Beranda / Romansa / Pelukan Terlarang / Bab 4 : Benih Perlawanan

Share

Bab 4 : Benih Perlawanan

Penulis: Nara Cahya
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-22 21:06:44

Hana terpaku pada layar ponselnya. Nomor Radit tertera di sana, siap dipanggil, tapi jarinya ragu menyentuh tombol hijau. Jantungnya berdebar kencang, seolah menelepon Radit sama saja dengan membuka pintu ke dunia yang penuh bahaya.

Pikirannya berperang sendiri. Kalau aku diam saja, Arga akan terus mengikatku, bisik satu suara. Tapi, kalau aku menghubungi Radit, Arga bisa tahu, dan semuanya akan berantakan, bantah suara yang lain.

Dengan tarikan napas dalam, akhirnya Hana memberanikan diri menekan tombol panggil. Nada sambung terdengar sekali, lalu dua kali. Hingga akhirnya, sebuah suara menyapa dari ujung sana.

Halo?

Dengan suara tercekat, Hana berbisik, Ini… aku, Hana. Padahal, ia sedang berada di apartemen yang terkunci rapat.

Hening sejenak. Kemudian, Radit menjawab dengan nada serius, Aku tahu. Aku sengaja memberikan kartuku kemarin. Aku melihat ada sesuatu di matamu. Kamu butuh pertolongan, kan?

Hana menelan ludah. Aku… aku terjebak. Arga… dia… kalimatnya tertahan di tenggorokan.

Kamu tidak perlu menjelaskan semuanya lewat telepon. Itu terlalu berisiko. Besok sore, temui aku di kafe dekat gedung tua Sudirman. Aku akan menunggumu di sana. Jika kamu datang, aku bisa menunjukkan sesuatu yang selama ini Arga sembunyikan darimu.

Belum sempat Hana menjawab atau bertanya lebih lanjut, sambungan telepon terputus.

Hana menatap nanar ponselnya, jantungnya berdegup kencang. Untuk pertama kalinya, ia merasa ada secercah harapan untuk melawan.

***

Keesokan harinya, waktu terasa berjalan sangat lambat. Arga semakin memperketat pengawasannya terhadap Hana. Setiap kali Hana ingin keluar ruangan, Arga selalu punya alasan untuk menahannya di dekatnya. Bahkan saat makan siang, Arga memaksanya duduk semeja.

Aku tidak suka karyawan berkeliaran tanpa tujuan, ucap Arga sambil mengaduk kopi. Apalagi kamu.

Hana hanya mengangguk, meskipun hatinya berteriak memberontak. Ia tahu, jika ingin bertemu Radit, ia harus mencari celah dengan cerdik.

***

Menjelang sore, Arga menerima panggilan darurat dari jajaran direksi. Tunggu di sini, perintahnya sambil menunjuk ruang kerja. Jangan ke mana-mana. Aku hanya pergi sebentar.

Begitu pintu tertutup, Hana merasa inilah kesempatannya. Ia melirik ke arah pintu, memastikan tidak ada siapa pun di koridor, lalu meraih tasnya dan melangkah keluar dengan tergesa-gesa.

Jantungnya berpacu dengan cepat. Setiap langkah terasa begitu keras di koridor yang sunyi. Namun, ia terus berjalan, menekan tombol lift, dan melangkah keluar gedung dengan wajah setenang mungkin, seolah ia memiliki urusan yang sangat penting.

***

Kafe kecil dekat gedung tua Sudirman itu tampak cukup ramai, tetapi suasananya tetap terasa nyaman. Hana memilih duduk di sudut, menunggu dengan perasaan cemas. Tak lama kemudian, Radit muncul. Ia mengenakan jaket hitam dan topi untuk menyamarkan penampilannya. Ia duduk di hadapan Hana dan menatapnya dengan serius.

Kamu datang, ucapnya.

Aku tidak punya banyak waktu, jawab Hana cepat. Jika Arga tahu aku di sini, aku akan dalam masalah besar.

Radit mengangguk mengerti. Ia membuka tas kecilnya dan mengeluarkan beberapa lembar dokumen. Arga bukan hanya seorang CEO yang brilian. Dia memiliki catatan panjang manipulasi. Banyak orang takut untuk berbicara. Aku sudah lama menyelidiki dia, dan sekarang, aku rasa… kamu berada di tengah-tengah semua ini.

