Argio keluar dari mobil sedan hitamnya dengan langkah yang goyah. Matanya terlihat sayu. Argio tampak sedikit tidak seimbang saat berjalan, karena ia telah mengonsumsi banyak minuman beralkohol sebelumnya.
"Sebaiknya kamu berhenti melakukan kebiasaan burukmu itu, Argio. Orang tuamu mungkin akan marah dengan hobi burukmu yang sangat senang ke club dan bermain wanita."
Hendrik terus menggerutu ketika mereka berdua sudah sampai di mansion. Entah sudah berapa kali Hendrik memperingatkan Argio tapi sepertinya anak itu memang kepala batu, sangat keras kepala, dan sulit diatur.
"Sstt ... diamlah Paman. Aku sudah dewasa tidak seharusnya Paman terus mengekangku seperti ini! Aku tahu mana yang baik dan buruk!" balas Argio tanpa menghentikan langkah lebarnya memasuki mansion.
Hendrik mendengus."Dasar keras kepala. Dulu ayahmu tidak seperti ini!" gerutu Hendrik yang dibalas lirikkan malas oleh Argio.
Pria berusia 27 tahunan itu melepaskan jas hitam yang melekat di tubuhnya lalu melempar ke arah Hendrik yang dengan sigap menangkapnya. Pria paruh baya itu mendumel kesal. Hidup dengan gelimang harta dan selalu dimanja sejak bayi membuat Argio bersikap arogan dan keras kepala. Selalu membenarkan apapun yang ia lakukan demi kesenangan pribadi termasuk bermain-main dengan para wanita.
"Sudah kamu siapkan air hangat di bath up?" tanya Argio pada salah satu pelayan pria yang tengah berdiri di depan pintu kamarnya.
"Sudah Tuan, semuanya sudah saya siapkan. Malam ini Tuan ingin makan menu apa?"
Argio mengibas-ngibaskan tangannya."Tidak perlu, aku sudah kenyang. Cukup antarkan secangkir kopi panas ke kamarku. Hari ini aku lembur!"
Pelayan pria itu mengangguk patuh."Baiklah Tuan, kalau begitu saya permisi."
Setelah kepergian pelayan tersebut Argio masuk ke dalam kamar. Ia segera menanggalkan pakaian yang melekat di tubuh kekarnya. Argio bernapas lega dengan begitu nyaman kala tubuhnya berendam di air hangat. Seharian sibuk dengan rutinitasnya membuat tubuhnya terasa penat dan lengket.
Argio memejamkan matanya merasakan air hangat membalut tubuh atletisnya. Sudah menjadi kebiasaan bagi pria itu untuk berolahraga setiap paginya termasuk gym, membuat tubuh Argio begitu proporsional dan berbentuk. Namun, tak lama mata Argio kembali terbuka. Ia teringat dengan wanita muda yang ia pinjamkan uang. Seharusnya wanita itu kembali lagi ke mansion ini. Ia tidak sebaik itu memberikan secara cuma-cuma meski tersirat kasihan.
Sekitar 20 menitan Argio keluar dari kamar mandi setelah selesai membersihkan badannya. Aroma harum shampo yang Argio kenakan menguar dalam kamar megah tersebut. Tampak dalam kamar yang didominasi warna abu-abu tersebut, seorang pelayan pria menyiapkan pakaian yang akan Argio kenakan. Bahkan sekecil apapun, pelayan harus ikut campur termasuk dalam menyiapkan pakaian untuk sang tuan muda yang sudah terbiasa hidup serba ada dan dilayani.
"Apa perempuan muda yang tadi pagi datang ke sini kembali lagi?" tanya Argio sambil mengenakan baju kaos hitam miliknya.
"Tidak, Tuan."
Argio terdiam sejenak. Raut wajahnya tampak menyiratkan sesuatu.
"Keluarlah dari kamarku."
"Baik, Tuan." Pelayan pria itu segera keluar dari kamar Argio.
"Awas saja perempuan itu membohongiku." Meski uang yang ia berikan cukup sedikit di matanya tapi tetap saja ia tidak mau rugi.
•
•Matahari pagi belum sepenuhnya muncul tapi para pelayan di mansion tampak sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Suara dentingan pisau dan aroma sedap makanan yang berasal dari dapur tampak tercium sampai ke area meja makan. Dan pagi-pagi sekali Argio sudah tampak rapi dengan pakaian formal yang selalu membuat ia terlihat tampan dan berwibawa.
