Masuk"Jangan asal tebak, nggak ada hal seperti itu." Zahra mendengar Zenna menganalisis dengan begitu serius. Dia semakin merasa gelisah.Zenna mengerutkan alis. "Sudahlah. Kalau Kakak nggak mau bilang, ya sudah."Zahra buru-buru menuang secangkir teh dan meminumnya. "Kalau nggak ada urusan lagi, aku harus memeriksa dokumen.""Baiklah. Sekarang Kakak sudah bisa menangani semuanya sendiri. Ayahanda, Ibunda, dan Paman Aska sudah bisa tenang."Mendengar Zenna berkata begitu, Zahra tiba-tiba teringat sesuatu dan bertanya, "Paman Aska ikut pergi dari ibu kota bersama kalian?"Zenna menggeleng. "Sepertinya nggak bisa. Bagaimanapun juga Paman Aska harus menghindari kecurigaan, nggak mungkin pergi ke Jimbara bersama kami.""Selain itu, kepergian Paman Aska dari ibu kota adalah bentuk latihan diri, sedangkan Ayahanda membawa Ibunda untuk melihat adat istiadat berbagai daerah, untuk bersenang-senang. Tujuannya berbeda.""Begitu ya?" Namun, Aska tetap akan meninggalkan ibu kota. Memikirkan itu, kepala
"Kak ...."Arya melihat Zahra tampak begitu ragu. Hari ini semua sudah terucap dan tidak mungkin ditarik kembali. Kalau hari ini tidak dijelaskan dengan baik, mungkin ke depannya dia tidak akan punya kesempatan lagi untuk memperjuangkannya."Kak, aku akan selalu berdiri di pihakmu, melakukan apa pun untukmu.""Biarkan aku pertimbangkan dulu ...." Zahra mendorong Arya."Kak, perasaanku padamu bukan perasaan antara kakak dan adik. Sejak usia belasan tahun, aku ... selalu menyukaimu.""Pergilah."Jantung Arya berdebar kencang. Dia tidak tahu apakah kata-kata yang dia ucapkan hari ini akan membuatnya benar-benar mengecewakan Zahra, apakah mulai sekarang ... mereka bahkan tidak bisa menjadi kakak adik lagi.Namun, Zahra berkata ingin mempertimbangkannya. Itu berarti, di antara pria asing dan dirinya ... dia masih punya peluang.Arya pun pergi. Zahra terduduk di kursi. Sebagai putri mahkota, keturunan adalah hal terpenting. Dia sangat memahami itu.Keturunan keluarga kerajaan menipis. Kakak
Arya mengejarnya sampai Zahra mundur ke tepi meja dan tak bisa mundur lagi. "Aku tahu Kakak mau memilih pendamping.""Benar, itu pengaturan dari Ibunda.""Kakak pilih aku saja, boleh?""Apa?"Arya tiba-tiba membungkuk, membuat dirinya seakan-akan lebih pendek satu tingkat di depan Zahra. Dia menengadah memandangnya. Sorot matanya tulus tanpa batas. "Kakak pilih aku jadi pendamping, boleh?""Kamu gila.""Aku ... hanya aku yang tahu Kakak menyukai siapa. Aku bisa membantu Kakak. Bahkan aku bisa membantu menutupinya, supaya Kakak bisa dengan tenang dan berani menyukai orang itu."Arya meletakkan kedua tangannya di bahu Zahra. "Sejak kecil Kakak paling sayang aku .... Kakak manjakan aku sekali lagi saja ....""Lancang sekali!" Zahra merasa ini tidak masuk akal. "Bagaimana kamu bisa .... Bagaimana kamu jadi seberani ini?""Urusan perasaan, mana ada berani atau nggak. Kakak berani jatuh hati pada orang itu, aku ... aku dan Kakak tumbuh bersama sejak kecil. Aku hanya lebih muda setengah tahun
Kreeek ....Pintu terbuka. Zahra melangkah keluar dari dalam. Saat melihat Arya berdiri di halaman, matanya menunjukkan rasa khawatir. "Kamu sudah baikan?" Kenapa wajahnya merah begitu?Arya mengangguk dengan sedikit linglung, lalu memberi salam, "Saya ... sudah jauh lebih baik."Zahra tersenyum tipis. Kadang-kadang Arya memang suka berganti sebutan. Hamba, saya, dan lain-lain. Dia sendiri tak tahu apakah perubahan itu tidak melelahkan."Bibi Titiek mana? Paman Ando juga nggak ada." Zahra memijat pelipis, melihat sekeliling halaman yang hanya ada Arya. "Padahal barusan aku jelas mendengar suara Zenna."Arya merasa gugup. "Putri Harmoni bilang ada urusan, jadi memanggil Paman Ando dan Bibi Titiek pergi." Suaranya penuh rasa bersalah, tak berani menatapnya.Zahra mengangguk. Melihat wajah Arya yang merah dan tampak tidak seperti biasanya, dia merasa ada yang aneh.Dia mendekat, mencium aroma arak di tubuh Arya. "Kamu minum? Bukannya lagi sakit? Kok minum arak?""Aku ....""Ada apa? Katak
Arya menatap Sembilan. Kenapa dia bisa tahu begitu banyak?Sembilan tersenyum kikuk. "Hamba sudah bertahun-tahun berada di dalam istana dan sering mendengar banyak rahasia kecil.""Ada rahasia kecil juga?""Tuan, jangan pedulikan dulu bagaimana hamba mendapatkannya atau itu rahasia siapa. Yang perlu Tuan ketahui adalah kalau Tuan ingin menjadi pendamping pria, selain membuat timbul sedikit rasa ingin melindungi Tuan, Tuan juga harus bersikap tegas pada waktunya. Kalau nggak, bisa saja Tuan kalah dari pria lain."Wajah Arya semakin memerah. Dia berbalik, menenggak satu kendi arak. Bukankah hanya tinggal mengatakan padanya bahwa dia mencintainya, ingin menjadi pendamping prianya?Hanya saja ... soal memanggilnya "Kakak", apakah itu malah membuat semuanya lebih buruk?Arya tidak tahu. Dia langsung menunggang kuda menuju Kediaman Putri Mahkota.Setelah turun dari kuda, Sembilan mengeluh dengan keras, "Astaga, Tuan minum arak sampai berkuda pun jadi nggak stabil. Hamba sampai takut setengah
"Membantu memberi saran?" Arya menatap Sembilan dengan bingung. "Kamu .... Maksudmu aku harus membantunya ... bersama orang itu?"Sembilan tidak berbicara, hanya mengangguk.Saat melihat Arya menggeleng, dia melanjutkan, "Kalaupun orang itu nggak sepenuhnya berniat menempuh jalan kultivasi, kedudukannya sangat jelas. Mereka nggak mungkin bersama. Yang perlu Tuan lakukan hanya membantu Putri Mahkota, menjadi orang kepercayaannya."Setelah kata-kata itu mengungkapkan kenyataan dengan jelas, Arya hanya bisa tersenyum pahit tanpa henti.Sembilan mengernyit. "Selain itu, kalau Putri Mahkota naik takhta, meskipun dia punya pendamping pria, Tuan tetap akan menjadi suami sahnya. Nggak ada yang bisa melampaui posisi Tuan."Arya mengerutkan kening. Wajahnya penuh rasa sakit. Kalau saja Zahra hanyalah gadis dari keluarga biasa atau kalau dia hanya seorang putri, dia pasti bisa menikahinya ...."Karena itu, kalau Tuan bisa menerimanya, bangkitlah. Pergi temui Putri Mahkota dan jujur saja. Berhasil