Hana menelan ludah. Jari-jarinya gemetar saat Radit menyodorkan selembar foto. Di dalam foto itu, Arga terlihat sedang melakukan transaksi gelap dengan seorang pejabat senior di sebuah ruangan khusus.

Apa ini… benar? tanya Hana dengan suara lirih.

Radit menatapnya dengan tajam. Itu hanyalah sebagian kecil dari kebenaran. Aku membutuhkan saksi, Hana. Dan kamu… kamu bisa menjadi kunci untuk mengungkap semuanya. Tapi aku tahu, risikonya sangat besar. Arga bukan orang yang mudah dikalahkan. Jika dia tahu kamu berada di pihakku, dia tidak akan ragu untuk menghancurkanmu.

***

Kata-kata Radit menancap dalam di hati Hana. Sebagian dirinya ingin menyerah, berpura-pura tidak tahu apa-apa. Tapi bayangan wajah Arga muncul di benaknya, dengan senyum penuh ancaman dan suara dingin yang seolah telah menjerat hidupnya.

Aku tidak bisa terus seperti ini, bisiknya pelan. Aku harus keluar dari neraka ini. Jika ada cara untuk melawannya… aku ingin mencoba.

Radit menatapnya dalam-dalam. Kalau begitu, mulai sekarang kamu harus berhati-hati. Berpura-puralah seolah kamu masih tunduk padanya. Jangan biarkan dia curiga sedikit pun. Kita akan bergerak secara diam-diam.

Hana mengangguk, meskipun jantungnya berdegup kencang.

Namun, sebelum ia sempat berkata lebih banyak, ponselnya bergetar. Nama Arga muncul di layar.

Radit menatapnya dengan cemas. Angkat, tapi jangan sampai dia tahu kamu sedang bersamaku.

Dengan tangan gemetar, Hana menjawab panggilan itu. Ya, Pak?

Suara Arga terdengar dingin dan mengintimidasi. Kamu di mana?

Hana menarik napas dalam. Saya… sedang membeli kopi sebentar, Pak. Di lobi.

Hening sejenak. Kemudian, suara Arga terdengar berat dan menekan. Jangan coba-coba bermain-main denganku, Hana. Aku bisa tahu kalau kamu berbohong.

Sambungan telepon terputus. Hana menatap ponselnya dengan wajah pucat. Radit mendekat.

Dia sudah mulai curiga. Mulai sekarang, setiap langkahmu akan sangat berbahaya.

Hana mengepalkan tangannya. Ia tahu, babak baru dalam hidupnya telah dimulai. Dan kali ini, taruhannya adalah kebebasan… bahkan mungkin nyawanya.

***

Hana merasakan hawa dingin merayapi tubuhnya. Suara Arga di telepon masih terngiang di telinganya, seolah pria itu berdiri tepat di belakangnya. Ia cepat-cepat memasukkan ponsel ke dalam tas, menunduk, berusaha menyembunyikan ekspresi paniknya.

Radit memperhatikannya dengan saksama. Kamu harus benar-benar berhati-hati. Dia adalah tipe orang yang suka menguji kesetiaan. Kalau kamu berbohong sekali saja dan dia mengetahuinya, dia tidak akan memberimu kesempatan kedua.

Aku tahu, jawab Hana dengan suara yang nyaris tidak terdengar. Tapi aku tidak bisa terus hidup dalam ketakutan seperti ini.

Radit mencondongkan tubuhnya ke depan, berbicara dengan nada yang lebih pelan. Jika kamu benar-benar siap, aku akan menawari sebuah pilihan. Ada cara untuk menjatuhkannya, tetapi itu membutuhkan keberanian yang sangat besar. Bukan hanya dariku, tetapi juga darimu.

Hana menatap mata Radit, melihat keyakinan dan keraguan bercampur menjadi satu. Pilihan apa? tanyanya dengan penasaran.

