Sekar menjerit tidak terima karena perkataan suaminya itu. Ia memukul tangan Saka hingga Saka jatuh tersungkur. Mutia hanya diam saja melihat pertengkaran suami dan adik madunya itu.
"Sudah belum bertengkarnya? Tanya Mutia bosan. Saka kembali memegang tangan Mutia dengan wajah mengiba.
“Aku tidak mau berpisah denganmu sayang. Kamu tahu kan sebagai laki-laki yang sudah menikah aku tidak bisa terlalu lama menahan hasrat. Menikah dengan Sekar membuatku tidak berzina dengan wanita lain.” Mutia hanya menggulirkan matanya sebal.
“Aku tahu mas. Walaupun aku marah pada kalian, bukan berarti aku menentang poligami. Hanya saja, aku kecewa pada perbuatanmu. Setelah di pecat dari koperasi tempatmu bekerja, kau tidak mau melamar kerja ke pabrik dengan alasan bekerja di pabrik bukan levelmu. Lalu saat Ibuku jatuh sakit, kau justru yang menyuruhku untuk mendaftar menjadi TKI. Karena saat itu kau juga belum punya pekerjaan lagi. Gajiku sebagai buruh tani dan buruh cuci tetangga tidak akan cukup. Tapi,apa yang aku dapat?” Mutia menghempaskan tangan Saka.
Rasa sesak kembali menghimpit dadanya. Sebisa mungkin Mutia menahan air mata yang hendak keluar. Ia tidak ingin terlihat lemah di depan keluarga sang suami.
“Kau tahu, awalnya aku hanya menangisi nasib kenapa kau memilih untuk poligami. Aku mencoba ikhlas menjalani hidup. Apalagi Ibuku juga butuh biaya perawatan. Tapi, saat Zaki mengirimkan video kau sedang menyaniaya Tiara bersama dengan istri keduamu ini, aku memutuskan untuk melawan. Caranya dengan berbohong jika majikanku adalah orang yang pelit. Hingga aku butuh biaya hidup selama bekerja di sana.”
“Lah, kamu sendiri nggak peduli sama anakmu. Malah nerusiin kerja di Jepang kok?” Ucap Bu Jarmi membela diri.
“Itu karena aku terikat kontrak kerja dengan agen yang memberangkatkan aku Bu. Majikanku bisa saja mengijinkan aku untuk pulang, tapi tidak dengan agenku. Asal Ibu tahu, majikanku lah yang sudah menyuruh aku untuk bohong pada Mas Saka jika dirinya pelit. Sehingga aku bisa mengirimkan uang pada Zaki dan mempunyai tabungan sendiri. Majikanku juga yang menyuruh aku untuk mengatakan pada Zaki untuk merekam semua aksi yang kalian lakukan pada putri dan Ibuku.”
Bu Jarmi membuang wajah sebal. Wajahnya menggelembung sebal. Tiba-tiba saja Saka sudah mengunci kedua tangan Mutia. “Cukup Mutia. Kamu sudah sangat keterlaluan. Jangan serakah jadi orang Tia. Serahkan uang dp dan kredit mobil selama tujuh bulan. Kamu juga harus serahkan semua gaji kamu selama bekerja sebagai TKI di Jepang. Aku itu masih sah sebagai suami kamu. Jadi, kamu harus nurut sama aku.”
“Nggak mau. Kamu itu yang bodoh mas. Uang suami itu buat istri. Tapi, uang istri itu tidak wajib di berikan pada suami.”
“Kamu lupa sekarang berada dimana? Kamu sedang berada di rumahku Mutia. Selain itu, kamu kalah tenaga sama aku. Aku bisa menyekap kamu di sini buat mengancam Zaki menyerahkan semua uang kamu.” Wajah Saka terlihat sangat menakutkan hingga membuat Mutia menjadi gentar. Tapi, Mutia langsung membuang rasa takutnya. Ia mengingat tips yang di bagikan sang majikan untuk menghadapi orang yang punya tenaga lebih kuat darinya.
