Sejak tadi, Ayu merasa ada sesuatu yang berbeda di udara. Bukan angin atau cuaca, tapi suasana hati yang aneh. Ia membersihkan ruang keluarga, menyapu dan mengepel lantai marmer yang luas hingga mengkilap seperti cermin. Di atas meja panjang, ia menata vas berisi bunga segar yang datang dari toko langganan Nadine.
Dengan senyum yang merekah manis. Ayu menatanya dengan lembut, tapi jemarinya terasa seperti canggung. Karena Ayu merasa ada tatapan yang menempel di punggungnya dan tidak ia tak perlu menoleh untuk tahu siapa pemiliknya. Revan Ardiansyah. Sudah beberapa kali pria itu melintasi ruang keluarga, padahal biasanya ia hanya muncul saat hendak keluar rumah atau kembali ke ruang kerja. Tapi kali ini, ia duduk di salah satu sofa, membawa laptop dan gelas yang berisi teh hangat buatannya. Pandangan Pria itu tidak hanya terfokus pada layar datar yang ada di hadapannya saja, tetapi juga sesekali mencuri pandang ke arahnya. Ayu menunduk dalam-dalam, menyembunyikan rona gugup yang perlahan merambat ke pipi. Ia ingat pertengkaran tadi. Suara Nadine yang penuh kebencian, suara Revan yang santai tapi sebenarnya menyimpan lelah dan hancur yang bersamaan. Kini berselang beberapa jam setelah pertengkaran, pria itu duduk di sana. Diam, tapi penuh arti. Tidak berkata apa-apa, tapi menghadirkan ribuan pertanyaan di kepala Ayu. "Kamu suka bunga Lily?" Suara itu mengejutkannya. Ayu refleks menoleh. Revan masih duduk di sofa, namun pandangannya tertuju pada vas bunga yang baru saja ia susun. "I-iya, Pak. Warnanya cantik, putih dan bersih,” Jawabnya. Revan mengangguk pelan. Senyum tipis muncul di sudut bibirnya, meski terlihat sangat samar. "Apa kamu tahu, setiap warna bunga Lily itu memiliki artinya tersendiri." Ayu menggeleng pelan. "Lily putih biasanya melambangkan kemurnian dan kesucian, sementara lily kuning melambangkan kebahagiaan dan persahabatan. Lily merah mewakili cinta dan gairah, sedangkan lily pink melambangkan kelembutan, keindahan, dan rasa syukur," Jelas Revan. Ayu sedikit terperangah, karena ia baru tahu setiap warna bunga Lily memiliki makna tersendiri. "Dari mana Tuan tau semua itu?" Ayu sangat antusias mendengarnya. "Ibuku dulu suka menanam bunga Lily di rumahnya. Dulu aku sering membantu, jadi sedikit banyaknya tahu tentang makna dan arti setiap warna karena belajar dari beliau." "Tuan hebat. Tuan bukan hanya mengerti tentang dunia bisnis, tapi tentang arti bunga pun juga tahu," Ujar Ayu bukan sekedar pujian biasa, tetapi ia memang kagum dengan pengetahuannya. "Aku tidak sehebat itu," Revan merendah. "Tuan terlalu merendah. Jarang-jarang loh ada pria yang mengerti tentang bunga. kebanyakan dari mereka hanya tahu nama tanpa tahu arti. Ayu kembali tersenyum, tapi senyum yang kali ini jauh lebih tulus dari biasanya. Di dalam senyum itu terlihat kekaguman yang didukung dengan sorot mata yang berbinar. Sedangkan Revan, hatinya seketika menghangat. Padahal itu hanyalah hal receh yang tak bisa dibanggakan. Tapi di mata Ayu, hal receh itu membuatnya kagum hingga pujian itu terlontar dari bibirnya. Dan karena hal itu pula lah Revan merasa dihargai. "Hmm Tuan, boleh aku melanjutkan pekerjaan ku?" "Lanjutkan saja," Sahut Revan "Jangan takut bicara padaku. Karena aku bukan orang yang, menakutkan." Lanjutnya. “Iya Tuan,” Ayu mengangguk cepat. Lalu kembali mengatur posisi vas bunga. Setelah semuanya selesai, Ayu membawa peralatan kebersihannya ke belakang. Tetapi baru lima langkah ia berjalan, Ayu menoleh bersamaan dengan Revan yang juga melihat ke arahnya. Ayu kembali terlihat seulas senyum, hanya senyum simpul yang jarang sekali diperlihatkan oleh pria itu. Secepatnya Ayu berbalik, melanjutkan langkah dengan jantung yang berdegup kencang. "Jangan terlalu larut, jika tidak ingin mati