"Kamu selalu bicara tentang mempunyai anak. Apa kamu masih menungguku untuk melayanimu?"
Scarlett, tanpa malu meraih kancing baju rumah sakit Tristan sambil santai berkata, "Dengan kondisi kamu sekarang, apakah kamu masih bisa melakukannya?" Tristan hampir saja ingin menjahit mulut Scarlett dengan jarum dan benang karena kesal. Ia mendorong tangan Scarlett menjauh dengan kesal. "Kamu memang pandai sekali membuka baju orang." Lalu Tristan mengganti topik, "Kita bahas soal kamu memberi obat itu besok saja, tunggu saat orang tuamu datang." Scarlett terjatuh ke kursi di dekat ranjang karena didorong, lalu cemberut. "Tristan, kamu benar-benar membuat semua ini jadi tidak seru." Tristan boleh saja menggangu siapa pun, tapi tidak dengan orang tua Scarlett. Mereka adalah segalanya untuk Scarlett, dan batas terakhir yang tidak bisa dilewati. Tristan menatapnya tanpa ekspresi. "Waktu kamu memberikan obat itu padaku, kamu tidak takut?" Setelah itu, dia mengambil botol obat dari bawah bantalnya dan melemparkannya ke arah Scarlett. "Minum ini sekarang, atau biar orang tuamu yang menilai perbuatan jahatmu." Scarlett menangkap botol obat yang dilempar Tristan dan melihat itu adalah obat pencahar. Seketika amarahnya meluap. Ia menahan diri, menggertakkan gigi lalu berkata, "Oke Tristan, kamu menang." Scarlett lebih memilih tetap di rumah sakit beberapa hari daripada harus mendengar ibunya menangis dan memarahinya. Lalu, dia menuangkan obat ke telapak tangannya dan bersiap untuk menelannya. Melihat Scarlett hendak meminum obat itu, Tristan kembali mengambil bantal dan, dengan tenaga ringan, melemparkan bantal it uke arah Scarlett. Obat-obat itu berjatuhan ke lantai, dan saat Scarlett menatapnya dengan kesal, Tristan berkata dengan datar, "Aku tidak sependendam kamu." Scarlett malah tertawa. "Kalau kamu memang tidak tega, mengaku saja." Tristan menatapnya dingin, dan Scarlett langsung pura-pura bergestur mengunci mulutnya dan diam. Suasana kamar pun kembali tenang. Beberapa saat kemudian, makanan hangat yang dipesan Audrey dari hotel akhirnya datang. Scarlett mengambil mangkuk dan sendok, lalu duduk hati-hati di sisi ranjang, menyuapi Tristan. Sebelum setiap suapan, ia meniup makanan untuk mendinginkannya, lalu mencicipinya sedikit. Setelah yakin cukup dingin, barulah ia menyuapi Tristan. Semua terasa seperti kembali ke masa sebelum pertengkaran mereka. Sudah lama mereka tidak sedekat ini. Di tengah sunyi malam, saat Tristan terbangun, hanya lampu tidur kecil di samping ranjang yang masih menyala redup. Cahayanya samar, dan Scarlett tertidur di tepi ranjang. Sudah dua tahun sejak terakhir kali Tristan menatapnya seperti ini. Tristan mengangkat tangan kanannya, hendak menyentuh wajah Scarlett, tapi tangannya terhenti. Ia teringat semua kata-kata yang pernah diucapkan Scarlett hari itu, kebakaran, dan bukti yang tak terbantahkan. Semua kenangan itu kembali menyeruak. Akhirnya, Tristan meletakkan tangannya di kepala Scarlett dan berbisik pelan, "Sebenci itukah kamu, sampai-sampai ingin menghabisi nyawaku?" Dalam rekaman CCTV yang Tristan dapatkan dari orang kepercayaannya, seorang wanita yang mirip sekali dengan Scarlett, membakar kamar yang ada Tristan dengan seorang perempuan didalamnya. Setelah kejadian kebakaran itu, mereka tidak mungkin kembali seperti dulu lagi. Tristan juga tak mungkin lagi memenuhi keinginan Scarlett untuk punya anak, karena ada yang menjadi korban. Hubungan mereka tetap bertahan, tapi isinya