"Mbak Melani!" Nizam tak percaya di ambang pintu berdiri Melani, kakak kandungnya beserta suaminya, Farhan. "Sekali kamu sentuh Mahira, Mbak laporin kamu ke polisi!" ancam Melani. Dia mendekati Mahira diikuti Farhan yang melangkah di belakangnya. "Mbak, kok malahan belain dia, sih? Yang adik Mbak itu Nizam, bukan Mahira!" protes Nizam. Dia tak percaya justru kakaknya sendiri membela istrinya. "Mbak membela bukan lihat dia adik Mbak atau siapa, tapi Mbak membela yang benar!" sahut Melani. "Mbak pikir dia benar? Dia udah nampar Nizam dua kali dan Nizam sedikitpun belum membalasnya! Apa Itu yang Mbak bela? Yang sudah kurang ajar pada suaminya?" cecar Nizam. "Mbak gak tau apa yang terjadi, tapi Mbak gak akan izinkan kamu main tangan pada istrimu!" balas Melani. "Ada apa ini?" Bu Hartini keluar dari kamar masih dengan menggunakan mukena. "Kenapa ribut sekali kedengarannya?" tanya Bu Hartini lagi. "Ibu!" sapa Melani. Dia kemudian mendekati Bu Hartini dan menyalaminya. "Melani, kapan
Semua mata tertuju pada Bu Susi. Bukan hanya karena kedatangannya yang tiba-tiba, tetapi juga karena ucapannya. "Kamu ngapain, Mel? Suruh Ibu pulang ke rumah lagi? Bukannya kamu yang mau tinggal di sana?" tanya Bu Susi pada Melani. "Mel nggak pernah bilang kalau kami mau tinggal di sana! Tapi Ibu sendiri yang memaksa untuk pindah ke rumah itu! Sekarang Mel mau kasih tahu Ibu, kalau Mel dan Mas Farhan dapat rumah dinas yang cukup besar. Jadi kami tidak akan pindah ke rumah itu! Sekarang nggak ada alasan lagi Ibu untuk menetap di rumah Nizam! Biarkan mereka membina rumah tangga mereka bersama anak-anaknya. Dan ibu bisa pulang ke rumah seperti sedia kala!" titah Melani. "Ibu nggak mau pindah lagi! Ibu capek! Mendingan di sini ada yang bantu ngurusin ibu. Ibu ini udah tua Mel, harusnya ibu nih nggak perlu bekerja lagi!" ucap Bu Susi. "Siska, kan tinggal sama Ibu! Jadi apa gunanya anak perempuan Ibu itu, kalau dia nggak ngurusin ibu? Siska juga punya tanggung jawab, Bu! Mahira hanya m
"Ra, Mas cuma mau bilang, mulai besok Ibu sama Siska tinggal bersama kita!" ucap Mas Nizam. Kuhentikan pergerakan tanganku yang hendak mengambil nasi goreng. Kutolehkan pandangan ke arah Mas Nizam. 'Apa maksudnya bicara seperti itu?'Kembali kutaruh piring yang semula akan kuisi dengan nasi goreng tadi. "Lho, kamu gak jadi makan?" tanya Mas Nizam tanpa merasa bersalah. Kutatap anak-anakku yang sedang menyantap sarapan mereka. Kembali kuarahkan pandanganku pada Mas Nizam. "Maksud Mas apa? Ngomong kalau besok Ibu dan Siska akan tinggal di sini? Ibu, kan punya rumah sendiri?" tanyaku keheranan. "Ya, emang Ibu punya rumah sendiri, tapi Ibu dan Siska mau tinggal di sini bersama kita.""Dan kamu menyetujuinya tanpa bicara apa-apa sama-sama aku, Mas?!" tanyaku lagi dengan nada agak sedikit tinggi. Anak-anakku kompak melihat ke arahku. Karena mereka memang jarang mendengar aku berbicara dengan nada tinggi, tepatnya semenjak pindah ke rumah ini. "Kayla, Bila, kalau udah selesai langsun
Setelah sarapan, Mas Nizam langsung pergi ke kantor dengan menggunakan mobil. Dia bekerja di sebuah perusahaan farmasi sebagai staf administrasi. Gaji Mas Nizam bisa dikatakan lumayan. Empat juta tiga ratus. Belum uang lemburan. Tapi ya gitu, dia lebih mengutamakan Ibu dan adiknya. Padahal, kalau dibilang kondisi ibunya bukanlah orang susah. Ayah mertua meninggalkan uang pensiunan. Ibu juga mempunyai usaha toko sembako yang bisa dikatakan lumayan yang terletak di pasar. Sedangkan adiknya Siska, sudah bekerja di salah satu mall sebagai kasir. Tapi, setiap bulan Mas Nizam akan memberikan sebagian gajinya untuk ibu yaitu senilai dua juta. Uang bensin dan pegangannya satu juta. Sisanya baru dikasihkan ke aku dengan perincian uang setoran rumah satu juta, listrik dan air tiga ratus ribu. Sedangkan untuk keperluan anak dan kebutuhan dapur aku yang menanggungnya karena aku juga bekerja. Jadi, Mas Nizam berpikiran karena dia sudah mengizinkanku bekerja jadi wajib bagiku ikut memenuhi kebut
