Kicau burung terdengar gacor di taman Tirtodiningratan selagi Keneswari menghadap ayahnya dengan raut wajah putus asa. Dia sudah yakin dengan keputusannya. Hari ini. Dia tahu caranya menyudahi rayuan untuk membuat Suryawijaya jatuh cinta sepenuhnya padanya. Keneswari menyerah. Kutukan waktu dan kebersamaan tidak mengubah perasaan Suryawijaya kepadanya. Keneswari tahu serajin apa pun dia mempelajari Suryawijaya, mereka tidak mungkin menyatu dalam keharmonisan rumah tangga sebab slalu ada bayang-bayang Nawangsih yang memiliki kuasa sendiri bagi Suryawijaya."Aku sudah tidak bisa melanjutkan perjodohan ini, Ayah. Aku lelah menjadi pengemis cinta!" adu Keneswari seraya menunduk. Sorot mata tajam Adhiwiryo masih membuatnya takut. Adhiwiryo menyesap kopinya sambil mengernyit. "Ada masalah apa?"Keneswari mengangkat tatapannya. "Ayah sudah tahu masalahnya apa, aku kehilangan harga diri hanya demi dicintai Mas Suryawijaya. Ayah tega melihatku seperti ini?"Adhiwiryo meletakkan cangkirnya den
Monolog panjang dalam sanubari Suryawijaya terus menemani setiap langkah demi langkah menuju kamar orang tuanya setelah mengantar Keneswari pulang dan meninggalkan Iwan di sana agar melindungi Keneswari dari hal-hal yang tidak diinginkan.Keneswari sempat menanyakan kepadanya apanya yang sulit saat menjalani kisah cinta mereka sebelum pergi ke dalam rumah.Suryawijaya menjawab sambil mengusap kepala Keneswari, "Kamu cantik, tapi itu bukan yang saya cari, Kenes. Asmaraku bukan hanya tentang kita saja, tapi seluruh pelajaran IPS. Sosiologi, sejarah, geografi, ekonomi dan akutansi. Belum lagi tambahannya, politik dan budaya. Saya tahu pasti kamu berat menerima dan menjalaninya. Maka saya ingin melihatmu bebas, kepakkan sayapmu setinggi mungkin."Keneswari memaksa senyumnya seraya menggenggam tangan Suryawijaya. "Lepaskan aku secara perlahan, Mas. Jangan buru-buru pergi."Suryawijaya berjanji. "Saya harap kecantikanmu akan slalu mempermudahmu menemukan cinta sejati. Saya berdoa untukmu."M
Semarak pesta natal menjadi hiburan penuh makna bagi Suryawijaya setelah menginjakkan kaki selama dua hari di London. Kemeriahan dan suka cita itu terasa begitu menghangatkan suasananya yang sepi akan perhatian.Suryawijaya menggenggam secangkir kopi hangat sambil berharap Nawangsih tidak memiliki kekasih, melupakannya atau yang lebih parah seluruh rasa yang pernah diberikan kepadanya lenyap bersama waktu yang berlalu.Suryawijaya menyesap kopinya seraya menghela napas, dia menunduk untuk kembali melihat iring-iringan pawai dari balkon kamar hotelnya."Sudah waktunya aku menemuimu, Tania."Lelaki itu menggunakan jaket tebal dan syal untuk membungkus bagian tubuh dan lehernya agar tidak meriang dalam kesendirian sebelum menyusuri jalanan yang tak jauh dari tempat tinggal Nawangsih.Suryawijaya menyunggingkan senyum, teringat masa kecil Nawangsih yang menyukai Cinderella dan pangeran berkuda putih. Sejenak dia berhenti untuk menerka-nerka apakah itu alasan Nawangsih memilih Inggris menja
Andrew langsung menyalami Suryawijaya dengan senyum senang tanpa melepas Nawangsih untuk menunjukkan bahwa dia sudah menjaganya dengan baik seperti dawuh yang diberikan untuknya walau Suryawijaya sebenarnya tidak tahu itu semua."Saya Andrew, Mas. Teman hidup Tania di London."Nawangsih meringis geli, senang mendengar harapan lelaki yang masih menyalami Suryawijaya dengan percaya diri itu. Pasti sekarang, kakaknya itu sedang ribut dengan pikirannya sendiri."Senang bisa melihat saudara Tania lagi di sini karena dia nggak mau pulang tapi sering merindukan saudara-saudaranya di rumah." Andrew melepas tangannya, lalu menatap Nawangsih."Di peluk dong kakaknya, katanya kangen keluarga."Nawangsih menatap Andrew yang tidak bisa tidak tersenyum manis kepadanya seolah dia ingin menunjukkan kepekaannya terhadap pertemuannya dengan keluarga.Ngapa sih Mas Andrew pakai nyuruh-nyuruh segala? Nggak tahu apa dia itu laki-laki yang aku hindari sampai bisa di depan matamu sekarang? Sebel.Nawangsih t
