnya."Bangun, bangun. Nanti kalian jadi kering lho, atau memang lagi cap—,""Gak! Siapa yang caper." potong kedua gadis itu bersamaan. "Mas Pandu jangan berpikir buruk."Pandu terkekeh lagi saat kedua wajah yang slalu berada di dekat ibunya memerah."Lagian kalian aneh, cuma lihat Mbak Keneswari saja jadi salah fokus.""Hush!" sergah Citra setelah menolehkan kepala.Suryawijaya, Bimo dan Keneswari berjalan ke arah mereka dengan senyum yang di tahan-tahan. "Nah-kan, Nah-kan, bakal jadi bahan candaan nanti!" gumamnya sambil memasang topinya lagi di atas kepala."Tenang..." ucap Pandu, membantu Nawangsih membersihkan punggung dan rambutnya dar
Suryawijaya sedang dipenuhi kegelisahan semenjak dimulainya jam pasir yang akan menghitung waktu dan kehidupan yang kelak menentukan masa depan dan harapannya, waktu yang akan di isi dengan perjuangan. Meski satu tahun terasa lama, tapi tidak jika kembali dilihatnya masalah-masalah besar yang terjadi di Tirtodiningratan.Kegelisahan terbesar tentu berasal dari Nawangsih. Sejak berakhirnya piknik yang terasa pahit dan manis secara bersamaan, gadis itu terlihat menarik diri. Nawangsih lebih suka mengikuti ibunya ke luar rumah untuk bekerja dengan maksud ia bisa melihat dan merasakan langsung bagaimana ibunya bereaksi saat berbaur dengan masyarakat atau instansi pemerintah.Suryawijaya mencoret setiap tanggal yang dilewatinya tanpa hasil maksimal. Genap sebulan ia wira-wiri ke Tirtodiningratan untuk mengobrol, meriset dan bertemu dua gadis itu. Keneswari dan Dyah."Aku masih gengsi untuk meminta bantuan Ayahanda. Beliau pasti hanya menertawakan perjuanganku nanti." Suryawijaya membaringk
Suryawijaya bicara sendiri dan menyumpahi Nawangsih selama beberapa menit. Tapi selanjutnya, senyum lebar mengembang di wajahnya, Suryawijaya terlihat cukup senang mendengar penjelasan dari Nawangsih. Namun sayangnya gadis itu tidak bersedia memuaskan seluruh rasa kangennya di keheningan malam yang dingin. "Baiklah, masih ada besok pagi. Sekarang biarlah dia makan keju dan susu sepuasnya sementara aku, tidak jauh berbeda darinya. Makan..." Suryawijaya mencomot keju dari koper seraya memakannya dengan pelan-pelan.Tanpa Suryawijaya sadari, Nawangsih terkikik geli di belakang pintu. "Lihat, masih suka senewen sendiri. Lagian baru juga sebulan sudah gitu, coba kalau setahun. Ndomas pasti akan mengguncang rumah dengan kelakuannya yang terus marah-marah." Ia geleng-geleng kepala sembari mengurai senyumnya.••• Istana Adiguna Pangarep sedang dipenuhi kebahagiaan sepulangnya putri kesayangan Kaysan. Beberapa acara sempat di gelar untuk temu kangen dengan sanak saudara dan kerabat dekat. Sek
Matahari teduh menemani setiap langkah demi langkah kelima saudara itu selama menikmati panorama kota yang berubah menurut Dalilah. "Udah hampir tengah hari, ayo pulang!" ajak Pandu. "Nanti Ayahanda marah-marah kalau kita terlambat." Dalilah dan Nawangsih yang baru membayar jajanan pasar di selasar pasar legi menoleh kepadanya. "Enggak sowan sekalian? Pumpung dekat sama makam raja Mataram." ucap Dalilah sembari menghampiri tiga perjaka yang hanya berdiri sembari melipat kedua tangannya di depan dada."Besok aja Mbak sekalian puasa mutihan." jawab Pandu. "Ayo pulang!" Demi menjaga kepercayaan sang ayah yang galak itu, kelima bersaudara itu masuk ke dalam mobil. Suryawijaya menoleh ke arah Nawangsih. Lelaki itu memberi senyum meski masih harus dipisahkan oleh Pandu yang berada di tengah-tengah mereka.Setibanya di rumah, meskipun hanya sesederhana menikmati suasana kota sambil bercerita dan tertawa bersama. Kelima bersaudara itu tampak senang ketika keluar dari mobil. "Terima kasih a
Air mata merebak di pelupuk mata Kaysan. Dia merasakan situasi yang amat begitu hebat di dadanya. “Ini semua tidaklah mudah. Saya yakin mereka sanggup melewatinya.”Beliau menghirup oksigen banyak-banyak seraya berbalik untuk mengusap wajahnya yang basah oleh kenyataan. Naas, pemandangan yang luar biasa langka sekaligus memilukan itu di lihat oleh Nawangsih.Nawangsih memandanginya dengan takjub seraya tersenyum rikuh. Niat hati dia hanya ingin mengintip Suryawijaya dan Dalilah dari tempat yang biasa ia lewati. Ternyata tempat sepi itu dan jarang orang memilih jalan itu untuk pergi ke taman yang dikhususkan untuk anggota keluarga inti justru dia menemui sang ayah di sana. Di tempat yang seharusnya tidak dia kunjungi. "Ayahanda." Nawangsih menghampiri Kaysan dengan pikiran yang diselimuti banyak pertanyaan. "Ayahanda baik-baik saja?" tanyanya dengan ekspresi risau. Nawangsih bahkan bisa mengamati mata ayahnya masih sembap dan berkaca-kaca. "Ayahanda kenapa?"Kaysan mengusap wajahnya s
Suryawijaya memandangi kakaknya yang berkali-kali menghela napas dan mengembuskannya.“Kalau aku sudah mapan, semua bakal mudah terlaksanakan. Tidak terkatung-katung begini.”Dalilah mengerutkan kening. Sebuah pertanyaan menggema di kepala terus menerus sejak tadi sore. Gadis itu terlihat memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang harus dia simpulkan dari semua masalah yang terjadi. Meski sejujurnya sudah ada rasa ragu untuk masuk ke dalam urusan internal trah itu.“Harusnya Tirtodiningratan dan Adiguna Pangarep dapat bekerja sama sebagai penggiat budaya. Itu paling mudah.”Suryawijaya tersenyum melihat kakaknya begitu serius membicarakan itu. "Pusing?" tanyanya seraya duduk dan menaruh kopi di meja. Dalilah membuang napas. "Jujur aja, Sur. Seperti yang sudah kita bahas tadi sore, persoalan ini seharusnya bukan untukmu, bukan tanggung jawabmu. Tapi Mbak gak nyangka Ayahanda justru mengizinkan dan keluarga Romo Adhiwiryo juga kooperatif."Wajah Suryawijaya berubah kelam, lalu setengah mer