Share

Bab 5

Penulis: Emilia Sebastian
“Syakia, kamu sudah gila?”

Ayu yang mengira dirinya masih memiliki kesempatan untuk merebut pakaian resmi itu pun tidak bisa berkata-kata saking marahnya. Dia merasa Syakia seperti sedang menggunting pakaiannya.

Syakia menghentikan gerakannya, lalu menyahut sambil masih tersenyum, “Aku lagi gunting baju. Bukannya kalian sudah lihat? Buat apa kalian bereaksi begitu berlebihan?”

Kama berseru marah, “Kamu masih berani tanya kenapa reaksiku begitu berlebihan? Pakaian ini kami pesan khusus untukmu! Apa yang kamu lakukan! Kenapa kamu mengguntingnya!”

“Karena sudah nggak ada yang mau.” Syakia lanjut menggunting dan menjawab, “Aku nggak mau, Ayu juga nggak mau. Barang yang sudah nggak diinginkan tentu saja harus dibuang.”

Ekspresi Syakia terlihat sangat dingin hingga Kama merasa agak asing.

‘Siapa bilang aku nggak mau?’ seru Ayu dalam hati. Dia hanya tidak ingin Kama curiga, makanya dia sengaja menolak. Siapa sangka Syakia akan bertindak segila ini?

Ayu jelas-jelas sudah memutuskan untuk mengenakan setelan pakaian resmi itu hari ini. Sekarang, Syakia malah menghancurkannya. Itu adalah pakaian resmi termahal dan terbaik di ibu kota! Dia pun merasa sangat sakit hati dan tidak rela.

Kama berseru dengan sangat marah, “Kapan kamu bilang nggak mau? Bukannya kamu pernah bilang kamu sangat menyukainya? Bukannya itu pakaian resmi yang paling kamu ....”

“Aku nggak suka,” sela Syakia. Dia mengulangi kata-katanya dengan tegas, “Dulu, aku memang suka. Sekarang, aku sudah nggak suka.”

Syakia tidak menginginkan apa pun yang bukan miliknya.

“Srek!” Seiring dengan guntingan terakhir, pakaian resmi itu pun sepenuhnya hancur, seperti hubungan Syakia dengan Kama dan yang lain.

Di kehidupan sebelumnya, Syakia terlalu ingin menyelamatkan hubungan mereka. Jika tersadar lebih cepat dan langsung memutuskan hubungan mereka, dia juga tidak akan berakhir seperti itu. Di kehidupan ini, dia tidak akan mengulangi kebodohannya lagi.

“Ya sudah. Upacara kedewasaan sudah mau dimulai. Berhubung Kakak melarangku keluar, maafkan aku yang nggak bisa temani Kakak lagi.”

Syakia meletakkan gunting itu, lalu berbalik untuk membelakangi Kama dan Ayu. Nadanya dipenuhi dengan ketidaksabaran untuk mengusir mereka.

Kama pun terpaku di tempat. Sepasang matanya yang merah masih tertuju pada serpihan kain di lantai. Dia terlihat seperti sudah dihantam orang dengan kuat sehingga benaknya menjadi kosong.

‘Nggak .... Ada yang salah. Kenapa Syakia berubah jadi begini? Kenapa dia berbuat begini? Dia marah karena aku suruh dia kasih pakaian ini pada Ayu atau karena aku salah paham padanya? Tapi, bukannya dia dulu yang berbuat salah? Atas dasar apa dia marah?’ Semakin memikirkannya, Kama merasa semakin marah.

“Kak Abista dan yang lain benar-benar sudah terlalu memanjakanmu! Sekarang, kamu bahkan berani menyia-nyiakan kebaikan kakak-kakakmu! Masalah sebesar apa lagi yang akan kamu timbulkan kelak!”

Kama mengira Syakia akan memberikan respons dengan berkata seperti itu. Namun, Syakia hanya duduk di sana tanpa menoleh sekali pun. Dia sudah menunjukkan dengan jelas bahwa dirinya tidak ingin menghiraukan mereka lagi.

“Oke! Oke!” Kama berujar dengan marah, “Kamu berani bersikap begini terhadapku? Tunggu saja! Aku akan suruh Kak Abista dan yang lainnya kemari untuk lihat sikapmu ini!”

