Pada awalnya, Scarlett mengabaikan ucapan para peramal. Namun, ketika semua ramalan yang ia dengar mulai terdengar serupa, ia tak bisa tidak memikirkannya dengan lebih serius. Apa pun yang akan terjadi antara dirinya dan Tristan, Scarlett merasa sudah saatnya ia segera memulai rencana untuk memiliki anak.
Usai makan malam dan meyakinkan kedua orang tuanya bahwa ia tengah mengurus kasus, Scarlett pun berangkat, meninggalkan rumah besar keluarga Wilson yang megah.
Sesampainya di Bougenville Residence, begitu ia melangkah masuk, Melly segera menghampirinya dengan penuh semangat. “Nona Scarlett, Tuan Tristan telah kembali.”
Tangan Scarlett terhenti di udara saat ia hendak menggantung tasnya. Ia tampak terkejut.
Ternyata Tristan memang tidak bisa benar-benar menjauh. Sepertinya Lucian berhasil memberinya tekanan.
Scarlett terdiam sejenak sebelum Melly, yang tampak tidak mampu menyembunyikan kegembiraannya, berkata, “Tadi saya naik ke atas untuk mengganti seprai. Saya melihat Tuan Tristan membawa pakaian ke kamar mandi. Sepertinya beliau akan bermalam di sini.”
Ketika suaminya pulang, bahkan para pelayan pun menunjukkan kegembiraan, seolah ia adalah seorang ratu yang akhirnya mendapatkan kunjungan dari sang raja. Dalam hati, Scarlett hanya bisa menertawakan dirinya sendiri.
Setelah mengenakan sandal rumahnya, Scarlett tersenyum dan berkata, “Baiklah, aku akan naik dan melihatnya.”
Ia membuka pintu kamar tidur dan mendapati Tristan baru saja keluar dari kamar mandi. Scarlett tertawa kecil, “Akhirnya kamu kembali. Tunggu sebentar, aku mau mandi dulu.”
Tristan menatapnya dengan ekspresi kesal. “Scarlett, apa kamu tidak bisa memikirkan hal lain?”
Scarlett terkekeh pelan. “Apa salahnya mandi setelah pulang ke rumah? Lagi pula, kalau aku tidak merasa tergoda saat melihatmu, justru kamu yang akan kecewa.”
Tristan pun terdiam.
Sekitar empat puluh menit kemudian, Scarlett keluar dari kamar mandi dengan tubuh segar dan pikiran jernih. Ia melihat Tristan sedang bersandar santai di tempat tidur sambil membaca buku, dengan kacamata berbingkai emas bertengger di hidungnya.
Merasa segar dan penuh semangat, Scarlett mendekatinya. “Kalau kamu tidak siap malam ini, aku bisa ikut ke dokter bersamamu.”
Tristan menatapnya dengan dingin, membuat Scarlett buru-buru mengalihkan pembicaraan. “Tidak mau membahas itu, ya? Baiklah, kita bicarakan hal lain saja, yang lebih serius.”
Tristan meletakkan bukunya dan untuk sekali ini suaranya terdengar lembut, “Apa kamu sudah benar-benar memutuskan soal perceraian?”
Scarlett menjawab cepat, “Apa tidak bisa berpikir positif sedikit saja?” Sambil berkata begitu, ia lebih mendekat.
Tristan menunduk dan melihat Scarlett melingkarkan tangan di lehernya. “Bagaimana dengan menjadi penasihat hukum untuk King International? Bisa tidak kalau kita—”
Ia belum sempat menyelesaikan kalimatnya ketika Tristan memotong tajam, “Jangan pernah coba-coba.”
“Ayolah!” protes Scarlett. “Apa bedanya sih firma lain dengan United Law LLP? Kalau memang ada syarat, kita bicarakan saja.”
