Share

Bab 6

Author: Emilia Sebastian
Pria yang datang itu bertubuh tinggi dan tegap. Dia mengenakan jubah berwarna biru tua. Penampilannya terlihat berwibawa dan wajahnya juga tampan. Namanya Abista Angkola. Dia adalah kakak pertama Syakia dan putra sulung Keluarga Angkola.

“Syakia, kamu sudah sadari kesalahanmu?” tanya Abista sambil menatap Syakia dengan dingin.

Aura intimidasi yang dipancarkan Abista membuat Syakia hampir tidak bisa bernapas. Dulu, dia sangat bodoh dan mengira dirinya merasa terintimidasi karena Abista memiliki perawakan tinggi dan tegap.

Setelah melihat Abista membungkuk untuk menyejajarkan pandangannya dengan Ayu demi mendengar keluhannya, Syakia baru mengerti bahwa di mata kakaknya, dirinya berstatus lebih rendah.

“Aku nggak ngerti maksud Kakak. Apa salahku? Harap Kakak menjelaskannya.”

Syakia bukannya tidak melihat pakaian resmi yang dipegang Abista. Jadi, dia tentu saja bisa menebak maksud kedatangan Abista. Namun, memangnya kenapa meskipun begitu? Atas dasar apa Abista membuatnya mengaku salah tanpa menanyakan apa pun?

Tatapan Abista memang dingin, tetapi tatapan Syakia jauh lebih dingin.

Abista pun mengerutkan keningnya dan menjawab dengan tidak senang, “Sejak kapan kamu jadi begitu keras kepala dan nggak tahu aturan?”

“Aku cuma nggak tahu apa kesalahanku. Itu langsung buat Kakak marah? Tuduhan Kakak itu benar-benar nggak adil.”

“Kamu masih berani bilang nggak tahu apa kesalahanmu? Jadi, apa ini?” Abista melempar pakaian resmi itu ke samping kaki Syakia dan berseru dengan marah, “Kama bilang kamu yang mengguntingnya. Awalnya, aku nggak percaya. Gimanapun, ini pakaian resmi yang paling kamu hargai. Tapi, dinilai dari sikapmu sekarang, aku mau nggak mau harus percaya.”

“Benar, memang aku yang mengguntingnya. Kalau di mata Kakak, menggunting sepotong pakaian yang nggak diinginkan siapa pun salah, terserah Kakak mau pikir apa.”

Lagi pula, di mata Abista, apa yang dilakukan Syakia selalu salah.

Awalnya, Abista mengira Syakia akan berdalih. Tak disangka, Syakia bukan hanya tidak berdalih, juga langsung mengakui perbuatannya tanpa ragu.

“Pakaian yang nggak diinginkan siapa pun?” Abista berkata dengan makin marah, “Ini pakaian yang kakak-kakakmu pesan khusus untukmu. Dulu, kamu juga selalu bilang kamu sangat menyukainya. Sekarang, pakaian ini jadi pakaian yang nggak diinginkan siapa pun?”

“Benar!” Syakia tiba-tiba menoleh dan menatap lurus mata Abista sambil menekankan kata-katanya, “Nggak ada yang mau.”

Syakia tidak berhenti mengingatkan dirinya untuk bersikap tenang. Bagaimanapun juga, melawan Abista dan yang lain akan merugikan dirinya sendiri. Dia hanya perlu bersabar sampai bisa meninggalkan rumah ini ....

“Kenapa? Kakak marah? Mau hukum aku? Mau hukum aku pakai aturan keluarga atau mau paksa aku berlutut?”

Senyuman di wajah Syakia makin lebar. Dia terlihat seperti orang yang memiliki kepribadian ganda. Yang satu tidak berhenti membujuk dirinya untuk tenang, sedangkan yang satu lagi seperti sudah kehilangan kendali dan gila.

Pada akhirnya, Syakia memilih untuk membiarkan dirinya meluapkan emosinya. Dia tidak peduli meskipun akan dihukum. Paling-paling, dia hanya akan disuruh berlutut di upacara kedewasaan. Dia juga bukannya tidak pernah dipaksa Abista untuk berlutut.

“Bukannya Kakak paling suka sama adik yang patuh? Asal Kakak bersuara, aku akan berlutut di depan umum. Atau Kakak merasa itu nggak cukup ....”

