Hana terpaku pada layar ponselnya. Nomor Radit tertera di sana, siap dipanggil, tapi jarinya ragu menyentuh tombol hijau. Jantungnya berdebar kencang, seolah menelepon Radit sama saja dengan membuka pintu ke dunia yang penuh bahaya.
Pikirannya berperang sendiri. Kalau aku diam saja, Arga akan terus mengikatku, bisik satu suara. Tapi, kalau aku menghubungi Radit, Arga bisa tahu, dan semuanya akan berantakan, bantah suara yang lain. Dengan tarikan napas dalam, akhirnya Hana memberanikan diri menekan tombol panggil. Nada sambung terdengar sekali, lalu dua kali. Hingga akhirnya, sebuah suara menyapa dari ujung sana. Halo? Dengan suara tercekat, Hana berbisik, Ini… aku, Hana. Padahal, ia sedang berada di apartemen yang terkunci rapat. Hening sejenak. Kemudian, Radit menjawab dengan nada serius, Aku tahu. Aku sengaja memberikan kartuku kemarin. Aku melihat ada sesuatu di matamu. Kamu butuh pertolongan, kan? Hana menelan ludah. Aku… aku terjebak. Arga… dia… kalimatnya tertahan di tenggorokan. Kamu tidak perlu menjelaskan semuanya lewat telepon. Itu terlalu berisiko. Besok sore, temui aku di kafe dekat gedung tua Sudirman. Aku akan menunggumu di sana. Jika kamu datang, aku bisa menunjukkan sesuatu yang selama ini Arga sembunyikan darimu. Belum sempat Hana menjawab atau bertanya lebih lanjut, sambungan telepon terputus. Hana menatap nanar ponselnya, jantungnya berdegup kencang. Untuk pertama kalinya, ia merasa ada secercah harapan untuk melawan. *** Keesokan harinya, waktu terasa berjalan sangat lambat. Arga semakin memperketat pengawasannya terhadap Hana. Setiap kali Hana ingin keluar ruangan, Arga selalu punya alasan untuk menahannya di dekatnya. Bahkan saat makan siang, Arga memaksanya duduk semeja. Aku tidak suka karyawan berkeliaran tanpa tujuan, ucap Arga sambil mengaduk kopi. Apalagi kamu. Hana hanya mengangguk, meskipun hatinya berteriak memberontak. Ia tahu, jika ingin bertemu Radit, ia harus mencari celah dengan cerdik. *** Menjelang sore, Arga menerima panggilan darurat dari jajaran direksi. Tunggu di sini, perintahnya sambil menunjuk ruang kerja. Jangan ke mana-mana. Aku hanya pergi sebentar. Begitu pintu tertutup, Hana merasa inilah kesempatannya. Ia melirik ke arah pintu, memastikan tidak ada siapa pun di koridor, lalu meraih tasnya dan melangkah keluar dengan tergesa-gesa. Jantungnya berpacu dengan cepat. Setiap langkah terasa begitu keras di koridor yang sunyi. Namun, ia terus berjalan, menekan tombol lift, dan melangkah keluar gedung dengan wajah setenang mungkin, seolah ia memiliki urusan yang sangat penting. *** Kafe kecil dekat gedung tua Sudirman itu tampak cukup ramai, tetapi suasananya tetap terasa nyaman. Hana memilih duduk di sudut, menunggu dengan perasaan cemas. Tak lama kemudian, Radit muncul. Ia mengenakan jaket hitam dan topi untuk menyamarkan penampilannya. Ia duduk di hadapan Hana dan menatapnya dengan serius. Kamu datang, ucapnya. Aku tidak punya banyak waktu, jawab Hana cepat. Jika Arga tahu aku di sini, aku akan dalam masalah besar. Radit mengangguk mengerti. Ia membuka tas kecilnya dan mengeluarkan beberapa lembar dokumen. Arga bukan hanya seorang CEO yang brilian. Dia memiliki catatan panjang manipulasi. Banyak orang takut untuk berbicara. Aku sudah lama menyelidiki dia, dan sekarang, aku rasa… kamu berada di tengah-tengah semua