Tristan memandangnya dengan sinis, sebuah senyuman tipis muncul di sudut bibirnya. “Mau negosiasi? Dengan aturan tak tertulis seperti itu? Scarlett, bahkan kalau kamu yang membayarku pun, aku tidak akan menerimamu. Apalagi kalau aku yang harus membayar kamu.”
Scarlett memang memesona, tipe wanita yang mudah membayangi pikiran siapa pun, tetapi Tristan sudah bisa membaca siasatnya sejak ia masuk ke kamar itu.
Dengan sikap yang tetap dingin, Tristan tak bereaksi ketika Scarlett mulai bermain-main dengan cuping telinganya. “Kalau begitu, bagaimana kalau aku yang bayar jasanya, dan kamu berikan aku seorang anak?”
Tristan mendongak, “Agar anak laki-lakimu bisa mewarisi hartaku? Teruskan saja mimpimu.”
Dua tahun menjalani pernikahan, Tristan sadar bahwa Scarlett hanya tertarik punya anak ketika melihatnya, dan itu membuatnya merasa seperti sekadar alat untuk mencapai tujuan.
Scarlett tertawa kecil, “Siapa bilang pasti anak laki-laki? Bagaimana kalau ternyata anak perempuan? Atau begini saja, aku buat perjanjian tertulis bahwa anakku tidak akan mewarisi hartamu.”
Pernyataan itu justru membuat Tristan semakin enggan.
Aroma keintiman mulai memenuhi ruangan, suasana menjadi tegang dan sarat hasrat. Gaun tidur Scarlett melorot dari bahu, memperlihatkan kulit lembut dan lekuk tubuh Scarlett. Ia terus mendekat ke arah Tristan.
Ponsel Tristan yang tergeletak di meja samping tempat tidur tiba-tiba bergetar. Suara itu membuyarkan lamunan Tristan. Ia segera melepaskan Scarlett dan meraih ponselnya. Mendengar suara Andrew di seberang sana, Tristan berkata, “Kau jemput mereka dulu. Aku menyusul.”
Setelah menutup telepon, Tristan bersiap pergi. Namun, Scarlett meraih lengannya dan menahan, “Tristan, sekarang sudah lewat tengah malam!”
Tristan menepis tangannya dengan tenang dan berkata, “Kamu pikir aku ingin melakukannya denganmu?”
Begitu Tristan pergi, Scarlett merasa sangat kesal. Ia langsung menelepon Zoe dan mereka pergi ke bar bersama.
Mendengar bahwa kesempatan Scarlett kembali gagal, Zoe bertanya dengan nada curiga, “Tristan tidak terpancing? Apa dia benar-benar impoten?”
Scarlett menjawab sambil merenung, “Kemungkinan besar dia hanya ingin membuatku jengkel.”
Zoe mendengus, “Padahal, jika kalian cerai dia bahkan tidak harus bertanggung jawab atas anak itu. Sebenarnya, dia itu mikir apa sih?”
“Kalau aku punya istri seperti kamu, aku tidak akan membiarkanmu turun dari ranjang.” Ucapan Zoe yang bernada menggoda membuatnya terdengar seperti ‘salah satu dari seorang laki-laki casanova’. Yang aneh, gaya tomboy-nya malah membuatnya cukup populer di kalangan perempuan di bar itu.
Saat mereka terus berbagi cerita pribadi, Zoe tiba-tiba berhenti menggulir layar ponselnya. Ekspresinya berubah serius, lalu ia menyerahkan ponsel itu kepada Scarlett. “Scarlett, Tristanmu benar-benar sudah kelewatan.”
Begitu menerima ponsel itu, suasana hati Scarlett langsung buruk.
Tampaknya Scarlett bisa memulai usaha dengan menyewakan suaminya. Tristan bebas berkeluyuran, tetapi bersikap dingin saat bersamanya? Ini benar-benar bentuk ketidakhormatan yang tidak bisa dimaafkan.