Syakia tidak berhenti menantang Abista sampai Abista tidak dapat bersabar lagi.

“Cukup!” Abista menatap Syakia dengan terkejut dan bertanya, “Syakia, kamu sudah gila?”

Sikap Syakia saat ini sudah sepenuhnya mengubah pandangan Abista terhadap adiknya itu. Dulu, Syakia jelas-jelas sangat menghormati dan patuh pada kakak-kakaknya. Meskipun setelahnya Syakia berangsur-angsur menjadi licik, suka mencari perhatian dan cemburu, dia tidak pernah melawan kakak-kakaknya seperti hari ini. Hari ini, dia benar-benar seperti sudah gila.

Setelah kata-katanya dipotong Abista, senyuman di wajah Syakia juga perlahan-lahan sirna. Dalam menghadapi kebingungan Abista, dia hanya menjawab dengan dingin, “Benar, aku sudah gila.”

‘Kalian yang membuatku jadi gila!’ tambah Syakia dalam hati.

Abista membuka mulut dan hendak mengatakan sesuatu. Namun, begitu melihat tatapan Syakia yang dingin, dia mengerutkan keningnya dan terdiam sekian lama. Sampai Syakia hampir kehilangan kesabaran, dia baru berkata, “Upacara kedewasaan sudah mau dimulai. Ayo jalan.”

Namun, Abista sepertinya khawatir Syakia akan menggila seperti ini di upacara kedewasaan. Dia pun lanjut berbicara, seolah-olah ingin memberi peringatan, “Ada banyak tamu yang datang. Kamu ... perhatikanlah ucapan dan sikapmu. Jangan permalukan Keluarga Angkola.”

Setelah berjalan keluar beberapa meter tetapi tidak mendengar suara langkah kaki mengikutinya, Abista pun menoleh dan menyadari Syakia masih berdiri di tempat.

“Kenapa masih nggak jalan?”

“Dilarang Kak Kama.”

“Sembarangan saja!” Abista mengira Syakia hanya ingin membangkang. Dia lanjut berkata, “Ini hari penting kamu dan Ayu. Kamu nggak boleh nggak hadir.”

Syakia menatapnya sambil tersenyum mengejek. “Sudah kubilang Kak Kama melarangku pergi. Kakak mau paksa aku pergi? Kalau aku pergi dan Kak Kama memukulku, apa Kakak akan mencegahnya? Kalau nggak, lebih baik aku nggak pergi daripada harus dipukul lagi.”

Abista sudah kehilangan kesabaran. “Kama memang punya temperamen buruk, tapi dia nggak pernah asal pukul orang ....”

“Kakak buta?” sela Syakia. Kemudian, dia memiringkan wajahnya dan lanjut berkata, “Wajahku masih bengkak, lho. Kakak nggak lihat atau nggak sudi lihat?”

Begitu melihat jelas, Abista baru menyadari bahwa pipi Syakia benar-benar merah dan bengkak. Jika Syakia berjalan keluar dengan tampang seperti ini, siapa pun pasti dapat melihat bekas tamparan itu. Kelak, mungkin saja akan tersebar rumor buruk keluarga mereka.

Tadi, Abista merasa marah karena Syakia menggunting pakaian resminya. Jadi, dia sama sekali tidak memperhatikan wajah Syakia. Setelah melihatnya sekarang, dia pun mengernyit lagi. Apa Kama benar-benar memukul Syakia?

Abista tahu Kama memang suka main tangan dan punya temperamen buruk. Sementara itu, Syakia juga tidak sepatuh Ayu. Namun, meskipun Syakia salah, Kama juga tidak seharusnya memukulnya di hari sepenting ini. Memangnya masalahnya tidak bisa ditunda sampai acara ini selesai? Kama benar-benar tidak dapat membedakan prioritas.

Reaksi pertama Abista adalah melindungi reputasi keluarga. Dia awalnya ingin menyuruh Syakia pergi menutupi bekas tamparan itu dengan riasan. Namun, ada orang yang datang mendesak mereka untuk keluar lagi.

Pada akhirnya, Abista hanya berkata, “Nanti, jangan lupa tutupi wajahmu. Kalau ada yang tanya, bilang saja kamu jatuh. Ngerti?”

Jatuh? Memangnya orang yang jatuh bisa memiliki bekas tamparan di wajahnya?