hanya luka dan saling menyiksa. Sampai Tristan keluar dari rumah sakit, dia tidak pernah menyebut soal Scarlett yang sempat meracuninya. Sementara itu, Scarlett merawat Tristan sampai ia sembuh dan keluar dari rumah sakit. Setelah itu, dia kembali bekerja di firma hukum usai menyelesaikan cuti tahunannya. Mereka pun kembali menjalani hidup masing-masing, seperti orang asing yang tak saling mengenal. Suatu sore, ketika Tristan baru pulang dari pertemuan Bersama pemerintah setempat, Andrew datang membawakan beberapa dokumen untuk ditandatangani. Setelah meletakkan dokumen, Tristan bertanya, "Scarlett sedang sibuk apa sekarang?" Sudah sebulan sejak terakhir kali Scarlett mencarinya. Andrew menjawab, "Tuan, nyonya Scarlett sedang sibuk bekerja. Dia menangani cukup banyak kasus perceraian." Suaranya terdengar lebih pelan saat mengucapkan kalimat terakhir itu. Tristan meletakkan dokumen di tangannya sambil tertawa dingin, "Apakah ia sedang Latihan?" Andrew hanya diam, karena dia juga berpikir hal yang sama. Di firma hukum United Law, dalam ruang rapat, Scarlett tiba-tiba bersin dan bertanya-tanya siapa yang sedang membicarakannya, saat direktur menoleh dan berbicara dengan tulus, "Scarlett, kamu masih muda, kenapa ambil banyak kasus perceraian?" Lalu ia menoleh ke rekan-rekan lain, "Jangan suka merundung Scarlett hanya karena dia masih baru. Jangan semua kasus yang tidak enak malah dilempar ke dia." Scarlett tersenyum dan menjawab, "Direktur, tidak apa-apa. Saya anggap ini latihan aja." Pernikahannya dengan Tristan bisa saja berubah jadi medan perang yang keras, dan ia ingin pemanasan dulu. Direktur mengernyitkan dahi lalu berkata, "Bukan begitu caranya latihan. Scarlett, ke depannya kurangi ambil kasus perceraian. Nanti bisa pengaruh ke pandanganmu soal pernikahan." Dia khawatir Scarlett terlalu terpengaruh di tahun pertamanya bekerja. Sebelum Scarlett sempat menjawab, direktur sudah menambahkan, "Jangan bilang aku tidak pernah membimbingmu sebagai atasan. Aku dengar King International sedang mencari firma hukum baru. Kalau kamu bisa dapat klien sebesar King International, nama kamu akan langsung dikenal di industri ini." Selama bertahun-tahun, firma tempat Scarlett bekerja sudah berusaha keras mendapatkan King International sebagai klien, tapi belum pernah berhasil. Tahun ini, dengan wajah baru seperti Scarlett, mereka ingin mencoba lagi. Sang direktur percaya pada sikap dan kemampuan Scarlett. Untuk menenangkan Scarlett, ia menambahkan, "Tidak perlu merasa tertekan, Scarlett. Kantor tidak menuntut kamu harus berhasil mendapatkan Kerjasama ini. Cukup lakukan yang terbaik." Dengan dorongan itu, Scarlett akhirnya setuju, meski enggan. Tapi membayangkan harus berurusan dengan King International sudah cukup bikin kepalanya pusing. Jadi ketika Scarlett pulang ke rumah untuk makan malam bersama orang tuanya malam itu, dan mereka mulai menanyai soal Tristan, ia langsung membalas dengan nada dingin, "Ayah, kalian berdua — Ayah, ayah Lucian — benar-benar yakin jika memaksa aku menikah dengan Tristan itu adalah bentuk perhatian? Atau sebenarnya kalian cuma menjebakku?" Mendengar itu, ekspresi Chris langsung berubah serius. "Kamu bicara apa? Jelas-jelas kami memikirkan masa depanmu. Lagi pula, banyak peramal bilang zodiakmu hanya cocok dengan Tristan. Karena jika kamu menikah dengan orang lain, maka kamu tidak akan bisa punya anak." Scarlett melirik ke arah ayahnya. "Jaman sekarang, ayah masih percaya dengan