Share

Bab 2 Kepergian Tiara

Jam baru menunjukkan pukul empat pagi saat Saka sudah keluar dari kamarnya. Ia berjalan ke dapur lalu membuka tudung saji. Tidak ada makanan sama sekali.

Cklek

Bu Jarmi baru keluar dari kamar mandi dengan wajah lega. “Kok nggak ada makanan Bu?”

“Lah, kamu malah nanya Ibu. Tiara kan yang tugasnya masak sarapan. Salah kamu sendiri tadi malam nyuruh Tiara tidur di luar. Jadi kabur kan anaknya.” Saka menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Benar juga.

“Kalau gitu, Ibu tolong masakain Saka sarapan ya. Aku lagi nggak ada pegangan uang lagi makan di warung.” Bu Jarmi menggelengkan kepalanya.

“Suruh saja Sekar yang masak. Apa gunanya punya dua istri kalau yang satu nggak bisa masakin kamu sarapan.” Bu Jarmi kembali masuk ke dalam kamarnya. Saka mencuci wajah dan menggosok gigi lalu kembali masuk ke dalam kamarnya.

Ia menepuk bahu Sekar agar bangun. Sekar menggeliatkan badan hingga kelopak matanya terbuka. “Ada apa sih mas? Sekarang masih terlalu pagi.”

“Tolong buatkan mas sarapan dek.” Wajah Sekar menjadi cemberut.

“Nggak mau. Buat aja sendiri. Lagipula salah kamu juga yang menyuruh Tiara tidur di luar. Harusnya kamu kurung di kamar mandi aja.” Sekar kembali menutup matanya. Saka menghela nafas sebal. Ia terpaksa memasak mie instan dengan telur yang tinggal satu.

Ia lalu mengambil kunci motor matic dan kembali menepuk bahu Sekar. “Ada apa lagi sih mas? Aku masih ngantuk.” Hardik Sekar marah.

“Aku cuma mau bilang. Suruh Dini periksa kelasnya Tiara. Terus kirim pesan ke aku.”

“Iya, iya. Udah sana berangkat.”

Saka lalu berangkat dengan menggunakan sepeda motor matic yang sudah ia beli sejak lama. Sebelum menikah dengan Mutia. Tidak lama kemudian, Saka memarkirkan motornya di depan pasar.

“Eh Saka. Cepat kesini.” Panggilan dari Yanto membuat Saka segera berlari.

“Tuh benerin motor yang di parkir sembarangan. Orangnya udah masuk ke dalam.”

“Iya sabar.” Saka lalu menata tujuh motor yang parkir tidak tentu arah. Setelah selesai memarkirkan motornya, Saka duduk di samping Yanto. Temannya yang menjaga wilayah parkir pasar di area timur.

“Minta rokoknya To.” Saka langsung mengambil rokok Yanto yang terletak di sebelah pemiliknya.

“Tumben lo minta. Biasanya lo nggak pernah kehabisan uang untuk beli rokok.” Saka menyemburkan asap rokok ke udara.

“Mutia belum kirim uang bulan ini karena anak majikannya lagi pergi ke Korea. Uang kiriman Mutia bulan lalu juga udah habis buat membayar biaya kuliah Ana. Terus sisanya buat bayar cicilan mobil.” Yanto tertawa geli.

“Teman lagi susah lo malah ketawa.” Saka mendengus sebal.

“Aneh aja Ka. Kayaknya cuma lo tukang parkir yang bisa renovasi rumah dan nyicil mobil.”

“Biarin aja, Uang dari bini gue.”

“Iya. Lo kan tukang morotin bini.” Saka hendak memukul kepala Yanto.

“Sialan lo.” Yanto berhasil menghindar karena ada pengunjung yang sudah keluar dengan membawa barang belanjanya.

Saka menghela nafasnya lalu menghubungi nomor Mutia. Jam segini Mutia sudah bangun untuk mengurus keperluan nenek yang di rawatnya. Tapi, sampai tiga kali panggilan, Mutia tidak tetap mengangkat telpon dari Saka.

“Mutia sialan.”

Sementara itu di klinik, Mutia baru saja bangun. Tubuhnya terasa pegal karena ia duduk di kursi. Matanya tertuju pada tangan Tiara yang terus menggenggam tangannya sejak tadi malam. Dengan hati-hati, Mutia melepaskan pegangan tangan Tiara. Ia mengecup dahi putrinya lalu beranjak ke kamar mandi untuk mengambil wudhu. Mutia mengambil wudhu lalu menggelar sajadahnya di sampir tempat tidur Tiara.

“Ibu.” Mutia beranjak bangun lalu kembali duduk di kursi samping tempat tidur Tiara. Mukena berwarna biru langit belum sempat di lepas Mutia.

“Iya sayang. Ibu di sini.” Tiara kembali menggenggam tangan Ibunya.

“Aku takut Bu.” Mutia mengusap kepala sang putri. Air mata sudah menggenang di puluk mata. Tapi, Mutia mencoba tegar. Ia menahan air matanya agar tidak jatuh.

“Tiara nggak perlu takut lagi. Ada Ibu di sini.”

“Ibu nggak akan pergi ke Jepang lagi kan?” Mutia menggelengkan kepalanya.

