“Apa buktinya? Kalau cuma rekaman CCTV itu bisa di rekayasa tau.” Sekar berdiri dengan angkuh di depan Mutia. Wanita itu mengeluarkan bukti visum dan ponsel. Rekaman di sekolah kemarin kembali berputar. Sampai Dini yang tahu kehadrian Mutia berlari ketakutan.
“Rekaman ini pasti palsu kan. Aku nggak percaya kalau anakku akan berbuat kasar seperti itu.” Kekeh Sekar membela Dini. Walaupun dalam hatinya Sekar merutuki sang putri karena membuatnya kembali berurusan dengan Mutia.
“Rekaman ini asli. Kamu mau bukti lain juga selain rekaman dan hasil visum ini?”
“Bukti apa? Aku yakin kau tidak akan bisa membuktikannya.” Tantang Sekar yakin. Mutia hanya tersenyum lalu menghubungi seseorang. Suara ponsel yang berdering terdengar nyaring di rumah itu.
“Halo Mama Tiwi.”
“Halo Ibunya Tiara. Saya sudah siap untuk mengajak Tiwi pergi ke rumah anda.”
“Oh begitu. Saya tunggu nanti ya Mamanya Tiwi. Tapi, sebelumnya saya mau nanya dulu nih mumpung ada Ibunya Dini. Tiwi itu bantuin Dini buat nyerang Tiara kan?”
“Iya mbak. Sekali lagi saya minta maaf. Saya pastikan Tiwi tidak akan berbuat itu lagi karena saya tidak akan membiarkannya bermain bersama Dini.” Mata Sekar membelalak. Ia ingin merebut hp Mutia, tapi di cekal oleh tangan Mutia.
“Saya sudah maafkan mbak. Asal tidak ada pembenaran karena mereka masih anak-anak. Kalau begitu saya tutup dulu telponnya. Assalamualaikum.”
“Waalaikummsalam.” Sekar mengepalkan kedua tangannya.
“Apa mau kamu hah? Nggak cukup kamu merebut mobil kami.”
“Apa?” Mutia menyelipkan rambut panjangnya ke belakang telinga.
“Kalian bayar DP dan cicil bulanan itu dari hasil kirimanku. Belum lagi renovasi rumah ini, emas yang kamu beli, terus barang-barang sekolah yang di pakai Dini. Itu semua dari uang kirimanku.”
“Enak aja kalau ngomong. Aku dan Mas Saka juga kerja ya. Jadi, kami bisa beli barang-barang kebutuhan kami sendiri.” Sungut Sekar tidak mau kalah.
“Baguslah kalau begitu. Tapi, aku akan tetap menghitung jumlah uang yang sudah kalian pakai dari hasil kirimanku. Itu semua sudah di kurangi dengan biaya DP dan bayar cicilan mobil.”
“Mutia.” Kedua wanita itu menolehkan kepala pada Saka yang baru saja pulang.
“Kamu mau balik ke rumah ini lagi sayang.” Mutia menepis tangan Saka yang hendak memegangnya.
“Jangan mimpi mas. Aku kesini mau menuntut kalian untuk meminta maaf pada Tiara di ruang kepala sekolah besok. Anak tiri kamu itu sudah menjambak rambut Tiara di sekolah untuk merebut tas yang baru saja aku belikan.”
“Kita lupakan saja masalah itu sayang. Namanya juga anak-anak.” Mutia mendengus kesal. Ia sudah tahu sifat Saka berubah pada putri mereka. Tapi, rasanya tetap saja sakit hati melihat Saka yang sudah tidak peduli lagi pada Tiara.
“Lupakan kamu bilang. Tidak akan.” Pandangan Mutia kembali tertuju pada Sekar.
“Aku beri waktu kamu sampai besok. Jam tujuh pagi kita semua akan berkumpul di ruang Kepala Sekolah. Jika kamu tidak datang maka rekaman penganiayaan yang di lakukan suami kamu pada Tiara akan tersebar di sosial media.”
