Home / Romansa / Pelukan Terlarang / Bab 5 : Jamuan Berbahaya

Share

Bab 5 : Jamuan Berbahaya

Author: Nara Cahya
last update Last Updated: 2025-08-22 21:09:52

Hana berdiri di depan cermin, memandangi bayangannya sendiri. Gaun hitam polos yang dipakainya terasa berat, lebih seperti baju zirah daripada pakaian untuk acara santai, apalagi pesta. Rambutnya dibiarkan tergerai bebas, sentuhan lipstik merah di bibirnya adalah satu-satunya warna yang berani. Meski penampilannya sudah oke, tangannya sedingin es, seperti baru keluar dari kulkas.

Ucapan Arga siang tadi masih terngiang jelas di kepalanya, Sekali saja aku merasa kamu mencurigakan, Hana… jangan harap kamu bisa memperbaiki kesalahanmu. Kata-kata itu lebih tajam dari pisau bedah. Dan sekarang, malam ini, ia harus tersenyum dan bersikap manis di acara makan malam dengan kolega bisnisnya, dikelilingi orang-orang penting. Salah sedikit saja, semuanya bisa hancur berantakan.

Bel apartemen berdering. Hana menarik napas dalam-dalam sebelum membuka pintu. Arga berdiri di sana, setelan jas hitamnya tampak sempurna. Rambutnya klimis, aroma parfumnya langsung menyerbu indra penciuman.

Hmm. Arga menatap Hana dari ujung kepala sampai kaki. Lumayan juga kalau ada usaha.

Hana berusaha keras untuk tidak membalasnya. Ia meraih tas kecilnya, lalu mengikuti Arga menuju mobil yang sudah menunggu di depan.

***

Restoran mewah itu berkilauan dengan lampu kristal dan suara sepatu hak tinggi saling bersahutan di atas lantai marmer. Sebagian besar tamu, para pria paruh baya dengan setelan jas mahal, sudah berkumpul di meja besar. Arga masuk dengan penuh percaya diri, dan Hana otomatis berjalan sedikit di belakangnya.

Arga, akhirnya kamu datang juga, seorang pria tambun dengan cincin emas besar menyambut mereka. Dan siapa wanita cantik ini?

Sekretarisku, jawab Arga singkat, sambil menekan punggung Hana agar maju selangkah. Namanya Hana.

Mata para pria itu menatap Hana, ada yang tersenyum ramah, tapi ada juga yang sorot matanya membuat Hana merasa mual. Hana menunduk, pura-pura sibuk menarik kursi.

Acara makan malam dimulai dengan obrolan bisnis yang serius, entah apa yang mereka bicarakan, Hana tidak terlalu peduli, toh dia tidak mengerti. Ia hanya duduk diam di samping Arga, berusaha setenang mungkin. Tapi setiap kali ia melirik, ia tahu Arga sedang mengawasinya. Matanya yang tajam sesekali melirik, memastikan Hana tidak melakukan hal yang aneh-aneh.

Saat seorang pria dengan aksen asing yang kental tiba-tiba mendekat dan berkata, Sekretaris yang cantik, Tuan Arga. Apa dia hanya bekerja di kantor?

Hana membeku di tempatnya. Arga tersenyum tipis, lalu meneguk anggur merahnya. Dia… sangat membantu. Dan setia.

Kata 'setia' diucapkan dengan nada yang menusuk tepat ke telinga Hana. Sebuah ancaman yang jelas.

Pria itu tertawa keras, sementara Hana hanya bisa tersenyum palsu.

***

Selesai acara makan malam, Arga tidak langsung mengantar Hana pulang. Mobil berhenti di parkiran hotel. Arga menoleh, tatapannya menajam.

Kamu lihat tadi? suaranya pelan tapi menusuk. Mereka semua bisa jadi teman atau musuh. Dan kamu, Hana, hanya bisa aman kalau ada di sisiku. Paham?

Hana mengangguk kecil.

Arga mendekat, bahunya nyaris menyentuh bahu Hana. Aku tahu kamu menyembunyikan sesuatu. Ada yang beda di matamu. Aku bisa mencium ketakutan bercampur niat tersembunyi di sana.

