Share

Upaya Menghabisi Morgan

Joseph melangkah sambil tersenyum miring, merasa dia telah memenangkan pertarungan.

Lebih dari tiga puluh polisi berpakaian preman telah dikerahkannya ke tempat ini. Sekuat apa pun Morgan sekarang, mestilah dia tak akan bisa apa-apa.

Joseph telah memberi lampu hijau kepada anak-anak buahnya itu unuk menggunakan senjata api apabila diperlukan.

“Kapten!” salah satu polisi berpakaian preman memberi hormat kepada Joseph.

Joseph membalasnya dengan malas, lalu berkata, “Lakukan sesuai rencana. Aku tak peduli cara apa yang kalian pilih, yang jelas jangan sampai orang-orang curiga kalau dalang di balik aksi pengeroyokan ini adalah polisi. Paham?!”

“Siap, Kapten! Laksanakan!” jawab bawahannya Joseph.

Joseph kemudian memberi isyarat dengan kepalanya agar mereka kembali melangkah. Polisi-polisi preman itu pun mendekati mobil plat merahnya Joseph.

Sambil menaruh ponselnya di telinga, Joseph sekilas menoleh untuk memastikan bahwa Morgan masih terkunci di mobilnya itu.

‘Mampus kau, Morgan! Inilah yang terjadi kalau kau menantangku!’ pikirnya.

Dia lanjut berjalan menghampiri sebuah mobil sedan yang telah disiapkan oleh anak-anak buahnya. Di detik dia duduk di jok kemudi, seseorang yang dihubunginya menjawab panggilan.

[Ada apa? Pastikan ini sesuatu yang penting karena aku sedang bertemu klien penting!]

Yang mengangkat panggilan adalah Robert, kakaknya Joseph, cucu pertama Keluarga Wistara.

“Ini soal Morgan, Robert. Si sampah itu bebas dari penjara hari ini. Tadi dia datang begitu saja ke rumah sakit,” kata Joseph.

[Hah? Apa katamu?]

“Aku bilang si benalu itu tadi tiba-tiba muncul di rumah sakit dan berbuat kekacauan. Dia bahkan menampar Arman!”

[Apa?! Gila dia! Bagaimana kalau Arman benar-benar mengurungkan niatnya untuk memberi kita kucuran dana?!]

“Itu dia. Kacau banget si sampah itu. Tapi tenang saja, sekarang orang-orangku sudah mengepungnya. Dia tak akan bisa lolos.”

[Bagus! Pastikan kau habisi dia!]

Joseph mengerutkan kening.

“Maksudmu… kita harus membunuhnya?”

[Ya.]

“Tidakkah itu berlebihan, Robert?”

Di jauh sana, Robert terdengar berdecih.

[Dengar, Joseph. Kita telah menjebloskan dia ke penjara, tetapi setelah dia bebas dia langsung mengganggu kita. Orang seperti ini bagusnya kita lenyapkan saja sekalian, daripada dia mengganggu kita lagi nanti.]

“Ah, kau benar.”

[Dan jangan sampai kembalinya si sampah ini membuat orang-orang mengendus keterlibatan kita dalam insiden penculikan Agnes. Kau tak mau kariermu di kepolisian berakhir kan, Joseph?]

Joseph menggeleng-gelengkan kepala. Susah-payah dia mencapai posisi strategisnya saat ini di kepolisian kota. Tentu saja dia tak mau Morgan berulah dan membuat kariernya hancur.

“Oke, akan kupastikan hidupnya berakhir hari ini. Anak-anak buahku akan mengatur seolah-olah dia dikeroyok dan dihabisi oleh organisasi mafia,” kata Joseph.

Percakapan kakak-beradik itu pun berakhir. Joseph lalu menoleh ke jendela dan melakukan panggilan lain.

Dilihatnya anak-anak buahnya itu sedang mengerubungi Morgan yang terkunci di mobilnya.

“Ada sedikit perubahan rencana. Habisi dia. Lakukan dengan rapi,” ucap Joseph.

Setelah itu dia menaruh ponselnya d dasbor. Masih sambil menatap ke titik yang sama, kali ini dia tersenyum miring.

“Jangan salahkan aku, Morgan. Ini konsekuensi yang harus kau terima sebab kau telah mengusik Keluarga Wistara,” ujarnya.

Joseph kemudian menyalakan mesin, melajukan sedannya, meninggalkan tempat itu.

Sementara itu di dalam mobil plat merah yang ditinggalkan Joseph, Morgan duduk tenang meskipun anak-anak buahnya Joseph kini mengerubunginya dan mengintimidasinya.

Beberapa kali, mereka menggedor-gedor kaca jendela mobil. Beberapa kali, mereka mengacung-acungkan senjata tajam maupun senjata api.

Orang-orang ini lebih mirip kawanan preman ketimbang polisi.

