“Apa kamu bilang Mutia? Cerai? Ibu nggak setuju.” Bu Jarmi merebut map berwarna coklat yang di bawa oleh Mutia lalu merobeknya.
“Percuma Ibu robek surat itu. Karena sidang tetap akan berjalan.”
“Mutia sayang. Tolong beri mas kesempatan untuk menebus kesalahan. Mas mengaku salah karena sudah memukul Tiara kemarin. Kamu pasti masih peduli sama keluarga kita. Buktinya kamu melakukan penggulingan kredit mobil.” Saka jongkok dengan memegang kaki Mutia.
Wanita itu mendorong sang suami hingga terjatuh. “Nggak ada kata maaf untuk kamu mas. Kamu malah menikah lagi selama aku kerja jadi TKI.”
“Eh Mutia. Suami nikah lagi itu wajar. Kamu jadi istri itu harus nurut apa kata suami. Jadi, relakan saja pernikahan kedua Saka lalu kembali ke rumah ini bersama Tiara.” Ujar Bu Jarmi untuk membela putranya. Mutia tertawa keras lalu beberapa detik kemudian senyum mengejek tersungging di bibirnya.
“Aku nggak pernah menentang orang yang melakukan poligami Bu. Tapi, kalau mau menikah lagi itu pakai uangnya sendiri. Bukan pakai uang istrinya.”
“Memang kenapa kalau aku pakai uang kamu? Sudah jadi kewajiban istri untuk mendukung suaminya.” Saka sudah beranjak berdiri. Ia memegang tangan Mutia dengan erat sampai Mutia meringis kesakitan.
“Lepas Mas atau aku akan teriak biar para tetangga datang kesini.” Mutia menghempaskan tangan Saka.
“Kamu tahu itu bukan satu-satunya alasan aku menggungat cerai kamu bukan?” Wajah Saka berubah kembali menjadi memelas. Ia terpaksa memendam kembali egonya agar Mutia bisa luluh.
“Aku sudah minta maaf sayang. Lagipula saa itu aku khilaf sudah memukul Tiara. Baru kali itu aku memukulnya.” Mutia mendengus tidak percaya.
“Baru satu kali itu? Bukannya sudah berkali-kali? Bahkan kamu membiarkan Sekar ikut menganiaya Tiara.”
“Jangan asal ngomong ya Mutia. Apa buktinya jika Saka sudah berkali-kali menganiaya Tiara?" Mutia merogoh tas selempang yang ia bawa lalu melemparka puluhan foto ke wajah suami dan Ibu mertuanya itu.
“Lihat foto-foto itu. Aku sengaja nggak memperlihatkan rekaman video penganiayan Tiara lewat hpku agar tidak di banting seperti kemarin. Jadi, aku cetak saja menjadi foto.”
Tangan Bu Jarmi gemetar karena marah. Foto-foto itu memperlihatkan saat Bu Jarmi menjewer telinga Tiara atau mencubit tangannya karena anak itu tidak mau melakukan pekerjaan rumah. Sedangkan wajah Saka sudah pucat pasi.
“Aku juga akan membawa bukti ini untuk pengajuan hak asuh anak.”
“Tolong maafkan mas sayang.” Saka bersimpuh di kaki Mutia.
“Nggak ada kata maaf untuk kalian mas. Selain itu, bersiaplah mendekam di penjara karena kasus penganiayaan pada anak di bawah umur selama empat tahun.”
“Memang kamu punya uang untuk bayar pengacara? Saka bisa saja membalik keadaan dengan mengatakan ia terpaksa merawat Tiara karena kamu memaksa untuk bekerja sebagai TKI.” Bu Jarmi berusaha tenang dengan membalas perkataan menantu pertamanya itu.
“Aku punya uang. Selama ini aku berbohong pada kalian dengan mengatakan bahwa majikanku pelit. Nyatanya tidak. Aku hanya mengirimkan uang sepuluh juta pada Mas Saka agar dia tidak terus melampiaskan kemarahannya padaku melalui Tiara.” Mutia mendekati Saka yang wajahnya sudah merah menahan amarah.
“Kamu kira aku tidak tahu mas? Setelah aku tahu kamu menikah lagi, aku sengaja tidak mengirimkan uang padamu dengan alasan belum di gaji oleh majikanku. Tapi, kamu malah melampiaskan amarahmu pada Tiara hingga babak belur. Kamu juga mengancam akan menyakiti Ibuku agar Zaki tidak bisa membawa Tiara ke rumah kami dan mengadukan perbuatan kamu padaku.”
