Share

2 || Tinggal Kenangan

Setahun yang lalu.... 

Hari itu, senja tak terlihat—mendung kelam menyelimuti langit sejauh mata memandang. Riana duduk di balik kaca dengan segelas susu hangat yang menjadi teman sepinya. Perlahan-lahan bulir bening menitik hingga kian deras. Baru saja Riana hendak beranjak, sebuah motor butut menepi di depan toko. Riana mengusap kaca yang berembun. Pemuda itu turun dan berlari kecil menuju ke arah pintu. Suara bel terdengar nyaring. Dia baru saja masuk dengan mengibas-ngibas jaket miliknya yang sedikit basah. Riana masih terdiam di tempat, menunggu ia membalikan badannya yang saat ini sedang memunggungi Riana. Lantas pemuda itu berbalik, membuat Riana seketika membeku. Pandangan mereka bertemu, senyuman pemuda itu mengembang. Riana lebih dulu beralih pandangan. Jantung Riana berdebar, detaknya tak kalah cepat seperti ikut lomba lari. Pemuda itu mendekat, hingga jaraknya benar-benar dekat—sangat dekat.

"Hai! Kau yang berjaga di sini?" tanyanya ramah.

Dengan susah payah Riana meneguk ludah, menarik senyum sebisa mungkin agar tidak tampak kaku. "Hai juga! Iya. Apa ada bunga yang kaucari?"

"Aku mencari bunga untuk ibuku, hari ini ulang tahunnya. Tolong pilihkan  bunga yang bagus!" pintanya.

Mata pemuda itu menyapu pandangan ke sekeliling. 

Alina sedang keluar, apa aku yang harus melayaninya? batin Riana menimbang sejenak. 

Riana mengangguk mantap, urusan Alina rugi atau untung soal belakang. 

"Apa bunga kesukaan ibumu?" 

"Hmmm.... ibuku menyukai banyak jenis bunga. Tapi spesial hari ini, aku ingin memberinya buket bunga yang sedikit berbeda dan cantik."

Dia menekan kalimat terakhirnya saat menoleh ke arah Riana. Entah itu sebuah pujian tersirat atau kata itu memang tertuju untuk bunga. 

Riana mengaitkan anak rambut di belakang telinga, memberanikan diri menatapnya lebih dekat. Bentuk wajah yang tampan, postur tubuh sedikit lebih tinggi dari Riana, pahatan sempurna kedua alis membingkai mata hitam legamnya. Dia berhasil membuat Riana terkesan dengan pandangan pertama.

Pemuda itu berdeham, melihat Riana yang sejak tadi bergeming menatapnya. 

"Maaf, tolong tunggu sebentar!"

Riana merutuki dirinya. Wajah Riana memanas, merasa malu sendiri. 

"Makasih, ya," ucapnya mengambil buket yang sudah selesai dirangkai.

"Oh, ya, aku Reyhan! Kau?" katanya memperkenalkan diri setelah menerima tanda terima. 

"Riana!"

Reyhan mengulas senyum. "Ibuku pasti menyukai buket ini."

Riana ikut tersenyum. Aku diselamatkan dengan bantuan mbak g****e, katanya dalam hati.

Riana menatap punggung Reyhan yang perlahan menjauh melewati pintu keluar, melesat pergi bersama motor bututnya di bawah hujan yang sudah reda. 

Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Riana. 

Amina, kepala pelayan, datang membawa nampan yang berisi segelas jus jeruk kesukaan Riana. Sudah beberapa hari Riana tidak beranjak dari kamar setelah kejadian itu. Tidak ada semangat, apalagi senyuman yang menghiasi wajahnya. 

Amina hanya menaruh jus jeruk di atas nakas tanpa mengatakan apa pun. Riana tidak akan merespons sama seperti sebelumnya. Amina perlahan mundur dan berbalik pergi. 

Riana kembali menatap bulan dalam diam, helaan napas terdengar lirih meratapi kisah cinta yang kandas. Riana memejamkan mata, bulir bening menitik perlahan. Hatinya masih rapuh harus menerima kenyataan Reyhan mengingkari janji untuk memperjuangkan hubungan mereka. 

"Seakan itu mudah bagimu, merelakan hubungan kita, Rey!" katanya lirih. 

Riana menghela pelan. Jemari lentiknya mengusap layar ponsel membuka notif chat yang sejak tadi terus berbunyi. Spam chat dari Alina, sahabat karib Riana sejak kecil.  

Baru saja Riana meletakan ponsel, suara derik pintu mengalihkan atensi Riana.

Riana menoleh, Alina berdiri di ambang pintu memasang wajah cemberut sembari mendekatinya. 

"Kau keterlaluan! Entah berapa banyak spam chat yang aku kirim tidak ada yang dibalas sedikit pun!" omelnya tanpa jeda. 

