Share

bab 3. Pingsan

"Celine, aku nggak salah lihat itu beneran Celine kan?" aku mengusap-usap mataku seolah mencari pembenaran tentang orang yang baru saja aku lihat.

"Kenapa Seina?, siapa yang kamu lihat?" Ibu menghentikan langkahnya dan menanyaiku yang sedang fokus memperhatikan seseorang.

"Benar, aku tidak mungkin salah. Itu beneran Celine. Syukurlah dia sekarang sudah hamil". Aku mengira Celine sudah menikah dan hidup bahagia dengan kekasihnya dulu, setidaknya ia tak lagi mengejar-ngejar mas Dimas, suamiku.

"Itu Bu, Celine teman kuliah aku dulu yang sering aku ceritain. Ibu masih ingat nggak?" kulihat Ibu seolah membuka memori lamanya tentang Celine.

"Oh, Celine. teman yang sering memanfaatkan mu itu kan nak?, wah dia sudah hamil besar sekarang. Dia sudah menikah Sein?" Ibuku balik menanyaiku tentang Celine.

"Ibu, kok ngomongnya gitu sih Bu, Seina nggak apa-apa kok Bu. Selagi dia masih mau berteman dengan Seina" aku memang orang yang pemalu sehingga temanku tidak begitu banyak. Masih syukur Celine mau bertemu denganku.

"Syukurlah dia sudah menikah sekarang dan mau punya anak. Setidaknya dia tidak lagi menggoda mas Dimas" imbuh ku kepada Ibu.

Ibu sepertinya tidak begitu memahami maksud perkataanku tadi, sehingga ia tidak memberi tanggapan lebih lanjut kepadaku. 'Ya baguslah' setidaknya kami tidak mengoceh lebih lanjut karena energiku sedikit terkuras sekarang.

Harus menyetir selama dua jam dalam keadaan hamil begini membuatku sempoyongan.

"Ibu, aku sedikit pusing" Aku mau istirahat sebentar dulu dikursi loby rumah sakit Permata Hati itu.

"Biar Ibu bantu sayang", Ibuku menahan tubuhku yang sudah mulai kehilangan keseimbangan.

Aku melihat pakaian orang yang sama dengan yang dikenakan mas Dimas tadi pagi sebelum meninggalkanku dalam kesedihan.

Kemeja berwarna maroon dan juga celana hitam serta dasi pemberianku tepat dihari ulang tahun mas Dimas. Mas Dimas masih mengenakan pemberian dariku sedikit melegakan hatiku. Setidaknya masih ada rasa yang tersisa diantara kami.

"Bu, Ibu lihat nggak orang yang lewat barusan" aku masih dalam keadaan mata yang berkunang-kunang.

"Sepertinya Itu mas Dimas Bu" kataku dengan yakin.

"Mana Sein" Ibu memandangi sudut rumah sakit yang aku maksud.

"Nggak ada siapa-siapa Sein, Ibu nggak lihat ada orang disana. Mungkin cuma halusinasi kamu saja sayang sakin inginnya ditemani suamimu" Ibu berusaha untuk menghiburku.

"Aku yakin sosok itu adalah mas Dimas suamiku, tetapi mengapa Ibu tidak melihatnya?, apa mungkin cuma halusinasi ku saja?", ya sudahlah aku sekarang hanya fokus ke kondisiku yang sekarang.

***

"Jadi, bagaimana kondisi janinnya dokter" tanya Dimas kepada Dokter Ilham, S.Pog.

"Sehat Pak, Buk. Oh ya jenis kelaminnya laki-laki ya Bu" sambung dokter Ilham.

"Itu yang saya harapkan dokter. Celine segera merebahkan tubuhnya kepada Dimas dengan manja. Dimas mengelus-elus kepala Celine. Celine terlihat tersenyum sumringah.

***

Keadaan yang berbanding terbalik dengan keadaan Seina sekarang. Istri pertama Dimas Aditya itu terbaring lemah dikursi loby rumah sakit berjuang melawan sakit kepalanya.

Bu Ningsih berlarian memanggil perawat ataupun dokter untuk segera memberi perawatan kepada Seina.

"Tolongin anak saya sus, dokter" tak ada satupun dokter atau perawat yang terlihat disana.

Bu Ningsih terus berusaha untuk mencari pertolongan kepada putrinya itu.

Bu Ningsih melihat seorang perawat diujung sana. Ia segera berlarian memohon pertolongan kepada perawat itu.

"Tolong sus, anak saya sus. Tolong sus ia sedang pingsan sus dan ia juga sedang hamil sekarang" Bu Ningsih Sampai bersimpuh dihadapan perawat itu untuk meminta pertolongannya.