Syakia sama sekali tidak merasa kecewa pada reaksi Abista. Dia bahkan sudah terbiasa. “Oke. Selama Kakak membantuku mencegah Kak Kama memukulku, aku pasti akan menuruti perintah Kakak.”

Syakia mau tahu apakah orang lain juga sebuta anggota Keluarga Angkola.

Tidak lama kemudian, Syakia dan Abista tiba di halaman depan rumah.

Pada saat ini, sudah ada banyak orang yang berkumpul di Kediaman Adipati. Suasananya sangat ramai. Begitu melihat kemunculan Syakia, perhatian semua orang langsung tertuju padanya. Ada orang yang menatapnya dengan tatapan merendahkan dan mengejek, ada juga orang yang menantikannya dipermalukan.

Syakia dapat dengan tajam menangkap sebuah tatapan penuh niat jahat. Dia pun menoleh ke arah itu dan melihat seorang pria tampan bertampang dingin yang berdiri di sisi Ayu. Orang itu adalah Panji Darsuki, putra mahkota dari Kediaman Pangeran Darsuki. Orang itu juga merupakan teman masa kecil dan tunangan Syakia.
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pembalasan Dendam Sang Putri Adipati   Bab 434

    Setelah belajar sepanjang pagi, Shanti menyuruh Syakia pergi ke ibu kota.“Kalau mau belajar Tiga Belas Jarum Hantu, kamu harus lebih dulu siapkan satu set jarum khusus. Cari saja seorang pengrajin bernama Laksana di timur kota. Bilang kamu itu orang dari Kuil Bulani. Dia akan langsung tahu jarum seperti apa yang harus dia buat untukmu.”“Baik.”Setelah makan siang, Syakia pun membawa Eira turun gunung. Mereka menumpangi kereta sapi seorang penduduk desa dan tiba di ibu kota 4 jam kemudian.Setelah masuk ke kota, Syakia dan Eira pun berjalan ke arah timur kota dan menemukan toko yang dibuka keluarganya Laksana. Itu bukanlah sekadar toko besi biasa. Ada banyak barang indah di sana yang terbuat dari emas, perak, dan giok hijau. Sebaliknya, justru barang dari besi yang ada paling sedikit di sana.Begitu berjalan masuk ke toko, Syakia langsung menemukan Laksana. Bagaimanapun juga, hanya ada satu orang di dalam toko.“Permisi, apa kamu Tuan Laksana?” tanya Eira sambil melangkah maju.Saat m

  • Pembalasan Dendam Sang Putri Adipati   Bab 433

    Syakia menggigit bibirnya, tetapi tetap berkata dengan nada acuh tak acuh, “Buat apa kamu perhatikan dia? Aku sama sekali nggak peduli sama keadaannya.”Adika langsung tertawa tanpa suara, lalu menghibur, “Iya, iya. Bukan kamu yang peduli, tapi aku. Aku memang ingin lihat segimana menariknya ekspresi Adipati Damar sekarang.”Damar tidak menyangka rahasia yang sudah disembunyikannya malah dikuak oleh kedua putranya. Salah satu orang itu bahkan merupakan calon penerus yang dididiknya secara pribadi. Tidak mungkin dia benar-benar tidak melakukan sesuatu terhadap Abista.Bagaimanapun juga, Damar sudah terkenal kejam dan tidak berperasaan. Dia tidak mungkin tidak melakukan apa-apa. Semuanya hanya tergantung pada seberapa kejamnya dia terhadap putra sulungnya.“Beberapa hari lagi, hampir semua tugasku akan selesai ditangani. Bersiap-siaplah. Nanti, aku sudah bisa mengajarimu seni bela diri.”Adika dan Syakia sudah mencapai kesepakatan dalam hal ini. Hanya saja, perjalanan ke Lukati pada saat