“MUTIA.” Seru Saka jengkel.
“Kalau begitu Mas Saka saja yang pergi ke sekolah besok.” Mutia justru menyunggingkan senyum sinis.
“Kau bisa pergi sendiri. Karena aku tidak yakin Mas Saka akan tetap di rumah besok.”
“Apa maksud kamu hah?”
Tanpa menjawab pertanyaan Sekar, Mutia melenggang keluar rumah. Ia mengabaikan Bu Jarmi yang duduk di teras. Tujuannya saat ini adalah menjemput Tiara di sekolahnya.
***
“Mari silahkan masuk Mbak Laras dan Tiwi.” Kedua orang yang di sebut masuk ke dalam rumah Bu Surti yang sederhana. Tiara sendiri bersembunyi di belakang punggung Ibunya karena masih takut dengan Tiwi.
“Maaf kita jadi ngerepotin Mbak Mutia.” Kata Laras sungkan. Sama seperti Tiara, Tiwi sendiri bersembunyi di belakang tubuh Ibunya.
“Nggak masalah mbak. Kebetulan kita juga belum makan siang kok. Saya sengaja karena menunggu Tiara pulang. Kalau Utinya Tiara sudah makan tadi karena harus minum obat. Silahkan duduk. Saya ambilkan makanannya dulu.” Laras memperhatikan sekeliling rumah yang penuh dengan barang yang menumpuk. Di sudut ruangan, ada koper berisi semua peralatan make up yang terbuka.
“Mbak Mutia mau buka usaha jahit dan jasa make up ya?” Mutia menganggukan kepalanya sambil tertawa.
“Lebih tepatnya jasa make up dan sewa gaun pengantin mbak. Saya mau buka jasa rias untuk pengantin dan anak-anak yang wisuda di sertai gaun yang akan di pakai. Ayo kita makan dulu.”
Setelah mereka selesai makan siang, Laras menepuk paha putrinya. Tiwi mendongakan kepala dengan takut. Laras terus memberi isyarat pada putrinya untuk minta maaf.
“Ak, aku minta maaf Tiara. Karena sudah bantu Dini untuk jahatin kamu berkali-kali.” Mutia berusaha menahan rasa marah yang kembal hadir dalam dadanya. Bagaimanapun juga Mutia harus bersikap dewasa karena ia juga yang menawarkan jalan damai. Meskipun hanya di sambut baik oleh Laras. Kepribadian anak kecil tergantung dari didikan keluarga dan lingkungan tempat ia bermain. Jika di lihat sekilas, Laras adalah wanita yang baik. Maka kesalahan Tiwi mungkin karena terpengaruh oleh pergaulan di lingkungan sekolah.
Mutia menepuk punggung Tiara agar menjawab permintaan maaf dari Tiwi. Wajah Tiara terlihat datar. Sehingga Mutia tidak tahu apa yang sedang di pikirkan oleh putrinya itu. “Aku udah maafin kamu Wi. Tapi, untuk melupakan itu tidak mudah. Aku harap ke depannya kita tidak akan saling mengganggu lagi. Itu sudah lebih dari cukup untukku.”
Mutia tersenyum bangga karena Tiara menjawab seperti apa yang sudah ia ajarkan kemarin. Wajah Laras dan Tiwi terlihat lega mendengar jawaban Tiara. “Tante juga minta maaf ya Tiara. Karena terlalu sibuk bekerja Tante jadi tidak bisa mendidik Tiwi dengan baik. Tante janji Tiwi tidak akan menganggu kamu lagi.”
“Iya Tante.” Tiara menganggukan kepalanya.
Drrtt… drrttt… drttt….
Mutia mematikan telpon dari Bu Jarmi. Ia bisa menebak alasan Ibu mertuanya itu menelpon. Tidak lama kemudian, Bu Jarmi sudah mengirim pesan.