Radit menyelipkan sebuah amplop cokelat ke dalam tas Hana. Di dalamnya terdapat bukti transaksi ilegal. Bukan semuanya, hanya sebagian kecil saja. Namun, itu sudah cukup untuk membuat masalah besar jika sampai bocor ke media. Kamu tidak perlu menyebarkannya sekarang. Simpan saja dulu. Jika Arga mulai menekankanmu lagi, kamu bisa menggunakannya sebagai jalan keluar.

Hana menggenggam erat tasnya. Amplop itu terasa seperti bom waktu yang bisa meledak kapan saja.

***

Dalam perjalanan pulang, Hana berusaha bersikap senormal mungkin. Ia membeli kopi di lobi sesuai dengan alasannya tadi, lalu naik lift dengan wajah yang tenang. Tapi jantungnya tetap berdebar kencang, dan setiap angka di panel lift terasa bergerak sangat lambat.

Pintu lift terbuka. Arga berdiri tepat di depan pintu ruangannya dengan kedua lengan terlipat di dada, menatapnya dengan tatapan yang sulit dibaca.

Kopi? tanyanya datar.

Hana mengangguk dengan cepat dan menyodorkan gelas kertas itu kepadanya. Iya, Pak. Ini untuk Bapak.

Arga menatapnya cukup lama sebelum mengambil kopi tersebut. Ia menyeruputnya perlahan, lalu bibirnya sedikit tertarik ke atas membentuk sebuah senyuman tipis. Panasnya pas. Untung kamu tidak terlalu lama.

Nada bicaranya terdengar seperti pujian, tetapi Hana bisa merasakan ancaman yang tersembunyi di baliknya. Seolah-olah Arga ingin mengingatkannya bahwa ia selalu bisa mengawasinya, bahkan ketika Hana merasa dirinya bebas.

Besok malam, aku ada jamuan bisnis, kata Arga sambil membuka laptopnya. Kamu ikut.

Jamuan bisnis? Hana hampir saja kehilangan kendali atas suaranya.

Arga mendongak dan menatapnya dengan tajam. Kenapa? Ada keberatan?

Hana menggeleng dengan cepat. Tidak ada, Pak.

Bagus. Aku tidak suka jika ada orang di sekitarku yang berani menolak permintaanku.

***

Malam itu, Hana sama sekali tidak bisa tidur. Ia duduk di tepi ranjang apartemennya, dengan amplop cokelat berada di pangkuannya. Rasanya seperti ada batu besar yang menekan dadanya. Jika Arga sampai tahu tentang amplop itu, tamatlah riwayatnya. Tetapi jika ia tetap diam saja, itu berarti ia membiarkan dirinya terus dikendalikan oleh pria itu.

Pikirannya dipenuhi dengan berbagai macam suara: wajah Radit yang penuh dengan tekad, suara ancaman Arga yang menusuk, dan dirinya sendiri yang mulai lelah menjadi boneka yang dikendalikan oleh orang lain.

Tangannya gemetar saat ia membuka amplop itu. Lembar demi lembar dokumen keluar, berisi bukti transfer uang dengan nama perusahaan asing dan tanda tangan Arga.

Hana menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Ini nyata. Arga bukan hanya pria manipulatif yang suka mengendalikan orang lain, tetapi juga seorang penjahat yang merusak hukum dari dalam.

Dan sekarang, Hana memegang salah satu rahasia paling berbahaya milik Arga Wirawan.

***

Keesokan harinya, sejak ia tiba di kantor, Hana merasakan tatapan Arga sudah berbeda. Tatapannya lebih tajam, lebih penuh dengan kecurigaan. Seperti seekor elang yang mencium keberadaan mangsa yang sedang bersembunyi di balik semak-semak.

Saat jam makan siang, Arga tiba-tiba berkata, Aku mendapat laporan bahwa kamu keluar gedung kemarin sore. Tetapi kamu bilang kamu hanya membeli kopi di lobi.

Hana membeku di tempatnya.

Lain kali, lanjut Arga sambil menyendok supnya dengan santai, jika kamu ingin berbohong, pastikan kebohonganmu itu sempurna. Aku paling benci dengan pengkhianat.

Hana menunduk, berusaha menahan napasnya.

