Share

6 || Mulai Bekerja

Riana menatap bayang dirinya di cermin. Dia menghela napas panjang sebelum beranjak keluar. Riana mulai bekerja hari ini. Setelah merenungi kejadian semalam, Riana memutuskan untuk menjalani kehidupannya sesuai keinginan Reyhan. Langkah Riana perlahan melambat saat pandangannya terkunci pada sosok Reyhan yang berdiri sigap menunggu di lantai bawah. Riana memutus kontak, mengalihkan pandangan melewati Reyhan dengan acuh menuju ruang makan.

"Ibu senang kau memutuskan pilihan dengan bekerja. Seharusnya sejak dulu saat ayahmu meminta untuk melakukannya," ujar Ivana.

Riana tidak menanggapi, dia mengambil tempat di sebelah Ivana, memakan roti panggang dengan diam.

"Lakukan perkerjaanmu sebaik mungkin. Ayah tidak ingin mendengar keluhan apa pun saat kau mulai bekerja!" Rudi menatap sejenak lalu beralih melanjutkan sarapan.

"Kata Tiara, Faldo akan datang menjemputmu," imbuh Ivana.

"Tidak perlu, Riana akan berangkat dengan Abimanyu!" Riana meneguk jus jeruknya sebelum beranjak pergi.

"Biarkan saja!" sergah Rudi saat Ivana hendak mencegah.

Ivana hanya diam menuruti. Dia kembali melanjutkan sarapan.

Reyhan membukakan pintu mobil. Riana tampak tenang tanpa mengatakan apa pun. Reyhan yang sudah duduk di kursi kemudi melirik sejenak dari balik spion. Selama perjalanan Riana diam saja, tatapannya terus mengarah ke luar kaca memandang bangunan-bangunan tinggi. Riana mencoba menahan diri untuk tidak berbicara dengan Reyhan. Lima menit berselang ponsel Riana berdering, nama Faldo tertera di layar.

"Ada apa?"

"Aku sudah berangkat."

"Makan siang?" Riana melirik ke arah Reyhan. "Baiklah, kau bisa menjemputku nanti!"

Riana menutup telepon. Pandangannya kembali mengarah ke luar. Reyhan mencoba fokus menyetir, dia sejak tadi sedikit terusik dengan perubahan Riana.

Setelah tiga puluh menit mengendara, mobil Riana memasuki halaman utama Kingdom Central yang menangani pusat belanja ritel modern dan hotel. Riana disambut baik oleh para pegawai dengan ramah. Riana melempar senyum hangat seiring langkahnya memasuki bangunan berlantai itu. Bukan hanya pegawai, para penyewa tempat juga menyapanya, mereka mulai berkumpul dan membahas mengenai Riana mengambil alih tempat itu yang sebelumnya ditangani oleh Riyadi, pria paling disiplin dan tegas terhadap masalah apa pun. 

Riana memasuki ruangan kantor yang baru. Penataan serta furnitur minimalis sesuai dengan keinginannya. 

Seorang wanita mendekat, menyapa Riana dengan santun. "Selamat pagi, Bu. Saya Ana, sebelumnya saya bekerja sebagai sekretaris Pak Riyadi."

"Iya, Ana. Kau bisa melanjutkan pekerjaanmu seperti sebelumnya. Namun, semua kebutuhanku akan ditangani langsung oleh Abimanyu, dia pegawal serta asisten pribadiku!"

Reyhan hanya menoleh diam, dia mengulas senyum tipis ke arah Ana. Ana sedikit tertegun, dia membungkuk seraya tersenyum simpul.

"Tolong bawakan laporan keuangan tahun sebelumnya serta data diri pegawai yang bekerja di sini. Aku ingin mengenali mereka agar bisa bekerja dengan baik."

"Baik, Bu!" Ana menoleh sekilas ke arah Reyhan sebelum beranjak pergi.

Riana merasa sedikit kesal melihat tatapan Ana yang terlihat jelas tertarik pada Reyhan. Riana mengalihkan pandangan membuka laptop kerjanya.

"Apa kau mau berdiri saja di situ? Kau bisa bergabung dengan tim keamanan sekarang!" 

"Bukankah tugasku selalu berada di dekatmu? Apa di sini juga terpasang CCTV?" Reyhan memeriksa setiap sudut.

"Lakukan saja pekerjaanmu. Aku tidak akan fokus jika kau terus berdiri di hadapanku! Lagi pula, ini wilayah pribadiku tidak perlu memakai CCTV."

"Tapi bagaimana jika sampai terjadi sesuatu padamu?! Aku tidak bisa membiarkan itu!" 

Riana mendesah pelan. "Bukan hakmu mencemaskanku. Kau bisa memantau CCTV yang ada di depan ruanganku. Jadi, pergi saja dari ruanganku agar aku bisa bekerja. Jika ada yang kubutuhkan aku akan memanggilmu!"