Buk
“ADUUUUH.SIALAN KAMU MUTIA.” Umpat Saka keras. Mutia berkacak pinggang setelah berhasil menendang barang pusaka sang suami. Bu Jarmi berlari ke arah sang anak yang sudah tergeletak di lantai.
“Kamu juga jangan macam-macam sama aku mas. Walaupun aku wanita. Tapi, aku bisa membela diri. Kamu tahu kalau barang pusaka kamu itu kelemahan terbesar bukan?” Ujar Mutia dengan nada mengejek.
“Satu hal yang perlu kalian ingat. Aku tidak akan membayar uang dp dan uang kredit mobil. Karena kalian sudah membayar semua itu dengan uang kirimanku.”
“Tidak bisa begitu dong. Kamu bisa aku laporin sama pihak leasing dan polisi.” Sekar maju setelah sekian lama diam.
“Laporin aja. Aku juga akan melaporkan kalian karena menikah tanpa ijin istri pertama. Belum lagi kasus penganiayaan Tiara. Masih untung aku tidak meminta semua uang yang kalian dapat dariku untuk renovasi rumah dan uang kuliah Ana sekarang. Karena aku masih harus diskusi dulu dengan pengacaraku. Lebih baik kalian menabung untuk membayar tuntutan uang dariku.” Mutia langsung keluar dari rumah Bu Jarmi. Hari sudah siang. Saatnya ia menjemput Tiara karena hari ini ia sudah berjanji pada sang anak untuk membeli boneka di mall yang terletak di Kota Kabupaten.
***
Mutia melirik jam mahal yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. Ia sudah terlambat sepuluh menit karena tertahan di rumah Bu Jarmi. Sesampainya di sekolah, tampak para siswa sedang berkerumun di halaman sekolah. Entah kenapa perasaan Mutia menjadi tidak enak. Ia membenarkan kamera pengintai kecil yang terpasang di saku baju. Karena bentuknya seperti kancing baju, jadi tidak ada yang menyadarinya. Termasuk Saka dan keluarganya.
“Ini tas aku. Balikin.”
Deg
Mutia memarkirkan motor di depan gerbang saat mendengar suara Tiara. Ia tidak dapat melihat apa yang terjadi karena terhalang kerumunan para siswa yang sedang menonton.
“Nggak. Tas ini pasti yang beli Bapak. Jadi, tas ini punya aku.”
“Bukan. Ibuku yang beliin tas ini.” Suara Tiara terdengar lagi.
“Permisi dek. Tante mau lewat.” Mutia menyibak kerumuman para siswa. Matanya terbelalak saat ia melihat seorang anak perempuan yang terlihat familiar tengah menjambak rambut Tiara.
“Lepaskan Dini.” Mutia berlari ke arah lapangan. Dua anak perempuan yang lain memegang tangan dan bahu Tiara agar Dini bisa menjambak Tiara dengan lebih leluasa.
Mutia melepaskan tangan Dini dari rambut Tiara. Kedua anak yang lain seketika melepaskan pegangan tangan mereka. Tiara menghambur dalam pelukan sang Ibu. “Sudah jangan takut nak. Ada Ibu di sini.”
Seketika tubuh Dini dan kedua anak yang lain menggigil ketakutan. Dini perlahan beringsut menjauh lalu berlari. Ia tentu saja sangat ingat dengan wajah Mutia yang mengusir Saka dan Ibunya saat hendak menjemput Tiara.
“Tunggu Dini.” Teriak salah satu anak yang memegang Tiara lalu ikut berlari. Para siswa satu per satu bubar karena takut melihat wajah penuh amarah Mutia.
“Kamu nggak apa-apa kan nak? Apa masih ada yang sakit?” Mutia melepaskan pelukannya lalu memeriksa satu per satu tubuh Tiara. Ia melihat siku Tiara yang berdarah.
“Kenapa siku kamu berdarah sayang?” Tiara mulai menangis sesegukan.