‘Apa yang sudah kamu lakukan menantu sialan? Cepat batalkan tuntutan kamu agar Saka tidak di penjara.’
"Bagaimana kabar kamu Bude?" Tanya Mutia ramah. Meskipun dalam hatinya sedang menyimpan bara kemarahan akibat rencana Bu Win yang ingin mencelakai sang putri. "Baik. Kamu kok bisa sampai kesini Ia? Terus kenapa saya harus bertemu dengan kamu?" Ika yang duduk di samping Bu Win hanya bisa menghela nafasnya. "Tolong jelaskan maksud kedatangan anda ke rumah ini Bu Mutia. Apapun keputusannnya akan saya katakan setelah anda menjelaskan semuanya." Mutia menganggukan kepala lalu mengeluarkan ponselnya. Jarinya menggulir layar ponsel lalu memperlihatkan isi pesan Tiara yang di kirim Tiara padanya. Termasuk foto milik Pak Yanto yang sedang berada di kantor polisi. "Sa, saya sama sekali tidak terlibat dengan rencana ini Nyonya Besar. Tolong percaya pada saya." Bukannya memberikan klarifikasi pada Mutia, Bu Win justru menjatuhkan tubuhnya ke lutut sang majikan. Derai air mata Bu Win berjatuhan di wajah tuanya. Ia tidak menyangka jika rencananya bisa ketahuan secepat ini. Dalam hatinya Bu Win
Karena teriakan si penguntit, Yani keluar dari rumah dengan tergopoh-gopoh. Untung saja Tiara sudah mencopot mukena yang baru saja dia pakai. Jadi, Yani tidak akan ikut pingsan saat melihat Tiara masih memakai mukenanya.“Ada apa Ra? Siapa yang teriak tadi?” Tiara menunjuk si penguntit yang sudah jatuh dari motor.Taira berjongkok di samping orang yang memakai seragam ojol itu. Untunglah tidak ada luka serius. Bahkan orang itu masih bisa berdiri dengan tegak. Yani segera mengambil sapu untuk berjaga-jaga. Sedangkan Tiara memegang tali yang tadi mengikat tubuhnya dengan erat.“Beraninya kamu?” Pria itu melepaskan helm yang di pakainya. Helm itu sudah di banting ke tanah hingga menimbulkan bunyi yang keras.“Sekarang Yan.” Teriak Tiara berusaha memukul pria paruh baya yang sudah menguntitnya. Sedangkan Yani memukul pria itu sambil berteriak meminta pertolongan dari warga sekitar.“Tolong ada orang jahat. Tolong kamiiii.” Teriak Yani berulang kali.Pria itu berusaha untuk meraih tubuh Ti
Jarum jam baru menunjukkan pukul dua dini hari saat Mutia masuk ke dalam mobil. Zaki ikut dengannya untuk emngantarkan Mutia menuju bandara. Sementara itu, ada saudara dekat yang menginap di rumah Zaki untuk menjaga Bu Surti. Mutia hanya membawa satu buah koper kecil. Ia menyusul ke Jakarta bukan hanya untuk mengunjungi sang putri. Tapi, juga menangkap Bu Win yang merupakan dalang dari rencana penculikan Tiara.Drttt… Suara dering ponsel dari dalam tasnya membuat Mutia mengambil hp yang ia simpan. Ada pesan masuk dari Saka. Jarinya menggeser layar ponsel untuk membuka aplikasi pesan.[Aku sudah bertanya pada Rudi. Rupanya Bu Win bekerja di rumah adik ipar majikan tempat dulu Rudi bekerja. Entah bagaimana caranya Rudi tahu. Saka juga mengirimkan foto-foto Bu Win yang tengah memasak di dapur mewah.[Datanglah ke alamat ini. Majikan Bu Win sudah tahu apa yang terjadi. Beliau hanya perlu memeriksanya. Mereka yang akan menangkap orang suruhan Bu Win.] Mutia menghela nafas lega karena suda
