Share

Bab 5

Author: Ummi
last update Last Updated: 2025-10-14 11:55:08

Irene menatap langit sore dengan napas panjang. Sudah berjam-jam mereka berdiri di pinggir jalan ramai, tapi tak satu pun orang yang tertarik dengan dagangan Bima.

"Bagaimana ini? Kita bahkan belum menjual satu pun herbal anehmu itu!" cibir Irene, saat ini wanita itu duduk berselonjor di bawah pohon.

"Tenanglah, memang tidak mudah menjual barang langka seperti ini."

Bima masih berdiri tegak di depan gerobak sederhana yang ia buat dari kardus bekas. Di atasnya tersusun rapi berbagai jenis akar, daun kering, dan jamur yang bentuknya memang tidak menarik.

Bahkan sebagian orang yang sering pergi ke hutan untuk mencari herbal, maka barang yang Bima jual ini bisa dianggap sangat beracun.

"Hei bocah! Apa yang kamu jual di sana?" seorang pria paruh baya mendekat sambil menyipitkan mata.

"Herbal langka Paman, untuk kesehatan dan pengobatan."

"Herbal langka?" pria itu tertawa mengejek. "Ini jelas sampah! Lihat saja bentuknya yang menjijikkan."

Beberapa orang lain mulai berkumpul, penasaran dengan keributan kecil itu.

"Benar! Aku pernah lihat akar seperti ini tumbuh di tempat pembuangan sampah," ujar seorang wanita tua sambil menunjuk salah satu barang dagangan Bima.

Bima tersenyum tipis, tidak terpengaruh dengan ejekan mereka. "Di tangan orang yang tepat, ini adalah bahan obat langka yang sangat berharga."

"Bahan obat? Jangan bercanda!" pria paruh baya tadi mendekat, mengambil satu batang akar hitam dari gerobak. "Ini jelas beracun! Aku sudah puluhan tahun berjualan herbal di pasar, tidak ada yang seperti ini."

"Paman Rudi benar! Bocah ini pasti mau menipu orang!" sahut pedagang lain yang juga berjualan herbal tidak jauh dari sana.

Kerumunan semakin besar. Bima tetap tenang, tapi Irene mulai gelisah. Wanita itu berdiri dan berbisik pada Bima.

"Kita harus pergi dari sini sebelum masalah membesar."

"Tidak perlu, kita bahkan tidak melakukan kesalahan apa pun."

Rudi yang merasa tersinggung karena diabaikan lantas melempar akar hitam itu kembali ke gerobak. "Kamu ini siapa? Berani-beraninya mengatakan herbal sampahmu ini langka! Kamu meremehkan kami yang sudah berpuluh tahun berkecimpung di dunia ini!"

"Aku tidak meremehkan siapa pun Paman, hanya menjual barang dagangan."

"Kalau begitu buktikan!" Rudi menunjuk akar hitam tadi. "Kalau memang itu obat langka seperti katamu, pasti kamu tahu khasiatnya kan?"

Bima mengangguk. "Akar Naga Hitam, tumbuh di lereng gunung dengan ketinggian minimal 2000 meter. Bisa menyembuhkan penyakit dalam, memperkuat jantung, dan membersihkan racun dalam darah. Tapi harus diolah dengan cara khusus."

"Omong kosong!" Rudi tertawa keras. "Semua orang bisa mengarang cerita seperti itu! Kamu pikir kami bodoh?"

Beberapa orang di kerumunan mulai setuju dengan Rudi.

"Benar! Bocah ini pasti penipu!"

"Usir saja dia dari sini!"

"Jangan sampai ada yang tertipu!"

Irene menarik lengan Bima. "Sudahlah, kita pergi saja. Tidak ada gunanya bertengkar dengan orang-orang ini."

Tapi Bima tetap diam di tempatnya, menatap Rudi dengan tatapan tenang. "Apa yang Paman inginkan? Aku sudah menjelaskan dengan baik."

"Penjelasan saja tidak cukup!" Rudi menyeringai. "Kalau memang itu bukan racun seperti katamu, buktikan dengan memakannya!"

Kerumunan langsung riuh. Beberapa orang tertawa, yang lain berbisik-bisik.

"Berani tidak dia?"

"Pasti tidak berani, soalnya memang racun!"

"Kalau dia mau makan, aku bayar!" teriak Rudi lagi, kali ini lebih keras. Sengaja agar Bima tersudut.