“Dini dan teman-temannya yang mendorong aku Bu. Teman-teman yang lain nggak ada yang berani bantu karena mereka juga di jahatin sama Dini.” Mutia membawa Tiara dalam pelukannya. Ia berusaha mengatur nafas agar tenang. Bagaimanapun juga, lawannya kali ini adalah anak-anak. Bukan orang dewasa.
“Ya udah. Ayo kita pulang ke rumah dulu. Besok Ibu antar ke sekolah sekalian mau bicara sama kepala sekolah tentang masalah Dini.” Tiara menganggukan kepalanya. Mutia merapikan rambut Tiara yang cukup berantakan.
“Eh, kita kan mau pergi ke mall Bu.”
“Emang Tiara nggak merasa kesakitan?” Tiara menggelengkan kepalanya.
“Cuma luka lecet aja. Bekas jambakan Dini juga nggak sakit lagi.” Mutia hanya bisa terkekeh pelan. Padahal wajah sang anak sudah meringis kesakitan.
“Ya udah. Kita jadi pergi ke mall ya. Tapi, sebelum itu kita pergi ke rumah sakit dulu buat pemeriksaan kesehatan.”
“Ibu sakit?” Raut wajah Tiara berubah menjadi khawatir.
“Nggak kok. Cuma pemeriksaan kesehatan biasa. Sekaligus nebus obat buat Uti.” Mutia mengamit tangan Tiara hingga mereka naik ke atas motor.
Sebenarnya, Mutia hendak melakukan visum pada Tiara untuk jadi bukti bagi Kepala Sekolah dan keluarga Saka. Karena keluarga Saka pasti tidak akan mau tanggung jawab jika hanya berdasarkan rekaman kamera kecil.
TBC
“Tiara tunggu di luar dulu ya. Sekarang gantian Ibu yang melakukan pemeriksaan kesehatan.” Tiara menganggukan kepala lalu keluar dari ruangan dokter. “Bagaimana keadaan anak saya dok?” Dokter mengarahkan hasil visum ke hadapan Mutia. “Untuk luka jambakan rambut dan sikunya yang berdarah, tidak terlalu parah. Tapi, sekujur tubuh Tiara ada bekas lebam. Karena rajin di olesi salep, luka itu sudah sembuh.” Mutia menghela nafasnya. Ia sudah tahu tentang hal itu. Dokter di klinik yang menangani Tiara dulu juga mengatakan bahwa luka di tubuh Tiara tidak akan mudah hilang. Ia juga sudah punya hasil visum dari klinik. “Saya sudah tahu dok. Terima kasih untuk hasil visumnya.” Dokter wanita itu menganggukan kepalanya. Mutia keluar dari ruang dokter lalu mengajak Tiara untuk pergi dari rumah sakit itu. Di dalam mall, Mutia belanja beberapa barang selain boneka untuk Tiara. Ada kebutuhan rumah tangga dan baju. “Kita udah selesai belanja Bu?” Mutia menganggukan kepalanya. “Iya. Karena hari ini
“Apa buktinya? Kalau cuma rekaman CCTV itu bisa di rekayasa tau.” Sekar berdiri dengan angkuh di depan Mutia. Wanita itu mengeluarkan bukti visum dan ponsel. Rekaman di sekolah kemarin kembali berputar. Sampai Dini yang tahu kehadrian Mutia berlari ketakutan.“Rekaman ini pasti palsu kan. Aku nggak percaya kalau anakku akan berbuat kasar seperti itu.” Kekeh Sekar membela Dini. Walaupun dalam hatinya Sekar merutuki sang putri karena membuatnya kembali berurusan dengan Mutia.“Rekaman ini asli. Kamu mau bukti lain juga selain rekaman dan hasil visum ini?”“Bukti apa? Aku yakin kau tidak akan bisa membuktikannya.” Tantang Sekar yakin. Mutia hanya tersenyum lalu menghubungi seseorang. Suara ponsel yang berdering terdengar nyaring di rumah itu.“Halo Mama Tiwi.”“Halo Ibunya Tiara. Saya sudah siap untuk mengajak Tiwi pergi ke rumah anda.”“Oh begitu. Saya tunggu nanti ya Mamanya Tiwi. Tapi, sebelumnya saya mau nanya dulu nih mumpung ada Ibunya Dini. Tiwi itu bantuin Dini buat nyerang Tiara