"Sudah Paman siapkan jadwalku hari ini?" Argio melontarkan pertanyaan sembari melangkah menuruni anak tangga. Hari ini ia akan menemui salah satu kolega bisnisnya.
Sekadar informasi perusahaan yang kini di bawah pimpinan Argio bergerak di bidang jasa dan perhotelan. Sebelumnya perusahaan itu di pimpin oleh Arga, ayah dari Argio dan setelahnya di pindah tangan pada putra semata wayangnya. Saat ini Arga dan istri tengah menikmati masa-masa tua dan kebersamaan mereka di Surabaya, tempat kelahiran sang istri.
"Sudah. Pagi ini bertemu klien, siang nanti ada rapat dan setelah itu melihat peninjauan proyek."
Argio manggut-manggut. Kini, pria itu menarik kursi di meja makan lalu mendudukkan dirinya. Di atas meja sudah terhidang berbagai menu makanan yang tampak mengepulkan asap.
Baru saja hendak mengambil makanan ucapan seorang pelayan membuat pergerakan Argio terhenti.
"Tuan Muda, ada seorang perempuan yang ingin menemui anda."
"Katakan pada perempuan itu untuk menunggu. Biarkan Argio makan lebih dulu." Bukan Argio yang membalas melainkan Hendrik.
"Kalau begitu saya akan_"
"Tidak perlu!" sela Argio. Ia menoleh menatap Hendrik."Aku akan menemui perempuan itu," ucap Argio bangkit dari tempat duduknya.
"Hei! Argio!"
Pria itu menghiraukan panggilan Hendrik. Ia melangkah lebar ke arah ruang tamu. Sebelah alis Argio terangkat kala melihat sosok wanita yang tengah duduk membelakanginya. Wanita itu tampak menelisik ruangan megah miliknya.
Suara ketukan sepatu pada lantai membuat wanita itu menoleh. Argio dengan wajah datar dengan sorot mata yang tajam, melangkah menghampiri wanita tersebut. Naya, wanita itu langsung bangkit dari tempat duduknya kala menyadari kehadiran Argio.
Argio mendudukkan dirinya di single sofa yang berhadapan langsung dengan Naya yang tampak kikuk dan gugup. Mendadak suasana dalam ruangan itu menguar aura tak nyaman bagi Naya. Ia sempat merutuki keputusannya menjual sesuatu dalam dirinya. Dan sekarang ia benar-benar takut untuk memberikan keperawannya.
"Aku kira kamu tidak akan kembali lagi," ucapnya dengan raut wajah angkuh dan tersirat sindiran dari ucapan tersebut.
Naya memberanikan diri menatap manik hitam kelam milik Argio."Te-tentu saja saya akan kembali, Tuan sudah sudah sangat baik meminjamkan uang."
"Meminjamkan?"
Raut wajah Naya semakin pias mendengar ucapan yang terlontar dari mulut Argio. Apa ada yang salah dengan ucapannya? gumam Naya dalam hati.
"Aku tidak meminjamkan uang tapi menukar sesuatu yang kau tawarkan."
Kedua mata Naya semakin membulat sempurna. Suaranya langsung tercekat di tenggorokan.
"Maksud Tuan, saya harus menyerahkan__"
"Ya!"
Kedua mata Naya seketika bergulir ke sana kemari. Argio bangkit dari tempat duduknya melangkah mendekati Naya. Pria itu mendekatkan bibirnya ke telinga wanita muda yang diliputi ketakutan.
"Malam ini datanglah kembali ke mansion." Bisikan dan deru napas pria itu membuat sekujur tubuh Naya meremang.
Apakah ia harus memberikan keperawannya? Ia benar-benar belum siap tapi uangnya sudah ia pakai untuk mengobatkan ibunya. Naya melirik Argio yang tampak menampilkan senyuman yang lebih mirip seringai jahat bagi Naya.
Argio menipiskan bibirnya melihat gelagat wanita itu tampak ketakutan termasuk dari raut wajahnya. Ucapannya mampu menciptakan rasa takut yang bersarang dalam benak wanita itu.
