[I--iya, Pak. Ada apa, ya! Saya ibunya,]Suara Rima bergetar, ketika menjawab pertanyaan orang yang ada di ujung telepon. Dia berpikir, anaknya itu membuat ulah dan berakhir dengan ditangkap polisi. Sang mertua yang melihat Rima panik, bertanya dengan isyarat dan dibalas dengan senyuman oleh sang menantu.[Kami minta, ibu datang ke rumah sakit Persahabatan Keluarga Depok. Lalu, ibu langsung saja ke lantai dua dan cari kamar mawar nomor 11,][Ada apa, ya, Pak dengan anak saya?"]tanya Rima sangat khawatir, pikirannya kini tidak bisa fokus. Karena tambahan informasi yang dia dengar.[Sebaiknya, ibu dan suami ibu datang saja ke sini. Penjelasan detail nanti akan kamiberikan.][Baik, Pak. Saya ke sana sekarang!]Rima mengakhiri panggilan telepon dan beranjak dari duduknya. Dengan tubuh gemetar, Rima ke kamarnya dan mengganti pakaian."Kamu mau kemana, Nak? Ada apa?" tanya sang mertua."Bu, aku harus ke rumah sakit!" jawab Rima buru-buru."Temanmu?" tambah sang mertua dan dibalas dengan
Rima memutuskan untuk kembali lagi ke tempat suster yang tadi dia tanyai, untuk memastikan jika dirinya tidak sedang dikerjai."Permisi. Maaf sus, kenapa kamar nomor 11 kok enggak ada, ya?" tanya Rima. "Ini bukan sebuah prang atau saya sedang dikerjai, kan?" imbuh Rima.Wanita yang kini memakai hijab itu menghela napas panjang, dirinya bukan sekali dua kali dikerjai oleh Sherly dan saat ini dia kepikiran jika anak sambungnya itu sedang mengerjai dirinya."Ibu cari siapa?" tanya si suster heran."Saya dapat telepon dari seseorang yang mengatasnamakan dirnya seorang polisi, dan mengatakan anak yang terluka dan dirawat di sini!" terang Rima.Sang suster langsung menganggukan kepalanya dan meminta ijin pada temannya untuk mengantarkan Rima."Baik, mari saya antar," ujar suster tanpa memberikan kesempatan temannya berbicara.Rima dan suster tersebut melewati jalanan yang tadi sudah dilewati oleh Rima, wanita itu agak heran, mengapa dirinya tidak bisa menemukan di kamar rawat yang memiliki
Matanya menatap seluruh tubuh sang anak yang sebagian diperban dan ditutupi oleh selimut dari rumah sakit. Tangan Rima makin bergetar, ketika dia ingin menyentuh anaknya.Tangis Rima terdengar pilu, sesekali dia memukul dadanya yang terasa sangat sesak. Rima mencoba melegakannya dengan cara memukulnya. Dengan tangan yang masih gemetar, Rima mengambil ponsel miliknya dan menghubungi seseorang. Dia tidak kuat, jika harus menanggungnya seorang diri, seperti keinginanya.***[Halo, Mas. Kapan kamu pulang?] Tanya Rima, saat panggilannya tersambung.[Ada apa, sayang? Suaramu kok aneh, oya, aku sudah melihat hadiah terbaik darimu. Terima kasih sudah memberikan hadiah istimewa, ketika aku harus menghadapi hari yang sangat melelahkan.]James benar-benar tidak memberikan kesempatan pada Rima untuk menjelaskan apa yang terjadi saat ini.Rima tidak menjawab apa yang ditanya oleh James, dia langsung memutuskan panggilan telepon begitu saja. Rima duduk di lantai dan menangis tersedu-sedu, tanpa b
Bu Rina dan Bu Halimah sudah sampai di rumah sakit dan langsung menuju ke ruangan yang telah di arahkan oleh suster jaga dan polisi yang kebetulan ada di dekat meja sang suster."Ada apa sebenarnya, Pak?" tanya Bu Halimah khawatir.kegelisahan dan kebingungan dari dua wanita paru baya itu sangat terlihat dengan jelas di wajah mereka. Tentu saja, ini membuat polisi yang mengantarkan mereka menjadi iba."Mari," ajak polisi tersebut. "Ibu akan mengerti setelah ada di alam," sahutnya.Pintu ruang rawat dibuka, dan nampak sesorang sedang terbaring tidak berdaya di atas ranjang dengan berbagai alat medis di tubuhnya. Bu Halima dan Bu Rina bergegas mendekat, tapi hanya bisa memandang tanpa berani menyentuh."Rima," panggil Bu Halimah ragu.Namun, Bu Rina memajukan langkanya dengan tangan terulur yang gemetaran. "Sherly," pekiknya.Bu Rina dapat mengenali remaja yang berada di ranjang itu, meskipun wajahnya babak belur. Dia mendekati cucunya yang tidak berdaya.Sedangkan Bu Halimah diam ter
Bu Halimah memandang anaknya dengan tatapan iba, bagaimana dia akan bertanya tentang kehamilan anaknya disituasi berat begini. [Rima baik-baik saja. kamu kapan bisa pulang, Nak?] [Pekerjaan sudah selesai lebih cepat, Bu. Sekarang saya seang dalam perjalanan, perasaan saya tidak enak saat ini, jadi memutuskan untuk langsung pulang. oya, Bu. Boleh saya bicara dengan Rima?] Permintaan James membuat wanita paruh baya itu dilema, meski dia senang mendengar, jika James akan segera pulang. Namun, Bu Halimah bingung harus menyampaikan permintaan menantunya, saat melihat sang anak masih termenung dalam kesedihan. [Lebih baik kamu langsung pulang, Rima lagi sedikit mual-mual. kamu hati-hati, ya, di jalan. Banyak orang yang bergantung padamu, termasuk Rima.] Bu Halimah berusaha menyembunyikan perasaan sedihnya, berharap semua kan baik-baik saja. Setelah sedikit berbincang, Bu Halimah mengakhiri panggilan telepon. Setitik airmata, turun perlahan di wajahnya yang mulai dipenuhi dengan keriput.