  • Pembalasan Dendam Sang Putri Adipati   Bab 432

    Kama menceritakan tentang semua yang ditemukannya di ruang baca Damar kepada Syakia. Setelah mendengar bahwa buku keuangan itu berkaitan dengan harta Keluarga Kuncoro, mata Syakia langsung mendingin. Syakia tahu masalah waktu itu tidaklah sederhana. Tak disangka, dugaannya memang benar. Apanya yang berpangku tangan? Takutnya, ayahnya yang “baik” itu mungkin terlibat dalam kehancuran Keluarga Kuncoro.Syakia agak menunduk dan menyembunyikan kilatan dingin dalam matanya.“Di mana buku keuangan itu sekarang?” tanya Syakia.Kama menjawab dengan agak malu, “Waktu itu, aku nggak hati-hati dan ketahuan. Aku nggak sempat bawa pergi buku keuangan itu. Sekarang, buku itu masih ada di dalam ruang baca Ayah.”Namun, setelah mengatakan semua itu, Kama buru-buru menambahkan, “Tapi, kamu nggak boleh ke sana, ya. Kedua tindakanku itu sudah menarik perhatian Ayah. Sekarang, ruang bacanya seharusnya dijaga dengan ketat. Jadi, sebaiknya aku saja yang cari cara. Kamu tenang saja, aku pasti akan dapatkan

  • Pembalasan Dendam Sang Putri Adipati   Bab 431

    Adika mau memasak untuk adiknya? Kama tidak dapat bereaksi untuk sesaat. Dia segera menoleh ke arah adiknya.Namun, Syakia hanya mengangguk dengan sangat santai. “Oke! Kalau begitu, repotin Pangeran Adika, ya.”Adika langsung tersenyum, lalu mengambil sekeranjang hasil panen Syakia. “Kalau begitu, kamu istirahat saja dulu. Aku akan tangani bahan-bahan makanan ini.”Bahan-bahan makanan itu sebenarnya hanyalah bahan makanan nabati segar berupa jamur liar, jamur bambu, rebung, dan sayuran lainnya.Adika terlihat sangat mengenal tempat ini. Dia membawa masuk bahan-bahan makanan itu ke dapur kecil Syakia dengan sangat alami. Syakia pun berbalik dan duduk di halaman. Sementara itu, Kama berdiri di samping dengan agak kaku dan melirik ke arah dapur sesekali.“Sya ... Sahana, kamu benar-benar mau biarkan Pangeran Adika masak? Bukankah itu ....” (Kurang bagus?)Kama awalnya hendak berkata begitu. Namun, begitu menoleh, dia malah melihat Syakia yang bersikap tenang.“Apa yang kurang bagus?”Sya

  • Pembalasan Dendam Sang Putri Adipati   Bab 430

    Kama menyimpan kembali baju dan kantong uang tersebut, lalu meninggalkan hutan dengan cepat.Setelah itu, Adika baru berjalan keluar secara perlahan. Gading melangkah keluar dari belakangnya, lalu mencabut pedang yang awalnya digunakan untuk mengadang pisau terbang sebelumnya.“Pangeran, kenapa kita nggak langsung jatuhkan beberapa pengawal rahasia itu? Mereka kelihatannya sangat lemah. Seharusnya nggak ada satu pun dari mereka yang bisa menandingi kita,” ujar Gading dengan bangga.Adika hanya meliriknya dengan dingin. Tatapan penuh ejekan itu sontak membuat Gading terdiam. ‘Baiklah, Pangeran pasti diam-diam merasa aku cuma kuat, tapi bodoh. Huh! Jangan kira aku nggak tahu!’ gumam Gading dalam hati.Adika malas mengatai Gading. Dia hanya meraba-raba dagunya sambil berpikir. Sepertinya, rencana Syakia kali ini berjalan lumayan lancar. Saat ini, Kama seharusnya sudah sepenuhnya putus hubungan dengan Damar. Dia juga seharusnya melakukan sesuatu sehingga Damar mengutus pengawal rahasiany

  • Pembalasan Dendam Sang Putri Adipati   Bab 429

    Selain itu, andai saja dirinya bisa lebih cerdas setelah menemukan buku keuangan itu semalam. Kama tidak seharusnya menaruh kembali buku keuangan itu secara refleks, melainkan langsung mengambilnya.Meskipun berpikir begitu, Kama sebenarnya masih belum tahu bagaimana cara menangani masalah buku keuangan tersebut. Yang tersembunyi dalam buku keuangan tersebut adalah rahasia ayahnya dengan Keluarga Kuncoro.Dari informasi Yanto, Kama sudah mengetahui bahwa ayahnya hanya berpangku tangan ketika musibah tersebut menimpa Keluarga Kuncoro. Namun, setelah melihat buku keuangan tersebut, dia pun curiga bahwa ayahnya mungkin saja bukan hanya berpangku tangan, tetapi juga melakukan sesuatu dan buku keuangan itu adalah salah satu buktinya.Oleh karena itu, Kama baru kembali ke ruang baca Damar. Dia berniat untuk diam-diam mencuri buku keuangan itu. Sayangnya, dia gagal. Hal yang patut disyukuri adalah, setidaknya Abista sudah membantunya menutupi hal ini.Hanya saja, apa yang harus dilakukannya s