“Jadi, Zaki yang memberi tahu perbuatanku padamu?”
“Memang kamu kira siapa lagi? Zaki selama ini memilih diam karena kamu terus mengancam Ibuku menggunakan pisau. Kami tidak bisa lapor polisi sembarangan karena Zaki takut kamu akan berbuat nekat saat Ibuku sedang di rumah sendirian. Asal kamu tahu mas, perbuatan kamu itu juga sudah di rekam oleh tetangga kami agar bisa memantau Ibu saat dia bekerja.”
Deg
‘Sialan.’ Umpat Saka dalam hati.
Cklek
“Ada apa sih berisik banget? Ganggu orang lagi tidur aja.” Sekar sudah keluar dari kamar dengan penampilan yang masih berantakan. Mata Sekar membulat saat ia melihat Mutia yang bersedekap di ruang tamu rumah Ibu Saka.
“Wow. Nyonya muda baru banyun tidur ya." Ejekan Mutia seketika membuat Sekar menjadi marah.
***
Tidak ada yang bersuara sama sekali di rumah itu. Sekar hanya bisa mengepalkan tangannya karena ia sama sekali tidak punya kuasa untuk melawan Mutia.
“Untuk apa kamu datang kesini?” Seru Sekar ketus. Saka mendelik pada Sekar karena rencananya bisa gagal jika kedua istrinya sampai berdebat.
“Apa kamu mau mengemis cinta pada Mas Saka lagi? Lebih baik jangan bermimpi karena Mas Saka sudah memilihku daripada istri TKI seperti kamu.”
“DIAM SEKAR.” Mutia justru tertawa terbahak-bahak sampai perutnya sakit. Hal itu membuat Sekar menjadi semakin marah.
“Mau mengemis cinta pada Mas Saka? Kamu salah besar Sekar. Justru suami kita itu yang mengemis cinta padaku agar tidak kehilangan tambang uangnya.” Mutia kembali merogoh tas selempang lalu melemparkan foto yang tersisa ke hadapan Sekar.
“Aku kesini ingin menyerahkan surat panggilan sidang pertamaku dan Mas Saka. Selain itu, aku juga memperlihatkan foto penganiayaan kalian pada anakku.”
“Melaporkan? Memang kamu punya uang untuk mengurus perceraian? Majikan kamu saja pelit.” Mutia menatap Saka yang menundukan kepalanya.
Prok.. prok.. prok…
Mutia bertepuk tangan keras hingga membuat semua orang yang berada di ruangan itu jadi keheranan. “Wow, kamu cerita semuanya sama istri kedua kamu ini mas?”
“Kalau iya memang kenapa?” Lagi-lagi Sekar yang menjawab pertanyaan untuk Saka.
“Di sini yang salah itu kamu karena pergi ke Jepang sebagai TKI. Sudah tahu punya anak dan suami yang harus di urus.”
“Yang salah aku? Apa itu benar mas? Jawab dong perkataan istri kedua kamu itu.” Saka hanya bisa menatap tajam Mutia yang kembali tertawa.
“Asal kamu tahu ya, Mas Saka sendiri yang menyuruhku pergi ke luar negeri dengan alasan agar pengobatan Ibuku berjalan dengan lancar. Ia mencegahku untuk bekerja di pabrik. Tapi, nyatanya pengobatan Ibuku tersendat selama satu tahun karena gaji Zaki tidak cukup. Untung aku segera mengetahui kebusukan kalian hingga aku memilih untuk mengiirmkan uang khusus pada Zaki untuk pengobatan Ibuku.”
“Keterlaluan kamu Mutia. Kamu memotong uang kiriman untuk Saka agar bisa di berikan pada Ibumu.” Bu Jarmi sudah maju hendak menjambak rambut wanita itu. Tapi, tangan Bu Jarmi sudah di tahan oleh Mutia.
“Iya. Memang kenapa Bu? Sejak awal aku sudah menyuruh Mas Saka untuk melakukan hal itu. Tapi, dia malah tidak amanah. Uang sepuluh juta yang aku kirim pada kalian juga tidak di gunakan untuk keperluan Tiara. Mas Saka justru lebih mengutamakan anak tirinya daripada anak kandungnya sendiri.”
