Share

Bab 7 Awal Mula

“Tiara tunggu di luar dulu ya. Sekarang gantian Ibu yang melakukan pemeriksaan kesehatan.” Tiara menganggukan kepala lalu keluar dari ruangan dokter.

“Bagaimana keadaan anak saya dok?” Dokter mengarahkan hasil visum ke hadapan Mutia.

“Untuk luka jambakan rambut dan sikunya yang berdarah, tidak terlalu parah. Tapi, sekujur tubuh Tiara ada bekas lebam. Karena rajin di olesi salep, luka itu sudah sembuh.” Mutia menghela nafasnya. Ia sudah tahu tentang hal itu. Dokter di klinik yang menangani Tiara dulu juga mengatakan bahwa luka di tubuh Tiara tidak akan mudah hilang. Ia juga sudah punya hasil visum dari klinik.

“Saya sudah tahu dok. Terima kasih untuk hasil visumnya.” Dokter wanita itu menganggukan kepalanya. Mutia keluar dari ruang dokter lalu mengajak Tiara untuk pergi dari rumah sakit itu. 

Di dalam mall, Mutia belanja beberapa barang selain boneka untuk Tiara. Ada kebutuhan rumah tangga dan baju. “Kita udah selesai belanja Bu?” Mutia menganggukan kepalanya.

“Iya. Karena hari ini kita ke mall pakai motor, Ibu nggak bisa belanja banyak.”

“Kalau gitu kita beli mobil aja Bu. Tabungan Ibu masih cukup kan?” Mutia tertawa lalu menganggukan kepalanya.

“Iya. Besok-besok ya. Kita beli bareng Uti dan Lek Zaki.” Ibu dan anak itu pulang ke rumah Ibu Mutia.

Keesokan harinya, Mutia mengantarkan Tiara ke sekolah. Anak-anak yang kemarin menonton perkelahian di antara Tiara dengan Dini serta genknya berlari menjauh. Dini yang baru sampai ke sekolah dengan menaiki sepeda, menjatuhkan sepedanya lalu berlari masuk ke dalam ruang kelas lima.

“Kita masuk ke ruang kepala sekolah dulu ya sayang. Buat ketemu sama kepala sekolah kamu dulu.”

“Iya Bu.”

Tok.. tok.. tok..

“Silahkan masuk. Oh ada Tiara.” Mutia membaca name tag Kepala Sekolah putrinya itu. Hj Darsih.

“Silahkan duduk Ibu, Tiara. Saya minta maaf sebelumnya, Ibu ini siapanya Tiara ya?”

“Perkenalkan nama saya Mutia. Saya adalah ibu kandung Tiara.” Kening Bu Darsih berkerut bingung. Tapi, sedetik kemudian raut wajahnya sudah berubah menjadi normal kembali.

“Oh Ibu Tiara. Ada maksud apa Ibu datang kesini?” Senyum sopan tersungging di bibir Bu Darsih.

“Saya mau melaporkan kasus kekerasan yang di lakukan tiga siswi kelas lima. Nama mereka Dini, Tiwi dan Rika.” Senyum di bibir Bu Darsih seketika luntur.

“Mungkin bukan perkelahian Bu. Cuma salah paham di antara anak-anak saja. Kalau dari cerita Tiara, Ibu pasti akan lebih percaya pada Tiara sebagai Ibu kandungnya.” Amarah seketika menelusup dalam hati Mutia. Kepala sekolah yang harusnya bisa mengayomi para siswanya lalu menjadi penengah jika ada pertengkaran justru mengatakan hal itu.

“Bukan Tiara yang cerita. Tapi, saya yang lihat sendiri saat Tiwi dan Rika memegang tubuh Tiara. Lalu Dini menjambak rambut putri saya agar bisa mengambil tas yang baru saya belikan.” Mutia menatap tajam pada Bu Darsih. Kepala sekolah putrinya itu terlihat tenang meskipun terlihat ada riak khawatir dalam bola matanya.

“Kalau begitu, Ibu iklhaskan saja. Namanya juga anak-anak. Kemarin bertengkar, hari ini sudah baikan.” Dada Mutia naik turun menahan amarah. Ia ingin berteriak di hadapan Bu Darsih. Tapi, sebisa mungkin ia mencoba untuk mengontrol emosinya. Karena bagaimanapun juga saat ini mereka berada di lingkungan sekolah.

"Ikhlaskan saja? Ibu Kepala Sekolah yang terhormat. Menurut Tiara, penganiayaan yang di lakukan oleh Dini dan kedua temannya tidak hanya terjadi kemarin. Bahkan sudah beberapa kali. Sebagai seorang tenaga pendidik, sudah menjadi tugas Bu Darsih untuk meluruskan sikap Dini dan anak-anak didik Ibu yang lain agar berperilaku sesuai norma yang di ajarkan."

“Saya adalah Kepala Sekolah di sini Bu Mutia. Jadi, saya lebih tahu apa yang terbaik untuk murid-murid saya.” Ujar Bu Darsih tetap teguh pada pendiriannya. Mutia sama sekali tidak gentar menghadapi penolakan dan sikap acuh Bu Darsih.