Arga tersenyum tipis, senyuman yang membuat darah Hana terasa membeku. Anggap saja ini sebagai peringatan pertama. Jika sekali lagi aku merasa curiga, Hana… aku pastikan kamu tidak akan sempat memperbaiki kesalahanmu.

Hana menelan ludahnya dengan susah payah. Ancaman itu sangat jelas didengarnya. Ia tahu bahwa sejak hari ini, taruhannya semakin besar. Namun, di dalam ketakutannya, muncul sebuah api kecil. Api perlawanan.

Karena jika ia terus diam saja, ia tahu bahwa hidupnya akan sepenuhnya habis di tangan pria itu.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Pelukan Terlarang    Bab 60 : Kesadaran Hana

    Hari itu terasa berbeda. Udara di kantor tidak lagi sesak seperti biasanya, tapi justru terlalu tenang sebuah ketenangan yang menakutkan. Hana duduk di mejanya, menatap layar komputer tanpa benar-benar membaca apa pun. Tulisan di dokumen tampak kabur, karena pikirannya tidak bisa fokus.Ia sudah lelah.Lelah dengan gosip.Lelah dengan rasa curiga.Dan yang paling berat, lelah dengan dirinya sendiri.Sejak pesan misterius terakhir berbunyi di ponselnya — “Satu langkah salah, semuanya berakhir” — Hana tidak bisa tidur dengan tenang. Ia merasa seperti sedang diawasi setiap detik. Bahkan suara printer yang berdetak pelan pun membuatnya tersentak.Namun pagi ini, ada sesuatu yang berbeda.Ia menatap pantulan wajahnya di layar komputer: mata sembab, wajah pucat, bibir kering. Ia hampir tidak mengenali dirinya sendiri. Dulu ia adalah perempuan yang penuh semangat, selalu tersenyum setiap kali menyelesaikan laporan atau presentasi. Tapi sekarang… ia lebih mirip bayangan dari dirinya yang dulu

  • Pelukan Terlarang    Bab 59 : Perubahan Sikap Adrian

    Sejak pesan ancaman terakhir, suasana kantor terasa berbeda.Bukan hanya Hana yang berubah — Adrian juga.Biasanya, Adrian adalah sosok yang santai, tenang, dan jarang menunjukkan emosi di hadapan tim. Tapi sejak malam itu, ada ketegangan baru dalam gerak-geriknya. Tatapannya lebih tajam, langkahnya lebih cepat, dan setiap detail kecil di kantor kini menjadi perhatiannya.Ia mulai datang lebih pagi dari siapa pun, memeriksa ruang rapat, lorong, bahkan kamera keamanan yang sebelumnya jarang ia sentuh.Beberapa staf menganggapnya sekadar profesionalisme berlebih, tapi Hana tahu — itu bukan kebetulan.Adrian sedang berjaga.Melindungi.---Pagi itu, Hana tiba lebih lambat dari biasanya. Begitu masuk, ia mendapati Adrian sedang berbicara dengan tim IT. Wajahnya serius, nada suaranya terkontrol tapi tegas.“Saya mau rekaman CCTV minggu lalu, semua koridor lantai ini. Termasuk akses login di server internal,” katanya.Tim IT tampak gugup. “Baik, Pak. Tapi kami perlu izin tambahan dari manaj

  • Pelukan Terlarang    Bab 58 : Momen Romantis di Tengah Kekacauan

    Hana tidak ingat kapan terakhir kali ia benar-benar bisa bernapas lega.Rasanya seperti setiap detik di kantor kini diawasi, setiap langkah meninggalkan bayangan mencurigakan.Sejak foto itu dikirim lewat email anonim, ia tidak bisa berhenti memikirkannya. Gambar dirinya dan Adrian — terlalu dekat, terlalu jujur. Tatapan yang seharusnya hanya mereka yang tahu, kini ada di tangan orang lain.Siapa yang memotret itu?Kapan?Dan apa maksud pesan itu?Pertanyaan-pertanyaan itu berputar tanpa henti di kepala Hana, seperti suara gemuruh yang tak bisa diredam.---Sore itu, kantor mulai sepi. Langit di luar jendela berwarna jingga keemasan, indah tapi dingin. Hana masih duduk di mejanya, menatap layar laptop kosong. Matanya bengkak, lelah, tapi pikirannya terlalu kacau untuk berhenti.Adrian muncul tanpa suara. Ia berdiri beberapa detik di belakang Hana, memperhatikan perempuan itu yang bahkan tidak menyadari kehadirannya. Bahunya menegang, jarinya bergetar, dan napasnya berat.“Hana,” suara

