“Tiara tunggu di luar dulu ya. Sekarang gantian Ibu yang melakukan pemeriksaan kesehatan.” Tiara menganggukan kepala lalu keluar dari ruangan dokter.
“Bagaimana keadaan anak saya dok?” Dokter mengarahkan hasil visum ke hadapan Mutia.
“Untuk luka jambakan rambut dan sikunya yang berdarah, tidak terlalu parah. Tapi, sekujur tubuh Tiara ada bekas lebam. Karena rajin di olesi salep, luka itu sudah sembuh.” Mutia menghela nafasnya. Ia sudah tahu tentang hal itu. Dokter di klinik yang menangani Tiara dulu juga mengatakan bahwa luka di tubuh Tiara tidak akan mudah hilang. Ia juga sudah punya hasil visum dari klinik.
“Saya sudah tahu dok. Terima kasih untuk hasil visumnya.” Dokter wanita itu menganggukan kepalanya. Mutia keluar dari ruang dokter lalu mengajak Tiara untuk pergi dari rumah sakit itu.
Di dalam mall, Mutia belanja beberapa barang selain boneka untuk Tiara. Ada kebutuhan rumah tangga dan baju. “Kita udah selesai belanja Bu?” Mutia menganggukan kepalanya.
“Iya. Karena hari ini kita ke mall pakai motor, Ibu nggak bisa belanja banyak.”
“Kalau gitu kita beli mobil aja Bu. Tabungan Ibu masih cukup kan?” Mutia tertawa lalu menganggukan kepalanya.
“Iya. Besok-besok ya. Kita beli bareng Uti dan Lek Zaki.” Ibu dan anak itu pulang ke rumah Ibu Mutia.
Keesokan harinya, Mutia mengantarkan Tiara ke sekolah. Anak-anak yang kemarin menonton perkelahian di antara Tiara dengan Dini serta genknya berlari menjauh. Dini yang baru sampai ke sekolah dengan menaiki sepeda, menjatuhkan sepedanya lalu berlari masuk ke dalam ruang kelas lima.
“Kita masuk ke ruang kepala sekolah dulu ya sayang. Buat ketemu sama kepala sekolah kamu dulu.”
“Iya Bu.”
Tok.. tok.. tok..
“Silahkan masuk. Oh ada Tiara.” Mutia membaca name tag Kepala Sekolah putrinya itu. Hj Darsih.
“Silahkan duduk Ibu, Tiara. Saya minta maaf sebelumnya, Ibu ini siapanya Tiara ya?”
“Perkenalkan nama saya Mutia. Saya adalah ibu kandung Tiara.” Kening Bu Darsih berkerut bingung. Tapi, sedetik kemudian raut wajahnya sudah berubah menjadi normal kembali.
“Oh Ibu Tiara. Ada maksud apa Ibu datang kesini?” Senyum sopan tersungging di bibir Bu Darsih.
“Saya mau melaporkan kasus kekerasan yang di lakukan tiga siswi kelas lima. Nama mereka Dini, Tiwi dan Rika.” Senyum di bibir Bu Darsih seketika luntur.
“Mungkin bukan perkelahian Bu. Cuma salah paham di antara anak-anak saja. Kalau dari cerita Tiara, Ibu pasti akan lebih percaya pada Tiara sebagai Ibu kandungnya.” Amarah seketika menelusup dalam hati Mutia. Kepala sekolah yang harusnya bisa mengayomi para siswanya lalu menjadi penengah jika ada pertengkaran justru mengatakan hal itu.
“Bukan Tiara yang cerita. Tapi, saya yang lihat sendiri saat Tiwi dan Rika memegang tubuh Tiara. Lalu Dini menjambak rambut putri saya agar bisa mengambil tas yang baru saya belikan.” Mutia menatap tajam pada Bu Darsih. Kepala sekolah putrinya itu terlihat tenang meskipun terlihat ada riak khawatir dalam bola matanya.
“Kalau begitu, Ibu iklhaskan saja. Namanya juga anak-anak. Kemarin bertengkar, hari ini sudah baikan.” Dada Mutia naik turun menahan amarah. Ia ingin berteriak di hadapan Bu Darsih. Tapi, sebisa mungkin ia mencoba untuk mengontrol emosinya. Karena bagaimanapun juga saat ini mereka berada di lingkungan sekolah.
