Share

4 || Kemarahan Rudi

Riana bergeming ketika melihat Reyhan berjalan mendekatinya dan Faldo dengan tatapan diam. Tanpa berkata apa pun Reyhan hanya membungkukkan kepala lalu berjalan begitu saja. 

"Berarti aku benar 'kan soal kekasihmu?" Faldo kembali bertanya. 

Riana tidak menjawab dan memilih beranjak pergi. 

Riana membuang napas kasar. Dia memandang pantulan dirinya pada cermin, mengingat kejadian semalam dengan Faldo merusak mood Riana pagi ini. Riana menarik napas dalam, memastikan sekali lagi penampilannya lalu beranjak turun. 

"Riana akan pergi ke kantor cabang, Ayah!" ucap Riana yang tengah berada di ruang makan. 

"Apa kau memutuskan untuk bekerja?" Rudi balik bertanya tanpa mengalihkan pandangan pada makanannya di piring. 

"Iya, Ayah. Seperti yang Ayah inginkan. Riana akan mengembangkan pusat perbelanjaan di daerah Kenanga."

"Baguslah, kau boleh pergi." 

Riana melirik ke arah Reyhan yang sudah berdiri sigap tak jauh dari posisinya. 

Ini satu-satunya alasan agar aku bisa bicara denganmu, kata Riana dalam hati. 

Reyhan lebih dulu membukakan pintu mobil untuk Riana. Hati Riana terasa sesak melihat Reyhan benar-benar melakukan tugasnya. 

"Aku ingin Abimanyu yang menyetir mulai sekarang. Dia supir sekaligus pengawal pribadiku!" 

Wawan yang merupakan supir keluarga hanya mengangguk patuh. Reyhan lantas mengambil alih kemudi. 

Jam menunjukkan pukul tujuh pagi, jalanan ibukota masih tampak lenggang. Reyhan memusatkan pandangan ke depan. Ini pertama kali baginya naik mobil bersama Riana. Waktu mereka berpacaran, Reyhan selalu membawa Riana bersama motor bututnya. Reyhan bisa menyetir saat dulu dia menjadi supir angkot sebelum mengenal Riana, itu juga tidak berlangsung lama karena pemilik angkot tiba-tiba menyuruh Reyhan berhenti tanpa alasan yang jelas. 

"Apa alasanmu melakukannya?" Riana akhirnya bertanya setelah keheningan beberapa saat. 

"Apa maksud Nona Riana?" Reyhan masih fokus menyetir. 

Riana mendesah pelan, mencoba menahan emosi yang bergejolak mendengar Reyhan memanggilnya dengan sebutan 'nona'. 

"Putar balik!" 

Reyhan menatap Riana dari balik spion. "Bukankah kita harus pergi ke kantor cabang?"

"Kau tahu aku ingin pergi ke mana!" 

"Maaf Nona, aku tetap mengantarkan Nona ke tempat tujuan!"

"Kau bawahanku jadi lakukan seperti perintahku!" Riana menegaskan kata-katanya. Dalam suaranya terdengar bergetar. Riana mencengkeram tas tangan yang ada di pangkuannya. Dia tidak punya pilihan lain untuk membuat Reyhan mengerti. 

Reyhan lantas memutar kemudi, dan menginjak pedal gas menambah kecepatan. Tidak butuh waktu lama, mobil Riana berhenti di tempat yang Riana inginkan. 

"Kau bahkan masih mengingat tempat ini!" Riana melempar pandangannya melihat sebuah danau dari balik pagar. 

Itu adalah tempat kenangan Reyhan dan Riana. 

"Aku hanya mengikuti perintah sesuai keinginanmu, Nona!"

Riana tertawa miris. "Benarkah? Kau bahkan benar-benar terlihat sebagai pengawalku."

"Seperti yang kau katakan tadi, Nona. Aku adalah bawahanmu, sudah sepantasnya aku mengikuti perintah majikanku."

"Itu tidak menjawab pertanyaanku!"

Riana menatap punggung Reyhan. Hatinya makin teriris melihat seragam pengawal yang Reyhan kenakan. 

"Apa alasanmu melakukannya?" Riana kembali menanyakan hal yang sama. 

"Aku butuh pekerjaan!"

"Kau memutuskan hubungan denganku dan memilih menjadi pengawal pribadiku karena butuh pekerjaan?" Mata Riana sudah berkaca-kaca, berharap Reyhan membalikkan badan padanya. 

"Nona Riana sudah menemukan jawabannya!"

Perkataan Reyhan meluruhkan air mata Riana. Riana menggigit bibir agar suara tangisnya tidak terdengar. 

"Tatap aku dan katakan yang sejujurnya, Rey!"

"Maaf Nona, posisi kita berbeda. Aku tidak bisa melewati batas!"