Bima menatap akar hitam di gerobaknya, lalu tersenyum tipis. "Paman serius mau membayar?"

Rudi tersentak, tidak menyangka Bima akan menerima tantangannya. "Te... tentu saja! Kalau kamu berani makan, aku bayar!"

"Baiklah," Bima mengambil akar hitam itu dan mengangkatnya tinggi-tinggi agar semua orang bisa melihat. "Tapi karena ini barang langka, harganya tidak murah. Lima juta untuk satu batang."

"APA?!" Rudi melotot tidak terima. "Lima juta?! Kamu gila bocah! Itu cuma akar busuk!"

"Meski cuma akar busuk, bukankah Paman bilang ini racun?" Bima menyeringai karena pancingannya tertangkap. "Atau Paman takut ternyata yang aku katakan benar?"

Rudi terdiam, wajahnya memerah menahan amarah. Dia terjebak oleh perkataannya sendiri.

"A... aku tidak takut! Tapi harga segitu keterlaluan!"

"Kalau Paman tidak sanggup membayar, tidak usah meminta bukti," Bima meletakkan kembali akar itu ke gerobak. "Lagipula aku tidak perlu membuktikan apa pun kecuali ada yang mau membayar."

"Dasar pengecut!" teriak seseorang dari kerumunan.

"Penipu!"

"Cuma bisa omong doang!"

Bima tetap tenang menghadapi cercaan itu. Irene yang berdiri di sampingnya mulai geram.

"Kalian ini keterlaluan! Bima sudah menawarkan bukti, tapi kalian sendiri yang tidak mau bayar!"

"Sudahlah Irene," Bima menepuk bahu wanita itu. "Tidak perlu meladeni orang yang hanya bisa bicara."

Rudi yang merasa tersudut justru semakin kesal. Dia mendekat, menatap Bima dengan mata menyala.

"Baik! Aku bayar lima juta! Tapi kalau kamu tidak berani makan, aku akan memastikan kamu tidak bisa berjualan di kota ini lagi!"

Kerumunan kembali riuh. Beberapa orang bahkan mulai bertaruh apakah Bima benar-benar akan memakan akar itu.

Bima menatap Rudi dalam-dalam. "Paman yakin? Lima juta bukan uang sedikit."

"Aku yakin! Sekarang makan!" Rudi mengeluarkan dompetnya dan menunjukkan beberapa lembar uang. "Ini uang muka dua juta, kalau kamu berani, aku berikan sisanya tiga juta setelah kamu makan.

Bima mengambil akar hitam itu lagi. Irene langsung menarik tangannya.

"Bima, jangan! Bagaimana kalau memang beracun?"

"Percaya padaku," bisik Bima sambil tersenyum. "Aku tahu persis apa yang aku lakukan."

Tanpa ragu, Bima menggigit akar hitam itu. Ia mengunyah satu kali, dua kali, lalu menelannya.

Kerumunan langsung sunyi. Semua mata tertuju pada Bima, menunggu reaksi apa pun yang mungkin terjadi.

Detik pertama, tidak ada apa-apa.

Detik kelima, Bima masih berdiri tegak.

Detik kesepuluh, Bima justru tersenyum lebar.

"Rasanya pahit, tapi tidak masalah," ujar Bima santai. "Sekarang bayarannya Paman."

Rudi terbelalak. Wajahnya berubah pucat, keringat mulai mengalir di pelipisnya.

"Ti... tidak mungkin! Aku yakin itu beracun!"

"Kalau yakin beracun, kenapa Paman menyuruhku memakannya?" Bima melangkah mendekat.

Rudi mundur selangkah. Kerumunan mulai berbisik-bisik, pandangan mereka pada Rudi berubah.

"Rudi memang keterlaluan."

"Iya, masa menyuruh orang makan racun."

"Untung saja bocah itu tidak kenapa-kenapa."

"Sekarang Rudi harus bayar! Karena terbukti bukan racun!"

Rudi terpojok. Dengan tangan gemetar, dia mengeluarkan semua uang di dompetnya dan menyerahkannya pada Bima.

"Ini... ini uangnya. Tapi bisakah kamu berikan aku keringanan?" Rudi menatap Bima dengan tatapan mengiba, kedua tangannya masih tarik menarik uang dengan Bima.

"Tidak bisa," Bima mengambil uang itu dan menghitungnya. "Tapi karena aku baik hati, aku kasih Paman seratus ribu. Aku cukup baik saat ini."