"Ikhlaskan saja? Ibu Kepala Sekolah yang terhormat. Menurut Tiara, penganiayaan yang di lakukan oleh Dini dan kedua temannya tidak hanya terjadi kemarin. Bahkan sudah beberapa kali. Sebagai seorang tenaga pendidik, sudah menjadi tugas Bu Darsih untuk meluruskan sikap Dini dan anak-anak didik Ibu yang lain agar berperilaku sesuai norma yang di ajarkan."
“Saya adalah Kepala Sekolah di sini Bu Mutia. Jadi, saya lebih tahu apa yang terbaik untuk murid-murid saya.” Ujar Bu Darsih tetap teguh pada pendiriannya. Mutia sama sekali tidak gentar menghadapi penolakan dan sikap acuh Bu Darsih.“Kamu balik ke kelas dulu ya sayang. Jangan lupa pamitan pada Ibu Kepala Sekolah yang terhormat.” Ejek Mutia ke arah Bu Darsih. Kepalan tangan Bu Darsih ia sembunyikan di bawah meja.
“Saya pamit ke kelas dulu Bu.”
“Iya Tiara.”
Mutia mengeluarkan selembar kertas ke hadapan Bu Darsih. “Ini adalah hasil visum Tiara kemarin. Seperti yang anda lihat, rambut Tiara tertarik karena di jambak Dini. Lalu ini.”
Mata Bu Darsih membelalak saat ia melihat rekaman perundungan yang di lakukan oleh Dini, Tiwi dan Rika pada Tiara. Tubuh Bu Darsih menadi gemetar. “Apa yang anda inginkan?”
“Buat Dini dan kedua temannya minta maaf pada Tiara. Hukum mereka dengan hukuman yang pantas sesuai dengan peraturan sekolah. Atau jika tidak anda akan menerima konsekuensinya karena sudah bersikap acuh pada Tiara.”
“Sa, saya akan melakukannya. Asal jangan sampai video itu tersebar di sosial media.”
“Bagus. Saya beri waktu anda satu hari sampai besok jam tujuh pagi. Saya akan kembali menemui anda di sini. Tenang saja Bu Darsih. Jika video ini viral saya akan memberikan klarifikasi jika pihak sekolah sudah menghukum ketiga siswi ini. Hanya saja keluarga mereka yang tidak mau minta maaf pada Tiara.” Meskipun masih ketakutan, tapi Bu Darsih merasa bingung.
“Untuk apa anda memviralkan video itu?”
“Kenapa anda pura-pura tidak tahu? Bukankah di data sekolah sudah jelas tertera data pribadi Dini dan Tiara?” Bu Darsih hanya bisa menunduk.
“Saya mengerti.” Tanpa mengatakan apapun lagi, Mutia beranjak dari kursi lalu meninggalkan ruang kepala sekolah.
***
Siang harinya, Mutia pulang ke rumah setelah belanja kain untuk membuat gaun pengantin. Di belakang Mutia, mobil pick up terbuka terlihat mengantakan empat meja, dua mesin jahit modern dan dua mesin lain agar jahitan baju lebih maksimal. Bu Surti yang sudah duduk di atas kursi roda menggerakan kursi rodanya keluar.
“Kamu sudah pulang nduk?”
“Iya Bu.”
“Kamu jadi beli kain? Banyak banget nduk?” Mutia tertawa sambil menurunkan tiga kantung plastik besar yang berisi kain khusus untuk membuat gaun pengantin.
“Iya Bu. Aku kan mau buat sepuluh gaun pengantin dulu. Jasa make up bisa di mulai duluan besok. Alhamdulillah udah ada orderan untuk jasa make up wisuda tetangga kita yang anaknya kuliah.”
“Alhamdulillah.”
Mutia menghampiri dua orang pria yang turun dari mobil pick up. “Tolong tata sekalian di ruang tamu ya Pak.”
“Baik Bu.” Setelah memastikan kedua mesin jahit sudah tertata rapi dan memasukan semua potongan kain ke dalam rumah. Mutia kembali memakai helm-nya.