Riana tidak menanggapi, pandangannya tertuju keluar jendela. 

Alina menghela napas berat. 

"Kau benar-benar akan bertunangan dengan pria menyebalkan itu?"

Riana tersenyum tipis. "Ternyata beritanya sudah sampai ke Aussie!"

"Aku pikir kau sedang liburan," kata Riana lagi. 

Alina berdecak. "Tadinya... tapi setelah mendengar kau akan bertunangan aku memutuskan pulang. Kenapa tidak memberitahukan padaku?"

"Aku tidak ingin mengganggu liburanmu. Lagi pula itu bukan hal penting!"

"Ini menyangkut hidupmu, jelas saja itu penting!" protes Alina tidak terima.

"Lalu hubunganmu dengan Reyhan? Apa kau putus dengannya?" Alina mengubah raut wajahnya. Dia bertanya dengan hati-hati. 

Riana mengangguk. Dia menarik tubuh Alina dan memeluk dengan erat. Riana menangis, menenggelamkan wajahnya di bahu Alina. Alina sesekali mengusap punggung Riana, dia memilih diam dan menunggu hingga Riana tenang. 

Setelah merasa lebih baik, Riana menarik diri dan melempar punggung pada bingkai jendela, membiarkan angin malam menerpa wajahnya yang dipenuhi jejak air mata. 

"Dia menyerah, Lin. Tidak ingin meneruskan hubungan kami!" 

Alina menghela pelan, dia mengambil posisi duduk di hadapan Riana, melipat kedua kakinya. 

"Bukan menyerah, Reyhan merelakan hatinya karena dia pasti sadar, ada banyak hal yang tidak bisa dipaksakan." Alina memegang tangan Riana, mencoba memberikan semangat. 

"Tapi Reyhan adalah duniaku, Lin. Bersama Reyhan aku tahu arti sebuah kehidupan. Bahagia bukan selalu berupa materi, bahkan dengan kesederhanaan saja aku sudah bahagia." 

"Reyhan itu bukan pria egois yang mementingkan perasaannya. Dia juga pasti sama terluka seperti dirimu."

"Aku belum bisa merelakannya! Rasanya terlalu sakit, Lin.... "

"Kau bisa melaluinya. Urusan hati bukan perkara mudah, setidaknya kalian sudah mencoba. Biarlah waktu yang menjawab. Kau harus kuat!" Alina menepuk-nepuk punggung tangan Riana. Dia merasa iba melihat Riana sehancur itu. 

Air mata Riana kembali menetes, pandangannya menatap jauh pada rembulan yang di kelilingi perhiasan jubah malam. 

"Yang menyakitkan bukan cinta kami yang hancur, melainkan dia lebih dulu berpaling, itu yang membuatku terluka.... "

***

Riana beranjak turun dari kamarnya. Di sana dia mendapati Rudi dan Ivana yang sedang sarapan. 

Riana menarik kursi di seberang Ivana, duduk berhadapan. 

"Sudah selesai bersedihnya?" Rudi melirik sekilas ke arah Riana lalu kembali melanjutkan makan.

Riana tidak menjawab. Dia mengambil roti lapis dan mengunyah perlahan. 

"Apa kau mau terus membantah ayahmu?!" Rudi berkata lagi. Kali ini Rudi menatap Riana dengan wajah serius. 

Riana menaruh roti yang tersisa setengah di piring. 

"Riana akan menerima perjodohan itu, Ayah! Jangan usik kehidupan Reyhan lagi. Riana mengalah."

"Itu jawaban yang ingin ayah dengar."

Ivana mengulas senyum. "Seharusnya kaulakukan itu dari dulu, dengan begitu ayahmu tidak perlu turun tangan!"

Riana memilih diam, roti lapis yang baru saja ditelannya terasa seakan menelan batu bergerigi. Sesak dan menusuk. 

Rudi tersenyum puas, tidak peduli dengan hati Riana yang hancur. 

Riana meneguk jus jeruk miliknya dan memilih beranjak lebih dulu. 

"Kau akan punya pengawal pribadi!" Rudi berseru tanpa mengalihkan pandangannya dari sosis panggang yang sedang ia potong-potong. 

Riana bergeming, berbalik menatap Rudi tanpa ekspresi. 

"Riana bukan anak kecil! Tidak butuh pengawal pribadi."

"Ayah tidak meminta persetujuan darimu. Cukup kau tahu saja, karena ayah ingin dia terus mengawasimu!"

"Apa Ayah harus melakukan itu?" Riana menatap kecewa. 

"Tentu saja! Sampai kau resmi menikah dengan Faldo!" 

Riana tersenyum miris. Dia membuang napas kesal lalu beranjak pergi. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status