“Nggak sayang. Ibu akan membangun usaha di kampung kita agar bisa menemani kamu dan Uti.” Kening Tiara tampak berkerut bingung.

“Emang Ibu masih ada uang? Uang Ibu kan udah habis buat di kirim ke Bapak dan Lek Zaki.” Mutia menggelengkan kepalanya.

“Kamu tenang saja sayang. Ibu punya tabungan sendiri yang tidak Ibu kirimkan pada Bapak dan Lek Zaki.” Tiara menghela nafas lega.

“Syukurlah kalau Ibu punya tabungan. Nanti uang dari Bapak juga bisa Ibu pakai untuk tambahan modal.” Mutia menjadi bingung. Air mata sudah kembali mengalir di pipi Tiara, Mutia langsung mengusap air mata sang putri yang mengalir deras.

Mutia  naik ke atas tempat tidur lalu membawa Tiara dalam pelukannya. Tiara mengeluarkan semua sesak yang ia rasakan selama empat tahun terakhir. Sejak Bapaknya, Saka, menikah lagi dengan Sekar.

“Ibu nggak perlu uang dari Bapak kembali. Asalkan Tiara bisa selamat dari kekejaman keluarga Bapak. Itu sudah lebih dari cukup untuk Ibu.” Tangis Tiara perlahan reda karena usapan tangan sang Ibu di punggungnya.

“Tapi, aku yang nggak rela Bu. Karena itulah aku mencuri buku tabungan dan kartu ATM milik Bapak.” Mata Mutia membulat mendengar pengakuan sang putri.

“Apa itu penyebab Tiara di pukul sampai babak belur begini?” Tiara menganggukan kepalanya.

“Walaupun aku sering makan enak karena uang kiriman Ibu ke Lek Zaki, tapi tetap saja melihat Bapak menghambur-hamburkan uang hasil kerja keras Ibu membuatku sangat kesal. Apalagi untuk Tante Sekar dan Dini.” Mutia mendekap kepala Tiara ke dadanya.

“Terima kasih sudah peduli sama Ibu sayang. Setelah kita pulang ke rumah Uti, Tiara nggak perlu lagi capek kerja. Tiara juga nggak akan di pukul lagi. Urusan buku tabungan dan kartu ATM milik Bapak, serahkan pada Ibu.” Tangan Tiara semakin erat memeluk pinggang sang Ibu.

“Bapak itu pelit banget Bu. Uang sepuluh juta yang Ibu kirim cuma di tabung. Buat biaya sehari-hari pakai uang dari Bapak yang jadi tukang parkir dan Tante Sekara yang kerja di Koperasi. Setelah tabungannya dapat banyak, malah di pakai buat beli keperluannya Dini dan renovasi rumah Mbah Jarmi.” Mutia hanya bisa menahan kegeramannya dalam hati. Tangannya masih sibuk mengusap punggung sang putri.

“Aku nggak rela kalau mereka tinggal di rumah yang di renovasi dari hasil kerja keras Ibu. Aku juga nggak rela Tante Sekar pamer perhiasan emas dan tas bagus. Ibu harus mengambil semua barang itu.” Seru Tiara kesal. Mutia hanya bisa menghela nafasnya.

“Iya sayang. Besok biar Ibu sendiri yang ambil semua barang milik Tante Sekar dan Dini dari hasil uang kiriman Ibu ya. Tiara udah kuat bangun atau belum?” Tiara menganggukan kepalanya.

“Udah Bu.”

“Kalau begitu Tiara tayamum ya. Terus sholat subuh dulu biar tenang. Ibu udah bawab mukena baru untuk Tiara.”

“Beneran Bu?” Mutia menganggukan kepalanya. Tiara lalu mengambil tayamum dari debu di atas nakas. Mutia mengulurkan sebuah tas berisi mukena berwarna kuning. Warna kesukaan Tiara.

Sambil menunggu Tiara selesa sholat, Mutia mengambil Al Quran lalu membaca di bawah. Matahari perlahan naik saat perawat masuk ke ruang perawatan untuk memeriksan selang infus Tiara.

***

Jam sudah menunjukkan pukul dua belas siang. Sinar matahari yang tepat berada di atas kepala membuat Saka terus mengusap peluhnya. Ia membawa pesan dari Dini jika Tiara hari ini tidak masuk sekolah.

“Ini uang parkir bagian lo Ka. Ayo kita pulang.” Saka mengantongi uang yang berjulah tiga ratus ribu itu.

“Ayo. Udah nggak ada motor parkir juga.” Pasar tempat Saka bekerja hanya sebagai tukang parkir buka selama dua hari pasaran Jawa. Saat hari sudah mulai siang, maka pasar sudah sepi. Penjual juga membereskan barang dagangan mereka.

Motor yang di naiki Saka menuju rumah Bu Surti, Ibu Mutia. Langkahnya berderap cepat hingga ia membuka pintu. “TIARA KELUAR KAMU DASAR ANAK SIALAN.”

“Apa maksud kamu mengatakan kalau Tiara anak sialan mas?” Saka jatuh terjengkang ke belakang.

“Mu, mutia. Kamu sudah pulang?”

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Ayo Mutia hajar suami sialan dan gak tau diri itu
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status