“Kamu mau kemana lagi nduk? Ndak makan dulu?” Mutia menggelengkan kepalanya.
“Nggak Bu. Aku mau bagi-bagi brosur yang sudah aku cetak kemarin. Sekalian nanti jemput Tiara dari sekolah. Baru kita makan siang bareng. Aku berangkat dulu Bu. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Motor Mutia menuju ke rumah Ibu mertuanya. Mutia memang sengaja berbohong pada sang Ibu karena tidak ingin membuat Ibunya semakin khawatir hingga membuat kondisi kesehatan Bu Surti menjadi drop. Bu Jarmi tengah menyapu halaman depan saat motor yang di kendarai Mutia tiba di halaman rumah.
“Mau apa lagi kamu kesini hah?” Hardik Bu Jarmi sebelum Mutia turun dari motor.
“Aku nggak ada urusan sama Ibu. Tapi, aku ada urusan sama menantu kedua Ibu itu.” Tanpa mengindahkan keberadaan Bu Jarmi, Mutia melangkah menuju rumah. Terdengar suara TV dari ruang keluarga. Langkah Mutia terhenti di bawah bingkai pintu. Terlihat Sekar yang tengah asyik dengan ponselnya. Sementara Rasya sudah berjalan masuk ke dalam kamar dengan mainan di tangan.
“Aku ingin kamu minta maaf atas nama anakmu.” Ucapan Mutia membuat Sekar menolehkan kepala ke arah kakak madunya itu.
“Untuk apa aku minta maaf atas nama Dini. Apa kamu iri karena Mas Saka lebih perhatian pada Dini daripada Tiara?” Mutia berdecak sebal lalu tersenyum meremehkan. Membuat Sekar menjadi marah karena merasa di ejek.
“Aku? Iri? Sama sekali tidak. Aku meminta kamu minta maaf atas nama Dini karena anakmu itu sudah melakukan kekerasan kepada anakku di sekolah kemarin. Bahkan bukan hanya di sekolah, tapi di rumah ini juga.”
“Apa buktinya? Kalau cuma rekaman CCTV itu bisa di rekayasa tau.” Sekar berdiri dengan angkuh di depan Mutia. Wanita itu mengeluarkan bukti visum dan ponsel. Rekaman di sekolah kemarin kembali berputar. Sampai Dini yang tahu kehadrian Mutia berlari ketakutan.“Rekaman ini pasti palsu kan. Aku nggak percaya kalau anakku akan berbuat kasar seperti itu.” Kekeh Sekar membela Dini. Walaupun dalam hatinya Sekar merutuki sang putri karena membuatnya kembali berurusan dengan Mutia.“Rekaman ini asli. Kamu mau bukti lain juga selain rekaman dan hasil visum ini?”“Bukti apa? Aku yakin kau tidak akan bisa membuktikannya.” Tantang Sekar yakin. Mutia hanya tersenyum lalu menghubungi seseorang. Suara ponsel yang berdering terdengar nyaring di rumah itu.“Halo Mama Tiwi.”“Halo Ibunya Tiara. Saya sudah siap untuk mengajak Tiwi pergi ke rumah anda.”“Oh begitu. Saya tunggu nanti ya Mamanya Tiwi. Tapi, sebelumnya saya mau nanya dulu nih mumpung ada Ibunya Dini. Tiwi itu bantuin Dini buat nyerang Tiara
Bu Jarmi berusaha menahan polisi yang hendak memborgol tangan Saka. Raungan tangis Bu Jarmi tidak menghentikan para polisi itu bertugas. Saka hanya bisa pasrah karena wajahnya sudah memar di hajar polisi akibar mencoba kabur.“Lepaskan kami Bu. Atau anda juga akan di gelandang ke kantor polisi.” Bu Jarmi hanya bisa terduduk memandang Saka yang sudah menundukan kepalanya.“Beruntung anda tidak melakukan penganiayaan pada cucu anda. Jika tidak maka tangan anda juga sudah di borgol sekarang.” Bu Jarmi mundur perlahan saat salah satu polisi itu berjongkok di hadapannya. “Katakan dimana menantu anda berada? Dia juga akan kami tangkap karena sudah ikut menganiaya Tiara.” Bu Lasmi menggelengkan kepalanya dengan kencang.“Saya tidak tahu Pak. Sekar pergi sejak tadi pagi.” Polisi itu menganggukan kepala mengerti lalu mulai menggiring Saka keluar dari rumah.Para tetangga menatap Saka yang di giring masuk ke dalam mobil polisi. Bu Jarmi hanya bisa menangis meratapi nasib anaknya. Sudah tidak p
