Aku termenung memandang layar ponsel yang menampilkan sisa saldo tabunganku yang hampir habis. Bahkan untuk membayar nota tagihan Ko Apong pun, nominalnya tak cukup. Sebab hari ini, aku sudah menghabiskan uangku untuk berbelanja dengan Alma. Mungkin, aku harus mengambil uang dari toko untuk membayar nota tagihan Ko Apong.Ko Apong termasuk orang China yang pelit dan sangat perhitungan. Selain itu, ia juga sangat cerewet. Aku malas berdebat dengannya apabila belum membayar nota tagihan. Tak apalah, aku mengorbankan uang toko. Setiap hari juga, uang toko milikku selalu bertambah karena untung yang aku dapatkan lumayan besar. Dengan begitu, aku bisa menutup uang yang aku pakai. Setelah melunasi nota tagihan Ko Apong, aku memutuskan untuk pindah agen pada Pak Wisnu. Lebih baik, aku berlangganan pada Pak Wisnu saja yang bisa memberikan harga cukup murah. Mungkin sore ini, Pak Wisnu sudah mengirimkan barang yang aku pesan siang tadi. Sebab, sepulang dari mall tadi aku langsung memutuskan u
POV AlmaAku membaringkan tubuhku di atas tempat tidur malam ini. Membayangkan pertemuan manisku dengan Mas Rama sore tadi. Aku tak menyangka, setelah sekian lama tak bertemu, takdir membawaku untuk bertemu lagi dengannya. Entahlah, ada perasaan bahagia ketika bertemu dengan Mas Rama. Bahkan, ada getaran aneh di dalam hati ketika berbicara dengannya.Aku masih ingat tatapan Mas Rama yang masih sama seperti dulu ketika kami masih bersama. Tetapi, aku tak boleh berharap terlalu besar. Tak mungkin juga Mas Rama masih menyukaiku. Apalagi, dengan gelar seorang janda sepertiku. Aku cukup sadar diri dengan posisiku saat ini.Mas Rama adalah pria yang baik dan juga santun. Sikap sopan dan santunnya masih terlihat hingga kini. Ia juga tipe pria yang sangat menghormati wanita. Selain itu, ia juga termasuk siswa berprestasi saat di sekolah dulu. Itulah mengapa ia bisa menjadi pengusaha yang sukses. Mas Rama sempat bercerita, bahwa selain membuka toko cctv, Mas Rama juga memiliki sebuah restoran
"Bu Alma, saya mau izin keluar sebentar boleh gak?" tanya Nana ketika kami sedang sarapan bersama. Aku yang sedang menikmati makanan seketika menoleh ke arah Nana."Mau kemana, Na? Apa kamu mau pulang?" tanyaku bingung. Aku sedikit merasa khawatir jika Nana ingin pulang ke rumahnya. Takut jika Ayah tirinya kembali mencoba berbuat yang tidak-tidak pada Nana."Enggak, Bu. Saya mau bertemu teman. Setelah lulus sekolah, kami belum pernah bertemu," jawab Nana."Oh, boleh saja, Na. Dimana rumahnya? Apa perlu saya antar?""Enggak perlu, Bu. Biar saya naik angkot saja. Rumahnya di Jalan Anggrek, Bu. Dekat terminal.""Oh ya sudah. Kamu kira-kira mau pulang jam berapa, Na?""Mungkin sebelum jam tiga sore saya udah di rumah kok, Bu. Semua pekerjaan rumah udah saya bereskan. Boleh kan, Bu?""Iya, Na. Boleh kok.""Terima kasih, Bu Alma," ucap Nana tersenyum. Seolah ia sangat senang mendapatkan izin dariku.Aku sebenarnya agak khawatir jika Nana harus pergi keluar rumah sendirian. Apalagi, aku tel
Aku sedikit takut dengan tatapan mata Mas Wijaya yang memandang tajam ke arahku. Mas Rama sendiri terlihat bingung dan menoleh ke arahku seolah bertanya. Mungkin Mas Rama menyadari akan tatapan tak bersahabat dari Mas Wijaya."Al, siapa pria itu? Kenapa ngeliatin aku dan kamu kayak gak suka gitu? Apa dia punya masalah sama kamu?" tanya Mas Rama pelan. Bahkan saking pelannya terdengar seperti bisikan."Dia ... aku juga gak ngerti kenapa dia begitu, Mas. Udah hiraukan aja, Mas Rama langsung pulang aja ya?" kataku, menyuruh Mas Rama untuk cepat pergi dari sini."Tapi aku khawatir sama kamu, Al. Aku takut dia ngapa-ngapain kamu," kata Mas Rama yang tak beranjak dari tempatnya berdiri di sampingku. Sedangkan kedua karyawannya sudah masuk ke dalam mobil."Aku gak papa kok, Mas. Kamu tenang aja," kataku berusaha tersenyum."Ya sudah, Al. Kamu hati-hati di rumah ya? Kalau ada apa-apa, cepat hubungi aku," ujar Mas Rama dengan raut wajah yang seolah tak ingin pergi."Iya, Mas."Mas Rama langsun