Clunk! Dengan gerakan santai namun penuh makna, Scarlett meletakkan gelas kosongnya terbalik di atas meja. Saat ia mendorong kursinya untuk berdiri, sekelompok perempuan yang cekikikan tiba-tiba menghadangnya.
“Nah, lihat siapa yang datang,” ujar salah satu dari mereka dengan senyum sinis.
“Malam ini kelihatan agak kusut, ya?” kata yang lain, pura-pura prihatin tapi nadanya sarat sindiran. “Lagi menenggelamkan duka dalam alkohol?
Setelah Camilla meletakkan makan siang di meja Tristan, ia menarik kursi di depannya lalu duduk, mencondongkan tubuh seperti ingin berbicara rahasia.“Tristan, aku sekarang kerja di perusahaan keluargaku. Memang sahamku diatur oleh kakakku, tapi aku adalah pemegang saham terbesar, jumlahnya sama persis seperti yang dia punya.”Sudah lama ia ingin menyombongkan hal ini pada Tristan, namun belum mendapatkan waktu yang tepat. Yang tidak Camilla sadari, Scarlett adalah anak tunggal. Seluruh perusahaan King International suatu hari akan menjadi milik Scarlett. Kalau mau, Chris bahkan bisa memindahkan semua sahamnya ke Scarlett sekarang juga.“Selamat,” ucap Tristan singkat tanpa ekspresi.“Tristan, keluarga Oswald dan keluarga King itu selalu dekat. Kakekku sendiri yang menyetujui kerja sama proyek ini. Memang, aku dan Scarlett pernah punya masalah, tapi itu tidak akan memutus hubungan keluarga kami.“Lagipula, kamu sudah melupakan Helen dan sekarang bersama Scarlett. Jadi, suatu hari nant
Tristan tertawa kecil. “Istriku telah disentuh oleh pria lain. Kemenangan apa yang tersisa untukku?”Scarlett menghela napas sambil memutar matanya. “Dia tidak menyentuhku langsung, tangannya hanya menempel dibajuku. Lagi pula, aku belum sampai ke bagian kaki.”“Ha!” Tristan tertawa dingin lalu terdiam.Tristan enggan melanjutkan pembicaraan dan memilih diam. Scarlett pun melakukan hal yang sama, hanya fokus pada ponselnya.Melihat hal itu, Tristan mencibir dengan nada sinis, “Masih sempat bermain ponsel dalam situasi seperti ini?”Scarlett terdiam sejenak lalu menjawab, “Baiklah, aku berhenti bermain ponsel. Puas sekarang?” Ia mulai menyadari bahwa Tristan bisa sangat sulit diajak bicara. Namun, melihat sikap Tristan yang cemberut dan sengaja menghindari tatapannya, Scarlett justru merasa hal itu cukup menggemaskan. Ia pun menyentuh wajah Tristan dengan gemas. “Tristan, aku harus akui, kamu terlihat sangat menggemaskan saat cemburu. Wajahmu mirip ikan buntal yang mengembung.”Tristan
Ketiga terapis pria yang sedang melayani mereka langsung tahu ada sesuatu yang tidak beres begitu melihat tamu yang baru masuk. Mereka cukup cerdik untuk tahu kapan harus menghindar sebelum terseret ke dalam drama pribadi orang lain.Memang, mereka hanya menjalankan tugas, tapi tak ada gunanya terlibat dalam urusan rumah tangga klien.Wajah Tristan menunjukkan amarah yang tak tertahankan. Dalam sekejap, Bruce bangkit dari ranjang pijat dan tersenyum lebar, “Hei, bro, ada angin apa datang ke sini? Capek kerja, ya? Mau santai sebentar, kan? Sering ke sini? Biar aku bantu carikan terapis, aku yang bayar. Mau pria atau wanita? Terapis pria tenaganya kuat, tapi aku tahu kamu pasti tidak nyaman disentuh laki-laki. Aku akan cari terapis wanita—nomor 11 cantik sekali, kakinya jenjang, kulitnya mulus, dan, bentuk tubuhnya luar biasa.”Bruce berbicara seenaknya, seolah Scarlett dan Zoe tidak berada di ruangan yang sama, dan seolah dia bukan orang yang tadi baru saja menjelek-jelekkan Tristan, m