tenggelam." Ayu menghentikan langkah, mencari sumber suara yang berasal dari Bu Marni yang berdiri di sisi pintu dapur, dengan ekspresi yang tidak Ayu mengerti. "Maksudnya apa ya Bu?" Ayu bertanya dengan sopan. Tidak ada penjelasan dan tidak ada jawaban. Bu Marni berlalu begitu saja, meninggalkan Ayu dengan tanda tanya di kepala. Ayu bingung tidak mengerti. Apakah kata-kata itu sebuah peringatan, atau hanya sekedar kalimat sindiran. Merasa tidak ada yang salah pada dirinya, Ayu melanjutkan langkah. Menganggap ucapan itu hanyalah sekedar angin lalu saja. Seharian itu, setiap langkahnya Ayu merasa seperti sedang diawasi. Bukan dengan tatapan mengintimidasi, tapi seperti ada seseorang yang memperhatikan untuk memastikan ia baik-baik saja. Saat Ayu tanpa sengaja menjatuhkan kain lap, Revan bangkit dan mengambilkannya sebelum Ayu sempat membungkuk. "Hati-hati. Lantai masih basah." Ucapnya mengingatkan. Ayu terpaku. Jemarinya menyentuh kain lap bersamaan dengan tangan Revan. Sekilas mata mereka bertemu, dan untuk sesaat dunia terasa berhenti berputar. "M-maaf, Tuan," Cicit Ayu gugup. "Tak apa. Lain kali berhati-hatilah," Ia kembali mengingatkan Revan berdiri dan berlalu meninggalkannya. Kali ini, Ayu tidak bisa lagi berpura-pura tidak merasakan apa-apa. Karena ada sesuatu di antara mereka, masih terlalu dini untuk disebut perasaan. Tapi cukup kuat untuk mengguncang hati yang selama ini hanya tahu cara tunduk dan bekerja. Dari arah dapur, Bu Marni melirik Ayu dengan mata yang semakin penuh makna. "Hati-hati, Yu. Tuan muda itu bukan laki-laki biasa. Dan rumah ini, lebih banyak rahasia daripada pintunya." Lagi, Bu Marni mengucapkan kata-kata yang semakin tidak ia mengerti. Ayu tidak menjawab. Ia hanya menunduk, tapi hatinya tak bisa dibohongi.Setelah makan malam yang aneh. Revan mengikuti Nadine yang mengajaknya duduk di ruang tamu. Revan mengambil ponsel lalu memeriksanya sejenak. Tepat di sebelahnya Nadine masih menempel seperti lem, sesekali menggoda dengan ujung jari yang menyentuh lengan suaminya."Revan, kamu nggak ingin ngobrol sebentar? Kita udah lama banget nggak ngobrol berdua seperti ini?" Nadine berkata dengan nada manja yang terdengar dibuat-buat.Revan hanya menoleh sekilas, lalu mengalihkan pandangan ke layar ponselnya. "Aku masih ada kerjaan."“Yaudah, aku temenin, ya? Sambil bikin kamu teh lagi?” Nadine memaksa senyum.Tak ada respons dari Revan. Ia beranjak dan melangkah ke ruang kerjanya tanpa sepatah kata pun.Tapi Nadine tidak menyerah. Ia menatap punggung Revan yang menjauh dan mengembuskan napas panjang. Kesempatan itu tidak boleh lewat. Ia segera masuk ke dapur, mengaduk teh hangat yang sudah ia siapkan. Tapi kali ini, ia menambahkan satu hal lagi ke dalam cangkir itu. Sesuatu itu adalah setetes cai
Sudah tiga hari berlalu sejak Nadine kembali dari Paris. Tiga hari penuh kecemasan, panik, dan ketakutan yang dirasakan sendiri. Namun pagi tadi, saat pulang dari klinik kandungan dengan hasil pemeriksaan yang menegaskan bahwa usia kandungannya telah memasuki minggu kelima. Nadine tahu bahwa ia tidak punya waktu lagi. Ia harus bertindak sekarang.Dan sore ini, semuanya harus dimulai.Revan belum pulang. Rumah besar itu terasa hening seperti biasa, hanya sesekali terdengar suara Ayu dari dapur yang sedang menyiapkan makan malam. Nadine berdiri di depan cermin besar di kamar, mengenakan gaun satin berwarna merah marun yang melekat sempurna di tubuh rampingnya. Gaun itu panjang, tapi bagian dadanya sangat terbuka. Tali tipis menggantung di bahu, dan belahan tinggi di paha memperlihatkan kulit putihnya yang terawat.Makeup-nya tipis tapi menggoda. Bibirnya merah basah. Rambutnya digerai lembut dengan aroma parfum mahal yang baru ia beli dari Paris.Nadine menatap refleksi dirinya sendiri.
