Mendengar pertanyaan Haikal mengingatkan Zaara tentang peristiwa tabrak lari yang dialaminya. Dia seringkali merasa sesak saat mengenangnya. Penyesalan datang terakhir kali. Sebelum petaka itu datang Zaara mengabaikan nasihat almarhum ibunya bahwa dia harus bisa memilah dan memilih teman. Salah satu teman Zaara mengundang Zaara untuk menghadiri acara ulang tahunnya di sebuah Pub. Tentu saja di sana mau tak mau dia menikmati apa yang dinamakan alkohol meskipun sedikit. Sementara itu sang ibu begitu cerewet soal minuman haram itu agar Zaara bisa menjaga dirinya. Perkataan sang ibu akhirnya terbukti. Saat Zaara terpuruk, teman-teman Zaara yang berasal dari kalangan jetset tersebut bahkan tidak ada yang menemaninya. Zaara memejamkan matanya lalu bersuara. “Aku mengalami kecelakaan,” “Sorry,” “Gak apa-apa, sekarang aku sudah terbiasa kok. Kalau orang nanya, aku gak bakalan marah. Soalnya sudah takdir,” “Aku salut sama kamu …” “Euh?” “Iya, jujur aku salut sama kamu. Kamu cukup tega
Beberapa detik kemudian, Zaara baru ingat jika dia memang sudah menduplikasi kunci rumah. Zaara spontan menggetok kepalanya sendiri atas kebodohannya sendiri bisa-bisanya lupa dengan kunci.Dengan meraba-raba, Zaara merogoh kunci yang berada di dalam tasnya lalu dengan cepat memasukan kunci ke dalam ring kunci, memutarnya perlahan hingga menyebabkan bunyi klik. Kunci pintu rumah terbuka. Zaara langsung merangsek masuk ke dalam dengan langkah hati-hati.Zaara langsung mencari keberadaan Fatimah. Tak sengaja kakinya terantuk sesuatu di lantai yang dilapisi karpet. Seperti sebuah tangan yang menjulur.“Astagfirullah, Ibu. Ibu kenapa?”Zaara menurunkan tubuhnya untuk menyentuh Fatimah yang tergolek di lantai. Fatimah tak sadarkan diri dengan posisi telentang.“Bu, bangun!”Zaara terus menepuk-nepuk pipi ibunya dengan keras agar terbangun. Namun nihil Fatimah masih tak sadarkan diri. Zaara langsung memeriksa nafasnya apakah masih ada atau tidak. Fatimah masih bernafas hanya terdengar lemah
Haikal memalingkan wajah, menahan tawa saat melihat penampilan Antonie yang tak karuan. “Dia Antonie, asistenku. Siapkan baju ganti untuknya! Sepertinya telah terjadi kesalahpahaman di sini,” ucap Haikal dengan suara penuh wibawa pada salah satu OG di sana. “Bubar kalian semua!” Para karyawan pun membubarkan diri. Antonie masih terbilang baru bergabung dengan perusahaan PT Mahardika Mine Corp sehingga wajar saja belum ada yang mengenalnya kecuali keluarga Haikal sebab dia sahabatnya sewaktu duduk di bangku kuliah. “Sialan, kampret! Aku sudah bilang aku asistenmu tapi tidak ada yang percaya,” keluh Antonie. “Puas kamu menertawakanku? Hah?” Kini Antonie menjelma badut dan tontonan gratis untuk Haikal. Rambut yang berantakan dan pakaian yang dipenuhi lumpur kotor. Haikal tertawa terpingkal-pingkal melihat kondisi sahabatnya yang mengenaskan. Tentu setelah karyawan tak ada di sana untuk menjaga wibawanya. Antonie membersihkan dirinya dan memakai pakaian ganti milik Haikal di ruangan
"Siapa Rara?”Begitulah yang terdengar oleh Safira. Hampir saja terdengar jelas Haikal menyebut nama Zaara.“Kamu ngomong apa sih Safir?” ucap Haikal dengan berusaha menormalkan perasaan canggungnya. “Sejak kapan kamu datang?”Safira terlihat menekuk wajahnya dengan ke dua tangan melipat di dadanya.“Well, tolong jelasin siapa Rara?”Berurusan dengan perempuan sangatlah tidak mudah, rumit. Haikal harus memutar otak untuk mencari sejuta alasan hanya karena menyebut nama seorang gadis. Atau mungkin ini karma dari Antonie yang salah sebut nama belakang Haikal. Kini dia mendapat semburan dari kekasihnya.“Oh my Gosh, itu nama si penjual bunga … aku lupa belum bayar bunga …”Haikal berdusta. Ini pertama kalinya dia merasa terintimidasi oleh pertanyaan Safira.“Em,”Safira menghela nafas.“Iya, sudah deh jangan mikir macam-macam! Lihat bunga itu aku jadi teringat dia soalnya belum bayar,”Haikal menuding jarinya ke arah taman yang ditumbuhi bunga mawar.“Bunga untuk siapa?” telisik Safira.
