로그인Kreeek ....Pintu terbuka. Zahra melangkah keluar dari dalam. Saat melihat Arya berdiri di halaman, matanya menunjukkan rasa khawatir. "Kamu sudah baikan?" Kenapa wajahnya merah begitu?Arya mengangguk dengan sedikit linglung, lalu memberi salam, "Saya ... sudah jauh lebih baik."Zahra tersenyum tipis. Kadang-kadang Arya memang suka berganti sebutan. Hamba, saya, dan lain-lain. Dia sendiri tak tahu apakah perubahan itu tidak melelahkan."Bibi Titiek mana? Paman Ando juga nggak ada." Zahra memijat pelipis, melihat sekeliling halaman yang hanya ada Arya. "Padahal barusan aku jelas mendengar suara Zenna."Arya merasa gugup. "Putri Harmoni bilang ada urusan, jadi memanggil Paman Ando dan Bibi Titiek pergi." Suaranya penuh rasa bersalah, tak berani menatapnya.Zahra mengangguk. Melihat wajah Arya yang merah dan tampak tidak seperti biasanya, dia merasa ada yang aneh.Dia mendekat, mencium aroma arak di tubuh Arya. "Kamu minum? Bukannya lagi sakit? Kok minum arak?""Aku ....""Ada apa? Katak
Arya menatap Sembilan. Kenapa dia bisa tahu begitu banyak?Sembilan tersenyum kikuk. "Hamba sudah bertahun-tahun berada di dalam istana dan sering mendengar banyak rahasia kecil.""Ada rahasia kecil juga?""Tuan, jangan pedulikan dulu bagaimana hamba mendapatkannya atau itu rahasia siapa. Yang perlu Tuan ketahui adalah kalau Tuan ingin menjadi pendamping pria, selain membuat timbul sedikit rasa ingin melindungi Tuan, Tuan juga harus bersikap tegas pada waktunya. Kalau nggak, bisa saja Tuan kalah dari pria lain."Wajah Arya semakin memerah. Dia berbalik, menenggak satu kendi arak. Bukankah hanya tinggal mengatakan padanya bahwa dia mencintainya, ingin menjadi pendamping prianya?Hanya saja ... soal memanggilnya "Kakak", apakah itu malah membuat semuanya lebih buruk?Arya tidak tahu. Dia langsung menunggang kuda menuju Kediaman Putri Mahkota.Setelah turun dari kuda, Sembilan mengeluh dengan keras, "Astaga, Tuan minum arak sampai berkuda pun jadi nggak stabil. Hamba sampai takut setengah
"Membantu memberi saran?" Arya menatap Sembilan dengan bingung. "Kamu .... Maksudmu aku harus membantunya ... bersama orang itu?"Sembilan tidak berbicara, hanya mengangguk.Saat melihat Arya menggeleng, dia melanjutkan, "Kalaupun orang itu nggak sepenuhnya berniat menempuh jalan kultivasi, kedudukannya sangat jelas. Mereka nggak mungkin bersama. Yang perlu Tuan lakukan hanya membantu Putri Mahkota, menjadi orang kepercayaannya."Setelah kata-kata itu mengungkapkan kenyataan dengan jelas, Arya hanya bisa tersenyum pahit tanpa henti.Sembilan mengernyit. "Selain itu, kalau Putri Mahkota naik takhta, meskipun dia punya pendamping pria, Tuan tetap akan menjadi suami sahnya. Nggak ada yang bisa melampaui posisi Tuan."Arya mengerutkan kening. Wajahnya penuh rasa sakit. Kalau saja Zahra hanyalah gadis dari keluarga biasa atau kalau dia hanya seorang putri, dia pasti bisa menikahinya ...."Karena itu, kalau Tuan bisa menerimanya, bangkitlah. Pergi temui Putri Mahkota dan jujur saja. Berhasil
Sembilan berlutut di hadapan Arya. "Karena Putri Mahkota hendak memilih pendamping, Tuan ikut saja.""Haha ...." Arya tertawa pahit. "Dia hanya menganggapku sebagai adik, nggak pernah ada perasaan layaknya seorang pria dan wanita dewasa pada umumnya. Mana mungkin dia memilihku .... Dia nggak akan memilihku."Matanya memerah. Seluruh dirinya hancur berantakan.Sembilan ikut berkaca-kaca, lalu bertanya, "Tapi di seluruh negeri ini, siapa yang bisa menandingi latar belakang Tuan? Usia juga sebaya dan sejak kecil selalu mengikuti Putri Mahkota.""Kamu juga berpikir begitu ya?" Arya menatap Sembilan, ingin mendengar jawaban yang dia inginkan.Sembilan tentu saja mengangguk. Memang begitulah pemikirannya. Bahkan menurutnya, ketika tuannya dewasa nanti, menikahi sang Putri adalah sesuatu yang sangat wajar.Namun siapa sangka, Putri ternyata tidak berpikir demikian, bahkan hanya menganggapnya sebagai adik."Hamba ... hamba memang berpikir begitu." Sembilan memberanikan diri. "Tuan dan Putri Ma
"Kamu masih ingin menarik Ishaq ke dalam kehidupan duniawi?" Anggi menengadah menatapnya.Luis berpikir sejenak, lalu bertanya, "Menurutmu hidup bersamaku seumur hidup itu menyenangkan atau nggak?"Wajah Anggi memerah. "Tentu saja menyenangkan.""Nah, makanya itu." Luis menghela napas. "Meskipun menurutku negeri ini nggak terlalu penting, bagaimanapun juga negeri ini diwariskan langsung oleh Ayahanda kepadaku. Keturunan keluarga kerajaan semakin sedikit. Tugas ini tetap harus diserahkan pada Ishaq, Zahra, dan Zenna untuk memikulnya. Kalau nggak, siapa yang akan mewarisi kekayaan keluarga sebesar ini?"Anggi dibuat tertegun oleh kata-katanya. "Kalau begitu, dulu aku harusnya melahirkan dua lagi ....""Aku kasihan padamu. Waktu melahirkan Ishaq dan Zahra, kamu kesakitan satu hari satu malam. Waktu melahirkan Zenna, kamu kesakitan delapan sampai sepuluh jam. Mengingatnya saja aku masih takut."Usai berkata begitu, Luis menambahkan, "Biarkan Zahra dan Zenna yang melahirkan saja. Nggak mela
Tak heran Zahra dan Zenna tidak memiliki bayangan para perempuan penurut yang pernah Ishaq lihat saat dia berkelana. Mereka juga tidak punya sifat para putri keluarga terpandang yang biasanya berpengetahuan dan lembut.Mereka manja, tetapi juga percaya diri serta luwes layaknya seorang lelaki. Pasti karena mereka memiliki ayah dan ibu yang begitu tenang seperti itu, jadi mereka terlihat begitu bebas. Itu adalah sebuah perasaan. Perasaan itu seperti salah satu bentuk latihan yang pernah gurunya katakan."Di depan anak-anak, kamu jangan ...." Meskipun Zahra dan Zenna sudah terbiasa, Ishaq belum pernah melihatnya. Selain itu, Ishaq juga seorang yang sedang menempuh jalan kultivasi. Kalau mereka seperti ini, Ishaq mungkin bisa trauma.Luis bukan hanya tidak merasa canggung, malah tetap menyuapi Anggi dengan santai, lalu berkata kepada Ishaq, "Kalian para kultivator, yang kalian latih itu hati dan pemahaman, bukan jadi orang tak berperasaan.""Perasaan antara lelaki dan perempuan, jalan sua