Sikap santai Tristan berhasil mencairkan ketegangan yang sempat muncul saat ia berkata, “Saya sudah melihat Scarlett dalam kondisi terbaik maupun terburuknya, jadi tidak perlu khawatir atas namanya, Logan.”Logan mengangkat pandangannya, bingung dengan apa yang baru saja diucapkan Tristan. Apa maksudnya? Apakah mungkin Tristan dan Scarlett telah melanggar batas profesional? Skandal semacam itu belum pernah terjadi di firma mereka sebelumnya.Tentu saja, Logan bisa menerima hubungan asmara yang wajar di tempat kerja. Namun, jika Scarlett sengaja mendekati Tristan demi mendapatkan kerja sama dengan hukum King International, itu adalah masalah serius yang tak ingin ia sentuh sama sekali.Perilaku tidak etis semacam itu mungkin dianggap wajar di firma lain, tapi di United Law LLP, hal tersebut sama sekali tidak bisa diterima. Tindakan seperti itu bukan hanya akan mencoreng reputasi firma, tapi juga bisa merusak integritas dari hasil kerja mereka.Saat Logan berdiri terpaku, dengan ekspres
Melihat dari urutan waktunya, seharusnya mereka saling bertemu.Scarlett melihat termos sup di meja kerja Tristan dengan sekilas."Sepertinya aku datang di waktu yang tepat," ujarnya santai.Sambil berkata demikian, ia meletakkan setumpuk dokumen yang dibawanya ke atas meja dan meraih termos sup itu.Tristan tidak bisa membiarkan Scarlett membuka termos itu. Ia segera mengambil ponselnya dan berkata,"Aku akan meminta Andrew untuk membawanya keluar."Scarlett menimpali, "Jangan sia-siakan usaha yang sudah dia lakukan."Sambil berbicara, ia mengambil termos tersebut dan berkata,"Siapa tahu dari memakan ini aku bisa belajar membuatnya."Tristan memperhatikannya, penasaran dengan apa yang akan dilakukan Scarlett. Saat termos dibuka, Scarlett mencicipi perlahan sup yang sudah dimasak Nicole, lalu menatap Tristan sambil bertanya,"Mau coba?"Tristan tersenyum menyeringai."Aku hanya tertarik pada 'jus' legendarismu itu."Scarlett tertawa terbahak hingga hampir menyemburkan sup yang baru s
Setelah selesai pergulatan panas, Tristan menyandarkan kepala pada tangannya dan berbaring miring, menatap Scarlett dengan penuh kekaguman. Bagi Tristan, rona kemerahan di wajah Scarlett tampak sangat mempesona.Menyadari tatapan itu, Scarlett membuka matanya dan membalas pandangan Tristan dengan ekspresi sinis. “Belum pernah melihat perempuan cantik sebelumnya?”“Aku belum pernah melihat yang secantik kamu,” jawab Tristan sambil mengusap lembut punggung dan lehernya.“Anak kita nanti lebih baik mewarisi penampilanku,” ujar Scarlett.“Selama itu anakku, aku tidak keberatan,” sahut Tristan, yang langsung mendapat tatapan tajam dari Scarlett.Dalam keadaan setengah tertidur, Scarlett tiba-tiba teringat sesuatu. “Kita perlu berbicara dengan ibumu. Jangan terburu-buru membahas soal anak.” Hanya sehari setelah malam pertama mereka, Audrey sudah memborong berbagai perlengkapan bayi. Scarlett merasa beban itu terlalu berat.Tristan menarik Scarlett ke dalam pelukannya. “Baik, aku akan bicara