Share

Bab 6 Dini dan Tiara

Sekar menjerit tidak terima karena perkataan suaminya itu. Ia memukul tangan Saka hingga Saka jatuh tersungkur. Mutia hanya diam saja melihat pertengkaran suami dan adik madunya itu.

"Sudah belum bertengkarnya?  Tanya Mutia bosan. Saka kembali memegang tangan Mutia dengan wajah mengiba.

“Aku tidak mau berpisah denganmu sayang. Kamu tahu kan sebagai laki-laki yang sudah menikah aku tidak bisa terlalu lama menahan hasrat. Menikah dengan Sekar membuatku tidak berzina dengan wanita lain.” Mutia hanya menggulirkan matanya sebal.

“Aku tahu mas. Walaupun aku marah pada kalian, bukan berarti aku menentang poligami. Hanya saja, aku kecewa pada perbuatanmu. Setelah di pecat dari koperasi tempatmu bekerja, kau tidak mau melamar kerja ke pabrik dengan alasan bekerja di pabrik bukan levelmu. Lalu saat Ibuku jatuh sakit, kau justru yang menyuruhku untuk mendaftar menjadi TKI. Karena saat itu kau juga belum punya pekerjaan lagi. Gajiku sebagai buruh tani dan buruh cuci tetangga tidak akan cukup. Tapi,apa yang aku dapat?” Mutia menghempaskan tangan Saka.

Rasa sesak kembali menghimpit dadanya. Sebisa mungkin Mutia menahan air mata yang hendak keluar. Ia tidak ingin terlihat lemah di depan keluarga sang suami.

“Kau tahu, awalnya aku hanya menangisi nasib kenapa kau memilih untuk poligami. Aku mencoba ikhlas menjalani hidup. Apalagi Ibuku juga butuh biaya perawatan. Tapi, saat Zaki mengirimkan video kau sedang menyaniaya Tiara bersama dengan istri keduamu ini, aku memutuskan untuk melawan. Caranya dengan berbohong jika majikanku adalah orang yang pelit. Hingga aku butuh biaya hidup selama bekerja di sana.”

“Lah, kamu sendiri nggak peduli sama anakmu. Malah nerusiin kerja di Jepang kok?” Ucap Bu Jarmi membela diri.

“Itu karena aku terikat kontrak kerja dengan agen yang memberangkatkan aku Bu. Majikanku bisa saja mengijinkan aku untuk pulang, tapi tidak dengan agenku. Asal Ibu tahu, majikanku lah yang sudah menyuruh aku untuk bohong pada Mas Saka jika dirinya pelit. Sehingga aku bisa mengirimkan uang pada Zaki dan mempunyai tabungan sendiri. Majikanku juga yang menyuruh aku untuk mengatakan pada Zaki untuk merekam semua aksi yang kalian lakukan pada putri dan Ibuku.”

Bu Jarmi membuang wajah sebal. Wajahnya menggelembung sebal. Tiba-tiba saja Saka sudah mengunci kedua tangan Mutia. “Cukup Mutia. Kamu sudah sangat keterlaluan. Jangan serakah jadi orang Tia. Serahkan uang dp dan kredit mobil selama tujuh bulan. Kamu juga harus serahkan semua gaji kamu selama bekerja sebagai TKI di Jepang. Aku itu masih sah sebagai suami kamu. Jadi, kamu harus nurut sama aku.”

“Nggak mau. Kamu itu yang bodoh mas. Uang suami itu buat istri. Tapi, uang istri itu tidak wajib di berikan pada suami.”

“Kamu lupa sekarang berada dimana? Kamu sedang berada di rumahku Mutia. Selain itu, kamu kalah tenaga sama aku. Aku bisa menyekap kamu di sini buat mengancam Zaki menyerahkan semua uang kamu.” Wajah Saka terlihat sangat menakutkan hingga membuat Mutia menjadi gentar. Tapi, Mutia langsung membuang rasa takutnya. Ia mengingat tips yang di bagikan sang majikan untuk menghadapi orang yang punya tenaga lebih kuat darinya.

Buk

“ADUUUUH.SIALAN KAMU MUTIA.” Umpat Saka keras. Mutia berkacak pinggang setelah berhasil menendang barang pusaka sang suami. Bu Jarmi berlari ke arah sang anak yang sudah tergeletak di lantai.

“Kamu juga jangan macam-macam sama aku mas. Walaupun aku wanita. Tapi, aku bisa membela diri. Kamu tahu kalau barang pusaka kamu itu kelemahan terbesar bukan?” Ujar Mutia dengan nada mengejek.

“Satu hal yang perlu kalian ingat. Aku tidak akan membayar uang dp dan uang kredit mobil. Karena kalian sudah membayar semua itu dengan uang kirimanku.”

“Tidak bisa begitu dong. Kamu bisa aku laporin sama pihak leasing dan polisi.” Sekar maju setelah sekian lama diam.