"Ibu tolong tenang dulu ya Bu, iya, iya saya akan bantu anak Ibu" suster itu segera meminta temannya untuk membantunya merawat anak Bu Ningsih.

Perawat itu memanggil beberapa orang temannya untuk mendorong ranjang pasien. Seina segera dinaikkan keatas ranjang itu.

Seina didorong ke ruang UGD rumah sakit.

"Ibu tenang ya Bu, pasien sedang dalam pemeriksaan dokter. Ibu tunggu diluar ya Bu", suster itu segera menutup pintu kamar UGD.

Seina segera diperiksa oleh dokter yang bertugas jaga siang itu. Tak lama kemudian Seina sadar dari pingsannya. Dokter itu pun segera menemui Bu Ningsih.

"Keluarga pasien Ibu Seina, silahkan masuk" teriak perawat. Bu Ningsih segera masuk dan menerima arahan dari dokter

"Ibu nggak usah khawatir lagi ya Buk, Keadaan pasien sudah semakin membaik dan kondisi janinnya juga tidak kenapa-napa", ucap dokter itu. Bu Ningsih terlihat lega mendengar ucapan dokter.

****

Aku berusaha membuka mataku yang terasa masih sangat berat. 'Mas Dimas' kamu nggak tahu betapa sakitnya aku dan anak kita sekarang mas, lirihku.

Tak berapa lama aku membuka mata, Ibu datang menghampiriku. aku melihat matanya sembab dan sesegukan menahan tangisan.

"Seina, syukurlah sayang kamu tidak apa-apa, dan juga janinmu baik-baik saja sayang" Ibu memelukku dengan sangat erat. Ia menangis sejadinya memikirkan kondisiku.

"Seina sudah mendingan kok Bu, sebaiknya kita pulang sekarang ya" pintaku lirih kepada Ibu.

"Bagaimana dengan jadwal kontrolmu sekarang Sein?, sebaiknya kita kontrol dulu mengingat kamu sempat pingsan tadi. Ibu takut nanti terjadi apa-apa dengan janinmu"

Aku menyetujui permintaan Ibuku. Memang sebaiknya aku memeriksakan kehamilanku dari pada aku menyesali nanti dikemudian hari.

****

"Terima kasih sayang, telah memberiku penerus laki-laki, aku sangat bahagia"

"Iya sayang. Aku mau kita sekarang ke mall. Aku mau dibelikan cincin berlian mas" rengek Celine kepada Dimas.

Dimas telah selesai dari ruangan dokter spesialis kandungan itu. Dimas mengecup mesrah Celine sebelum meninggalkan ruangan.

Dimas sama sekali belum mengabari Seina. Seina melirik ke layar ponselnya. Tak ada satupun notifikasi panggilan ataupun pesan singkat dari sang suami.

***

"Ibu Seina, tolong dijaga kondisi kandungannya ya Bu. Ibu jangan banyak pikiran, stres bisa memengaruhi kondisi janin. Jika masih ingin bayi Ibu selamat maka Ibu harus jaga dengan sebaik-baiknya" jelas dokter Ilham kepada Seina.

"Bagaimana aku tidak kepikiran, orang yang selama ini aku percayai seakan sudah tidak memperdulikan aku lagi seperti dulu, tapi aku harus kuat demi janinku, ucapku membatin.

"Iya dokter"

"Dari laporan yang saya lihat sepertinya ini kehamilan yang pertama setelah empat tahun menunggu ya Bu?" tanya dokter itu lagi.

"Benar dokter", ucapku menahan air mata.

"Sebaiknya Ibu benar-benar menjaganya ya Bu, agar Ibu tidak menyesalinya, ini saya resepkan obat penguat kandungan dan juga vitamin. Jangan lupa diminum ya Bu" dokter Ilham menuliskan resep secarik kertas Yang harus ditebus dibagian apotik rumah sakit.

Ibuku menawarkan diri untuk pergi menebus obatku ke apotik.

"Kamu tunggu disini Sein, biar Ibu yang pergi ke apotik" aku memberikan beberapa lembar kertas merah kepada Ibu. Sedangkan aku hanya menunggu di loby.

"Dimas" Bu Ningsih melihat sosok Dimas bersama seorang perempuan yang sedang hamil tua tengah keluar dari ruang apotik.

Bu Ningsih segera menyembunyikan wajahnya dari netra Dimas. Ia tidak mau Dimas menyadari keberadaannya. Dimas hanya fokus memapah Celine yang sudah mulai susah untuk berjalan.

~~~•|•~~~

Bersambung

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
pantas aja anak mu si sein itu tolol dan suka drama. ternyata nurun dari ibunya.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status