ini. Hana menelan ludah. Jari-jarinya gemetar saat Radit menyodorkan selembar foto. Di dalam foto itu, Arga terlihat sedang melakukan transaksi gelap dengan seorang pejabat senior di sebuah ruangan khusus. Apa ini… benar? tanya Hana dengan suara lirih. Radit menatapnya dengan tajam. Itu hanyalah sebagian kecil dari kebenaran. Aku membutuhkan saksi, Hana. Dan kamu… kamu bisa menjadi kunci untuk mengungkap semuanya. Tapi aku tahu, risikonya sangat besar. Arga bukan orang yang mudah dikalahkan. Jika dia tahu kamu berada di pihakku, dia tidak akan ragu untuk menghancurkanmu. *** Kata-kata Radit menancap dalam di hati Hana. Sebagian dirinya ingin menyerah, berpura-pura tidak tahu apa-apa. Tapi bayangan wajah Arga muncul di benaknya, dengan senyum penuh ancaman dan suara dingin yang seolah telah menjerat hidupnya. Aku tidak bisa terus seperti ini, bisiknya pelan. Aku harus keluar dari neraka ini. Jika ada cara untuk melawannya… aku ingin mencoba. Radit menatapnya dalam-dalam. Kalau begitu, mulai sekarang kamu harus berhati-hati. Berpura-puralah seolah kamu masih tunduk padanya. Jangan biarkan dia curiga sedikit pun. Kita akan bergerak secara diam-diam. Hana mengangguk, meskipun jantungnya berdegup kencang. Namun, sebelum ia sempat berkata lebih banyak, ponselnya bergetar. Nama Arga muncul di layar. Radit menatapnya dengan cemas. Angkat, tapi jangan sampai dia tahu kamu sedang bersamaku. Dengan tangan gemetar, Hana menjawab panggilan itu. Ya, Pak? Suara Arga terdengar dingin dan mengintimidasi. Kamu di mana? Hana menarik napas dalam. Saya… sedang membeli kopi sebentar, Pak. Di lobi. Hening sejenak. Kemudian, suara Arga terdengar berat dan menekan. Jangan coba-coba bermain-main denganku, Hana. Aku bisa tahu kalau kamu berbohong. Sambungan telepon terputus. Hana menatap ponselnya dengan wajah pucat. Radit mendekat. Dia sudah mulai curiga. Mulai sekarang, setiap langkahmu akan sangat berbahaya. Hana mengepalkan tangannya. Ia tahu, babak baru dalam hidupnya telah dimulai. Dan kali ini, taruhannya adalah kebebasan… bahkan mungkin nyawanya. *** Hana merasakan hawa dingin merayapi tubuhnya. Suara Arga di telepon masih terngiang di telinganya, seolah pria itu berdiri tepat di belakangnya. Ia cepat-cepat memasukkan ponsel ke dalam tas, menunduk, berusaha menyembunyikan ekspresi paniknya. Radit memperhatikannya dengan saksama. Kamu harus benar-benar berhati-hati. Dia adalah tipe orang yang suka menguji kesetiaan. Kalau kamu berbohong sekali saja dan dia mengetahuinya, dia tidak akan memberimu kesempatan kedua. Aku tahu, jawab Hana dengan suara yang nyaris tidak terdengar. Tapi aku tidak bisa terus hidup dalam ketakutan seperti ini. Radit mencondongkan tubuhnya ke depan, berbicara dengan nada yang lebih pelan. Jika kamu benar-benar siap, aku akan menawari sebuah pilihan. Ada cara untuk menjatuhkannya, tetapi itu membutuhkan keberanian yang sangat besar. Bukan hanya dariku, tetapi juga darimu. Hana menatap mata Radit, melihat keyakinan dan keraguan bercampur menjadi satu. Pilihan apa? tanyanya dengan penasaran. Radit menyelipkan sebuah amplop cokelat ke dalam tas Hana. Di dalamnya terdapat bukti transaksi ilegal. Bukan semuanya, hanya sebagian kecil saja. Namun, itu sudah cukup untuk membuat masalah besar jika sampai bocor ke media. Kamu tidak perlu menyebarkannya sekarang. Simpan