  • Pembalasan Dendam Sang Putri Adipati   Bab 428

    Abista akhirnya tidak bertanya. Setelah apa yang terjadi selama ini, dia sebenarnya sudah mengetahui jawabannya. Hanya saja, dia selalu menghindar dari jawaban itu. Sekarang, dia sudah tidak bisa menghindar lagi.“Baik. Aku mengerti.”Pada akhirnya, Abista berjalan meninggalkan ruang baca dengan beberapa luka cambuk di punggung. Setelah dia kembali ke area tempat tinggalnya, Anton yang melihat tubuhnya berdarah pun terkejut.“Tuan Abista, Tuan kenapa? Cepat berbaring. Aku akan panggilkan tabib kemari!”Seusai berbicara, Anton hendak langsung pergi.“Nggak usah panggilkan tabib.” Abista menghentikan Anton, lalu berkata dengan ekspresi tenang, “Ini cuma sedikit luka cambuk. Nggak usah khawatir. Ambilkan kotak obatnya kemari dan bantu aku oleskan obatnya.”Bagi Abista, keadaannya ini memang tidak perlu diperiksa tabib. Bagaimanapun juga, dibandingkan dengan 50 cambukan yang diberikannya kepada Syakia malam itu, beberapa cambukan ini benar-benar bukan apa-apa.Namun, bagi Anton, ini sama s

  • Pembalasan Dendam Sang Putri Adipati   Bab 427

    “Emm. Setelah mengantar adikmu pergi, kamu datang untuk menerima hukuman. Hubungan saudara kalian benar-benar mendalam.”Damar mengambil cambuk dari mejanya, lalu berjalan mendekati Abista selangkah demi selangkah. Pada akhirnya, dia berdiri di belakang Abista sambil memandangnya.“Ini semua berkat ajaran Ayah yang baik.”Abista tidak mendongak. Dia sudah tahu apa yang akan dihadapinya, tetapi sama sekali tidak mengeluh. Setidaknya, dia sudah mengantar Kama pergi. Setelahnya, biar saja dirinya seorang yang dimaki ataupun dipukul.Baru saja Abista selesai berbicara, dia langsung merasakan rasa sakit yang membakar di tubuhnya.“Plak!”Damar mencambuk Abista tanpa belas kasihan. Dia menatap putra sulung yang mengecewakannya itu dengan ekspresi datar sambil berkata dengan dingin, “Tapi, aku juga pernah mengajarimu bagaimana cara mendidik adik-adikmu. Itu tanggung jawabmu sebagai kakak sulung.”“Tapi, lihat saja bagaimana situasinya sekarang. Satu per satu dari mereka sudah merasa diri mere

  • Pembalasan Dendam Sang Putri Adipati   Bab 426

    “Sudah dengar?” Damar berkata dengan dingin, “Sekarang, adikmu ini sudah dewasa dan hebat. Dia cuma mau hidup bebas di luar sana. Buat apa kamu membelanya lagi?”“Tapi ....”Abista masih ingin mengatakan sesuatu, tetapi Kama segera menariknya.“Kak Abista, cukup!” Kama berbicara sambil menggertakkan gigi, “Aku tahu kamu nggak berharap aku pergi. Tapi, aku benar-benar nggak tahan lagi.”Ketika mengucapkan kalimat terakhir, kekecewaan dan rasa sakit yang terpancar dari mata Kama benar-benar menyayat hati Abista. Dalam sekejap, Abista merasa dirinya bagaikan sudah kehilangan seluruh tenaga. Dia menunduk dengan pasrah dan memejamkan matanya.“Baik .... Pergilah, pergilah ...,” ujar Abista secara perlahan. Suaranya juga terdengar agak tercekat.Abista merasa dirinya yang sudah memaksakan kehendaknya. Bahkan dia sendiri juga merasa sangat kecewa pada keluarga ini, apalagi Kama yang sudah terlebih dahulu sadar. Mungkin saja Kama merasa tinggal di luar jauh lebih baik daripada tinggal di rumah

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status