Ada beban yang tersirat dari gerak-geriknya, Bu halimah mengajak besannya untuk duduk, tapi dia menyempatkan memberikan kecupan di kening Rima."Ada apa, Bu?" tanya Bu Halimah ragu.Bu Rina menatap besannya dengan tatapan penuh kesedihan, kemudian bibirnya bergetar. Lalu, seketika Bu Rina memeluk erat besannya, menumpahkan rasa yang masih menyesakkan dadanya. "Ada apa, Bu?" tanya Bu Halimah ulang."Aku merasa, apa yang di bicarakan oleh suster-suster tadi, mengenai Sherly," terang Bu Rina dengan terisak.Bu Halimah kini yang memeluk Bu Rina dengan erat dan menepuk punggungnya pelan, menyalurkan perasaan yang menenangkan. Mereka berdua saling memberikan dukungan disaat seperti ini. Mereka berdua belum mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, hati mereka sedang harap-harap cemas."I--ibu," sapa Rima.Bu Halimah melepaskan pelukannya dari sang besan, dan melihat ke arah anaknya. Bu Halimah langsung berdiri, ketika melihat Rima berusaha untuk bangun dan duduk."E--eeh! jangan duduk dulu,
Rima menunduk dan mencoba meraih tangan sang mertua, mengatakan maaf berkali-kali. Rima merasa gagal menjadi seorang ibu sambung bagi Sherly dan Dion, juga untuk anaknya yang belum lahir."Semua sudah terjadi," balas Bu Rina dengan isakan tersisa, kemudian dia mencoba berdiri. Bu Rina sadar, saat ini bukan waktunya untuk terpuruk. Rima pun salah satu korban dari keadaan yang runyam saat ini."Tidak ada yang salah diantara kita, tapi untuk perbuatan bejat itu, mereka harus dihukum yang setimpal!" tegas Bu Rina denga suara berapi-api.Rima tidak berani membantah atau mendukung apa yang diucapkan oleh mertuanya, dia mengingat suaminya yang tiba-tiba melemah saat melihat poto para penjahat. Meski Rima sudah menolak keputusan James, tapi dia juga tidak bisa memaksa, karena takut makin melukai Sherly. Tidak ada yang tahu isi hati Rima saat ini, dia sedang menyusun rencana yang akan membuat para penjahat ingin memilih mat*i dari pada hidup tidak berguna."Ibu ingin membicarakan ini dengan J
Akhirnya, Bu Halimah mengangguk, mengiyakan pinta anak perempuan satu-sataunya. Pandangan Bu Halimah beralih pada sang besan, meminta persetujuan tanpa kata.Seolah-olah mengerti apa yang diinginkan oleh besannya, Bu Rina menyarankan untuk datang ke dokter. Meminta ijin untuk di satukan dengan Sherly di kamar yang sama. "Hmm, ada benarnya juga apa yang diinginkan oleh Rima, disaat seperti inilah kita harus saling berpegangan tangan dan bersama," imbuh Bu Rina.Tanpa menunggu, Bu Halimah menelepon james, memberitahu apa yang sedang terjadi. Mendengar hal itu, James menyambutnya dengan sangat senang. Setelah selesai memberitahu menantunya, Bu Halimah mengajukan diri untuk menemui dokter dan disetujui oleh Bu Rina dan Rima, karena keadaan mereka berdua yang tidak baik-baik saja.Mata Bu Halimah membulat, ketika membuka pintu dan ada seorang laki-laki yang berdiri tegap di sana. Lelaki yang memiliki badan tegap dan tinggi, dan tatapan yang sendu."Assalamualaikum, Bu," sapa laki-laki itu
Tanpa berbasa-basi lagi, Bu Halimah melewati Satria, untuk menuju ruangan dokter. Agar anaknya bisa melihat cucu tirinya dan berharap hubungan mereka makin mendekat. "Dasar! lelaki yang tidak punya tanggung jawab!" oceh Bu Halimah dan masih bisa di dengar oleh Satria. Satria hanya bisa mengulum senyum di bibirnya yang tipis, menutupi hatinya yang teriris. Dikarenakan harus kehilangan cinta pertamanya yang ingin dia nikahi, saat dia kembali ke kota kelahirannya. Pertama kali dia melihat wajah Rima, yang menjadi orang tua korban, Satria langsung lemas, dan meminta bawahannya yang mengurus kasus. Rima yang melihat Satria hanya menghembuskan napas berat yang tidak terlalu kentara, kemudian menanyakan ada keperluan apa lagi dan Satria hanya mengatakan, jika dia hanya ingin memastikan keadaan Rima saat ini, karena dia mengira James meninggalkannya sendirian. Lalu, Satria pergi setelah mengucapkan salam. "Itu polisi yang menangani kasus Sherly?" tanya Bu Rina dan Rima mengangguk. "Ibu mau