saja dulu. Jika Arga mulai menekankanmu lagi, kamu bisa menggunakannya sebagai jalan keluar. Hana menggenggam erat tasnya. Amplop itu terasa seperti bom waktu yang bisa meledak kapan saja. *** Dalam perjalanan pulang, Hana berusaha bersikap senormal mungkin. Ia membeli kopi di lobi sesuai dengan alasannya tadi, lalu naik lift dengan wajah yang tenang. Tapi jantungnya tetap berdebar kencang, dan setiap angka di panel lift terasa bergerak sangat lambat. Pintu lift terbuka. Arga berdiri tepat di depan pintu ruangannya dengan kedua lengan terlipat di dada, menatapnya dengan tatapan yang sulit dibaca. Kopi? tanyanya datar. Hana mengangguk dengan cepat dan menyodorkan gelas kertas itu kepadanya. Iya, Pak. Ini untuk Bapak. Arga menatapnya cukup lama sebelum mengambil kopi tersebut. Ia menyeruputnya perlahan, lalu bibirnya sedikit tertarik ke atas membentuk sebuah senyuman tipis. Panasnya pas. Untung kamu tidak terlalu lama. Nada bicaranya terdengar seperti pujian, tetapi Hana bisa merasakan ancaman yang tersembunyi di baliknya. Seolah-olah Arga ingin mengingatkannya bahwa ia selalu bisa mengawasinya, bahkan ketika Hana merasa dirinya bebas. Besok malam, aku ada jamuan bisnis, kata Arga sambil membuka laptopnya. Kamu ikut. Jamuan bisnis? Hana hampir saja kehilangan kendali atas suaranya. Arga mendongak dan menatapnya dengan tajam. Kenapa? Ada keberatan? Hana menggeleng dengan cepat. Tidak ada, Pak. Bagus. Aku tidak suka jika ada orang di sekitarku yang berani menolak permintaanku. *** Malam itu, Hana sama sekali tidak bisa tidur. Ia duduk di tepi ranjang apartemennya, dengan amplop cokelat berada di pangkuannya. Rasanya seperti ada batu besar yang menekan dadanya. Jika Arga sampai tahu tentang amplop itu, tamatlah riwayatnya. Tetapi jika ia tetap diam saja, itu berarti ia membiarkan dirinya terus dikendalikan oleh pria itu. Pikirannya dipenuhi dengan berbagai macam suara: wajah Radit yang penuh dengan tekad, suara ancaman Arga yang menusuk, dan dirinya sendiri yang mulai lelah menjadi boneka yang dikendalikan oleh orang lain. Tangannya gemetar saat ia membuka amplop itu. Lembar demi lembar dokumen keluar, berisi bukti transfer uang dengan nama perusahaan asing dan tanda tangan Arga. Hana menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Ini nyata. Arga bukan hanya pria manipulatif yang suka mengendalikan orang lain, tetapi juga seorang penjahat yang merusak hukum dari dalam. Dan sekarang, Hana memegang salah satu rahasia paling berbahaya milik Arga Wirawan. *** Keesokan harinya, sejak ia tiba di kantor, Hana merasakan tatapan Arga sudah berbeda. Tatapannya lebih tajam, lebih penuh dengan kecurigaan. Seperti seekor elang yang mencium keberadaan mangsa yang sedang bersembunyi di balik semak-semak. Saat jam makan siang, Arga tiba-tiba berkata, Aku mendapat laporan bahwa kamu keluar gedung kemarin sore. Tetapi kamu bilang kamu hanya membeli kopi di lobi. Hana membeku di tempatnya. Lain kali, lanjut Arga sambil menyendok supnya dengan santai, jika kamu ingin berbohong, pastikan kebohonganmu itu sempurna. Aku paling benci dengan pengkhianat. Hana menunduk, berusaha menahan napasnya. Arga tersenyum tipis, senyuman yang membuat darah Hana terasa membeku. Anggap saja ini sebagai peringatan pertama. Jika sekali lagi aku merasa curiga, Hana… aku pastikan kamu tidak