Hana tersentak, tangannya meremas tasnya. Apakah Arga sudah tahu tentang amplop dari Radit itu?

Kalau tebakanku benar, dan kamu berani mengkhianati ku… Arga menyeringai sinis, matanya dingin. Aku pastikan hidupmu hancur. Bukan hanya karier, tapi seluruh masa depanmu.

Mobil kembali melaju, meninggalkan Hana terperangkap dalam ancaman yang semakin nyata.

***

Malam itu di apartemen, Hana tidak bisa menahan tangisnya. Air matanya mengalir tanpa suara, membasahi dokumen yang tersimpan dalam amplop cokelat. Ia sadar, Arga semakin curiga. Dan jika ia tidak bertindak cepat, amplop ini bukan lagi jalan keluar, tapi tiket menuju kehancuran.

Namun, di balik rasa takutnya, muncul sebuah tekad kecil. Ia tidak bisa terus menjadi korban. Ia harus mencari cara untuk membalikkan keadaan.

Arga mungkin punya kekuasaan dan ancaman, tapi ia tidak akan selamanya berada di atas. Ia tidak akan terus menerus bersembunyi, menunggu diselamatkan, sudah saatnya ia melakukan sesuatu.

***

Hana terisak, menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Air matanya menetes di meja kerja kecil di sudut apartemen, membasahi kontrak yang dipaksa Arga berikan sore tadi. Amplop cokelat dari Radit masih tergeletak di laci, ia belum berani menyentuhnya.

Suara ponsel memecah kesunyian. Ada pesan masuk. Dengan tangan gemetar, Hana meraih ponselnya.

Radit: Besok pagi kita harus bertemu. Aku punya informasi baru tentang Arga. Jangan sampai ketahuan.

Hana menggigit bibirnya. Informasi baru? Jantungnya berdebar kencang. Jika Arga tahu ia masih berhubungan dengan Radit, habislah ia. Tapi, di sisi lain, hanya Radit satu-satunya orang yang bisa membantunya.

Ia membalas pesan itu dengan hati-hati.

Hana: Oke. Tempat biasa. Jam 8.

Ponselnya langsung ia matikan, kartu SIM dicabut dan disimpan di laci terpisah. Ia tahu Arga punya orang untuk mengawasinya. Ia tidak boleh lengah.

***

Keesokan paginya, Hana berusaha bersikap senormal mungkin di kantor. Senyumnya dipaksakan, langkahnya dibuat seringan mungkin. Tapi setiap kali melewati meja Arga, ia menahan napas. Lelaki itu duduk dengan santai, menandatangani dokumen, sesekali menatap Hana tanpa ekspresi.

Tatapan itu membuat darah Hana terasa berhenti mengalir.

Jangan tunjukkan rasa takut, bisiknya pada dirinya sendiri, menatap layar komputer. Ia harus menjaga wajah tetap tenang, walaupun di dalam hatinya sedang terjadi gempa bumi.

Menjelang pukul delapan, ia meminta izin keluar dengan alasan bertemu klien. Tangannya yang dingin menggenggam tasnya, berharap tidak ada yang curiga.

***

Kafe kecil di pinggir kota itu sudah menunggu. Radit duduk di pojok, wajahnya tegang. Begitu Hana datang, ia langsung berbisik cepat.

Aku dapat bukti Arga menyuap pejabat agar proyek ilegalnya berjalan lancar. Kalau bukti ini bocor, dia bisa jatuh. Tapi hati-hati, Hana. Dia sudah curiga padamu.

Hana terdiam. Rasanya seperti waktu berhenti. Bukti? Jika benar, ini bisa menjadi kunci untuk membalikkan keadaan. Selama ini ia merasa seperti tikus yang terjebak di labirin, tapi mungkin ini bisa jadi jalan keluar.

Radit, kalau aku memegang bukti ini… hidupku bisa berakhir kalau Arga tahu, Suaranya tercekat.

Radit menggenggam tangannya. Atau sebaliknya, kamu bisa bebas.

Hana menelan ludah. Kata 'bebas' itu seperti secercah cahaya di ujung lorong yang gelap. Tapi ia juga tahu, semakin ia melangkah, semakin berbahaya permainan ini.