Tiga hari telah berlalu sejak Nadine kembali dari Paris, mengakhiri perjalanan bulan madu yang mestinya menjadi awal baru bagi rumah tangganya bersama Revan. Tapi kenyataannya, kebersamaan itu malah semakin memperjelas jurang di antara mereka. Revan pulang lebih dulu ke Indonesia, meninggalkan Nadine sendiri di kota cinta yang justru jadi saksi bisu pengkhianatannya bersama Alvin.Pagi itu, Nadine terbangun dengan rasa aneh di tubuhnya. Kepalanya terasa berat, perutnya mual, dan dadanya nyeri seperti tertindih beban tak kasat mata. Ia duduk di tepi ranjang, menatap cermin besar di hadapannya. Wajahnya pucat. Mata indah yang biasanya bersinar kini sayu dan kehilangan cahaya. Ia menoleh ke arah kalender kecil di meja rias."Tiga hari...? Harusnya sudah datang..." gumamnya pelan.Ia menggigit bibir bawahnya, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Dengan tangan gemetar, ia membuka aplikasi di ponselnya, mencatat siklus bulanan yang selalu diawasi dengan rapi. Tanggal terakhir ia d
Angin bertiup pelan, membawa aroma dedaunan basah setelah gerimis. Di sudut belakang rumah, tepat di gudang penyimpanan yang tak pernah dikunjungi siapapun selain Ayu saat membersihkan, Revan berdiri di balik pintu, menunggu dalam diam.Langkah kaki kecil yang dikenalnya begitu dalam akhirnya terdengar di belakangnya. Ayu menunduk, jantungnya berdetak cepat. Ia tahu, tempat itu jauh dari jangkauan pelayan lain. Tapi tetap saja, rasa takut dan bersalah menjalari tubuhnya."Kenapa di sini, Tuan?" bisiknya, menatap lantai usang di bawah kaki.Revan mendekat. “Karena aku tidak tahan lagi, Ayu,” suaranya serak, berat, nyaris seperti erangan rindu yang tak tertahan.Ayu mengangkat wajah. Matanya bergetar. Bibirnya gemetar. "Kalau ada yang tahu...""Tak akan ada yang tahu. Hanya kita, hanya malam ini.” Revan menyentuh pipinya dengan lembut, dan sentuhan itu seolah mencairkan seluruh pertahanan yang Ayu bangun selama ini."Aku takut, tapi kenapa hatiku ini selalu berdebar kalau Tuan ada?" lir
Sore menjelang ketika rumah besar itu mulai senyap kembali. Para pelayan sibuk dengan urusan masing-masing—ada yang sedang menyiram bunga di halaman belakang, ada pula yang sedang mengganti sprei di lantai atas. Ayu baru saja selesai merapikan dapur, tangan mungilnya memutar lap basah di atas meja kayu panjang tempat biasa para pelayan bersandar.Ia mengira Revan sedang beristirahat di kamar. Namun langkah pelan dan suara napas berat yang tiba-tiba muncul dari arah pintu dapur membuatnya menoleh.“Tuan… Revan?”Lelaki itu berdiri di sana, bersandar santai di kusen pintu. Tatapan matanya dalam, hangat, dan ada sesuatu yang Ayu rasakan dari sorot itu—kerinduan yang nyaris menyiksa.“Kamu sendirian?” tanya Revan pelan, melangkah masuk.Ayu menelan ludah. “Iya. Yang lain lagi pada di belakang.”Revan tidak berkata apa-apa. Ia hanya berjalan mendekat, langkahnya pelan tapi pasti, seperti seorang pemburu yang tahu betul mangsanya tidak akan kabur.Ketika jarak mereka hanya tinggal satu jeng
Langit pagi Eropa menyemburatkan cahaya lembut ke dalam kamar hotel mewah tempat Nadine dan Revan menginap. Aroma kopi dari bar kecil di sudut kamar seharusnya mampu membangkitkan semangat siapapun yang baru bangun tidur. Namun, yang menyambut Nadine bukanlah aroma kopi ataupun pelukan hangat suaminya, melainkan pemandangan Revan yang tengah berdiri di dekat pintu dengan koper besar di sampingnya.Nadine yang baru saja memasuki kamar, setelah malamnya menghabiskan waktu di hotel lain bersama Alvin, sontak membeku. Rambutnya masih sedikit berantakan, sisa parfum pria samar-samar menempel di leher bajunya.“Revan?” Tanyanya dengan nada ragu.Revan menoleh pelan, wajahnya datar, nyaris tanpa ekspresi. Tatapannya dingin dan tidak bersahabat, seolah tidak peduli apa pun yang terjadi di sekitar.“Aku pulang hari ini,” Ucapnya singkat.Nadine memicingkan mata, mendekat, menyembunyikan keterkejutan di balik nada suara yang ia buat terdengar wajar. “Hari ini? Tapi bukankah kita masih punya wak