Sepanjang menyusuri jalanan aspal, Naya tampak melamun dengan sorot mata penuh kekosongan. Raut wajahnya tampak cemas bercampur takut. Setelah keluar dari mansion itu ia diliputi kecemasan. Meskipun begitu ia harus memberikan apa yang pria itu inginkan sebagai imbalan atas uang yang diberikan."Woy! Jalan itu pakai mata! Hampir saja tertabrak!" Teriakan seorang pengendara sepeda motor yang merem mendadak kala Naya berjalan terlalu ke tengah."Fokus-fokus Naya" Ia menepuk-nepuk kedua pipinya pelan. Terlalu memikirkan masalah ini membuat ia tidak fokus dan hampir tertabrak. Bahkan kepalanya terasa pusing dan ingin meledak.Wanita muda itu mengusap wajahnya kasar lalu kembali melanjutkan langkahnya untuk kembali ke rumah sakit. Yaa, beberapa malam ini ia menginap di rumah sakit. Sesekali ia pulang ke rumah untuk sekadar mencuci pakaian."Dokter Renal! Kapan ibu saya di operasi?" tanya Naya ketika tak sengaja berpapasan dengan dokter Renal di lorong rumah sak
"Sebaiknya kamu pulang dulu, pekerjaannya di lanjut besok pagi saja," tutur Merry lembut. Wanita berusia 45 tahunan itu begitu hangat pada Naya."Ta-tapi bagaimana bila dia marah?" balas Naya menatap ke arah tangga.Merry mengusap lembut pundak Naya."Nanti Bibi yang akan mengatakan pada tuan Argio. Jangan dimasukkan ke dalam hati ucapan tuan Argio tadi, dia memang seperti itu cara bicaranya. Tapi dia sangat baik."Naya hanya tersenyum tipis menanggapi ucapan wanita tersebut. Bagi Naya yang baru mengenal Argio, ucapan pria itu sangat menyakitkan dan panas di telinga. Walaupun orang mengatakan pria itu sangat baik tapi ucapannya begitu menyakitkan."Kalau begitu saya izin pulang," pamit Naya yang dibalas anggukan oleh Merry.Merry menghela Napas berat setelah sosok wanita muda itu mulai menghilang dari pandangan matanya. Rasa kasihan merambat dalam benaknya. Ia sudah mengetahui semuanya termasuk niat wanita itu yang ingin menjual ke
Naya hanya bisa tertunduk dengan kedua tangan yang saling bertautan setelah Merry membawanya pergi dari ruang makan. Raut ketakutan tampak jelas di wajah wanita itu."Maafkan Bibi, seharusnya Bibi tidak memintamu untuk mengantarkan kopi_""Tidak!" Naya mendongak menatap Merry."Bibi tidak salah, aku yang kurang hati-hati. Aku benar-benar gugup saat mengantarkan kopi pada tuan muda dan itu yang membuat aku tidak sengaja menumpahkan minuman kopi panas itu," lirihnya, tersirat rasa bersalah apalagi sampai mengenai bagian celana Argio.Naya merasa, ia memang pantas mendapatkan kemarahan itu. Tapi kemarahan yang ditunjukkan tuan muda sangat menakutkan untuknya.Merry menghela napas berat."Lain kali lebih hati-hati lagi. Dan kalau butuh bantuan atau tidak paham dengan pekerjaanmu bisa tanya Bibi."Naya mengangguk cepat. Sungguh, ia sangat beruntung bertemu dengan bibi Merry. Semoga kedepannya ia bisa lebih baik lagi bekerja di tempat ini.•
Gedoran pintu yang cukup keras membuat Bella bergegas membuka pintu apartemen miliknya. Wanita itu tampak terkejut ketika mendapati Argio sudah berdiri di depan pintu dengan raut wajah yang begitu menyeramkan.Tanpa diberi tahu pun ia tahu maksud kedatangan pria itu ke sini apalagi ekpresi wajah Argio sudah menjelaskan semuanya."G-gio ... ada apa kamu ke sini?" Bella menampilkan wajah bingungnya membuat Argio yang melihat itu berdecih."Tidak perlu basa basi!" ketusnya.Argio melangkah maju mendekati Bella yang melangkah mundur menjauhi. Wanita itu tampak gugup dengan raut wajah yang begitu tegang."Apa maksudmu membuat berita bohong itu?""A-aku tidak paham maksudmu, Gio. Memangnya aku melakukan apa?""Akh!" Bella terpekik kala Argio mencengkram lengannya. Ia merintih kesakitan dengan cengkraman yang semakin kuat dan tak berperasaan menekan kuku-kukunya di kulit mulus Bella."Aku tidak suka orang yang berbohong. Dan kamu sudah berani melakukan itu!""Oke, aku akui, memang aku yang m