Bu Halimah mengambil tangan besannya, dan dia genggam dengan erat. "Saya juga minta maaf, Besan. Saya tidak bisa memposisikan diri," balas Bu Halimah merendah."Nak, kamu yang menemui dokter, ya," pinta Bu Rina pada sang menantu.Rima mengangguk patuh, dan mengikuti suster menuju ruang dokter, tanpa sepatah kata."Silahkan, Bu," ujar suster, mempersilahkan Rima untuk masuk ke dalam ruangan dokter.Rima hanya mengangguk sebagai ucapan terima kasih. "Permisi, Dok. Ini Ibu dari Sherly," ujar sang suster."Silahkan duduk, Bu." Dokter meminta Rima untuk duduk di kursi yang ada di depannya. "Apakah ibu sendirian?" tanya dokter kemudian.Rima mengangguk, dan tersenyum miris. Bukan menampakan kebahagian, tapi kepedihan yang mendalam. Setelah menarik napas panjang, Rima mulai bertanya."Ada apa dengan anak saya, Dok. Apakah ada hal yang sangat patal, sehingga banyak alat medis di tubuhnya?" tanya Rima.Kali ini dokter yang menarik napas panjang dan berat, lalu menghembuskannya secara perlahan
"Malanjutkan yang tadi, Bu Rima. Ibu sebaiknya membuat laporan resmi kepada Pak Irawan, agar kasus anak ibu bisa segera ditangani," saran dari dokter. "Sherly mendapatkan perlakuan serius dari para tersangka, dan saat ini memerlukan perhatian juga penanganan yang sangat seriu. Ibu pun harus didampingi suami atau keluarga yang lainnya," imbuh dokter.Rima menarik napas panjang, dan mencondongkan tubuhnya ke depan. "Apa dokter yakin, anak saya diperkosa?" tanya Rima dengan nada serius."Ekhm!" sang dokter berdehem.Tidak langsung menjawab, dokter yang ada di depan Rima membenarkan posisi duduknya. Melipat tangannya, dan terbatuk ."Jika diperkosa, maka yang melakukannya hanya satu atau dua kali saja. Akan tetapi, kemaluan anak ibu sobek dan ...," kembali sang dokter berdehem. "Anak ibu dirudapaksa dan di aniaya," lanjuta sang dokter.Mata Rima melotot, sendi di kakinya terasa sangat lemah, bahkan tubuhnya tidak merespon ketika dia ingin bergerak. Dunia Rima runtuh seketika, padahal dia
"Benaran, Rima hamil?" tanya Bu Rina ulang.Bu Halimah mengangguk, sedangkan Bu Rina sangat bahagia, terliat dari matanya yang berbinar dan wajahnya yang berseri-seri. Sejenak dia melupakan kepedihan cucunya yang lain."Tapi situasi ini tidak mendukung sama sekali!" lirihnya dengan kecewa, bukan karena kehamilan putrinya, tapi karena situasi yang sangat fatal untuk keluarga besar mereka.Bu Rina langsung memeluk besannya, harapan mereka berdua sama. Hidup tenang bersama anak dan cucu-cucu mereka.Di tengah kabar bahagia dan duka, james datang dengan tergesa-gesa dan langsung menuju kamar anaknya, Sherly."Bu," sapa James, ketika sampai di dalam ruangan anaknya dan melihat ibu serta mertuanya saling berpelukan.Bu Hlimah dan Bu Rina mengurai pelukan merekan dan menatap ke arah james yang terlihat kelelahan."Ada apa, Bu. Setelah ibu telepon, aku langsung pulang dan beruntungya ada penunpang yang membatalkan tiket pesawatnya." James berkisah."Ibu juga belum tahu apa-apa, Nak. Tadi Rim