  • Pelukan Terlarang    Bab 57 : Pertengkaran Batinnya Hana

    Pagi datang tanpa semangat.Langit di luar jendela tampak kelabu, seperti cerminan isi hati Hana.Ia menatap cangkir kopi di mejanya yang sudah dingin sejak setengah jam lalu.Malam tadi, ia hampir tidak tidur. Bayangan email yang diterima Adrian masih terngiang-ngiang di kepalanya — terutama kalimat itu: “Sekarang giliranmu.”Kata-kata itu seperti racun halus yang terus menggerogoti ketenangan pikirannya.Ia menggenggam cangkir itu lebih erat. “Kenapa harus seperti ini…” gumamnya pelan.---Adrian belum datang pagi itu. Biasanya, ia adalah orang pertama yang tiba di kantor. Tapi hari ini, ruangannya masih gelap, tirainya tertutup rapat.Hana berusaha fokus ke pekerjaannya. Ia menatap layar laptop, tapi huruf-huruf di layar seperti menari tanpa makna.Yang terlintas di pikirannya hanyalah wajah Adrian — serius, lelah, dan sedikit gelisah — saat terakhir kali mereka berbicara semalam.> “Udah terlambat, Han. Aku udah terlalu jauh buat mundur.”Kalimat itu membuat dadanya sesak.Ia tahu

  • Pelukan Terlarang    Bab 56 : Pengungkapan Awal

    Pagi itu, udara di kantor terasa berbeda.Tidak ada bisik-bisik seperti biasanya, tapi juga tidak ada ketenangan. Semua tampak menahan napas, seolah sesuatu besar baru saja terjadi tapi belum ada yang berani bicara.Hana datang dengan langkah pelan. Matanya masih berat karena kurang tidur. Malam lembur bersama Adrian semalam terus berputar di kepalanya, bukan hanya karena rasa canggung di antara mereka, tapi juga karena sosok misterius yang mengintip dari balik kaca.Ia belum sempat duduk ketika suara Adrian memanggilnya dari ruang kerja.“Hana, sini sebentar.”Nada suaranya terdengar berbeda. Serius. Terdengar seperti seseorang yang baru menemukan sesuatu penting.Hana masuk. Adrian berdiri di depan papan digital besar, menampilkan serangkaian data dan log server proyek.“Aku nemu sesuatu,” katanya tanpa basa-basi.“Apa?”“Log akses sistem semalam.” Adrian menunjuk layar. “Ada login mencurigakan jam 23.58 cuma beberapa menit sebelum kamu dapat pesan ‘Besok semua akan berubah’.”Hana

  • Pelukan Terlarang    Bab 55 : Malam Lembur Bersama

    Langit Jakarta malam itu tampak kelabu, seolah ikut menanggung beban yang menumpuk di dada Hana.Setelah insiden pesan misterius dan kegagalan sistem pagi tadi, suasana di kantor berubah kaku. Semua orang bicara pelan, seakan takut terseret ke dalam badai masalah yang menimpa tim Hana.Sore menjelang malam, sebagian besar karyawan sudah pulang. Lampu-lampu kantor redup, hanya menyisakan cahaya lembut dari lantai empat ruang divisi proyek tempat Hana dan Adrian bekerja.Adrian berdiri di dekat jendela, memandangi kota yang mulai ditelan hujan. “Kamu yakin mau lanjut lembur malam ini?” tanyanya tanpa menoleh.Hana yang sedang memeriksa data menatap layar kosong di depannya. “Aku nggak punya pilihan, Adrian. Kalau nggak beres malam ini, Dimas bakal gunting proyekku besok pagi.”Adrian menghela napas pelan, lalu menatapnya. “Kamu butuh istirahat, Han. Kamu udah kerja dua belas jam tanpa berhenti.”Hana tersenyum samar. “Kamu juga belum pulang.”“Itu beda,” jawab Adrian. “Aku yang milih te

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status