Seusai berbicara, Kama merebut pakaian resmi yang baru dipungut Ayu beserta serpihan-serpihan kain di lantai.

“Eh? Kak Kama!”

Sebelum Ayu sempat bereaksi, Kama sudah berbalik dan membawa pergi pakaian resmi itu. Dia menoleh dan memelototi Syakia dengan tidak rela, lalu memutuskan untuk mengejar Kama.

Begitu Ayu dan Kama pergi, kamar Syakia sontak menjadi tenang. Suasananya sangat hening hingga dia bisa mendengar bisikan dayang-dayang di koridor yang mengira suara mereka sudah sangat kecil.

“Haih, yang keluar dari kamar Nona Syakia tadi Tuan Kama dan Nona Ayu bukan?”

“Sepertinya memang mereka!”

“Aku nggak nyangka bisa ketemu Tuan Kama di sini. Tahu begitu, aku pasti pilih untuk layani Nona Syakia.”

“Urungkanlah niatmu. Tadi, aku dengar Tuan Kama lagi-lagi membentak Nona Syakia. Kayaknya Nona Syakia melakukan sesuatu pada Nona Ayu lagi. Kamu berani layani orang sejahat itu? Kamu nggak takut dia langsung main tangan begitu nggak senang sama kamu?”

“Ya ampun! Ngeri banget! Kalau memang begitu, siapa yang berani layani dia?”

Di dalam kamar, Syakia mendengar percakapan itu dengan acuh tak acuh. Salah seorang dayang itu adalah Esti, dayang pribadinya. Esti juga merupakan dayang yang menyanjung Ayu dan menendangnya ketika dia dikurung di ruang bawah tanah.

Dulu, Esti mengkhianati Syakia atas perintah Ayu. Setelah membantu Ayu mengusirnya dari Kediaman Adipati, Esti pun menjadi salah satu orang kepercayaan Ayu.

Pada saat itu, Syakia tidak tahu. Sekarang, dia merasa Esti seharusnya sudah mendukung Ayu dari awal. Selain itu, Esti juga diam-diam menghasut para bawahan yang bekerja di tempat tinggalnya supaya semua orang takut dan menjauhinya.

Ada niat membunuh yang melintasi mata Syakia. Dia tidak akan mengampuni Ayu dan anggota Keluarga Angkola, begitu pula dengan orang-orang yang pernah mengkhianatinya.

“Kalian.” Tiba-tiba, terdengar suara Syakia dari belakang beberapa dayang itu.

Esti dan orang lainnya pun menoleh. Mereka melihat Syakia yang berdiri di sisi jendela dan sedang menatap mereka lekat-lekat. Dayang-dayang yang barusan ditakut-takuti oleh Esti sontak berdiri dengan takut dan gelisah.

“Selain Esti, orang lainnya sudah boleh kemas barang-barang kalian. Kalian nggak usah tinggal di sini lagi. Nanti, aku akan suruh orang datang jemput kalian.”

Dayang-dayang itu masih belum mengerti maksud Syakia dan bertanya dengan bingung, “Kemas barang? Mau ke mana? Nona Syakia mau suruh siapa untuk datang jemput kami?”

Syakia memandang mereka sambil tersenyum lucu dan menjawab, “Tentu saja pedagang budak. Kalau nggak, siapa lagi?”

Ekspresi dayang-dayang itu langsung berubah. Mereka membelalak dengan tidak percaya.

“Apa maksud Nona Syakia? Apa salah mereka sampai kamu bersikap begitu pada mereka?” Esti masih belum menyadari keseriusan masalah ini. Dia hanya mengingat pesan Ayu dan membela beberapa dayang itu.

“Mereka nggak salah, tapi mereka nggak bisa bedakan siapa sebenarnya majikan mereka.” Syakia tersenyum sambil berujar, “Buat apa kalian lanjut tinggal di sini kalau kalian nggak tahu siapa majikan kalian? Lebih baik kalian kemas barang-barang kalian dan pergi dari tempat ini secepatnya! Jangan sampai aku main tangan waktu aku nggak senang suatu hari nanti.”

Begitu mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Syakia, wajah Esti dan dayang-dayang itu langsung pucat.

Setelahnya, Syakia teringat sesuatu dan lanjut berkata, “Tentu saja, kalian juga boleh minta tolong sama adikku yang polos dan baik hati itu. Mungkin saja dia bersedia beli kalian dengan harga tinggi.”

