Share

bab 2. Menjemput Celine

"Kemana kamu sebenarnya mas?, apa yang sudah kamu lakukan dibelakang aku?" Pertanyaan itu selalu saja berputar-putar dikepalaku disepanjang perjalanan menuju kerumah Ibu.

"Awwwhh" aku ternyata hampir saja menabrak pedagang bakso yang sedang melintas didepanku.

"Mbak, punya mata nggak sih mbak? Kalau nyetir itu lihat-lihat nggak ngelamun kayak gitu!" Abang-abang bakso itu memakiku tiada henti.

"Maaf mas, maaf. Saya ceroboh. Saya akan ganti semua kerusakannya mas. Apa ada yang rusak nggak mas?" aku segera turun dari mobil segera memandangi gerobak Abang bakso itu.

"Ya nggak ada luka atau rusak sih mbak, tapi tetap aja sih mbak. Mbaknya yang kira-kira dong kalau nyetir jangan sampai membahayakan pengguna jalan seperti saya"

"Iya maaf mas maaf. Ini saya kasih uang sebagai kompensasi. Tidak banyak sih mas, anggap saja sebagai ungkapan permintaan maaf saya" saya memberikan uang dengan nominal Lima ratus ribu kepada pedagang itu.

"Wah, ini kebanyakan sih mbak"

"Iya nggak apa-apa kok mas, anggap saja permintaan maaf saya mas" saya beranjak pergi meninggalkan Abang bakso yang kesenangan menerima uang dari saya tadi.

"Wah, terima kasih banyak mbak, semoga rezekinya lancar terus ya mbak" ucap pedagang itu kegirangan.

Aku segera melajukan mobil maticku dan berlalu pergi meninggalkan Abang tukang bakso yang sangat bersyukur menerima pemberianku tadi.

***

"Maafin mas Seina, sudah berbohong kepadamu pagi ini. Maafin papa juga dedek utun yang sekarang ada diperutnya mama. Papa sudah menyakiti hati kalian berdua pagi ini sayang" lirih Dimas dalam perjalannya menuju rumah Celine.

Dimas kali ini juga ada janji temu dengan dokter kandungan, tapi bukan dengan istri sahnya ia datang, melainkan dengan seorang perempuan seksi berbodi 'goals' yaitu Celine. Perut seksi Celine sepertinya sekarang sudah menghilang diganti dengan perutnya yang semakin lama semakin membesar.

"Kamu sudah siap sayang?" Tanya Dimas kepada mantan sekretarisnya itu yang sekarang sudah menjelma menjadi istri sirihnya.

"Sudah mas, ayo kita berangkat sekarang" Celine segera menaiki mobil Alphard milik Dimas.

Impian Celine menjadi nyonya bos yang selama ini ia idam-idamkan jelas sudah tercapai. Dimas sudah berada dalam genggamannya sekarang.

"Mas, dedek katanya mau dicium dadynya pagi-pagi begini" Celine mengarahkan perut besarnya kepada Dimas.

Celine sudah hamil masuk tri semester yang ke tiga. Sudah masuk usia tujuh bulan. Meski hamilnya sudah tua tapi Celine masih tetap saja berpura-pura lagi mengidam untuk menarik perhatian Dimas.

"Oh gitu sayang. Selamat pagi jagoan papa. Kamu kapan mau ketemu papa?, papa sudah nggak sabar menanti kehadiranmu sayang?" Dimas mengelus-elus perut buncit Celine.

Celine tersenyum tipis melihat kelakuan manis mas Dimas.

Dimas tak lagi bisa membohongi hatinya. Celine sudah masuk ke relung hati Dimas yang paling dalam sejak kabar kehamilannya yang lebih dulu dari Seina.

"Ayo mas, kita berangkat sekarang" ajak Celine.

"Oke" Dimas segera melajukan mobil mewahnya menuju rumah sakit.

****

"Assalamu'alaikum buk, Seina udah sampai nih"

"Wa'alaikum salam Seina" jawab Ibu dari dalam kamarnya. Rupanya Ibu baru selesai membersihkan kamar.

Aku setengah berlari menuju Ibuku dan aku lansung memeluknya. Menumpahkan segala kegelisahanku yang berkecamuk dalam hati.

"Kamu kenapa Sein?, kenapa jadi nangis gitu sayang" Ibu memberi pelukan hangat yang menenangkanku.

"Nggak kenapa-kenapa Bu, Seina cuma kangen Bu" aku segera menghapus deraian air mata yang menggenangi pipiku.

"Ya udah sayang. ayo kesini duduk dulu" Bu Ningsih membopong putrinya itu untuk duduk di sofa kucel miliknya.