Tatapan Riana membuat Reyhan mendadak diam. Riana memalingkan muka, mengalihkan pandangan pada layar laptop—beharap Reyhan segera menjauh agar Riana tidak sampai lepas kendali.

"Baik, Nona, sesuai keinginanmu!"

Riana mengigit bibir, menahan diri untuk tidak menangis hingga punggung Reyhan hilang dari pandangannya.

Air mata Riana seketika luruh seiring pintu ruangan tertutup rapat. Riana belum baik-baik saja, justru dia makin terluka.

"Aku melakukannya seperti keinginanmu, Rey!" lirihnya sedih.

Reyhan tak lantas pergi, dia masih berdiri diam di balik pintu. Pandangannya tertunduk, mencoba mengendalikan diri. Bukan hanya Riana, Reyhan juga berjuang menahan hatinya untuk tidak melewati batas. Reyhan menarik napas panjang lalu beranjak dari sana.

***

Riana baru saja memeriksa laporan keuangan lima tahun terakhir. Dia sedikit memuji hasil kerja Riyadi yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Suara ketukan pintu terdengar. Ana menyembul meminta izin masuk.

"Ada tamu yang mencari, Ibu!"

"Siapa?"

"Aku!" Faldo menerobos masuk dengan senyum mengembang.

"Maaf, Pak, Anda tidak bisa masuk begitu saja!" sergah Ana

"Biarkan saja. Dia—"

"Calon masa depan Ibu Riana!" Faldo menyela, mengulurkan tangan memperkenalkan diri."

"Maaf, Pak. Saya tidak tahu!" Ana beringsut mundur seraya membungkuk.

Faldo menarik tangan, menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

Riana menyunggingkan senyum. "Kasihan sekali kau diabaikan!"

Faldo mendengus, berjalan mendekat ke arah depan meja.

"Ruanganmu lumayan juga. Sepertinya aku akan sering berkunjung kemari." Faldo mengedarkan pandangan sedikit memuji dengan selera Riana.

"Kau mau makan di mana? Apa ada tempat yang kau suka?"

Belum sempat Riana menjawab, derik pintu terdengar. Reyhan segera masuk membawa makanan cepat saji untuk Riana.

"Ini makan siangmu, Nona!"

Apa dia sengaja membelikan makan siang untukku karena tahu aku akan pergi dengan Faldo?! Riana tertawa miris dalam hati.

"Untukmu saja. Aku akan pergi dengan Faldo!" Riana meraih tas tangan dan ponsel seraya bangkit dari duduknya.

"Kau boleh ikut jika mau!" ucap Faldo, "berikan saja makan siang ini untuk pegawai lain. Kau pengawal Riana tidak masalah bagiku, kita bertiga bisa makan siang bersama."

"Aku hanya akan makan denganmu, tidak perlu mengajaknya!" Riana menatap tajam, melirik ke arah Reyhan yang tampak diam.

"Baiklah jika itu maumu." Faldo mempersilakan Riana berjalan lebih dulu.

"Mungkin lain kali kita bisa makan siang bersama!" Faldo menepuk bahu Reyhan.

Reyhan menarik napas dalam, dia tidak berhak untuk marah. Reyhan mengambil kantong berisi makanan keluar dari ruangan. Ana yang melihat Reyhan berjalan melewati meja kerjanya, segera menyusul dengan cepat.

"Kau juga akan makan siang?" tanya Ana basa-basi.

Reyhan yang tengah berdiri di pintu lift hanya mengangguk, mengiyakan.

Ana tersenyum canggung, dia melirik ke arah kantong kresek yang dipegang Reyhan. Dari labelnya, Ana tahu itu makanan siap saji.

"Apa kau akan makan siang dengan itu?" tanya Ana lagi.

Reyhan lagi-lagi mengangguk. Ana sedikit kesal melihat Reyhan hanya menjawab dengan anggukan. Ana masuk ke dalam lift lebih dulu. Dia sedikit terkejut melihat Reyhan tidak mengikutinya.

"Kau tidak masuk?"

"Ada yang tertinggal, Nona Ana silakan pergi lebih dulu." 

Ana termangu. Pintu lift tertutup rapat. Reyhan sengaja menghindar, dia merasa tidak nyaman dengan Ana yang mencoba akrab dengannya. 

Riana dan Faldo sudah sampai di lantai satu. Dari kejauhan Reyhan memperhatikan Riana yang sedang berbicara dengan Faldo. Senyum Riana terus terukir seiring langkah menuju pintu keluar. Reyhan mencengkeram erat kantong kresek yang ia pegang. Hatinya memanas memandang punggung Riana sudah hilang di balik pintu.

"Aku tidak punya hak untuk cemburu jika dia tersenyum untuk lelaki lain!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status