“Hey, Pengecut! Cepat keluar atau kami hancurkan kau dan mobil ini!” teriak salah satu polisi berpakaian preman.

Morgan menyeringai. Orang-orang ini mengancamnya seakan-akan mereka yakin betul kalau mereka bisa melakukan apa pun yang mereka mau terhadap Morgan.

Morgan penasaran, seandainya orang-orang itu tahu kalau dia adalah Dewa Perang, apakah mereka masih bisa bertingkah secongkak itu di hadapannya?

“Lihat, dia malah tersenyum!”

“Dia menyepelekan kita!”

“Keparat! Mungkin dia pikir dia ini hebat!”

“Tak bisa dibiarkan!”

“Kita paksa saja dia keluar!”

“Ayo!”

Dan orang-orang itu pun mengangkat senjata mereka masing-masing, bergantian menyerang mobil plat merah milik kepolisian itu.

Beberapa dari mereka mencoba menghantam jendela mobil.

Ajaibnya, jendela-jendela itu tak langsung pecah. Hanya ada retakan kecil saja, menandakan betapa kuat sebenarnya mobil ini.

Selama mereka bertingkah barbar itu, Morgan hanya merasakan guncangan-guncangan saja.

Tentu saja, anak-anak buahnya Joseph itu tak berhenti merusak mobil.

Perintah yang diberikan Joseph sudah jelas: habisi Morgan.

Itu berarti Joseph telah memberikan izin kepada mereka untuk melakukan apa pun terhadap mobil dinas tersebut selama tujuan tercapai.

“Siapkan minyak dan api! Kita bakar saja kalau si bangsat ini tak mau keluar juga!” teriak salah satu dari mereka.

Beberapa orang tampak menjauh, memisahkan diri dari kerumunan. Tak lama kemudian mereka kembali dengan membawa beberapa dirigen.

Morgan bisa menebak, dirigen-dirigen itu berisi minyak tanah.

“Siramkan!” teriak pria yang sama, dan minyak dari dirigen-dirigen itu pun dituangkan ke kap depan mobil, lantas ke bagian tengahnya, juga ke bagian belakangnya.

“Mundur!” teriak pria itu lagi, kali ini sambil menodongkan pistol ke arah mobil.

Teman-temannya bergerak mundur, menjauh dari mobil.

Pria itu sendiri mundur beberapa langkah, barangkali khawatir api atau percikan api kelak mengenainya.

“Ini peringatan terakhir untukmu, Bajingan! Kalau kau tak mau keluar juga, akan kupastikan kau mati terbakar! Sekarang tentukan pilihanmu! Aku hitung sampai tiga!” masih kata pria yang sama.

Bagaimana Morgan merespons ancaman tersebut?

Dia hanya menoleh, menatap pria yang berkoar-koar itu, memamerkan senyum miringnya.

Dia seakan menantang anak buahnya Joseph itu untuk melepaskan tembakan saat itu juga.

“Anjing kau!!! Bahkan dalam situasi terdesak seperti ini pun kau masih menantangku?!” pria itu geram.

Menurutnya, dia telah menciptakan situasi yang ideal untuk membuat seseorang ketakutan.

Tetapi ini… jangankan ketakutan, Morgan bahkan masih bisa menatapnya dengan ketenangan yang luar biasa, seolah-olah yakin bahwa dia akan baik-baik saja.

“Sudah, tembak saja dia, Bos!”

“Iya, tembak saja!”

“Biarkan dia tahu rasa!”

Begitulah desakan dari polisi-polisi lain.

Dan seperti tadi, respons Morgan hanyalah tersenyum miring.

Dia tak sedikit pun mengedipkan matanya; menatap lurus pada si polisi yang menodongkan senjata padanya.

Sebab memang baginya, apa-apa yang dilakukan orang-orangnya Joseph ini sama sekali tak ada artinya.

Kalaupun mobil benar terbakar, dia akan bisa keluar dari kobaran api tanpa luka bakar sedikit pun.

Perang-perang mematikan yang telah dijalani Morgan membuatnya terlatih untuk bisa cepat keluar situasi-situasi neraka.

Dan yang dialaminya saat ini, masihlah belum apa-apa.

“Aku beri kau kesempatan sekali lagi. Akan kuhitung sampai tiga. Kalau kau tak mau keluar juga, akan kutembak mobil ini berkali-kali sampai meledak!” ancam pria yang dipanggil ‘Bos’ itu.

“Satu… dua…”

Dor! Dor! Dor! Dor!

“Apa pun yang sedang kalian lakukan di sana, hentikan sekarang juga!”

Teriakan tersebut, juga rentetan tembakan yang mendahuluinya, membuat anak-anak buahnya Joseph itu menoleh ke belakang.

“A-apa apaan ini…?”

Tiba-tiba saja puluhan tentara bersenjata lengkap telah mengepung mereka.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status