Kebetulan, Syakia perlu mengumpulkan uang sebelum meninggalkan Kediaman Adipati.

Baru saja Syakia menutup jendela dan berbalik, dia pun terkejut karena melihat sosok seorang pria yang entah sejak kapan berdiri di depan pintu. Setelah melihat jelas tampang orang itu, rasa benci yang kuat segera muncul dalam hatinya.

Syakia menyapa dengan pelan, “Kak Abista.”
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Pembalasan Dendam Sang Putri Adipati   Bab 695

    "Plak! Plak! Plak ...."Ayu yang gemetar menampar wajahnya sendiri dengan kuat berkali-kali. Untuk mencegah luka di sisi wajah lainnya terbuka, dia mau tak mau hanya bisa menampar sisi yang sama. Jadi, hanya setelah beberapa tamparan, separuh wajahnya sudah bengkak."Ayu, berhenti! Syakia, nggak, Putri Suci! Aku panggil kamu Putri Suci, oke? Ayu sudah menampar dirinya sendiri dan kamu juga sudah puas. Itu sudah cukup, 'kan?"Kahar ingin melangkah maju untuk menghentikannya. Namun, sebelum Syakia sempat mengatakan apa-apa, Ayu tiba-tiba berseru, "Nggak! Kak Kahar, jangan kemari!"Ayu menggertakkan giginya, kepalanya tertunduk dan suaranya dipenuhi ketakutan. "Ini salahku. Aku pantas dipukuli. Aku memang pantas dipukuli. Selama Putri Suci puas, aku akan melakukan apa pun!"Jika pengawal itu memberi tahu Syakia mengenai trik kecilnya dan Syakia marah, Ayu tidak akan selamat hari ini. Lebih baik dia merendahkan diri sekarang dan memuaskan Syakia. Setidaknya, dia bisa menyelamatkan nyawanya

  • Pembalasan Dendam Sang Putri Adipati   Bab 694

    Syakia langsung mendengus. Ayu benar-benar memiliki terlalu banyak trik kecil hingga membuat orang merasa jijik dan jengkel."Tanganku sudah sakit. Lebih baik kamu melakukannya sendiri." Syakia duduk di kursi utama dan menatap Ayu sambil tersenyum sebelum melanjutkan, "Aku percaya Nyonya Pendamping pasti akan membuatku puas, 'kan?"Puas? Omong kosong! Gadis jalang ini memintanya untuk memukul dirinya sendiri? Ayu masih berpikir bahwa jika Syakia menamparnya, dia akan mengambil kesempatan untuk menabur racun di jarinya ke Syakia tanpa diketahui orang lain. Sekarang, Syakia malah duduk di sana tanpa bergerak sama sekali!Hanya ada jarak tiga langkah di antara mereka berdua. Ayu sedang berpikir apakah dirinya harus bertindak atau tidak. Jika dia tidak bertindak, tidak akan ada peluang sebagus ini lagi setelahnya. Namun, jika bertindak secara langsung, itu akan terlalu terang-terangan dan mudah diekspos ....Ayu pun merasa ragu. Dua pemikiran itu tidak berhenti bergulat dalam pikirannya. D

  • Pembalasan Dendam Sang Putri Adipati   Bab 693

    "Senyumannya terlalu jelek, aku nggak suka," ujar Syakia sambil tersenyum mengejek."Kalau begini? Begini? Atau begini?"Adika menarik-narik wajah Ranjana untuk membuat berbagai macam ekspresi lucu dan konyol. Setelah dipermainkan seperti ini oleh Adika, wajah Ranjana yang awalnya pucat akhirnya terlihat sedikit memerah. Namun, entah itu karena marah atau merasa sakit.Ranjana cukup bersabar. Meskipun dia dipermalukan seperti itu, dia masih tetap bertahan dan tidak melawan. Akan tetapi, amarah dan kebencian di dalam hatinya sudah mencapai puncak. Matanya menatap Syakia lekat-lekat.Syakia sangat akrab dengan tatapannya itu. Ketika Keluarga Angkola ingin membunuhnya di kehidupan lampau, tatapan Ranjana juga seperti ini.'Bersabarlah. Kak Ranjana tersayang, sebaiknya kamu bersabar sepanjang hidupmu. Gimanapun, adikmu ini nggak akan biarkan kamu mati dengan semudah itu. Sampai kamu sudah nggak sanggup bersabar, itulah hari kematianmu. Aku akan membuatmu menyesal,' gumam Syakia dalam hati