ramalan? Bisa saja para peramal itu bohong." "Yang konsultasi ke mereka kan ayah mertuamu, bukan aku. Ayah saja tidak mengenal mereka siapa." Gagasan bahwa Scarlett hanya bisa punya anak dengan Tristan terasa konyol dan membuat frustrasi. Apakah ini hutangnya ke Tristan di kehidupan lalu? Atau justru utang Tristan padanya? Kenapa takdir seperti sengaja mempermainkan hidup mereka? Rasanya tak ada naskah kehidupan yang seburuk miliknya. Di saat yang sama, ibunya ikut bicara, "Chris, kalau nanti Scarlett sampai punya anak, dan Tristan tetap minta cerai, Scarlett bisa urus hak asuh anaknya, kan?" Chris mengangguk. "Kata Lucian, jika sampai kejadian, anak-anak pasti akan tetap bersama Scarlett. Jadi tugas utama dia sekarang adalah memastikan dia punya anak." Ibunya menghela napas lega. "Scarlett, dengar ya? Kamu harus prioritaskan ini, Sayang." Scarlett menjawab dengan nada sinis, "Iya, aku mengerti. Sekarang prioritas utamaku adalah punya anak dengan Tristan."Melihat dari urutan waktunya, seharusnya mereka saling bertemu.Scarlett melihat termos sup di meja kerja Tristan dengan sekilas."Sepertinya aku datang di waktu yang tepat," ujarnya santai.Sambil berkata demikian, ia meletakkan setumpuk dokumen yang dibawanya ke atas meja dan meraih termos sup itu.Tristan tidak bisa membiarkan Scarlett membuka termos itu. Ia segera mengambil ponselnya dan berkata,"Aku akan meminta Andrew untuk membawanya keluar."Scarlett menimpali, "Jangan sia-siakan usaha yang sudah dia lakukan."Sambil berbicara, ia mengambil termos tersebut dan berkata,"Siapa tahu dari memakan ini aku bisa belajar membuatnya."Tristan memperhatikannya, penasaran dengan apa yang akan dilakukan Scarlett. Saat termos dibuka, Scarlett mencicipi perlahan sup yang sudah dimasak Nicole, lalu menatap Tristan sambil bertanya,"Mau coba?"Tristan tersenyum menyeringai."Aku hanya tertarik pada 'jus' legendarismu itu."Scarlett tertawa terbahak hingga hampir menyemburkan sup yang baru s
Setelah selesai pergulatan panas, Tristan menyandarkan kepala pada tangannya dan berbaring miring, menatap Scarlett dengan penuh kekaguman. Bagi Tristan, rona kemerahan di wajah Scarlett tampak sangat mempesona.Menyadari tatapan itu, Scarlett membuka matanya dan membalas pandangan Tristan dengan ekspresi sinis. “Belum pernah melihat perempuan cantik sebelumnya?”“Aku belum pernah melihat yang secantik kamu,” jawab Tristan sambil mengusap lembut punggung dan lehernya.“Anak kita nanti lebih baik mewarisi penampilanku,” ujar Scarlett.“Selama itu anakku, aku tidak keberatan,” sahut Tristan, yang langsung mendapat tatapan tajam dari Scarlett.Dalam keadaan setengah tertidur, Scarlett tiba-tiba teringat sesuatu. “Kita perlu berbicara dengan ibumu. Jangan terburu-buru membahas soal anak.” Hanya sehari setelah malam pertama mereka, Audrey sudah memborong berbagai perlengkapan bayi. Scarlett merasa beban itu terlalu berat.Tristan menarik Scarlett ke dalam pelukannya. “Baik, aku akan bicara
Perkataan Cedric hampir saja membuat Audrey naik pitam hingga ingin membalikkan meja makan.'Dasar laki-laki tak tahu diri,' gerutunya dalam hati. Betapa beraninya dia berkata seperti itu di hadapannya! Tidak diragukan lagi, ia pasti tengah merencanakan sesuatu untuk merebut hati Scarlett di belakang keluarga King. Ia benar-benar berniat mengambil Scarlett.Meskipun amarah berkecamuk di dalam dirinya, Audrey berhasil menahan diri dan berkata dengan senyum palsu, “Baiklah, saya akan bantu mencarikan untukmu!”Ia sudah berniat untuk mencarikan seorang perempuan yang bisa membuat Cedric kewalahan.Scarlett, yang duduk di samping, mengusap pelipisnya sambil menyaksikan ketegangan yang tersembunyi antara Audrey dan Cedric. Ketika makan malam yang terasa cukup canggung itu akhirnya usai sekitar pukul 20.30, Scarlett menghela napas lega. Setidaknya sandiwara hari ini telah selesai.Di kursi belakang mobil, Audrey menatap tajam lampu belakang kendaraan di depan mereka dan berkata dengan nada