"Siapa diantara kalian yang membersihkan kamarku?" Suara lantang dan nyaring Argio seperti suara petir menyambar, membuat pelayan yang dikumpulkan di ruang tengah tampak ketakutan di tambah aura tak bersahabat yang menguar dari wajah pria itu."Kenapa diam? Cepat jawab!" Salah satu pelayan melangkah maju dengan kepala tertunduk. Tubuhnya gemetar ketakutan. Takut menghadapi kemarahan sang tuan muda. "Sa-saya yang membersihkan kamar, Tuan muda," ucapnya dengan suara yang bergetar.Argio semakin menajamkan sorot matanya seolah tatapan pria itu mampu menembus sampai ke ulu hati. Pelayan yang lain saling pandangan satu sama lain, antara bingung dan takut karna tiba-tiba mereka di kumpulkan di tempat ini tanpa tahu alasannya. Ruangan itu hening beberapa saat sampai suara tegas Argio kembali terdengar."Apa kamu yang membuang semua sampah yang ada di kamarku termasuk foto para perempuan di tempat sampah itu?" Sontak hal itu langsung dibalas gelengan oleh pelayan yang bertugas membersihk
Seorang pria tinggi tegap melangkah lebar memasuki bangunan yang begitu ramai di kunjungi para kaum pria. Aroma alkohol dan asap rokok menusuk ke indra penciuman Argio. Dengan langkah lebar ia memasuki tempat yang terdengar suara gemuruh musik yang cukup keras. Hendrik mengikuti Argio dari belakang. Pria berusia 50 tahunan itu selalu mengikuti Argio ke mana pun. Anggap saja ia malaikat pengawas untuk mencegah Argio melakukan hal-hal yang buruk.Sorot tajam Argio menatap sekitar bar yang sangat ramai malam ini. Terlalu fokus menelisik sekitar bar yang ia kunjungi, pria itu tiba-tiba saja menabrak seorang pelayan wanita yang hampir menjatuhkan sebotol wine yang wanita itu bawa."Kamu ..."Ucapan Argio terjeda kala manik hitamnya bertubrukan dengan mata coklat milik wanita yang ia kenali. Sementara wanita yang mengenakan blouse hitam ketat yang menampilkan lekuk tubuhnya dan rok di atas lutut, menegang sempurna ketika bersitatap dengan Argio."Ma-maafkan saya, Tuan," ucapnya terbata-bata
Dengan kasar Argio mendorong Naya hingga jatuh ke atas kasur. Wanita itu menggeliat dengan pandangan yang tampak sayu. Minuman yang diberikan oleh tiga pria itu membuat Naya tak berdaya seperti ini bahkan penampilannya sudah tak karuan dan berantakan. Argio melangkah mundur, ia mengusap wajahnya kasar. Ia tak ingin lebih jauh lagi membantu wanita yang terbaring tak berdaya di atas kasur hotel itu. Yaa, ia membawa Naya ke hotel dan setelah itu ia akan pergi. Terlalu lama bersama Naya akan sangat bahaya apalagi wanita itu terlihat sangat menggoda di matanya. Dan entah mengapa, hasratnya langsung naik hanya melihat Naya seperti ini berbeda saat bersama wanita lain. Argio berbalik badan dan hendak keluar dari kamar tersebut namun suara barang jatuh membuat Argio berbalik badan. Mata pria itu sedikit melebar melihat Naya jatuh ke lantai beserta lampu hias yang terletak di dekat kasur. "Tuan." Suara panggilan Naya yang begitu lembut dan sendu menciptakan desiran aneh dalam benak Argio.
Naya terus melangkahkan kakinya dengan langkah yang tertatih-tatih, wajahnya pucat dan mata yang tampak kosong. Air mata terus merembes dari pelupuk mata yang sembab, sesekali ia mengusapnya. Wanita muda itu terpaksa harus pulang ke rumah dengan berjalan kaki, ia tidak memiliki uang sepeser pun. Naya terlihat sangat menyedihkan setelah mahkotanya direnggut lalu ditinggalkan begitu saja seperti seorang wanita bayaran. Yang membuat Naya semakin hancur mahkotanya direnggut saat ia tidak sadar karna pengaruh minuman memabukkan itu. Dengan tangan gemetar Naya memutar handel pintu rumah kontrakannya setelah satu jam berjalan kaki. Beruntung sang ibu masih di rawat di rumah sakit, setidaknya bu Ani tidak tahu apa yang terjadi pada putrinya. Naya memilih masuk ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Air matanya semakin meluruh ketika melepaskan semua pakaian yang melekat di tubuhnya. Bercak merah kebiruan tercetak jelas di sekujur tubuh. Bagian pangkal pahanya terasa sangat sakit. Naya