Bu Jarmi berusaha menahan polisi yang hendak memborgol tangan Saka. Raungan tangis Bu Jarmi tidak menghentikan para polisi itu bertugas. Saka hanya bisa pasrah karena wajahnya sudah memar di hajar polisi akibar mencoba kabur.“Lepaskan kami Bu. Atau anda juga akan di gelandang ke kantor polisi.” Bu Jarmi hanya bisa terduduk memandang Saka yang sudah menundukan kepalanya.“Beruntung anda tidak melakukan penganiayaan pada cucu anda. Jika tidak maka tangan anda juga sudah di borgol sekarang.” Bu Jarmi mundur perlahan saat salah satu polisi itu berjongkok di hadapannya. “Katakan dimana menantu anda berada? Dia juga akan kami tangkap karena sudah ikut menganiaya Tiara.” Bu Lasmi menggelengkan kepalanya dengan kencang.“Saya tidak tahu Pak. Sekar pergi sejak tadi pagi.” Polisi itu menganggukan kepala mengerti lalu mulai menggiring Saka keluar dari rumah.Para tetangga menatap Saka yang di giring masuk ke dalam mobil polisi. Bu Jarmi hanya bisa menangis meratapi nasib anaknya. Sudah tidak p
Mutia menatap surat panggilan sidang di tangannya yang menunjukkan pukul tujuh pagi. Tapi, Mutia tidak akan hadir di pengadilan agama karena jadwalnya bertepatan dengan pekerjaan Mutia yang harus merias wajah keluarga Bu Hajjah yang akan pergi ke acara wisuda putri bungsunya.Bu Surti yang sudah duduk di atas kursi roda, keluar dari kamar. “Kamu mau berangkat sekarang nduk? Bukannya baru selesai subuh ya?” Mutia menolehkan kepala pada sang Ibu.“Iya Bu. Karena nanti keluarganya Bu Hajjah akan berangkat ke Kota Kabupaten jam delapan pagi. Aku harus bersiap dari sekarang. Apalagi selain Bu Hajjah, aku juga akan merias putri bungsunya. Aku titip Tiara lagi ya Bu. Maaf kalau lagi-lagi aku merepotkan Ibu.”“Nggak masalah nduk. Kamu juga pergi bekerja untuk menyambung hidup.” Mutia memegang tangan Bu Surti senang.“Aku udah siapkan sarapan untuk Ibu dan Tiara. Kalau begitu aku berangkat dulu ya Bu. Assalamualaikum.”“Waalaikumsalam.”Hari masih gelap saat Mutia mengeluarkan motor dari dalam
“Ibu masuk ke dalam kamar dulu ya.” Wanita itu mendorong kursi roda Ibunya untuk masuk ke dalam kamar lalu mengunci kamar dari luar. Ia kembali ke hadapan Ibu mertuanya itu yang masih mengomel tidak terima dengan jalannya sidang hari ini.Mutia hanya berkacak pinggang saat Bu Jarmi masih marah-marah padanya. Hingga tangan wanita paruh baya yang masih menjadi Ibu mertuanya itu menjambak rambut Mutia. Tidak tinggal diam, Mutia berusaha melawan Bu Jarmi dengan melepaskan tangan keriput itu dari rambutnya.Karena usia yang jauh lebih muda, Mutia jelas bisa melepaskan diri hingga tubuh Bu Jarmi jatuh tersungkur. “Jangan main kasar Bu. Atau anda ingin menyusul si Saka untuk masuk ke dalam penjara?”Tubuh Bu Jarmi sudah bergetar karena marah. Wajahnya berubah menjadi merah seperti kepiting rebus. Ibu Saka itu bangkit berdiri dengan tatapan yang menghunus pada Mutia.“Kamu itu serakah sekali Mutia. Kamu bisa sukses dengan menjadi TKI karena Saka yang mengijinkanmu untuk pergi. Sebagai istri,