“Laporin aja. Aku juga akan melaporkan kalian karena menikah tanpa ijin istri pertama. Belum lagi kasus penganiayaan Tiara. Masih untung aku tidak meminta semua uang yang kalian dapat dariku untuk renovasi rumah dan uang kuliah Ana sekarang. Karena aku masih harus diskusi dulu dengan pengacaraku. Lebih baik kalian menabung untuk membayar tuntutan uang dariku.” Mutia langsung keluar dari rumah Bu Jarmi. Hari sudah siang. Saatnya ia menjemput Tiara karena hari ini ia sudah berjanji pada sang anak untuk membeli boneka di mall yang terletak di Kota Kabupaten.

***

Mutia melirik jam mahal yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. Ia sudah terlambat sepuluh menit karena tertahan di rumah Bu Jarmi. Sesampainya di sekolah, tampak para siswa sedang berkerumun di halaman sekolah. Entah kenapa perasaan Mutia menjadi tidak enak. Ia membenarkan kamera pengintai kecil yang terpasang di saku baju. Karena bentuknya seperti kancing baju, jadi tidak ada yang menyadarinya. Termasuk Saka dan keluarganya.

“Ini tas aku. Balikin.”

Deg

Mutia memarkirkan motor di depan gerbang saat mendengar suara Tiara. Ia tidak dapat melihat apa yang terjadi karena terhalang kerumunan para siswa yang sedang menonton.

“Nggak. Tas ini pasti yang beli Bapak. Jadi, tas ini punya aku.”

“Bukan. Ibuku yang beliin tas ini.” Suara Tiara terdengar lagi.

“Permisi dek. Tante mau lewat.” Mutia menyibak kerumuman para siswa. Matanya terbelalak saat ia melihat seorang anak perempuan yang terlihat familiar tengah menjambak rambut Tiara.

“Lepaskan Dini.” Mutia berlari ke arah lapangan. Dua anak perempuan yang lain memegang tangan dan bahu Tiara agar Dini bisa menjambak Tiara dengan lebih leluasa.

Mutia melepaskan tangan Dini dari rambut Tiara. Kedua anak yang lain seketika melepaskan pegangan tangan mereka. Tiara menghambur dalam pelukan sang Ibu. “Sudah jangan takut nak. Ada Ibu di sini.”

Seketika tubuh Dini dan kedua anak yang lain menggigil ketakutan. Dini perlahan beringsut menjauh lalu berlari. Ia tentu saja sangat ingat dengan wajah Mutia yang mengusir Saka dan Ibunya saat hendak menjemput Tiara.

“Tunggu Dini.” Teriak salah satu anak yang memegang Tiara lalu ikut berlari. Para siswa satu per satu bubar karena takut melihat wajah penuh amarah Mutia.

“Kamu nggak apa-apa kan nak? Apa masih ada yang sakit?” Mutia melepaskan pelukannya lalu memeriksa satu per satu tubuh Tiara. Ia melihat siku Tiara yang berdarah.

“Kenapa siku kamu berdarah sayang?” Tiara mulai menangis sesegukan.

“Dini dan teman-temannya yang mendorong aku Bu. Teman-teman yang lain nggak ada yang berani bantu karena mereka juga di jahatin sama Dini.” Mutia membawa Tiara dalam pelukannya. Ia berusaha mengatur nafas agar tenang. Bagaimanapun juga, lawannya kali ini adalah anak-anak. Bukan orang dewasa.

“Ya udah. Ayo kita pulang ke rumah dulu. Besok Ibu antar ke sekolah sekalian mau bicara sama kepala sekolah tentang masalah Dini.” Tiara menganggukan kepalanya. Mutia merapikan rambut Tiara yang cukup berantakan.

“Eh, kita kan mau pergi ke mall Bu.”

“Emang Tiara nggak merasa kesakitan?” Tiara menggelengkan kepalanya.

“Cuma luka lecet aja. Bekas jambakan Dini juga nggak sakit lagi.” Mutia hanya bisa terkekeh pelan. Padahal wajah sang anak sudah meringis kesakitan.

“Ya udah. Kita jadi pergi ke mall ya. Tapi, sebelum itu kita pergi ke rumah sakit dulu buat pemeriksaan kesehatan.”

“Ibu sakit?” Raut wajah Tiara berubah menjadi khawatir.

“Nggak kok. Cuma pemeriksaan kesehatan biasa. Sekaligus nebus obat buat Uti.” Mutia mengamit tangan Tiara hingga mereka naik ke atas motor.

Sebenarnya, Mutia hendak melakukan visum pada Tiara untuk jadi bukti bagi Kepala Sekolah dan keluarga Saka. Karena keluarga Saka pasti tidak akan mau tanggung jawab jika hanya berdasarkan rekaman kamera kecil.

TBC

 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Ayo Mutia bongkar kebobrokan keluarga suami kamu
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status