Pagi harinya, Tiara bangun seperti biasa. Hari ini dia ada jadwal kuliah jam sepuluh pagi. Tapi, karena kejadian kemarin, Tiara lebih memilih untuk menutup pintunya. Seakan-akan ia sudah berangkat kuliah. Pagi ini juga dia terpaksa tidak menerima pesanan jahit dari para tetangga di rumah kontrakannya. Tiara fokus menyelesaikan pesanan jahit dari dua hari sebelumnya.Setelah selesai menjahit, Tiara mengirim pesan pada Yani untuk datang ke rumahnya sebelum merkea berangkat bersama menuju kampus. Yani menyanggupi hal itu walaupun Tiara belum menjelaskan tentang kejadian tadi malam dan permintaan Mutia untuk menginap di rumah kos milik Yani.Saat ini, Tiara sedang berada di depan jendela. Memperhatikan jalan besar di depan rumah kontrakannya. Lalu lalang orang yang berjalan ataupun naik kendaraan seperti motor dan mobil. Ada banyak juga pengendara ojol yang lewat. Sayangnya Tiara tidak dapat melihat wajah mereka karena tertutup helm.“Aku sudah hafal motor dan wajahnya kemarin. Apa hari i
Kesibukan Tiara yang memulai ospek membuatnya baru pulang saat malam hari. Untunglah ospek saat ini sama sekali tidak menggunakan sistem perploncoan. Sehingga para mahasiswa baru tidak perlu membawa barang-barang aneh.Sistem ospek saat ini hanya memperkenalkan tentang lingkungan kampus, semua jenis ekskul dan mata kuliah yang di ambil. Ospek masih di laksanakan selama tiga hari.Pada malam harinya, Tiara sibuk menjahit baju dari tetangga kontrakannya. Di hari kedua ospek ini Tiara bahkan belum menggunakan uang dari sang Ibu lagi. Karena uang dari hasil menjahi sudah cukup untuk membeli bahan makanan.Pukul sembilan malam, Tiara sudag menutup rumah kontrakannya. Ia mencuci tangan dan kaki lalu masuk ke dalam kamar. Gadis itu mengirim pesan pada sang Ibu tenyang kegiatannya hari ini.(Jahitanku cukup ramai Bu. Jadi bisa buat beli bahan makanan dan jajan. Besok hari terakhir ospek di laksanakan di fakultas masing-masing.)Drrtr...Tidak membutuhkan waktu lama bagi Mutia untuk membalas p
Hari ini Mutia akhirnya pulang ke Semarang. Dua hari sebelum kegiatan ospek di mulai. Tiara mengantarkan sang Ibu ke bandara.Mutia memeluk tubuh sang putri saat pengumuman tentang keberangkatan pesawat yang akan di tumpangi Mutia menuju Semarang."Hati-hati ya nduk. Jangan lupa kirim pesan setiap hari ya. Mungkin Ibu memang sangat posesif." Tiara menggelengkan kepalanya sambil terkekeh pelan."Nggak kok Bu. Aku tahu Ibu dan Uti pasti akan khawatir karena aku tinggal sendirian. Tidak seperti saat berada di pondok pesantren. Ibu sudah mengijinkan aku untuk tinggal sendirian di rumah kontrakan saja sudah membuatku senang.""Kamu memang anak Ibu sangat baik Ra. Ya sudah Ibu pergi dulu. Assalamulaikum.""Waalaikumsalam." Mutia berjalan dengan tangan kanan yang menarik koper besar berisi pakaian kotor dan oleh-oleh untuk Bu Surti, Zaki dan yang lain di kampung halaman.Tiara menatap kepergian sang Ibu sambil tersenyum. Ia harus kembali berjauhan dengan keluarganya. Tapi, itu semua dilakuka