Dengan wajah merah padam, Rudi terpaksa menerima uang seratus ribu yang Bima berikan. Begitu transaksi selesai, pria itu langsung pergi dengan wajah tertunduk, diiringi bisikan dan tawa mengejek dari kerumunan yang mulai membubarkan diri.

Bima tersenyum puas melihat uang ditangannya. Lima juta, cukup untuk ongkos mereka ke kota Verox.

"Astaga Bima! Kamu benar-benar gila!" Irene memukul lengan Bima. "Bagaimana kalau memang beracun?"

"Aku sudah bilang, aku tahu persis apa yang aku lakukan," Bima mulai membereskan barang dagangannya. "Lagipula, aku kebal terhadap racun tingkat rendah seperti itu."

"Kebal? Maksudmu?"

"Ceritanya panjang. Sekarang ayo kita pergi, jangan sampai tertinggal bus terakhir ke Verox."

Tapi ....

"Siapa saja, tolong!!" terdengar suara teriakan seorang pria yang memegangi seorang kakek, yang sudah tidak sadarkan diri.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pembalasan Dendam Racun Sang Tabib   Bab 9

    Irene menggoncang tangan Bima, memberi pemuda itu tatapan tajam, agar ia tidak menuruti kehendak Joni dan anak buahnya. Bima tersenyum, menunduk sebentar. "Kamu bisa mengendarai mobil Irene?" Irene tercengang, entah mengapa ia sepertinya bisa membaca isi hati Bima. Jadi Irene mengangguk pelan. "Apa yang kalian bisikkan?" tanya Joni, ia menyipitkan mata curiga sembari memberi beberapa lembar uang kepada Bima. "Tidak perlu tau," sahut Bima, ia mengambil uang dan meraih tangan Irene turun dari bus. Begitu mereka semua keluar, para penumpang bisa bernapas lega. Tak ada yang tidak tahu. geng Black Panther cabang kota Pandaran, semua anak buahnya memiliki ciri khas dengan tato cakar di tubuh. Semua yang pernah melihat keganasan mereka, tak ada yang berani mencari masalah. Bahkan sekedar menatap mata geng tersebut. "Malang sekali mereka," ujar salah satu penhmpang begitu melihat Bima dan Irene sudah di luar bus. "Entah apa yang mereka perbuat hingga dicari oleh geng ga

  • Pembalasan Dendam Racun Sang Tabib   Bab 8

    Mereka bergegas menuju terminal. Dengan uang tersisa, mereka membeli dua tiket bus dan sedikit bekal untuk perjalanan dua hari. Bus jurusan Pandaran-Verox sudah hampir penuh ketika mereka naik. Bima dan Irene mendapat kursi di barisan tengah, dekat jendela. "Akhirnya aku bisa pulang," Irene menghela napas lega sambil bersandar di kursi. Bima hanya mengangguk, matanya menatap keluar jendela. Kota Pandaran mulai gelap, lampu-lampu jalanan mulai menyala satu per satu. Bus mulai bergerak, meninggalkan terminal menuju jalan raya. Irene perlahan tertidur di sebelah Bima, kelelahan setelah seharian berjualan. Bima tetap terjaga, pikirannya melayang. Kota Verox, salah satu kota terbesar di negara ini. Di sana pasti banyak informasi yang bisa dia gali tentang organisasi kriminal yang membunuh ibunya. Tanpa Irene ketahui, kota Verox memang sejak awal menjadi tujuan Bima. Mengantar wanita itu pulang hanya kebetulan yang menguntungkan. Bus melaju di jalan raya yang sepi. Sudah hampi

  • Pembalasan Dendam Racun Sang Tabib   Bab 7

    Kerumunan orang seketika mengikuti perintahnya. Ada aura lain yang menguar dari tubuh Bima saat ini, aura yang membuat siapa pun merinding. Bima menusuk jarinya, bukan darah segar yang keluar, melainkan darah hitam pekat, namun tidak memiliki amis darah pada umumnya. Bukan! Darah Bima tidak memiliki bau sama sekali. Bima menekan dan hendak meneteskan darahnya. "Apa yang kamu lakukan?" tahan pria paruh baya itu. "Waktu berjalan, Paman yakin ingin menghalangiku?" Pria paruh baya itu terlihat takut, apa pilihannya tepat mempercayai Bima? Hingga akhirnya mengangguk, dan Bima kembali meneteskan darahnya ke mulut si kakek. Sekitar 3 tetes darah saja. Tubuh kakek itu mulai bergetar. Urat-urat di lehernya menegang, wajahnya yang tadinya pucat mulai berubah kemerahan. "Apa yang telah kamu lakukan?!" anak kakek itu hendak maju lagi, tapi Irene menahannya. "Jangan ganggu dia!" bentak Irene. Entah kenapa, meski Irene sendiri tidak mengerti, tapi instingnya mengatakan kalau Bima

