"Eh, Alma. Harusnya kamu tuh bersyukur saya ada dipihak kamu. Kok kamu malah ngomong kayak gitu. Saya tahu kok, niat kamu tinggal di depan rumah Wijaya karena kamu pengen balikan lagi kan sama Wijaya? Sok-sokan gensi segala!" ucap Bu Ratna dengan nada ketus."Maaf, Bu, saya gak pernah berpikir seperti itu. Ibu jangan membuat asumsi sendiri," kataku tak terima. Aku hanya takut, Bu Ratna menyebarkan gosip yang tidak-tidak yang ujungnya bisa merusak nama baikku. Sebab hingga kini, aku selalu berusaha untuk tetap menjaga diri di depan umum terutama warga sekitar."Halah, munafik kamu, Al. Bilang saja kamu malu kan? Tapi kalau dipikir, apa bedanya kamu sama Lastri dulu? Sama-sama merebut suami orang! Pe-la-kor!" ucap Bu Ratna. Aku jadi menyesal karena meladeni omongan Bu Ratna. Jika urusannya jadi panjang begini, lebih baik, aku tinggal masuk saja tadi. Sayangnya, semua sudah terlanjur terjadi."Bu Ratna jangan ngomong sembarangan ya? Alma bukan wanita seperti itu. Meskipun suatu saat kami
Lastri tersenyum manis ketika telah berdiri di samping Mas Wijaya. Matanya hanya memandang lekat pada Mas Wijaya saja. Seolah aku, Bu Ratna dan mantan ibu mertua yang sedang berdiri di sini bagai hantu yang tak kasat mata. Seolah keberadaan kami tak dianggap oleh Lastri."Mas, kamu ngapain di sini? Ayo pulang," kata Lastri sambil bergelayut manja di lengan Mas Wijaya. Suaranya terdengar mendayu-dayu. Kedua matanya dikedip-kedipkan seolah sedang menggoda Mas Wijaya. Tapi menurutku malah terlihat seperti kelilipan batu bata. Meresahkan!"Kamu kenapa, Las? Salah makan?" tanya Mas Wijaya yang nyaris saja membuatku tertawa. Tetapi aku berusaha untuk menahannya.Sedangkan Bu Ratna dan mantan ibu mertua langsung tertawa terbahak-bahak. Seolah sedang mengejek Lastri."Kok kamu gitu sih, Mas? Kamu gak lihat aku udah cantik gini?" kata Lastri sambil memanyunkan bibirnya seolah merajuk."Ya kamu aneh gitu kelakuannya," kata Mas Wijaya."Lastri, kamu mau kemana udah dandan cantik gitu? Mau kondan
Aku masih merasa terkejut dengan kunci cadangan kamarku yang hanya tersisa dua buah saja. Siapa yang sudah berani mengambilnya? Apa mungkin Nana? Tak mungkin orang lain yang sengaja masuk dan mengambil kunci kamarku. Ya Tuhan ... apa aku telah membawa orang yang salah untuk tinggal di rumahku?Aku langsung berjalan menuju tempat tidur. Dan terduduk dengan lemas di tepi ranjang tempat tidur. Aku benar-benar tak menyangka, jika memang Nana lah pelakunya. Tetapi untuk apa? Aku jadi teringat akan anting-anting dan juga jam tanganku yang sempat hilang. Apa mungkin Nana yang mengambilnya?Selama ini, sikap Nana juga tak menunjukkan gelagat yang aneh. Ia selalu bersikap sopan. Melakukan pekerjaan rumah dengan baik. Tak ada sesuatu yang mencurigakan dari gelagat Nana. Aku tak boleh berburuk sangka, sebelum mendapatkan bukti yang jelas.Adzan magrib terdengar berkumandang dari berbagai penjuru. Aku segera bergegas mengambil wudhu. Mungkin melaksanakan ibadah shalat bisa menenangkan pikiranku y
Pagi ini, aku melakukan aktivitas seperti biasa. Membuka toko milikku yang sempat aku tutup kemarin. Aku membuka toko lebih pagi dari biasanya. Jika biasanya aku membantu Nana memasak di dapur, tapi tidak dengan hari ini. Aku memutuskan untuk lebih menjaga jarak dengan Nana. Entahlah, aku merasa tak nyaman tinggal bersama Nana. Ada rasa ketakutan, ketika mengetahui fakta-fakta di rumahku.Aku memandang ke arah rumah Mas Wijaya yang berada tepat di depan rumahku. Mobil yang biasa terparkir di halaman rumahnya sudah tak ada. Itu artinya, Mas Wijaya telah pergi ke toko grosir miliknya. Tak lama, pintu rumah Mas Wijaya terbuka. Lastri keluar dari rumah menuntun anaknya. Lastri kini tampil cantik, sayangnya, ia masih memakai sepatu hak tinggi yang kemarin ia pakai. Aku tak bisa bayangkan, ketika Lastri menggendong anaknya menggunakan sepatu itu. Takut jika ia terjatuh dan terjadi sesuatu pada anaknya. Kalau ibunya sih, aku tak masalah.Sepagi ini, Lastri sudah tampil cantik dan berdandan r