"Tolong Nona, aku tidak ingin kehilangan pekerjaanku!" Tangan Riana mengudara, dia hendak menyentuh bahu Reyhan, menurunkan kembali tangannya. 

"Kau tahu ayahku tidak mengenal wajahmu, karena itukah kau memakai nama depanmu sebagai Abimanyu?"

"Itu separuh dari kebenaran. Nama Reyhan di kartu tanda pengenalku memang hanya disingkat dengan huruf R."

Riana menundukkan wajah, dia mencoba menguatkan hati. Tanpa sepengetahuan Riana, Reyhan memerhatikan dari balik spion. Ada duka di mata Reyhan. Tangannya memegang erat kemudi mobil. 

"Kenapa kau tidak pergi jauh dari hidupku? Merelakanmu saja butuh waktu bagiku. Haruskah kau menyiksaku dengan kehadiranmu sebagai pengawal pribadiku?" Riana mengalihkan pandangan ke luar jendela. Air matanya terus mengalir tanpa henti. 

"Lupakan saja aku. Nona Riana harus memulai hidup bersama orang yang sudah dijodohkan denganmu karena kita tidak pernah di takdirkan untuk bersama."

"Jangan memanggilku nona di saat kita sedang berdua aku tidak sanggup mendengarnya. Berhentilah dari pekerjaanmu, dengan begitu aku akan mencoba melupakanmu!"

"Aku tidak bisa?"

"Kenapa tidak?"

"Jika ingin aku berhenti, maka katakanlah sendiri pada ayahmu!"

Reyhan kembali menyalahkan mobil. Dia melihat dari balik spion ada mobil sedan hitam yang berada tak jauh dari posisi mereka. 

"Bahkan ayahmu menyuruh orang untuk mengikuti kita."

"Jangan melihat ke belakang!" kata Reyhan lagi. Riana yang hendak berbalik menahan diri. Dia mengusap air matanya dan mengambil napas dalam untuk menenangkan diri. 

"Sebaiknya kau punya alasan untuk menjelaskan pada ayahmu nanti!"

Reyhan menginjak dalam pedal gas. Dia memastikan mobil sedan itu tidak lagi mengikuti mereka. 

Ayah kau benar-benar luar biasa! Bahkan di luar rumah pun aku tidak sepenuhnya bebas, batin Riana. 

***

"Sepertinya kau meremehkan peringatan ayahmu!" 

Riana yang baru saja menginjakkan kakinya ke dalam rumah mendapat sambutan tidak mengenakkan dari ayahnya. 

"Apa maksud Ayah?" Riana pura-pura bertanya. 

"Kau masih belum melupakan pemuda miskin itu?" Rudi meninggikan suaranya. 

Riana melirik ke arah Reyhan yang tengah membawa tas belanjaannya. 

"Taruh saja di situ dan pergilah!"

"Kau tetap di situ Abimanyu!" putus Rudi dengan penuh penekanan. 

"Katakan, apa Riana memintamu mengantarnya untuk bertemu dengan mantan kekasihnya?"

"Kenapa bertanya padanya Ayah? Apa Ayah bahkan memata-mataiku?" Riana menyela, dia sedikit takut jika sampai Rudi curiga. 

"Saya—"

"Jangan salahkan dia, dia hanya mengikuti perintah." Riana menyergah. 

PRAKS! 

Riana terperanjat melihat Rudi melayangkan tamparan keras di pipi Reyhan. 

"Ayah!"

"Ini peringatan terakhir! Setiap kesalahan yang kaulakukan, orang lain yang akan menerima hukumannya. Jadi berpikirlah sebelum melakukan sesuatu!" 

Amarah di mata Rudi begitu membara. Riana bisa melihat itu. Rudi tidak main-main dengan kata-katanya. 

Riana menatap Reyhan dengan hati yang hancur. Dia berusaha menahan genangan air matanya yang hendak menetes. Riana tidak bisa berbuat apa-apa. Di hadapan Rudi, Riana harus berpura-pura tidak peduli. Dengan perasaan bercampur aduk, Riana melangkahkan kaki tanpa menoleh ke belakang. 

Maafkan aku, Rey! 

Riana terus berjalan hingga mencapai koridor menuju kamarnya. Dia memutuskan berlari dan mengunci diri di kamar. 

Riana menangis sejadi-jadinya. Riana tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Reyhan saat ini. Riana mengeluarkan ponsel, mencari nomor Reyhan. Dia menatap lama isi pesan yang hendak dikirim. Riana menggeleng, membatalkan niatnya. Bisa saja Rudi sudah meretas ponsel Riana. Rudi sanggup melakukan apa pun. Riana menekuk kedua lutut, menelengkupkan wajahnya di atas lipatan tangan. 

"Ayah kau benar-benar kejam!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status