Share

Bab 3 Mutia, Saka dan Sekar

“Mu, Mutia sayang. Kamu salah paham” Saka memegang tangan Mutia yang sudah berdiri di depannya. ‘Halus.’ Plkir Saka saat menyentuh tangan istri pertamanya itu.

“Salah paham bagaimana mas? Jelas kamu tadi teriak kalau Tiara itu anak sialan.” Saka menundukan kepalanya lalu bangkit berdiri. Ia melirik pada Mutia yang sekarang sudah berubah. Kulit Mutia yang pada dasanya berwarna kuning langsat tampak sangat bersinar. Rambut hitam panjangya terlihat sangat halus. Dengan make up sederhana yang membuat wajah Mutia semakin cantik. Saka menalan salivanya lalu melirik pada Tiara yang duduk di kursi ruang tamu.

“Tiara kabur dari rumah setelah mencuri hpnya Ana. Mas nggak bermaksud marah pada Tiara. Tapi, Tiara sudah terlanjur ketakutan.” Mutia menghempaskan tangan Saka hingga terlepas.

“Aku nggak percaya. Buktinya Tiara sampai babak belur seperti itu.” Tunjuk Mutia ke arah putri mereka yang kini tengah sibuk dengam buku gambarnya.

“Mungkin Tiara di pukul preman kampung karena pergi malam-malam sayang.” Mutia tertawa terbahak-bahak hingga membuat Saka mengerutkan keningnya.

“Aku nggak percaya mas. Memang Tiara main sampai Kecamatan lalu ketemu sama preman? Jawabannya tentu saja tidak.”

“Memang itu yang terjadi sayang.” Mulus sekali kebohongan demi kebohongan yang keluar dari mulut Saka.

“Kamu juga pasti bertemu dengan Tiara di kecamatan kan. Ayo kita pulang ke rumah Ibuku sayang. Mas akan jelaskan semuanya di sana." Kata Saka sambil melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan. Jam segini Sekar masih berada di kantornya. Dini dan Rasya di titipkan di rumah orang tua Sekar yang jaraknya tidak begitu jauh dari rumah Ibu Saka.

Saka hendak kembali mengamit tangan Mutia. Tapi, langsung di tepis oleh perempuan itu. “ Tiara sendiri yang sudah mengatakan bahwa kamu yang memukuli dia sampai babak belur mas.” Saka menatap tajam sang putri yang tampak menunduk ketakutan. Tiara beranjak dari kursi lalu masuk ke dalam kamar dengan membawa buku gambarnya.

“Aku akan bawa kasus penganiayaan anak kita ke polisi.”

“Jangan sayang. Tiara sudah bohong sama kamu. Lagipula kamu juga tidak punya bukti kuat kan kalau aku yang memukul Tiara.” Mutia mengambil ponselnya dari saku daster lalu membuka sebuah video.

Tepat di depan wajah Saka, pria itu dapat melihat rekaman saat ia menendang dan menjambak rambut Tiara. Kata-kata umpatan samar terdengar dalam video itu. Saka reflek mengambil ponsel Mutia lalu membantingnya ke tanah.

"Itu, itu bukan aku sayang. Aku mohon percaya padaku." Saka masih berusaha menyangkal. 

“Percuma kamu membanting hpku mas. Karena rekaman video itu sudah tersimpan di email. Jadi, aku tinggal mengunduhnya. Lagipula, hp yang kamu banting itu hp jadulku. Aku masih bisa beli yang baru.” Saka sudah tidak bisa membendung amarahnya lagi.

“Keterlaluan kamu Mutia. Jika kamu melaporkan aku ke polisi, maka aku akan menceraikan kamu. Kamu nggak takut jadi janda? Janda di desa ini itu punya stigma yang negatif.”

“Aku nggak takut. Apalagi kalau nanti kamu di penjara karena kasus penganiayaan Tiara.”

Tiin.. tiiin…

Jendela mobil itu perlahan turun. Saka terlihat salah tingkat saat Sekar justru turun dari mobil. “Cepat seret Tiara dong. Biar dia bisa masak buat makan siang. Kamu malah ngobrol sama wanita lain. Aku ini repot ngurus anak kamu juga. Jangan bengong di sa..”

Langkah Sekar terhenti saat ia bisa mengenali Mutia yang berdiri di depan suami mereka. Sama sekali tidak ada wajah kusam karena terpaan sinar matahari. Mutia terlihat seperti wanita yang baru berumur dua puluh tahun. Walaupun saat ini wanita itu tengah memakai daster. Tapi, hal itu tidak mengurangi kecantikan Mutia. Tiba-tiba Sekar menjadi iri dengan pengampilan Mutia.

“Oh, jadi kamu mau membawa Tiara lagi buat kamu jadikan babu mas?” Saka melotot pada Sekar karena ia belum berhasil meyakinkan Mutia, istri keduanya itu justru sudah datang kesini. Sambil memamerkan mobil kredit yang baru mereka beli.

“Nggak gitu sayang. Jangan percaya omongan Sekar.”

“Bapaak. Ayo kita beli tas baru. Bapak udah dapat uang lagi kan?” Dini yang tadi menunggu di dalam mobil, sudah ikut turun. Mutia menyilangkan tangannya di dada.