"Eh, Alma. Harusnya kamu tuh bersyukur saya ada dipihak kamu. Kok kamu malah ngomong kayak gitu. Saya tahu kok, niat kamu tinggal di depan rumah Wijaya karena kamu pengen balikan lagi kan sama Wijaya? Sok-sokan gensi segala!" ucap Bu Ratna dengan nada ketus."Maaf, Bu, saya gak pernah berpikir seperti itu. Ibu jangan membuat asumsi sendiri," kataku tak terima. Aku hanya takut, Bu Ratna menyebarkan gosip yang tidak-tidak yang ujungnya bisa merusak nama baikku. Sebab hingga kini, aku selalu berusaha untuk tetap menjaga diri di depan umum terutama warga sekitar."Halah, munafik kamu, Al. Bilang saja kamu malu kan? Tapi kalau dipikir, apa bedanya kamu sama Lastri dulu? Sama-sama merebut suami orang! Pe-la-kor!" ucap Bu Ratna. Aku jadi menyesal karena meladeni omongan Bu Ratna. Jika urusannya jadi panjang begini, lebih baik, aku tinggal masuk saja tadi. Sayangnya, semua sudah terlanjur terjadi."Bu Ratna jangan ngomong sembarangan ya? Alma bukan wanita seperti itu. Meskipun suatu saat kami
Lastri tersenyum manis ketika telah berdiri di samping Mas Wijaya. Matanya hanya memandang lekat pada Mas Wijaya saja. Seolah aku, Bu Ratna dan mantan ibu mertua yang sedang berdiri di sini bagai hantu yang tak kasat mata. Seolah keberadaan kami tak dianggap oleh Lastri."Mas, kamu ngapain di sini? Ayo pulang," kata Lastri sambil bergelayut manja di lengan Mas Wijaya. Suaranya terdengar mendayu-dayu. Kedua matanya dikedip-kedipkan seolah sedang menggoda Mas Wijaya. Tapi menurutku malah terlihat seperti kelilipan batu bata. Meresahkan!"Kamu kenapa, Las? Salah makan?" tanya Mas Wijaya yang nyaris saja membuatku tertawa. Tetapi aku berusaha untuk menahannya.Sedangkan Bu Ratna dan mantan ibu mertua langsung tertawa terbahak-bahak. Seolah sedang mengejek Lastri."Kok kamu gitu sih, Mas? Kamu gak lihat aku udah cantik gini?" kata Lastri sambil memanyunkan bibirnya seolah merajuk."Ya kamu aneh gitu kelakuannya," kata Mas Wijaya."Lastri, kamu mau kemana udah dandan cantik gitu? Mau kondan
Aku masih merasa terkejut dengan kunci cadangan kamarku yang hanya tersisa dua buah saja. Siapa yang sudah berani mengambilnya? Apa mungkin Nana? Tak mungkin orang lain yang sengaja masuk dan mengambil kunci kamarku. Ya Tuhan ... apa aku telah membawa orang yang salah untuk tinggal di rumahku?Aku langsung berjalan menuju tempat tidur. Dan terduduk dengan lemas di tepi ranjang tempat tidur. Aku benar-benar tak menyangka, jika memang Nana lah pelakunya. Tetapi untuk apa? Aku jadi teringat akan anting-anting dan juga jam tanganku yang sempat hilang. Apa mungkin Nana yang mengambilnya?Selama ini, sikap Nana juga tak menunjukkan gelagat yang aneh. Ia selalu bersikap sopan. Melakukan pekerjaan rumah dengan baik. Tak ada sesuatu yang mencurigakan dari gelagat Nana. Aku tak boleh berburuk sangka, sebelum mendapatkan bukti yang jelas.Adzan magrib terdengar berkumandang dari berbagai penjuru. Aku segera bergegas mengambil wudhu. Mungkin melaksanakan ibadah shalat bisa menenangkan pikiranku y
Pagi ini, aku melakukan aktivitas seperti biasa. Membuka toko milikku yang sempat aku tutup kemarin. Aku membuka toko lebih pagi dari biasanya. Jika biasanya aku membantu Nana memasak di dapur, tapi tidak dengan hari ini. Aku memutuskan untuk lebih menjaga jarak dengan Nana. Entahlah, aku merasa tak nyaman tinggal bersama Nana. Ada rasa ketakutan, ketika mengetahui fakta-fakta di rumahku.Aku memandang ke arah rumah Mas Wijaya yang berada tepat di depan rumahku. Mobil yang biasa terparkir di halaman rumahnya sudah tak ada. Itu artinya, Mas Wijaya telah pergi ke toko grosir miliknya. Tak lama, pintu rumah Mas Wijaya terbuka. Lastri keluar dari rumah menuntun anaknya. Lastri kini tampil cantik, sayangnya, ia masih memakai sepatu hak tinggi yang kemarin ia pakai. Aku tak bisa bayangkan, ketika Lastri menggendong anaknya menggunakan sepatu itu. Takut jika ia terjatuh dan terjadi sesuatu pada anaknya. Kalau ibunya sih, aku tak masalah.Sepagi ini, Lastri sudah tampil cantik dan berdandan r