Kumasukkan koper Ibu ke kamar tamu. Lalu aku kembali ke ruang makan. "Siapa, Bu?" tanya Kayla. "Nenek dan Tante Siska," jawabku singkat. Aku kembali duduk dan menyantap makan siangku. "Ngapain ke sini?" tanya Bila dengan wajah keheranan. "Untuk sementara Nenek dan Tante Siska akan tinggal di sini bersama kita!" jawabku lagi. Terlihat raut wajah anak-anakku yang tidak menyukai keberadaan Ibu dan Siska. Bukan apa-apa. Sewaktu kami masih tinggal di rumah Ibu, sikap kejam mereka berdua bukan hanya kepadaku namun juga kepada anak-anakku. Tak heran mereka keberatan Ibu dan Siska tinggal di sini. "Sudah kalian tenang saja! Ibu gak akan biarkan yang terjadi di rumah nenek akan terjadi lagi di sini," ucapku meyakinkan mereka. Kayla dan Bila mengangguk mengerti. "Kami pasti selalu dukung Ibu! Kita harus jadi tim yang solid, Bu!" ucap Kayla bersemangatAku dan Bila mengacungkan jempol menyetujui ucapan Kayla. Kemudian mereka berdua membereskan piring bekas makan mereka dan mencucinya. Ma
Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore. Bergegas aku membereskan barang-barangku dan langsung keluar dari ruangan. "La, Mbak pulang duluan! Ada keperluan penting!" pamitku pada Dila. "Siap, Mbak!" jawab Dila. Aku langsung keluar dan memacu kembali motor ke rumah. Bersyukur saat aku tiba, Siska dan Ibu tidak berada di rumah. Aku masuk ke dalam rumah dan melangkah menuju kamar belakang. 'Wah, keren! Mas Nizam yang pemalas, demi Siska, rela membersihkan kamar belakang. Dan sempat-sempatnya memasang wallpaper baru," batinku. "Assalamu'alaikum," Terdengar salam dari depan. Aku segera kembali ke depan. Ternyata, Pak Sugeng tetangga dua rumah dari sini. "Wa'alaikummussalam, Pak Sugeng! Ada perlu apa, Pak?" tanyaku heran. "Ini, Bu tadi saya pasang wallpaper di rumah Ibu sama bersih-bersih, terus tadi ada alat saya yang ketinggalan," jelas Pak Sugeng. 'Oh, ternyata nyuruh orang buat bersihkan kamar. Begitu perhatiannya dia sama Siska. Sangat jauh berbeda dengan sikapnya kepadaku dan
Pagi ini, Mas Nizam izin gak masuk kantor. Dia mengeluh badannya sedikit meriang. Setelah menyiapkan sarapan untuk Mas Nizam dan anak-anak pergi ke sekolah, aku segera ke butik. Namun nasib jelek mungkin lagi menghampiriku. Ponsel yang biasa kupakai bekerja ketinggalan di rumah. Aku kuatir nanti Mas Nizam menemukannya dan mengetahui apa yang selama ini aku kerjakan. Bergegas kuputar balik motor. Kumatikan motor di luar pagar agar tidak terlalu berisik. Lalu kugiring motor masuk ke dalam pagar. Saat aku hendak membuka pintu, aku melihat sepasang sepatu perempuan. Bukannya ini milik Siska. Tadi, kan dia sudah pergi sebelum aku. Kubuka pintu perlahan-lahan agar tidak menimbulkan suara. Aku mengendap-ngendap masuk ke dalam rumah. Sepi, tidak terdengar suara apapun. Sebaiknya aku langsung mengambil hape dan melihat keadaan Mas Nizam. Kubuka pintu kamar perlahan-lahan. 'Lah, kok kosong? Kemana Mas Nizam?' Tadi ketika aku melewati kamar ibu sepertinya juga gak ada orang. Bergegas kuambi
Cukup lama aku tidak berkomunikasi dengannya. Seingatku terakhir sewaktu hari raya tiga bulan yang lalu. Segera kuangkat panggilan dari Mbak Melani. "Halo, assalamu'alaikum, Mbak!" jawabku. "Wa'alaikummussalam, Ra!" Mbak Melani membalas salamku. "Apa kabar, Mbak? Maaf, jarang nelepon lagi banyak kerjaan," ucapku berbasa-basi. "Alhamdulillah, Mbak baik. Kamu sendiri gimana, Ra?" Mbak Melani balik bertanya. "Alhamdulillah, Mahira dan keluarga semua sehat, Mbak!"Mbak Melani ini kakak tertua Mas Nizam. Dia sudah menikah dan tinggal di kota lain mengikuti suaminya. Karena suaminya dipindahtugaskan kembali ke sini makanya Mbak Melani ikut balik ke sini lagi. "Ra, Mbak mau ngomong sesuatu sama kamu!" Nada bicara Mbak Melani terdengar serius. 'Aku jadi deg-degan sendiri. Apa yang mau diomongin ya? Kok, tiba-tiba perasaanku jadi tidak enak begini.'"Iya, Mbak, mau ngomong apa? tanyaku. "Mbak dengar, Ibu dan Siska tinggal di rumah kamu, ya?" tanya Mbak Melani. Aku bingung, kok Mbak Mela