Mutia menatap surat panggilan sidang di tangannya yang menunjukkan pukul tujuh pagi. Tapi, Mutia tidak akan hadir di pengadilan agama karena jadwalnya bertepatan dengan pekerjaan Mutia yang harus merias wajah keluarga Bu Hajjah yang akan pergi ke acara wisuda putri bungsunya.Bu Surti yang sudah duduk di atas kursi roda, keluar dari kamar. “Kamu mau berangkat sekarang nduk? Bukannya baru selesai subuh ya?” Mutia menolehkan kepala pada sang Ibu.“Iya Bu. Karena nanti keluarganya Bu Hajjah akan berangkat ke Kota Kabupaten jam delapan pagi. Aku harus bersiap dari sekarang. Apalagi selain Bu Hajjah, aku juga akan merias putri bungsunya. Aku titip Tiara lagi ya Bu. Maaf kalau lagi-lagi aku merepotkan Ibu.”“Nggak masalah nduk. Kamu juga pergi bekerja untuk menyambung hidup.” Mutia memegang tangan Bu Surti senang.“Aku udah siapkan sarapan untuk Ibu dan Tiara. Kalau begitu aku berangkat dulu ya Bu. Assalamualaikum.”“Waalaikumsalam.”Hari masih gelap saat Mutia mengeluarkan motor dari dalam
“Ibu masuk ke dalam kamar dulu ya.” Wanita itu mendorong kursi roda Ibunya untuk masuk ke dalam kamar lalu mengunci kamar dari luar. Ia kembali ke hadapan Ibu mertuanya itu yang masih mengomel tidak terima dengan jalannya sidang hari ini.Mutia hanya berkacak pinggang saat Bu Jarmi masih marah-marah padanya. Hingga tangan wanita paruh baya yang masih menjadi Ibu mertuanya itu menjambak rambut Mutia. Tidak tinggal diam, Mutia berusaha melawan Bu Jarmi dengan melepaskan tangan keriput itu dari rambutnya.Karena usia yang jauh lebih muda, Mutia jelas bisa melepaskan diri hingga tubuh Bu Jarmi jatuh tersungkur. “Jangan main kasar Bu. Atau anda ingin menyusul si Saka untuk masuk ke dalam penjara?”Tubuh Bu Jarmi sudah bergetar karena marah. Wajahnya berubah menjadi merah seperti kepiting rebus. Ibu Saka itu bangkit berdiri dengan tatapan yang menghunus pada Mutia.“Kamu itu serakah sekali Mutia. Kamu bisa sukses dengan menjadi TKI karena Saka yang mengijinkanmu untuk pergi. Sebagai istri,
“Jika kalian butuh uang, aku akan dengan senang hati membantu. Karena aku masih punya hati nurani. Tapi, tidak untuk bertanggung jawab.” Jawab Mutia dengan tenang. Tangannya sudah sibuk kembali membuat gaun pengantin.“Halah nggak usah ngelak deh mbak. Ibu udah cerita sama aku kemarin kalau mbak nggak mau kirim uang ke Mas Saka. Udah di ijinkan jadi TKI, tapi malah ngirim suaminya ke penjara. Karena Mbak Mutia juga, Ibu sampai terluka dan harus di operasi. Apa susahnya sih bagi uang untuk suami dan mertuanya sendiri.” “Ha… ha… ha.. ha…” Mutia tertawa terbahak-bahak mendengar balasan Ana. Satu keluarga memang tidak ada yang otaknya beres.“Dengar ya Ana, sebenarnya aku sudah capek mengatakan hal ini berulang kali. Saka mengijinkan aku pergi ke luar negeri karena Ibuku sakit. Dia sendiri loh yang menyuruh aku pergi. Kamu tentu sudah tahu alasan akan memotong uang kiriman untuk Saka sampai menjebloskannya ke penjara. Sampai hari ini Tiara tidak menyebut nama kamu. Tapi, aku masih punya