“Haikal, stop!” seru seorang pemuda yang tak lain adik kandung Haikal, Haidar Harun. Dia mencekal tangan sang kakak untuk menghentikannya meminum alkohol berlebihan. Haikal mengabaikan suara adiknya. Dia mulai kehilangan kesadaran dirinya dan meracau.“Safira … kita putus saja,” gumam Haikal. Dia mulai mengeluarkan unek-unek yang menjadi duri dalam hatinya. Dia merasa lelah dengan hubungan yang menggantung. Bagaimanapun dia ingin menjalani kehidupan yang normal di usianya yang sudah menginjak kepala tiga. Haidar memapahnya masuk ke dalam mobil dan mengantarnya pulang. “Kamu masih tidak berubah Haikal,”Haidar mendengus kesal. Hadiar adalah adik kandung Haikal dari pernikahan Elia dan Harun. wajah mereka sangat mirip bahkan seringkali dikira kembar. Saat Elia dan Harun bercerai, mereka memutuskan untuk memilih salah satu anak mereka. Namun nyatanya mereka tak bisa memilih dan menyerahkan pilihan tersebut pada putra mereka. Haikal memilih tinggal dengan Elia sedangkan Haidar memilih
“Tenang saja, Mas Haikal tak usah khawatir soal Antonie. Dia sekarang masih menjadi asisten juga. Tapi asisten Pak Arif,” seru Zul yang bisa melihat kilatan khawatir yang terpancar dari mata Haikal.Haikal hanya bisa mendengus kesal. Selain asisten pamannya, Arif, Zul juga kaki tangan Edi sehingga gerak-gerik Haikal kini diawasi.“Aku tidak mengkhawatirkan anak itu,” sahut Haikal ketus lalu kembali menatap berkas di atas meja dan mulai mempelajarinya satu per satu.“Jika ada kesulitan, kita bisa diskusikan semua hal,” desis Zul seraya duduk di bangku yang biasa ditempati Antonie.‘Sialan, dasar Nenek lampir! Bisa-bisanya berbuat sesuka hati,’Haikal menggerutu dalam hati, kesal dengan sikap sang ibu yang padahal tidak punya kuasa di perusahaan tetapi tingkahnya di atas suaminya.***Hari ini Zaara mengantar Fatimah pergi ke dokter. Mau tak mau Fatimah mengikuti keinginan Zaara untuk pergi ke sana. Zaara sangat mengkhawatirkan kondisi kesehatannya yang memburuk.“Bu Fatimah hanya perlu
“Baiklah, tidak apa-apa. Lain kali saja aku akan ke sini lagi. Aku minta brosur saja Mbak,” ucap Zaara memilih untuk kembali pulang sebab tak mungkin dia bisa masuk saat ini.‘Coba ketemu Mae,’ gumam Zaara.Zaara berjalan keluar dari lobi gedung tetapi tiba-tiba brosur pameran jatuh terhempas begitu saja dari tangannya membuatnya meraba-raba mencari brosur tersebut. Hingga Zaara tak menyadari pergerakan sebuah mobil yang tengah berusaha parkir.“Awas!” seru seorang pemuda yang mengendarai mobil itu dengan mengerem mendadak.Zaara terjatuh karena kaget mendengar suara pekik klakson mobil.“Ough!” seru Zaara meringis sebab saat terjatuh tangan kanannya menahan bobot tubuhnya. Tangannya terasa sakit. Tongkatnya pun terlepas begitu saja. Namun Zaara masih mencari brosur itu.Setelah meraih brosur pameran kini Zaara terlihat meraba-raba mengambil tongkatnya yang terjatuh. “Dasar kertas nakal!” omel Zaara pada secarik kertas tersebut sembari berusaha berdiri.Sementara itu pemuda itu keluar
Di lorong sepi belakang gedung pameran Zaara membiarkan air matanya lolos begitu saja. Dia mendadak melankolis. Dia tidak marah dan sedih saat teman kampusnya membully-nya tetapi dia merasa sedih atas sikap Evelyn padanya di mana dia malu mengakui Zaara sebagai saudarinya. Begitu hinakah Zaara di hadapan semua orang hingga membuat Evelyn merasa malu?Zaara buru-buru mengusap air matanya agar tak terlihat sehabis menangis.‘Zaara stupid, ngapain nangis juga,’ rutuk Zaara seraya berjalan menuju toilet gedung tersebut. Dia akan mencuci wajahnya. Dia berjalan mendekati wastafel tetapi mundur beberapa langkah sebab ada seorang gadis juga tengah mencuci tangan di sana.Hening. Zaara hanya medengar suara air yang mengalir dan gemericiknya mengenai tangan perempuan itu yang tengah dibasuh.Perempuan itu menoleh pada Zaara dengan tatapan yang tajam dan penuh kebencian. Dia memerhatikan Zaara dari pucuk kepala hingga ujung kaki. Lalu kembali menatap matanya yang sembab sehabis menangis. Seketik