“Bapak? Anak ini manggil kamu Bapak mas?” Saka menggelengkan kepalanya dengan wajah pias.

“Bukan sayang. Mungkin Dini salah manggil.”

“Mas.” Seru Sekar tidak terima. Mutia hanya terkekeh pelan. Sedetik kemudian matanya memandang tajam suami dan adik madunya itu.

“Kamu pikir selama ini aku tidak tahu jika kamu sudah menikah lagi. Sudah menganiaya anak kita terus di tambah menikah lagi tanpa ijin istri.”

“Tapi, secara agama Mas Saka boleh menikah lagi.” Ujar Sekar tidak mau kalah.

“Memang secara agama bisa. Tapi, secara hukum kalian harus ijin padaku dengan tanda tangan yang sah. Jika tidak aku bisa melaporkan kalian karena menikah lagi ranpa ijin dari istri pertama.”

“MUTIA.” Teriak Saka tidak terima. Cukup sudah ia bersabar menghadapi istri pertamanya itu.

“Silahkan kamu pergi sama istri kedua dan anak-anak kalian mas. Sampai bertemu di pengadilan. Eh, bukan. Tapi di rumah Ibumu. Cepatlah pulang karena aku sudah mengirimkan kejutan kesana.” Tanpa menunggu jawaban Saka, Mutia sudah menutup pintu depan.

***

“Bapak aku mau beli tas baru. Ibu bilangin ke Bapak dong.”

“DIAM DINI. BERISIK TAHU.” Rasya yang berada di pangkuan Sekar menangis karena teriakan Saka.

“Bapak lagi pusing karena ulah kamu dan Ibumu tadi.” Mata Sekar mendelik tidak terima.

“Oh, jadi kamu nyalahin aku mas? Yang salah itu kamu karena menyuruh Tiara tidur di luar hingga bisa bertemu dan mengadu pada Ibunya.” Saka memijit pelipisnya untuk meredakan rasa pusing.

“Kamu juga nggak perlu menyusul aku ke rumah Ibunya Mutia, Sekar. Biasanya kamu masih bekerja di koperasi sekarang.” Sekar mencebik kesal.

“Aku udah di keluarkan karena ketahuan mencuri uang di brankas.”

“APAAAA? Kamu gila ya Sekar. Udah untung kamu bisa jadi office girl di sana. Gajinya lumayan buat tambahan beli makan. Kamu malah bikin ulah.”

“Itu karena kamu tidak bisa membelikan aku kalung emas lagi. Sudah cukup aku mengalah uang kiriman dari Mutia kamu buat untuk renovasi rumah Ibu. Bukannya untuk membeli rumah kita sendiri.” Jerit Sekar tidak terima. Tangis Rasya semakin kencang karena orang tuanya terus bertengkar.

Hingga mobil yang di kendarai Saka tiba di halaman rumah Bu Jarmi. Saat turun dari mobil, ada dua orang pria berbadan besar yang menggunakan jaket hitam. Bu Jarmi berlari menghampiri Saka. “Cepat telpon Mutia Ka. Mereka mau mengambil mobil kita karena kamu sudah dua bulan nunggak bayar kredit.”

Mata Saka membulat mendengar penuturan Bu Jarmi. Ia lalu mendekati kedua pria itu. “Tolong berikan saya keringanan Pak. Selama tujuh bulan saya selalu rutin membayar cicilan mobil. Baru dua bulan ini saya nunggak karena memang lagi nggak ada uang.”

Salah satu pria itu menggelengkan kepalanya. “Tidak bisa Pak. Jika Bapak tidak bisa membayar, maka mobil itu terpaksa kami gulingkan pada pembeli lain. Bapak juga bisa menerima kompensasi dari pembayaran dp dan cicilan mobil selama tujuh bulan ini.”

“Nggak bisa. Kami pasti akan melunasi mobil itu. Iya kan mas?” Seru Sekar tidak terima. Tapi, Saka justru menganggukan kepalanya.

“Saya setuju Pak. Apakah Bapak berdua sudah membawa berkasnya?”

“Mas Sakaaaa.”

“SAKAAAA.”Jerit Bu Jarmi dan Sekar tidak terima.

“Sudah kami bawa Pak. Ayo kita duduk dulu.” Saka menghentakan tangan Sekar yang memegang tangannya.

Setelah duduk di ruang tamu, Saka menanda tangani berkas itu tanpa membaca isi dalam setiap paragraf. Salah satu pria itu memasukan kembali berkas ke dalam mobil. “Tolong serahkan kunci mobil anda Pak Saka.”

Dengan berat hati, Saka menyerahkan kunci mobinya. Ia masuk ke dalam kamar untuk mengambil kunci mobil yang di maksud. “Mulai hari ini mobil itu resmi berpindah kepemilikan pada Ibu Mutia Sukma Rahayu.”

Tubuh Saka menegang. Itu adalah nama istri pertamanya. Jadi, Mutia yang sudah menggulingkan kredit mobilnya yang menunggak. Kalau begitu, Saka bisa meminta ganti uang DP dan cicilan yang ia lakukan selama tujuh bulan sebelumnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status