Bus yang di tumpangi Saka turun di terminal Kota Kabupaten. Pria itu lalu melanjutkan langkahnya dengan menaiki angkot yang akan menuju desa tempatnya tinggal bersama Ibu dan adiknya. Saka menghela nafas sebal saat mengingat Sekar yang sampai sekarang masih kabur.Sesampainya angkot di depan rumah Bu Jarmi, Saka menundukan kepalanya saat turun dari angkot. Para tetangga masih ramai beraktivitas di sore hari. Saka berjalan menuju jalan setapak di samping rumahnya. Ia lalu memegang handel pintu belakang yang tidak terkunci.“Ibu aku pulang." Ujar Saka dengan suara yang cukup pelan agar tidak terdengar oleh para tetangga. Namun, sama sekali tidak ada tanda-tanda kehadiran Bu Jarmi di rumah ini. Bahkan Saka juga tidak melihat Dini dan Rasya.Langit yang berwarna jingga perlahan mulai berubah saat matahari kembali ke peraduannya. Bu Jarmi tidak kunjung pulang. Saka menunggu di dalam kamarnya dan Sekar. Ia berusaha menghubungi nomor sang Ibu. Tapi, tidak aktif. Jari Saka menggulir layar pon
Nafas Saka terengah-engah setelah ia berhasil kabur menuju bagian dalam kebun yang luas. Ia mengintip dari balik pohon jati yang tinggi. Para warga terus berlari menyusuri jalan setapak. Mereka tidak melihat keberadaan Saka. Pria itu menghembuskan nafas lega lalu berjalan melewati kebun salah satu warga.Saka kembali memakai hoodie dan maskernya untuk menutup wajah. Ia berlari menuju rumah Ibunya. Bu Jarmi yang sedang berada di dapur terlonjak kaget saat Saka menutup pintu dengan keras.“Kamu kenapa ketakutan seperti itu Ka?”“Ssstt….” Saka menempelkan jarinya ke bibir Bu Jarmi. Matanya melihat keluar dari balik jendela dapur. Lengang. Tidak ada orang yang mengejarnya.“Kenapa kamu di kejar warga sampai ngos-ngosan seperti itu?”Saka masih diam karena ia kini tengah menghabiskan satu gelas air untuk melepaskan dahaganya. Bu Jarmi ikut duduk di hadapan Saka.“Aku ketahuan Bu. Waktu aku datang ke rumah Bu Lasmi, Mutia lagi nggak ada di rumah. Ya udah aku sandra aja Ibunya biar Mutia mem
“Anak saya sudah menikah. Jadi, anda bisa pergi ke rumah Ibu mertuanya untuk menagih hutang. Karena dia dan suami tinggal bersama Ibu mertuanya itu.”Kedua pria itu saling berpandangan. Mereka menganggukan kepala pada Ibu Sekar. “Baik. Kami pergi ke rumah ini karena dalam KTP Bu Sekar, alamat rumah yang tertera adalah alamat rumah ini. Kalau boleh tahu, dimana alamat rumah suami Bu Sekar?”Ibu Sekar yang bernama Bu Win, menunjukkan jalan yang harus di lalui kedua pria itu. Wanita paruh baya itu menghela nafas lega saat ia menutup pintu rumah. Setidaknya dia bisa melemparkan tanggung jawab pada Bu Jarmi.“Aku sudah repot mengurus Dini dan Rasya. Tidak perlu lagi di repotkan dengan hutang Sekar.” Ujar Bu Win menatap kesal pada kedua cucunya yang berada di dalam kamar. Dini tampak sibuk bermain hp. Gadis kecil itu bahkan mengabaikan adiknya yang tengah menangis. “Kalau Rasya nangis, di tenangin dong Din.” Ujar Bu Win sebal. Dini hanya melirik sekilas pada Neneknya lalu kembali fokus pad