“Itu tidak benar sayang. Meskipun mas kadang khilaf, tapi Tiara selalu menjadi prioritas untuk mas.”
“Jangan ngeles terus dong mas. Karena aku sudah punya banyak bukti perbuatan kalian. Kalian saja yang bodoh karena tidak sadar saat ada yang merekam. Termasuk dengan Zaki yang datang kesini dengan alasan ingin menjemput Tiara ke rumah Ibuku. Kalian pasti tidak sadar jika Zaki juga lah yang merekam perbutan kalian saat Tiara di jadikan babu di rumah ini.”
Dada Mutia naik turun menahan amarah. Ia membiarkan Saka kembali mencoba memegang tangannya. “Tapi, Zaki tidak merekam semua kegiatan kami di rumah ini. Jadi, dia tidak tahu jika semua itu aku dan Ibu lakukan karena ancaman dari Sekar untuk mengutamakan Dini daripada Tiara.”
“MAS SAKA.” Jerit Sekar tidak terima.
TBC
"Bagaimana kabar kamu Bude?" Tanya Mutia ramah. Meskipun dalam hatinya sedang menyimpan bara kemarahan akibat rencana Bu Win yang ingin mencelakai sang putri. "Baik. Kamu kok bisa sampai kesini Ia? Terus kenapa saya harus bertemu dengan kamu?" Ika yang duduk di samping Bu Win hanya bisa menghela nafasnya. "Tolong jelaskan maksud kedatangan anda ke rumah ini Bu Mutia. Apapun keputusannnya akan saya katakan setelah anda menjelaskan semuanya." Mutia menganggukan kepala lalu mengeluarkan ponselnya. Jarinya menggulir layar ponsel lalu memperlihatkan isi pesan Tiara yang di kirim Tiara padanya. Termasuk foto milik Pak Yanto yang sedang berada di kantor polisi. "Sa, saya sama sekali tidak terlibat dengan rencana ini Nyonya Besar. Tolong percaya pada saya." Bukannya memberikan klarifikasi pada Mutia, Bu Win justru menjatuhkan tubuhnya ke lutut sang majikan. Derai air mata Bu Win berjatuhan di wajah tuanya. Ia tidak menyangka jika rencananya bisa ketahuan secepat ini. Dalam hatinya Bu Win
Karena teriakan si penguntit, Yani keluar dari rumah dengan tergopoh-gopoh. Untung saja Tiara sudah mencopot mukena yang baru saja dia pakai. Jadi, Yani tidak akan ikut pingsan saat melihat Tiara masih memakai mukenanya.“Ada apa Ra? Siapa yang teriak tadi?” Tiara menunjuk si penguntit yang sudah jatuh dari motor.Taira berjongkok di samping orang yang memakai seragam ojol itu. Untunglah tidak ada luka serius. Bahkan orang itu masih bisa berdiri dengan tegak. Yani segera mengambil sapu untuk berjaga-jaga. Sedangkan Tiara memegang tali yang tadi mengikat tubuhnya dengan erat.“Beraninya kamu?” Pria itu melepaskan helm yang di pakainya. Helm itu sudah di banting ke tanah hingga menimbulkan bunyi yang keras.“Sekarang Yan.” Teriak Tiara berusaha memukul pria paruh baya yang sudah menguntitnya. Sedangkan Yani memukul pria itu sambil berteriak meminta pertolongan dari warga sekitar.“Tolong ada orang jahat. Tolong kamiiii.” Teriak Yani berulang kali.Pria itu berusaha untuk meraih tubuh Ti
Jarum jam baru menunjukkan pukul dua dini hari saat Mutia masuk ke dalam mobil. Zaki ikut dengannya untuk emngantarkan Mutia menuju bandara. Sementara itu, ada saudara dekat yang menginap di rumah Zaki untuk menjaga Bu Surti. Mutia hanya membawa satu buah koper kecil. Ia menyusul ke Jakarta bukan hanya untuk mengunjungi sang putri. Tapi, juga menangkap Bu Win yang merupakan dalang dari rencana penculikan Tiara.Drttt… Suara dering ponsel dari dalam tasnya membuat Mutia mengambil hp yang ia simpan. Ada pesan masuk dari Saka. Jarinya menggeser layar ponsel untuk membuka aplikasi pesan.[Aku sudah bertanya pada Rudi. Rupanya Bu Win bekerja di rumah adik ipar majikan tempat dulu Rudi bekerja. Entah bagaimana caranya Rudi tahu. Saka juga mengirimkan foto-foto Bu Win yang tengah memasak di dapur mewah.[Datanglah ke alamat ini. Majikan Bu Win sudah tahu apa yang terjadi. Beliau hanya perlu memeriksanya. Mereka yang akan menangkap orang suruhan Bu Win.] Mutia menghela nafas lega karena suda