akan sempat memperbaiki kesalahanmu. Hana menelan ludahnya dengan susah payah. Ancaman itu sangat jelas didengarnya. Ia tahu bahwa sejak hari ini, taruhannya semakin besar. Namun, di dalam ketakutannya, muncul sebuah api kecil. Api perlawanan. Karena jika ia terus diam saja, ia tahu bahwa hidupnya akan sepenuhnya habis di tangan pria itu.Langkah Hana terasa *berat* saat memasuki ruang kerjanya keesokan paginya. Semalaman suntuk, matanya enggan terpejam. Nada bicara lembut Adrian, tatapan matanya yang seolah menyimpan *segudang* makna tersembunyi di balik sekadar teman kerja, terus menghantuinya. Ia mati-matian berusaha mengenyahkan semua itu dari benaknya, berbisik pada diri sendiri bahwa semua ini hanya efek samping dari kelelahan dan emosi yang sedang naik turun tak terkendali. Apesnya, semakin ia berusaha, semakin kalutlah pikiran dan perasaannya.Saat ia membuka pintu ruang kerja, beberapa rekan sudah bergerombol di ruang presentasi. Tumpukan dokumen menggunung di atas meja panjang, laptop-laptop memancarkan cahaya dari layarnya, dan proyektor menampilkan draf proyek terbaru. Adrian berdiri tegap di depan layar, dengan *penuh semangat* menjabarkan sesuatu. Senyumnya samar, tatapannya biasa saja bagi orang lain namun bagi Hana, setiap detail kecil itu terasa *menusuk* relung hatinya.Kita perlu utak-atik bagian ini
Pagi itu, lorong kantor berdengung oleh suara langkah kaki. Hana melangkah cepat, seolah ingin menghilang di balik mejanya tanpa menyapa siapa pun. Rambutnya yang tergerai jatuh, menutupi sebagian wajahnya, sedikit melindunginya dari tatapan orang-orang yang terasa menghakimi beberapa hari terakhir. Sayangnya, telinganya tidak bisa dibohongi. Bisikan-bisikan itu masih terdengar, lirih tapi menusuk, Itu dia... Dengar-dengar sering pulang bareng, ya? Pantes aja cepet naik jabatan. Hana meremas map di tangannya kuat-kuat. Ia ingin melarikan diri, namun sadar itu hanya memperburuk keadaan. Ia tetap melangkah maju dengan wajah setenang mungkin, menutupi badai yang bergejolak di dalam dirinya. Sesampainya di meja, ia langsung duduk, menyalakan laptop, dan pura-pura tenggelam dalam dokumen. Napasnya masih tersengal. Hana, suara Maya menyentaknya. Wajah Maya terlihat tegang. Aku baru aja denger sesuatu yang... penting buat kamu tahu. Hana menoleh, jantungnya berdebar keras. Apa?
Hana membanting tutup laptopnya, seolah benda itu adalah bom waktu yang siap meledak. Jantungnya berdegup kencang, mengalahkan gemericik hujan yang mulai membasahi kaca jendela apartemennya. Otaknya seperti benang kusut, dipenuhi pertanyaan tanpa ujung. Siapa pengirim foto itu? Kapan foto itu diambil? Dan yang paling membuatnya merinding: apa maksud di balik semua ini?Ia bangkit dari sofa, mondar-mandir seperti tahanan dalam sel sempit. Tangannya sesekali meremas rambutnya yang panjang, lalu berhenti di depan jendela, memandangi lampu-lampu kota yang berkilauan dalam bayang hujan. Kata Bukti di subjek email itu terus menghantuinya. Kata sederhana itu berubah menjadi teror yang membungkamnya.Hana mencoba menenangkan diri. Mungkin cuma orang iseng, bisiknya, tapi hatinya tak percaya. Kalau cuma iseng, kenapa fotonya begitu pas momennya? Kenapa dikirim malam-malam, saat ia sendirian? Tidak, ini bukan kebetulan belaka. Seseorang sedang mengawasinya.Tangannya gemetar saat meraih ponsel.
