MasukIrene menggoncang tangan Bima, memberi pemuda itu tatapan tajam, agar ia tidak menuruti kehendak Joni dan anak buahnya. Bima tersenyum, menunduk sebentar. "Kamu bisa mengendarai mobil Irene?" Irene tercengang, entah mengapa ia sepertinya bisa membaca isi hati Bima. Jadi Irene mengangguk pelan. "Apa yang kalian bisikkan?" tanya Joni, ia menyipitkan mata curiga sembari memberi beberapa lembar uang kepada Bima. "Tidak perlu tau," sahut Bima, ia mengambil uang dan meraih tangan Irene turun dari bus. Begitu mereka semua keluar, para penumpang bisa bernapas lega. Tak ada yang tidak tahu. geng Black Panther cabang kota Pandaran, semua anak buahnya memiliki ciri khas dengan tato cakar di tubuh. Semua yang pernah melihat keganasan mereka, tak ada yang berani mencari masalah. Bahkan sekedar menatap mata geng tersebut. "Malang sekali mereka," ujar salah satu penhmpang begitu melihat Bima dan Irene sudah di luar bus. "Entah apa yang mereka perbuat hingga dicari oleh geng ga
Mereka bergegas menuju terminal. Dengan uang tersisa, mereka membeli dua tiket bus dan sedikit bekal untuk perjalanan dua hari. Bus jurusan Pandaran-Verox sudah hampir penuh ketika mereka naik. Bima dan Irene mendapat kursi di barisan tengah, dekat jendela. "Akhirnya aku bisa pulang," Irene menghela napas lega sambil bersandar di kursi. Bima hanya mengangguk, matanya menatap keluar jendela. Kota Pandaran mulai gelap, lampu-lampu jalanan mulai menyala satu per satu. Bus mulai bergerak, meninggalkan terminal menuju jalan raya. Irene perlahan tertidur di sebelah Bima, kelelahan setelah seharian berjualan. Bima tetap terjaga, pikirannya melayang. Kota Verox, salah satu kota terbesar di negara ini. Di sana pasti banyak informasi yang bisa dia gali tentang organisasi kriminal yang membunuh ibunya. Tanpa Irene ketahui, kota Verox memang sejak awal menjadi tujuan Bima. Mengantar wanita itu pulang hanya kebetulan yang menguntungkan. Bus melaju di jalan raya yang sepi. Sudah hampi
Kerumunan orang seketika mengikuti perintahnya. Ada aura lain yang menguar dari tubuh Bima saat ini, aura yang membuat siapa pun merinding. Bima menusuk jarinya, bukan darah segar yang keluar, melainkan darah hitam pekat, namun tidak memiliki amis darah pada umumnya. Bukan! Darah Bima tidak memiliki bau sama sekali. Bima menekan dan hendak meneteskan darahnya. "Apa yang kamu lakukan?" tahan pria paruh baya itu. "Waktu berjalan, Paman yakin ingin menghalangiku?" Pria paruh baya itu terlihat takut, apa pilihannya tepat mempercayai Bima? Hingga akhirnya mengangguk, dan Bima kembali meneteskan darahnya ke mulut si kakek. Sekitar 3 tetes darah saja. Tubuh kakek itu mulai bergetar. Urat-urat di lehernya menegang, wajahnya yang tadinya pucat mulai berubah kemerahan. "Apa yang telah kamu lakukan?!" anak kakek itu hendak maju lagi, tapi Irene menahannya. "Jangan ganggu dia!" bentak Irene. Entah kenapa, meski Irene sendiri tidak mengerti, tapi instingnya mengatakan kalau Bima
"Siapa saja, tolong!!" Teriakan itu kembali memecah keramaian pasar sore. Seorang pria paruh baya nampak tergopoh-gopoh sembari menyangga tubuh seorang kakek yang hampir terjatuh. Bima yang baru saja memasukkan uang hasil jualannya ke saku celana, menoleh. Irene yang sudah bersiap untuk pergi juga ikut berhenti. "Bima, kita harus per-" "Tunggu sebentar," potong Bima, matanya tajam menatap kakek yang tersangga itu. Ada yang aneh dengan raut wajah pria tua itu. Kerumunan mulai terbentuk. Beberapa orang berbisik-bisik, tapi tak ada yang berani mendekat. "Tolong! Ayahku tiba-tiba tidak sadarkan diri! Apa ada dokter di sini?!" pria paruh baya itu menatap sekeliling dengan panik. Bodoh sekali ia mengikuti perintah ayahnya untuk pergi berdua saja, ayahnya terlalu keras kepala, mencari murid Tabib Badar di tempat seperti ini, tanpa pengawasan, benar-benar ceroboh. Bahkan mereka meminta supir untuk menjauh tadi. Saat itu Bima melangkah maju. Irene seketika menarik lengan baju
Irene menatap langit sore dengan napas panjang. Sudah berjam-jam mereka berdiri di pinggir jalan ramai, tapi tak satu pun orang yang tertarik dengan dagangan Bima. "Bagaimana ini? Kita bahkan belum menjual satu pun herbal anehmu itu!" cibir Irene, saat ini wanita itu duduk berselonjor di bawah pohon. "Tenanglah, memang tidak mudah menjual barang langka seperti ini." Bima masih berdiri tegak di depan gerobak sederhana yang ia buat dari kardus bekas. Di atasnya tersusun rapi berbagai jenis akar, daun kering, dan jamur yang bentuknya memang tidak menarik. Bahkan sebagian orang yang sering pergi ke hutan untuk mencari herbal, maka barang yang Bima jual ini bisa dianggap sangat beracun. "Hei bocah! Apa yang kamu jual di sana?" seorang pria paruh baya mendekat sambil menyipitkan mata. "Herbal langka Paman, untuk kesehatan dan pengobatan." "Herbal langka?" pria itu tertawa mengejek. "Ini jelas sampah! Lihat saja bentuknya yang menjijikkan." Beberapa orang lain mulai berkumpu
Irene berdiri, tatapan yang awalnya mengiba kini berganti dengan tatapan yang dingin. Tak ada lagi keramah tamahan, meski sebenarnya di sudut kecil hatinya ia menyukai sosok Bima. Tapi harga dirinya tidak mengizinkan itu. "Cih! Kamu pikir kamu siapa, mudah bagiku melunasi hutang ini! Tapi hal yang kamu harus lakukan untukku sekarang, antar aku kembali kepada orangtuaku!" Bima melipat tangannya di dada dan menatap Irene, wanita itu berubah total setelah lepas dari racun. Sedikit ada perasaan kesal di dadanya kini. Tapi Bima memaklumi itu, bukankah wanita memiliki sifat tidak mau salah? "Aku tidak mau!" "A-apa?! Kamu tidak mau mengantarku? Bukankah kamu ingin dibayar?" "Itu hutangmu padaku, aku bisa menagihnya kapan pun aku mau. Aku tidak suka caramu meminta tolong." Bima berdiri, memperlihatkan separuh tubuhnya yang terbuka. Saat ini ia hanya mengenakan celana panjang lusuh yang tidak layak dilihat. Tapi pemandangan otot yang menjadi bukti dari latihan beribu-ribu kali itu