***

Sementara itu, jauh di ruang kerjanya, Arga sedang menatap layar laptop. Ia tersenyum tipis. Ia baru saja menerima laporan dari salah satu anak buahnya: Hana terlihat memasuki sebuah kafe.

Senyum itu mengeras. Jadi… aku memang tidak salah menilaimu, Hana.

Arga menutup laptop, berdiri, lalu meraih jasnya. Malam ini, ia tidak akan tinggal diam, ia akan membuktikan semua kecurigaanya. Hana tidak akan bisa membohonginya.

Arga menuju kafe tempat Hana pergi, dia akan mencari tahu semua yang sedang terjadi.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pelukan Terlarang    Bab 60 : Kesadaran Hana

    Hari itu terasa berbeda. Udara di kantor tidak lagi sesak seperti biasanya, tapi justru terlalu tenang sebuah ketenangan yang menakutkan. Hana duduk di mejanya, menatap layar komputer tanpa benar-benar membaca apa pun. Tulisan di dokumen tampak kabur, karena pikirannya tidak bisa fokus.Ia sudah lelah.Lelah dengan gosip.Lelah dengan rasa curiga.Dan yang paling berat, lelah dengan dirinya sendiri.Sejak pesan misterius terakhir berbunyi di ponselnya — “Satu langkah salah, semuanya berakhir” — Hana tidak bisa tidur dengan tenang. Ia merasa seperti sedang diawasi setiap detik. Bahkan suara printer yang berdetak pelan pun membuatnya tersentak.Namun pagi ini, ada sesuatu yang berbeda.Ia menatap pantulan wajahnya di layar komputer: mata sembab, wajah pucat, bibir kering. Ia hampir tidak mengenali dirinya sendiri. Dulu ia adalah perempuan yang penuh semangat, selalu tersenyum setiap kali menyelesaikan laporan atau presentasi. Tapi sekarang… ia lebih mirip bayangan dari dirinya yang dulu

  • Pelukan Terlarang    Bab 59 : Perubahan Sikap Adrian

    Sejak pesan ancaman terakhir, suasana kantor terasa berbeda.Bukan hanya Hana yang berubah — Adrian juga.Biasanya, Adrian adalah sosok yang santai, tenang, dan jarang menunjukkan emosi di hadapan tim. Tapi sejak malam itu, ada ketegangan baru dalam gerak-geriknya. Tatapannya lebih tajam, langkahnya lebih cepat, dan setiap detail kecil di kantor kini menjadi perhatiannya.Ia mulai datang lebih pagi dari siapa pun, memeriksa ruang rapat, lorong, bahkan kamera keamanan yang sebelumnya jarang ia sentuh.Beberapa staf menganggapnya sekadar profesionalisme berlebih, tapi Hana tahu — itu bukan kebetulan.Adrian sedang berjaga.Melindungi.---Pagi itu, Hana tiba lebih lambat dari biasanya. Begitu masuk, ia mendapati Adrian sedang berbicara dengan tim IT. Wajahnya serius, nada suaranya terkontrol tapi tegas.“Saya mau rekaman CCTV minggu lalu, semua koridor lantai ini. Termasuk akses login di server internal,” katanya.Tim IT tampak gugup. “Baik, Pak. Tapi kami perlu izin tambahan dari manaj

  • Pelukan Terlarang    Bab 58 : Momen Romantis di Tengah Kekacauan

    Hana tidak ingat kapan terakhir kali ia benar-benar bisa bernapas lega.Rasanya seperti setiap detik di kantor kini diawasi, setiap langkah meninggalkan bayangan mencurigakan.Sejak foto itu dikirim lewat email anonim, ia tidak bisa berhenti memikirkannya. Gambar dirinya dan Adrian — terlalu dekat, terlalu jujur. Tatapan yang seharusnya hanya mereka yang tahu, kini ada di tangan orang lain.Siapa yang memotret itu?Kapan?Dan apa maksud pesan itu?Pertanyaan-pertanyaan itu berputar tanpa henti di kepala Hana, seperti suara gemuruh yang tak bisa diredam.---Sore itu, kantor mulai sepi. Langit di luar jendela berwarna jingga keemasan, indah tapi dingin. Hana masih duduk di mejanya, menatap layar laptop kosong. Matanya bengkak, lelah, tapi pikirannya terlalu kacau untuk berhenti.Adrian muncul tanpa suara. Ia berdiri beberapa detik di belakang Hana, memperhatikan perempuan itu yang bahkan tidak menyadari kehadirannya. Bahunya menegang, jarinya bergetar, dan napasnya berat.“Hana,” suara