  • Pembalasan Dendam Racun Sang Tabib   Bab 6

    "Siapa saja, tolong!!" Teriakan itu kembali memecah keramaian pasar sore. Seorang pria paruh baya nampak tergopoh-gopoh sembari menyangga tubuh seorang kakek yang hampir terjatuh. Bima yang baru saja memasukkan uang hasil jualannya ke saku celana, menoleh. Irene yang sudah bersiap untuk pergi juga ikut berhenti. "Bima, kita harus per-" "Tunggu sebentar," potong Bima, matanya tajam menatap kakek yang tersangga itu. Ada yang aneh dengan raut wajah pria tua itu. Kerumunan mulai terbentuk. Beberapa orang berbisik-bisik, tapi tak ada yang berani mendekat. "Tolong! Ayahku tiba-tiba tidak sadarkan diri! Apa ada dokter di sini?!" pria paruh baya itu menatap sekeliling dengan panik. Bodoh sekali ia mengikuti perintah ayahnya untuk pergi berdua saja, ayahnya terlalu keras kepala, mencari murid Tabib Badar di tempat seperti ini, tanpa pengawasan, benar-benar ceroboh. Bahkan mereka meminta supir untuk menjauh tadi. Saat itu Bima melangkah maju. Irene seketika menarik lengan baju

  • Pembalasan Dendam Racun Sang Tabib   Bab 5

    Irene menatap langit sore dengan napas panjang. Sudah berjam-jam mereka berdiri di pinggir jalan ramai, tapi tak satu pun orang yang tertarik dengan dagangan Bima. "Bagaimana ini? Kita bahkan belum menjual satu pun herbal anehmu itu!" cibir Irene, saat ini wanita itu duduk berselonjor di bawah pohon. "Tenanglah, memang tidak mudah menjual barang langka seperti ini." Bima masih berdiri tegak di depan gerobak sederhana yang ia buat dari kardus bekas. Di atasnya tersusun rapi berbagai jenis akar, daun kering, dan jamur yang bentuknya memang tidak menarik. Bahkan sebagian orang yang sering pergi ke hutan untuk mencari herbal, maka barang yang Bima jual ini bisa dianggap sangat beracun. "Hei bocah! Apa yang kamu jual di sana?" seorang pria paruh baya mendekat sambil menyipitkan mata. "Herbal langka Paman, untuk kesehatan dan pengobatan." "Herbal langka?" pria itu tertawa mengejek. "Ini jelas sampah! Lihat saja bentuknya yang menjijikkan." Beberapa orang lain mulai berkumpu

  • Pembalasan Dendam Racun Sang Tabib   Bab 4

    Irene berdiri, tatapan yang awalnya mengiba kini berganti dengan tatapan yang dingin. Tak ada lagi keramah tamahan, meski sebenarnya di sudut kecil hatinya ia menyukai sosok Bima. Tapi harga dirinya tidak mengizinkan itu. "Cih! Kamu pikir kamu siapa, mudah bagiku melunasi hutang ini! Tapi hal yang kamu harus lakukan untukku sekarang, antar aku kembali kepada orangtuaku!" Bima melipat tangannya di dada dan menatap Irene, wanita itu berubah total setelah lepas dari racun. Sedikit ada perasaan kesal di dadanya kini. Tapi Bima memaklumi itu, bukankah wanita memiliki sifat tidak mau salah? "Aku tidak mau!" "A-apa?! Kamu tidak mau mengantarku? Bukankah kamu ingin dibayar?" "Itu hutangmu padaku, aku bisa menagihnya kapan pun aku mau. Aku tidak suka caramu meminta tolong." Bima berdiri, memperlihatkan separuh tubuhnya yang terbuka. Saat ini ia hanya mengenakan celana panjang lusuh yang tidak layak dilihat. Tapi pemandangan otot yang menjadi bukti dari latihan beribu-ribu kali itu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status