Pagi harinya, Tiara bangun seperti biasa. Hari ini dia ada jadwal kuliah jam sepuluh pagi. Tapi, karena kejadian kemarin, Tiara lebih memilih untuk menutup pintunya. Seakan-akan ia sudah berangkat kuliah. Pagi ini juga dia terpaksa tidak menerima pesanan jahit dari para tetangga di rumah kontrakannya. Tiara fokus menyelesaikan pesanan jahit dari dua hari sebelumnya.Setelah selesai menjahit, Tiara mengirim pesan pada Yani untuk datang ke rumahnya sebelum merkea berangkat bersama menuju kampus. Yani menyanggupi hal itu walaupun Tiara belum menjelaskan tentang kejadian tadi malam dan permintaan Mutia untuk menginap di rumah kos milik Yani.Saat ini, Tiara sedang berada di depan jendela. Memperhatikan jalan besar di depan rumah kontrakannya. Lalu lalang orang yang berjalan ataupun naik kendaraan seperti motor dan mobil. Ada banyak juga pengendara ojol yang lewat. Sayangnya Tiara tidak dapat melihat wajah mereka karena tertutup helm.“Aku sudah hafal motor dan wajahnya kemarin. Apa hari i
Kesibukan Tiara yang memulai ospek membuatnya baru pulang saat malam hari. Untunglah ospek saat ini sama sekali tidak menggunakan sistem perploncoan. Sehingga para mahasiswa baru tidak perlu membawa barang-barang aneh.Sistem ospek saat ini hanya memperkenalkan tentang lingkungan kampus, semua jenis ekskul dan mata kuliah yang di ambil. Ospek masih di laksanakan selama tiga hari.Pada malam harinya, Tiara sibuk menjahit baju dari tetangga kontrakannya. Di hari kedua ospek ini Tiara bahkan belum menggunakan uang dari sang Ibu lagi. Karena uang dari hasil menjahi sudah cukup untuk membeli bahan makanan.Pukul sembilan malam, Tiara sudag menutup rumah kontrakannya. Ia mencuci tangan dan kaki lalu masuk ke dalam kamar. Gadis itu mengirim pesan pada sang Ibu tenyang kegiatannya hari ini.(Jahitanku cukup ramai Bu. Jadi bisa buat beli bahan makanan dan jajan. Besok hari terakhir ospek di laksanakan di fakultas masing-masing.)Drrtr...Tidak membutuhkan waktu lama bagi Mutia untuk membalas p
Hari ini Mutia akhirnya pulang ke Semarang. Dua hari sebelum kegiatan ospek di mulai. Tiara mengantarkan sang Ibu ke bandara.Mutia memeluk tubuh sang putri saat pengumuman tentang keberangkatan pesawat yang akan di tumpangi Mutia menuju Semarang."Hati-hati ya nduk. Jangan lupa kirim pesan setiap hari ya. Mungkin Ibu memang sangat posesif." Tiara menggelengkan kepalanya sambil terkekeh pelan."Nggak kok Bu. Aku tahu Ibu dan Uti pasti akan khawatir karena aku tinggal sendirian. Tidak seperti saat berada di pondok pesantren. Ibu sudah mengijinkan aku untuk tinggal sendirian di rumah kontrakan saja sudah membuatku senang.""Kamu memang anak Ibu sangat baik Ra. Ya sudah Ibu pergi dulu. Assalamulaikum.""Waalaikumsalam." Mutia berjalan dengan tangan kanan yang menarik koper besar berisi pakaian kotor dan oleh-oleh untuk Bu Surti, Zaki dan yang lain di kampung halaman.Tiara menatap kepergian sang Ibu sambil tersenyum. Ia harus kembali berjauhan dengan keluarganya. Tapi, itu semua dilakuka