Nawangsih mengusap wajahnya dengan frustasi. Mandi air hangat tidak melegakan, tidak pula membuatnya tenang. Kecanggungan itu dan pemikiran yang buru-buru membuatnya lupa akan sesuatu."Aku tidak mungkin keluar dengan piyama handuk begini. Bisa-bisa aku dikira cari perhatian lagi!" tukas Nawangsih sambil mendesis dan menghentak-hentakkan kakinya."Ibunda kenapa tidak bilang-bilang Mas Surya datang? Apa Ibu marah? Arghhhh..., Aku lupa tidak mengabari Ibu seminggu ini. Kualat... kualat." katanya lalu... Bruk.Bunyi gedebuk dan suara gaduh benda-benda jatuh membuat Suryawijaya memalingkan wajah dan gegas menuju kamar mandi."Tania..., Tania..." Suryawijaya mengetuk pintu dengan panik. "Kamu kenapa?"Wajah Nawangsih kian padam. Dia menggelengkan kepala sambil mengurut kakinya yang mungkin keseleo."Hidupku tidak akan tenang lagi. Sudah terpeleset, malu lagi. Memang betul Mas Surya itu Asem kecut gulo legi, Mas Surya super nyebelin." serunya dengan kesal.BRAK.Pintu terpentang dengan bring
Nawangsih akhirnya mengangguk demi menghindari Suryawijaya dengan cepat sekaligus untuk mengobati rindunya yang menggunung."Aku akan mengatur kepulanganku, Mas. Tapi tidak dalam waktu dekat ini. Ada beberapa tanggung jawab yang harus aku selesaikan dulu." Nawangsih mengaku dengan jujur, kegiatannya dengan Andrew masih padat merayap, tidak mungkin dia langsung pergi dan membuat pria itu menanggung semuanya sendiri.Suryawijaya mengangguk. "Aku akan menunggumu siap, kita pulang bersama!" ucapnya tegas, dia harus selangkah lebih berani sebelum Andrew semakin memberikan perhatian untuk Nawangsih dan segalanya akan semakin rumit."Terserah Mas Surya saja, tapi jangan menggangguku." Nawangsih menghidupkan kompor listrik, "Sudah makan? Ibunda dan Ayahanda bagaimana kabarnya?"Secercah harapan menghampiri Suryawijaya ketika Nawangsih membuka diri tanpa perlu mendebatkan perihal masalah yang telah memisahkan mereka."Belum, kamu mau masak?" Suryawijaya mendekat, dia melihat persediaan makan Na
Suryawijaya mengusapkan kedua telapak tangan seraya menatap sarung tangan merah muda yang terasa sempit di tangannya namun begitu nyaman di genggamannya. Seulas senyum tipis terlihat di wajahnya. "Aku tahu kamu masih jauh dari jangkauanku Tania, tapi mungkin inilah yang membuat kita kembali dekat."Suryawijaya melepas sarung tangannya sebelum membuat secangkir kopi dan menghidupkan penghangat ruang. Kesendirian itu menciptakan suasana syahdu yang berujung perenungan. Suryawijaya bergeming di dekat jendela."Apa ini karma untukmu setelah mengecewakan Nawangsih karena jatuh suka pada Keneswari?" Suryawijaya menyesap kopinya. Tatapannya pergi entah ke mana. Terlihat tidak fokus. "Tapi semua yang dia harapkan berjalan lancar. Kepergianmu mendamaikan keadaan. Dia harus ingat itu. Jadi harusnya wajar aku ingin dia kembali lagi ke pelukanku setelah aku jomblo?"Suryawijaya menghela napas. "Butuh waktu, Nawangsih pasti sekarang sedang berdua dengan Andrew dan aku... tidak bisa ke sana!" Sury
Perjalanan menuju kediaman Andrew membutuhkan waktu lebih lama di musim dingin. Andrew nampak membawa mobilnya dengan hati-hati, takut tergelincir dan ingin memberikan kesan yang baik di hadapan Suryawijaya tanpa tahu kakak beradik itu sedang menipu dirinya. "Baru pertama kali ke London atau sudah pernah main ke sini, Mas?" Andrew memulai pembicaraan, mengusir senyap yang mengisi mobilnya."Baru pertama kali." Suryawijaya tersenyum canggung. "Ini juga karena saya ingin menjemput Nawangsih untuk pulang ke rumah sebentar, menjenguk Ayah."Andrew mengangguk khidmat. Dengan pengertian dia memperlancar niat Suryawijaya membawa Nawangsih pulang ke Jawa."Kebetulan Tania memang kerja denganku dan Papa. Kita bisa memberi cuti karena sekarang memang libur panjang. Natal, tahun baru dan liburan musim dingin." Nawangsih mengerucutkan bibir. "Malah di jelasin, Mas Drew tau nggak sih kalau laki-laki itu cinta pertamaku dan sedang aku hindari. Kalau tau paling juga melongo dan nyesel sudah masukin