Sejak Seina menikah dan memutuskan untuk tidak bekerja lagi, keluarga itu dilanda krisis ekonomi. Seina juga tidak mungkin mengirimkan uang kepada mereka dengan uang yang diberikan oleh Dimas. Untunglah Lusi telah lulus kuliah dan segera mendapat pekerjaan. Walau gajinya belum sebesar kakaknya Seina dulu, tapi itu cukup lumayan untuk membantu ekonomi keluarga.

"Gimana dengan kondisi kehamilan kamu sekarang nak?, apa tidak ada kendala?" Ibuku mengelus-elus perutku yang mulai membesar.

"Baik kok Bu" aku menggumam tangisku.

"Kamu makan dulu sayang, sudah lama kamu tidak mencicipi masakan Ibu". Bu Ningsih mengajak putrinya itu ke arah dapur dan menghidangkan sejumlah makanan dihadapan Seina.

"Maaf Bu, bukannya Seina nggak menyukai masakan Ibu, tapi Seina nggak nafsu makan sama sekali Bu". Seina seakan malas untuk makan walau hanya sesuap saja.

"Kamu nggak boleh kayak gitu nak, walau kamu nggak mau makan tapi kamu harus selalu ingat sama janin yang sekarang tumbuh dalam perutmu sayang. Ia butuh nutrisi dan juga gizi yang cukup biar ia selalu sehat dan kuat berada di rahim kamu Sein." Ucap Ibu kepadaku.

Aku hanya mengangguk dan mengiyakan apa yang Ibu katakan tadi. Bagaimana aku bisa makan jika hati dan pikiranku tak lagi mau berkompromi. Bayangan tentang pengkhianatan mas Dimas terus saja menghantui pikiranku.

Dadaku sesak dan bergemuruh. Entah bagaimana nantinya nasibku dan anakku.

'Apakah anakku harus lahir tanpa ayah'?. Oh anakku sayang , sungguh malangnya nasibmu. Belum sempat lahir kedunia kamu sudah harus mengenal rasa sakit dari orang yang seharusnya paling menyayangimu.

"Temani Seina kerumah sakit sekarang Bu, Seina mau cek kehamilan ke dokter!" pintaku lirih kepada Ibu.

"Lho, Dimas suamimu kemana nak? bukannya yang seharusnya menemanimu adalah Dimas sayang?"

" Mas Dimas lagi meeting mendadak tadi katanya Bu, karena hal itu aku datang kemari supaya Ibu bisa menemaniku."

"Kalau begitu Ibu siap-siap dulu ya nak", Ibuku segera pergi ke kamarnya dan berganti pakaian yang pantas untuk menemaniku pergi ke rumah sakit.

Ibu hanya mengenakan pakaian lusuh pembelian ku tiga tahun yang lalu. Tahun terakhir aku bekerja sebagai manager dan memanjakan Ibuku. Ternyata Ibu masih menyimpannya dengan rapi baju pemberianku.

"Maafkan anakmu ini Ibu, aku tak lagi bisa memanjakanmu seperti dulu. Aku tidak lagi bekerja dan menghasilkan uang seperti dulu. Kelak, suatu saat aku akan bekerja lagi dan berdiri diatas kaki sendiri. Tidak lagi bergantung pada suami. Aku akan membahagiakanmu Ibu", janjiku dalam hati.

Mas Dimas memanglah berasal dari keluarga kaya, tetapi dia membatasi keuanganku. Dia tidak serta merta membolehkan ku mentransfer sejumlah uang kepada keluargaku.

Pernah suatu kali aku mengirimi uang kepada Ibu karena mereka benar-benar sangat membutuhkan untuk uang wisuda Lusi adikku. mas Dimas lansung memarahiku karena itu uangnya dan berasal dari titik peluhnya.

"Kamu mentransfer uang kepada siapa Sein sebanyak sepuluh juta begini?" tanya mas Dimas kepadaku.

"Oh itu mas, aku kirimkan kepada Ibuku untuk keperluan uang wisuda Lusi adikku mas"

"Kenapa kamu mengirimkan uang Tanpa izin dulu kepadaku Sein?, kamu pikir cari duit itu gampang?, kamu enak juga ongkang-ongkang kaki dirumah, sedangkan aku, harus berjibaku bekerja dikantor. Jangan pernah kamu sentuh uangku lagi untuk keperluan keluarga miskinmu itu!" teriak mas Dimas kepadaku.

Perih sekali hatiku mendengar setiap kata yang keluar dari mulut mas Dimas kala itu.

~~~•|•~~~

Bersambung

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Ririn Sartono
ibunya bopong anaknya hamil.. kuat? menuntun atau memapah mungkin ya?
goodnovel comment avatar
Ririn Sartono
tukang bakso dikasih 500rb. abis gitu keuangan terbatas. gimana ni penulisnya ...
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
kamu aja yg g berguna jadi orang. klu udah punya kerjaan kenapa berhenti? klu dilarang maka harus ada perjanjian hitam diatas putih. jgn asal mau aja dikawini, apa kamu sengebet itu,tolol.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status