Tatapan mereka saling bertemu, lalu Tristan menggoda, “Masih belum puas?”Scarlett menjulurkan kakinya dan dengan santai menggesek tulang kering Tristan menggunakan kuku kakinya yang sudah dipoles, sebagai tanda bahwa ia tidak menyukai komentar Tristan. Tristan tertawa kecil dan menarik Scarlett ke dalam pelukannya.Dengan nada lelah, Scarlett berkata, “Kamu harus tahu, kalau semuanya tidak berjalan baik, anak-anak nanti tetap menjadi tanggung jawabku.” Setelah tujuan utama mereka tercapai, pikiran Scarlett mulai mengarah ke masa depan.Tristan hanya tertawa menanggapi, “Jangan harap.” Berpisah? Itu hanya akan terjadi jika dia mati—Scarlett tidak akan bisa melepaskannya semudah itu. Ia pun memeluk Scarlett dengan lebih erat.Terlalu letih untuk berdebat, Scarlett memilih memejamkan matanya. Tristan memandangi wajahnya sambil tersenyum lalu melirik ke arah jam. Sudah pukul 4 pagi.Keesokan paginya, saat sinar matahari mulai masuk ke dalam kamar, Scarlett merasa sangat kelelahan dan eng
Pertanyaan dari ibunya, membuat emosi Tristan memuncak. “Suka padanya? Astaga, Bu, tenanglah sedikit. Tidak perlu memperkeruh keadaan.”“Baiklah, ibu mengerti,” jawab Audrey dengan senyum tipis. “Mulai sekarang, ibu tidak akan mengganggunya lagi.”Namun rasa penasaran Audrey belum terpuaskan. Ia bertanya lagi, “Lalu bagaimana dengan Scarlett? Apakah kamu benar-benar mencintainya, atau kamu menikahinya hanya karena tekanan dari ayahmu dan ibu?”Di seberang telepon, Tristan tertawa kecil menanggapi drama ibunya. “Bu, kapan aku pernah melakukan sesuatu yang tidak ingin aku lakukan?”Audrey masih belum puas, suaranya terdengar penuh harap sekaligus curiga, “Jadi kamu memang mencintai Scarlett?”Dengan Scarlett yang sedang berada tak jauh darinya, Audrey sebenarnya tengah mencari kepastian—berusaha menenangkan hatinya sendiri sekaligus memberikan keyakinan pada Scarlett.Tristan menghela napas panjang sambil memijat pelipisnya, frustrasi. “Bu, aku masih banyak urusan. Nanti kita bicara lag
Scarlett tampak sedikit terkejut. Tristan melangkah mendekat, mengangkat tangannya untuk mengacak rambut Scarlett, lalu memeluknya dengan lembut. “Kamu telah melakukan pekerjaan yang luar biasa,” ucapnya dengan nada lembut.Scarlett, yang telah membela kliennya dengan penuh semangat dan dedikasi, membuat Tristan terkesima. Di ruang sidang, ia tampak sangat berbeda, serius, dan penuh wibawa—sangat kontras dengan sosok Scarlett yang biasanya ceria dan penuh canda.Tristan pun tak bisa menahan diri untuk bertanya-tanya dalam hati—apakah benar Scarlett pernah menjadi penyebab kebakaran beberapa tahun silam? Mengingat betapa besar rasa hormat yang ditunjukkannya terhadap hukum.Dengan senyum tipis, Scarlett merespons perhatian Tristan, “Terima kasih.”Ini merupakan kasus pertama yang pernah disaksikan Tristan secara langsung sejak Scarlett memulai kariernya sebagai pengacara.Ketika Logan dan rekan-rekannya melihat kedatangan Tristan, mereka sempat merasa penasaran, namun memilih untuk tet