  • Pembalasan Dendam Sang Putri Adipati   Bab 692

    Bahkan Pangeran Pemangku Kaisar sudah memintanya untuk bertindak, jika masih merasa sungkan, Syakia tentu saja akan mengecewakan niat baiknya.Setelah memikirkan hal ini, Syakia mengangkat tangannya dan menampar wajah Ranjana yang ditahan oleh Adika tanpa ragu"Plak!"Suara tamparan ini sangat nyaring. Syakia sama sekali tidak mengurangi kekuatannya karena ancaman Ranjana tadi.Dalam sekejap, rasa sakit yang menyengat menyebar di wajah kiri Ranjana. Dia bahkan merasa pusing untuk sesaat. Dia menahan perasaan ingin muntah. Bukan karena pusing, melainkan karena merasa terhina.Perasaan terhina yang kuat ini membuat Ranjana sangat ingin membalas tamparan itu. Sayangnya, dia sama sekali tidak bisa melakukannya sama sekali."Sudah puas?"Ranjana yang berusaha menerima penghinaan ini memandang Syakia dengan dingin. Dia pikir semuanya sudah berakhir, tetapi Syakia hanya tersenyum tipis dan menggeleng. "Belum, itu masih belum cukup."Segera setelah selesai berbicara, Syakia mengangkat tanganny

  • Pembalasan Dendam Sang Putri Adipati   Bab 691

    "Kamu lagi mengancamku?" tanya Damar sambil memicingkan matanya. Tatapannya terlihat tajam."Sangat jelas bahwa jawabannya adalah iya."Syakia memang sedang mengancam Damar, tetapi memangnya kenapa meskipun begitu? Sekarang, nyawa Ayu ada di tangannya. Meskipun Damar tidak tahu, yang penting Ayu mengetahuinya."Ayah!"Seperti yang diharapkan, setelah Syakia melontarkan kata-kata itu, ekspresi Ayu langsung berubah secara drastis. Dia buru-buru melangkah maju untuk meraih Damar."Lupakan saja, Ayah. Semuanya ini kesalahan Ayu. Ayu yang bersalah dan nggak seharusnya menanyakan hal itu!"Ayu yang sebelumnya masih diam-diam merasa bangga akhirnya teringat bahwa nyawanya masih ada di tangan orang lain. Seberapa bangga dirinya sebelumnya, seberapa menyesal pula dia sekarang.Gadis sialan itu lagi-lagi mengancamnya! Ayu sangat marah, tetapi juga tidak dapat melakukan apa-apa terhadap Syakia. Hari ini adalah hari terakhir. Jika dia tidak mendapatkan obat penawar hari ini, dia akan mati!Ayu ten

  • Pembalasan Dendam Sang Putri Adipati   Bab 690

    Syakia berkata sambil tersenyum, "Kebetulan, masih ada orang lain yang ingin kupukul."Senyum "pengawal" itu makin lebar. "Putri Suci tunggu sejenak."Begitu selesai berbicara, dia meninggalkan sisi Syakia lagi dan berjalan ke bawah. Entah kenapa, ketika melihatnya turun, hati semua orang tiba-tiba diliputi ketakutan.Kahar yang awalnya mengadang di depan Syakia, Joko yang berdiri di samping, para pengawal Keluarga Angkola, bahkan Ayu dan orang lain yang berdiri di sebelah Ranjana juga tanpa sadar melangkah mundur. Hal ini pun secara tidak langsung membuka jalan bagi "pengawal" itu dan mengekspos Ranjana yang duduk di kursi roda. Berhubung tadi dia jatuh dengan cukup serius, dia sama sekali tidak dapat menggerakkan kursi rodanya saat ini. Selain itu, "pengawal" itu juga telah berhenti di depannya."A ... apa maumu?"Ranjana menggertakkan giginya dengan erat dan menatap "pengawal" di depannya. "Aku ini putra keempat Adipati Pelindung Kerajaan, aku .... Ah!"Sebelum Ranjana sempat menye

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status