  • Pelukan Terlarang    Bab 57 : Pertengkaran Batinnya Hana

    Pagi datang tanpa semangat.Langit di luar jendela tampak kelabu, seperti cerminan isi hati Hana.Ia menatap cangkir kopi di mejanya yang sudah dingin sejak setengah jam lalu.Malam tadi, ia hampir tidak tidur. Bayangan email yang diterima Adrian masih terngiang-ngiang di kepalanya — terutama kalimat itu: “Sekarang giliranmu.”Kata-kata itu seperti racun halus yang terus menggerogoti ketenangan pikirannya.Ia menggenggam cangkir itu lebih erat. “Kenapa harus seperti ini…” gumamnya pelan.---Adrian belum datang pagi itu. Biasanya, ia adalah orang pertama yang tiba di kantor. Tapi hari ini, ruangannya masih gelap, tirainya tertutup rapat.Hana berusaha fokus ke pekerjaannya. Ia menatap layar laptop, tapi huruf-huruf di layar seperti menari tanpa makna.Yang terlintas di pikirannya hanyalah wajah Adrian — serius, lelah, dan sedikit gelisah — saat terakhir kali mereka berbicara semalam.> “Udah terlambat, Han. Aku udah terlalu jauh buat mundur.”Kalimat itu membuat dadanya sesak.Ia tahu

  • Pelukan Terlarang    Bab 56 : Pengungkapan Awal

    Pagi itu, udara di kantor terasa berbeda.Tidak ada bisik-bisik seperti biasanya, tapi juga tidak ada ketenangan. Semua tampak menahan napas, seolah sesuatu besar baru saja terjadi tapi belum ada yang berani bicara.Hana datang dengan langkah pelan. Matanya masih berat karena kurang tidur. Malam lembur bersama Adrian semalam terus berputar di kepalanya, bukan hanya karena rasa canggung di antara mereka, tapi juga karena sosok misterius yang mengintip dari balik kaca.Ia belum sempat duduk ketika suara Adrian memanggilnya dari ruang kerja.“Hana, sini sebentar.”Nada suaranya terdengar berbeda. Serius. Terdengar seperti seseorang yang baru menemukan sesuatu penting.Hana masuk. Adrian berdiri di depan papan digital besar, menampilkan serangkaian data dan log server proyek.“Aku nemu sesuatu,” katanya tanpa basa-basi.“Apa?”“Log akses sistem semalam.” Adrian menunjuk layar. “Ada login mencurigakan jam 23.58 cuma beberapa menit sebelum kamu dapat pesan ‘Besok semua akan berubah’.”Hana

  • Pelukan Terlarang    Bab 55 : Malam Lembur Bersama

    Langit Jakarta malam itu tampak kelabu, seolah ikut menanggung beban yang menumpuk di dada Hana.Setelah insiden pesan misterius dan kegagalan sistem pagi tadi, suasana di kantor berubah kaku. Semua orang bicara pelan, seakan takut terseret ke dalam badai masalah yang menimpa tim Hana.Sore menjelang malam, sebagian besar karyawan sudah pulang. Lampu-lampu kantor redup, hanya menyisakan cahaya lembut dari lantai empat ruang divisi proyek tempat Hana dan Adrian bekerja.Adrian berdiri di dekat jendela, memandangi kota yang mulai ditelan hujan. “Kamu yakin mau lanjut lembur malam ini?” tanyanya tanpa menoleh.Hana yang sedang memeriksa data menatap layar kosong di depannya. “Aku nggak punya pilihan, Adrian. Kalau nggak beres malam ini, Dimas bakal gunting proyekku besok pagi.”Adrian menghela napas pelan, lalu menatapnya. “Kamu butuh istirahat, Han. Kamu udah kerja dua belas jam tanpa berhenti.”Hana tersenyum samar. “Kamu juga belum pulang.”“Itu beda,” jawab Adrian. “Aku yang milih te

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status