“Kamu balik ke kelas dulu ya sayang. Jangan lupa pamitan pada Ibu Kepala Sekolah yang terhormat.” Ejek Mutia ke arah Bu Darsih. Kepalan tangan Bu Darsih ia sembunyikan di bawah meja.

“Saya pamit ke kelas dulu Bu.”

“Iya Tiara.”

Mutia mengeluarkan selembar kertas ke hadapan Bu Darsih. “Ini adalah hasil visum Tiara kemarin. Seperti yang anda lihat, rambut Tiara tertarik karena di jambak Dini. Lalu ini.”

Mata Bu Darsih membelalak saat ia melihat rekaman perundungan yang di lakukan oleh Dini, Tiwi dan Rika pada Tiara. Tubuh Bu Darsih menadi gemetar. “Apa yang anda inginkan?”

“Buat Dini dan kedua temannya minta maaf pada Tiara. Hukum mereka dengan hukuman yang pantas sesuai dengan peraturan sekolah. Atau jika tidak anda akan menerima konsekuensinya karena sudah bersikap acuh pada Tiara.”

“Sa, saya akan melakukannya. Asal jangan sampai video itu tersebar di sosial media.”

“Bagus. Saya beri waktu anda satu hari sampai besok jam tujuh pagi. Saya akan kembali menemui anda di sini. Tenang saja Bu Darsih. Jika video ini viral saya akan memberikan klarifikasi jika pihak sekolah sudah menghukum ketiga siswi ini. Hanya saja keluarga mereka yang tidak mau minta maaf pada Tiara.” Meskipun masih ketakutan, tapi Bu Darsih merasa bingung.

“Untuk apa anda memviralkan video itu?”

“Kenapa anda pura-pura tidak tahu? Bukankah di data sekolah sudah jelas tertera data pribadi Dini dan Tiara?” Bu Darsih hanya bisa menunduk.

“Saya mengerti.” Tanpa mengatakan apapun lagi, Mutia beranjak dari kursi lalu meninggalkan ruang kepala sekolah.

***

Siang harinya, Mutia pulang ke rumah setelah belanja kain untuk membuat gaun pengantin. Di belakang Mutia, mobil pick up terbuka terlihat mengantakan empat meja, dua mesin jahit modern dan dua mesin lain agar jahitan baju lebih maksimal. Bu Surti yang sudah duduk di atas kursi roda menggerakan kursi rodanya keluar.

“Kamu sudah pulang nduk?”

“Iya Bu.”

“Kamu jadi beli kain? Banyak banget nduk?” Mutia tertawa sambil menurunkan tiga kantung plastik besar yang berisi kain khusus untuk membuat gaun pengantin.

“Iya Bu. Aku kan mau buat sepuluh gaun pengantin dulu. Jasa make up bisa di mulai duluan besok. Alhamdulillah udah ada orderan untuk jasa make up wisuda tetangga kita yang anaknya kuliah.”

“Alhamdulillah.”

Mutia menghampiri dua orang pria yang turun dari mobil pick up. “Tolong tata sekalian di ruang tamu ya Pak.”

“Baik Bu.” Setelah memastikan kedua mesin jahit sudah tertata rapi dan memasukan semua potongan kain ke dalam rumah. Mutia kembali memakai helm-nya.

“Kamu mau kemana lagi nduk? Ndak makan dulu?” Mutia menggelengkan kepalanya.

“Nggak Bu. Aku mau bagi-bagi brosur yang sudah aku cetak kemarin. Sekalian nanti jemput Tiara dari sekolah. Baru kita makan siang bareng. Aku berangkat dulu Bu. Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.”

Motor Mutia menuju ke rumah Ibu mertuanya. Mutia memang sengaja berbohong pada sang Ibu karena tidak ingin membuat Ibunya semakin khawatir hingga membuat kondisi kesehatan Bu Surti menjadi drop. Bu Jarmi tengah menyapu halaman depan saat motor yang di kendarai Mutia tiba di halaman rumah.

“Mau apa lagi kamu kesini hah?” Hardik Bu Jarmi sebelum Mutia turun dari motor.

“Aku nggak ada urusan sama Ibu. Tapi, aku ada urusan sama menantu kedua Ibu itu.” Tanpa mengindahkan keberadaan Bu Jarmi, Mutia melangkah menuju rumah. Terdengar suara TV dari ruang keluarga. Langkah Mutia terhenti di bawah bingkai pintu. Terlihat Sekar yang tengah asyik dengan ponselnya. Sementara Rasya sudah berjalan masuk ke dalam kamar dengan mainan di tangan.

“Aku ingin kamu minta maaf atas nama anakmu.” Ucapan Mutia membuat Sekar menolehkan kepala ke arah kakak madunya itu.

“Untuk apa aku minta maaf atas nama Dini. Apa kamu iri karena Mas Saka lebih perhatian pada Dini daripada Tiara?” Mutia berdecak sebal lalu tersenyum meremehkan. Membuat Sekar menjadi marah karena merasa di ejek.

“Aku? Iri? Sama sekali tidak. Aku meminta kamu minta maaf atas nama Dini karena anakmu itu sudah melakukan kekerasan kepada anakku di sekolah kemarin. Bahkan bukan hanya di sekolah, tapi di rumah ini juga.”

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Menunggu kehancuran saka dan keluarga barunya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status