"Pa ... Papaa yang kenapa!" ketus Sherly yang merasakan sakit di tangannya.Satria yang menolong Sherly hanya bisa menghela napas panjang, sepertinya dia tahu, jika James menaruh curiga padanya.James dengan kasar menepis tangan Satria dan mengangakat tubuh Sherly ke atas ranjang. Tatapan mata James terlihat seperti ingin membunuh, membuat Satria hanya bisa tersenyum."Lain kali, gunakan sopan santun! Ketuk pintu dulu, sebelum masuk ke dalam ruangan orang lain!' kesal James."Papa kenapa, sih! Dia yang membantuku. Dari tadi, aku manggilin papa!" Sherly membela Satria, yang membuat laki-laki yang sedang dibakar cemburu itu diam."Saya hanya ingin memastikan semuanya baik-baik saja, Pak. Ini sudah tugas saya!" Satria mulai berbicara.James tetap diam, tapi gestur tubuhnya mengatakan bahwa dia tidak menyukai keberadaan Satria di sini. James ingin bertanya lebih dalam, tapi kondisi lagi-lagi tidak mendukungnya.Helaan napas panjang terdengar dari Satria, sebelum dia berpamitan. Meningalka
Satria menatap ke arah Sinta, wanita yang terlihat ceria itu, kini diam menunduk."Sehati?" tanya Satria dengan nada kepo."Iya," jawab Sinta. "Sama-sama mencintai orang yang tidak mencintai kita!" imbuhnya."Kamu harus membuka hati untuk orang lain, agar tidak membuat waktumu sia-sia!" pesan Satria."Apakah kamu tidak bisa membuka hatimu untukku?" tanya Sinta dengan suara serak.Satria menghela napas panjang, dan mengatakan dirinya tidak patut dicintai, karena cintanya telah habis untuk Rima, wanita yang kini menjadi istri orang lain.***Setelah dua minggu dirawat, Sherly dan Rima sudah kembali ke rumah mereka. Akan tetapi, Sherly tidak pernah keluar dari kamar. Memilih menangis sepanjang hari dan menyesali perbuatannya, dan terkadang dia histeris. Rima hanya bisa memandang dari kejauhan, karena Sherly menolak dirawat oleh ibu sambungnya."Mas, bagaimana kelanjutan kasus Sherly?" tanya Rima."Kita akan kirim Sherly ke Surabaya, tante Celine sudah kuhubungi dan sudah mempersiapkan se
Pesan yang di kirim oleh Rima hanya di baca saja oleh ibunya, saat ini Bu Halimah sedang berpikir bagaimana harus menyikapi masalah putrinya. Saat sedang memikirkan caranya, suara pintu di ketuk, membuyarkan lamunan Bu Halimah. "Ada apa kamu ke sini? Kok tahu alam rumah ini?" tanya Bu Halimah yang pulang ke rumahnya, karena di minta oleh Rima. Satria seperti biasa, mengambil tangan Bu Halimah dan salim takzim. Meski Bu Halimah menunjukan ketidak suakaannya pada dirinya. "Saya hanya ingin menjalin silahturahmi yang sempat terputus karena kesalahpahaman," balas Satria. "Apapun itu, semua hanya masa lalu, Rima sudah bahagia dan kamiharap kamu juga bahagia," Meskipun menyimpan kekesalan, Bu Halimah tetap memberikan doa tulusnya. Satria tidak beranjak dari tempatnya berdiri, dan tidak juga bertanya ataupun berkata. Bu Halimah pun hanya diam, bingung menghadapi Satria. "Apa boleh saya duduk, Bu?" tanya Satria lembut. Bu Halimah menarik napas panjang, sebelum mempersilahkan tamunya dud
"Assalamualaikum, Bu," salam James. Bu Halima yang baru saja masuk ke dalam rumah, kini harus kembali lagi keluar untuk menemui James. "Waalaikumusalam," balas Bu Halimah, setelah membuka pintu. Terlihat wajah lesu James, yang sangat tidak sedap dipandang. Bu Halimah meminta menantunya untuk masuk dan berbicara empat mata tanpa gangguan. Bu Halimah berpamitan pada putrinya, dengan alasan pergi berbelanja kebutuhan dapur. Rima enggan ditinggal sang ibu, karena hatinya benar-benar sedang sanat terluka saat ini, akibat ucapan sang anak tiri. "Kamu harus membicarakannya dulu pada James, jika suamimu tidak menemukan jalan, maka ibu yang akan memberikan caranya," ujar Bu Halimah mencoba menenangkan sang anak. Setelah mengatakan itu, Bu Halimah mengambil dompetnya dan berlalu dari hadapan Rima. James yang mengetahui mertuanya ingin pergi, menawarkan diri untuk mengantarnya, tapi langsung ditolak oleh sang mertua. "Kalian bicarakan dulu sebaik mungkin, jangan menggunakan emosi di situas