“Jika kalian butuh uang, aku akan dengan senang hati membantu. Karena aku masih punya hati nurani. Tapi, tidak untuk bertanggung jawab.” Jawab Mutia dengan tenang. Tangannya sudah sibuk kembali membuat gaun pengantin.“Halah nggak usah ngelak deh mbak. Ibu udah cerita sama aku kemarin kalau mbak nggak mau kirim uang ke Mas Saka. Udah di ijinkan jadi TKI, tapi malah ngirim suaminya ke penjara. Karena Mbak Mutia juga, Ibu sampai terluka dan harus di operasi. Apa susahnya sih bagi uang untuk suami dan mertuanya sendiri.” “Ha… ha… ha.. ha…” Mutia tertawa terbahak-bahak mendengar balasan Ana. Satu keluarga memang tidak ada yang otaknya beres.“Dengar ya Ana, sebenarnya aku sudah capek mengatakan hal ini berulang kali. Saka mengijinkan aku pergi ke luar negeri karena Ibuku sakit. Dia sendiri loh yang menyuruh aku pergi. Kamu tentu sudah tahu alasan akan memotong uang kiriman untuk Saka sampai menjebloskannya ke penjara. Sampai hari ini Tiara tidak menyebut nama kamu. Tapi, aku masih punya
Bus yang di tumpangi Saka turun di terminal Kota Kabupaten. Pria itu lalu melanjutkan langkahnya dengan menaiki angkot yang akan menuju desa tempatnya tinggal bersama Ibu dan adiknya. Saka menghela nafas sebal saat mengingat Sekar yang sampai sekarang masih kabur.Sesampainya angkot di depan rumah Bu Jarmi, Saka menundukan kepalanya saat turun dari angkot. Para tetangga masih ramai beraktivitas di sore hari. Saka berjalan menuju jalan setapak di samping rumahnya. Ia lalu memegang handel pintu belakang yang tidak terkunci.“Ibu aku pulang." Ujar Saka dengan suara yang cukup pelan agar tidak terdengar oleh para tetangga. Namun, sama sekali tidak ada tanda-tanda kehadiran Bu Jarmi di rumah ini. Bahkan Saka juga tidak melihat Dini dan Rasya.Langit yang berwarna jingga perlahan mulai berubah saat matahari kembali ke peraduannya. Bu Jarmi tidak kunjung pulang. Saka menunggu di dalam kamarnya dan Sekar. Ia berusaha menghubungi nomor sang Ibu. Tapi, tidak aktif. Jari Saka menggulir layar pon
Nafas Saka terengah-engah setelah ia berhasil kabur menuju bagian dalam kebun yang luas. Ia mengintip dari balik pohon jati yang tinggi. Para warga terus berlari menyusuri jalan setapak. Mereka tidak melihat keberadaan Saka. Pria itu menghembuskan nafas lega lalu berjalan melewati kebun salah satu warga.Saka kembali memakai hoodie dan maskernya untuk menutup wajah. Ia berlari menuju rumah Ibunya. Bu Jarmi yang sedang berada di dapur terlonjak kaget saat Saka menutup pintu dengan keras.“Kamu kenapa ketakutan seperti itu Ka?”“Ssstt….” Saka menempelkan jarinya ke bibir Bu Jarmi. Matanya melihat keluar dari balik jendela dapur. Lengang. Tidak ada orang yang mengejarnya.“Kenapa kamu di kejar warga sampai ngos-ngosan seperti itu?”Saka masih diam karena ia kini tengah menghabiskan satu gelas air untuk melepaskan dahaganya. Bu Jarmi ikut duduk di hadapan Saka.“Aku ketahuan Bu. Waktu aku datang ke rumah Bu Lasmi, Mutia lagi nggak ada di rumah. Ya udah aku sandra aja Ibunya biar Mutia mem