POV Wijaya"Kok kamu malah bengong sih, Wijaya? Mulai sekarang, kamu harus awasi istri kamu itu. Jangan sampai, uang kamu habis dipakai buat foya-foya sama si Lastri," kata Ibu dengan wajah kesal."Iya, Bu. Tapi kalau dipikir, Lastri foya-foya buat apa? Ibu kan tahu sendiri, Lastri penampilannya aja begitu. Aku gak pernah lihat dia beli barang mahal," kataku bingung.Selama ini, aku memang tak pernah melihat Lastri membeli barang-barang mahal ataupun bermerek. Bahkan membeli perhiasan pun sepertinya ia juga tak pernah. Dan bodohnya, aku baru menyadarinya saat ini. Lalu, untuk apa Lastri menghamburkan uang yang selama ini aku beri? Aku memang tak pernah perhatian padanya. Setiap aku tanya tentang uang, ia selalu beralasan untuk keperluan Zea anak kami. Aku memang paling royal jika menyangkut tentang Zea. Apapun akan aku berikan untuk anak kami satu-satunya."Maka dari itu, kamu sebagai suami harus selidiki si Lastri. Jangan sampai dia berbuat macam-macam di belakang tanpa sepengetahuan
"Kamu lagi ngapain, Mas? Kok senyum-senyum sendiri?" tanya Lastri."Aku lagi chatan sama teman," jawabku singkat."Hmm ... ini, Mas, mienya. Katanya laper," kata Lastri memberikan semangkuk mie padaku."Kok cuma satu, kamu gak makan?""Enggak, Mas, aku udah makan tadi. Oh ya, Mas, besok aku minta uang lagi dong," kata Lastri dengan nada manja. Aku yang sedang menikmati mie buatannya seketika menoleh."Uang lagi? Untuk apa?""Ya buat perawatan lagi lah, Mas. Aku pengen gemukin badan. Biar kamu tambah sayang sama aku, Mas," jawab Lastri."Enggak perlu lah, Las. Kamu udah cantik kok. Ngapain pakai gemukin badan?""Kan biar lebih gemoy, Mas. Biar gak kalah saing sama si Alma.""Duh, udah deh, Las. Percuma kamu mau nyaingin si Alma. Mau kamu gemuk juga tetap cantikan Alma," kataku."Kok kamu gitu sih, Mas! Aku udah perawatan maksimal gini malah kamu banding-bandingin sama Alma!""Lah, bukannya kamu sendiri tadi yang mau saingan sama Alma?""Tau ah! Kamu benar-benar suami yang gak punya per
["Mas, mana uangnya? Kok belum ditransfer?"] Sebuah pesan masuk dari Lastri.Aku hanya membaca pesan dari Lastri tanpa ada niat untuk membalasnya. Aku sendiri sedang pusing memikirkan keuanganku yang mulai menipis, tetapi Lastri tahunya hanya minta uang saja. Aku heran dengannya, jika dihitung-hitung, setiap bulan aku selalu memberikan uang sebesar lima belas hingga dua puluh jutaan lebih setiap bulannya. Tetapi, Lastri seolah tak pernah cukup dengan uang yang aku beri.Mulai sekarang, aku tak ingin lagi memanjakan uang untuk Lastri. Aku harus benar-benar memperhitungkan jumlah uang yang aku berikan padanya. Agar aku bisa mengontrol pengeluaranku. Dering ponsel membuyarkan aku dari lamunan. Terlihat panggilan telepon dari Lastri. Aku berusaha mengabaikan telepon dari Lastri, tapi sepertinya Lastri tak menyerah untuk terus menghubungiku. Mau tak mau, aku mengangkat panggilan telepon darinya.["Mas, kok kamu cuma baca pesan dari aku sih? Mana uangnya? Kenapa belum kamu transfer?"] oceh
Setelah sampai di parkiran rumah sakit, aku bergegas menuju ruangan tempat Mbak Rosi dirawat. Setelah sampai, ake segera masuk dan menemui Ibu dan Mbak Rosi. Aku merasa terkejut ketika melihat keadaan Mbak Rosi. Terlihat banyak memar dan lebam di wajahnya. Di keningnya juga tertempel perban kecil menandakan bahwa keningnya terluka.Di dalam ruangan, hanya ada Ibu seorang diri. Tak kulihat ada Mas Adit ataupun Vira anak mereka. Melihat kehadiranku, Ibu menatapku dengan mata berkaca-kaca. Sedangkan Mbak Rosi sama sekali tak menoleh. Ia terlihat diam, sambil matanya menatap langit-langit dengan pandangan kosong. Jujur saja, hatiku langsung sesak melihat kondisi Mbak Rossi."A-apa yang terjadi, Bu? Di mana Mas Adit?" tanyaku pada Ibu. Aku saat ini telah berada di samping Ibu.Ibu hanya diam tak mau menjawab pertanyaan dariku. Justru, Ibu malah terlihat menangis terisak. Aku jadi makin bingung. Melihat luka Mbak Rosi, aku yakin ini bukan luka kecelakaan. Melainkan luka pukulan ataupun peng