Hana terdiam di depan laptopnya, jari-jarinya menari ragu di atas *keyboard*. Pikirannya terbang jauh, terpaku pada ucapan Maya semalam, Dunia kantor itu kejam, Han. Kata-kata itu bagaikan hantu yang terus menghantuinya. Setiap lirikan sinis, setiap bisikan menusuk, terasa seperti duri yang siap menyayat hatinya. Siang itu, rapat besar bersama direktur utama sudah menunggu di depan mata. Semua tim sibuk mempersiapkan bahan presentasi, termasuk Hana. Ia mencoba fokus menyusun data, tapi suara-suara sumbang terus mengganggu pikirannya. Tiba-tiba, Arga melintas di depan mejanya. Gerakannya biasa saja, sama sekali tak mencurigakan. Ia hanya tampak seperti seorang atasan yang sedang memeriksa pekerjaan anak buahnya. Namun, sepersekian detik mata mereka bertemu. Singkat, namun ada sesuatu yang dalam dan sulit diartikan. Hana segera menunduk, jantungnya berdebar kencang, wajahnya terasa panas. Ia takut orang lain menyadari perubahan kecil yang terjadi pada dirinya. *** Rapat diadakan di
Hana terpaku di depan cermin kamar mandi kantor, kedua tangannya mencengkeram pinggiran wastafel keramik yang dingin. Aliran air dari keran yang terbuka hanya menemani kesunyian, tak menarik perhatiannya untuk sekadar membasuh muka. Sorot matanya nanar menatap pantulan dirinya di cermin seorang wanita yang tampak lelah dengan lingkaran hitam menghiasi bawah mata. Senyum yang dipaksakan pagi tadi lenyap, digantikan raut khawatir. Beberapa waktu lalu, telinganya tak sengaja menangkap bisikan dua staf dari divisi lain di koridor. Nama memang tak disebut, tapi nada bicaranya menusuk: Si asisten khusus itu? Pantas saja karirnya melejit. Lalu, tawa kecil menyusul ucapan itu. Hana tak bodoh, ia tahu betul siapa yang menjadi bahan perbincangan mereka. Ia menarik napas dalam-dalam, memutar keran hingga air berhenti mengalir, lalu meraih tisu untuk mengeringkan tangannya. Tenang, Hana. Tetap fokus, bisiknya pada diri sendiri, mencoba tegar meski hatinya bergetar hebat. Saat kembali ke mejany
Hana terdiam di depan cermin kamar mandi kantor, meneliti penampilannya. Wajahnya lesu, lingkaran hitam mulai menghiasi bawah mata, dan bibirnya pecah-pecah. Dengan gerakan cepat, ia memoleskan sedikit bedak di pipi, berupaya menyembunyikan jejak-jejak kelelahan yang kentara. Namun, ia sadar bahwa bukan hanya raganya yang merasakannya. Hatinya jauh lebih remuk. Sejak percakapan terakhir yang menegangkan dengan Arga, Hana merasa seperti seorang pesirkus yang berjalan di atas tali yang licin. Setiap gerakannya terasa diperhatikan, setiap langkahnya berpotensi menjatuhkan. Meskipun Arga sudah berulang kali mengingatkannya untuk menjaga profesionalisme, perasaan yang tumbuh di antara mereka terasa seperti api dalam sekam, sesuatu yang tidak bisa dipadamkan hanya dengan kata-kata hampa. Kalau terus begini, aku yang akan hancur lebih dulu, bisiknya lirih, suaranya hampir tak terdengar. Tiba-tiba, pintu kamar mandi terbuka, dan Maya muncul dengan tas makeup di tangannya. Begitu melihat Ha