Share

Pembalasan Istri untuk Suami Pengkhianat
Pembalasan Istri untuk Suami Pengkhianat
Author: DeealoF3

Anak yang Diharapkan

"Mas. Aku datang bulan."

Kania langsung menangis di pelukan Dika. Ini sudah hari ke tujuh ia terlambat datang bulan. Padahal Kania sangat berharap bahwa ia hamil, tapi pagi itu harapannya hancur berantakan.

"Sabar, Dek. Mungkin belum saatnya, yang penting kita tidak menyerah dan terus berusaha." Dika berusaha menenangkan. Sambil merangkul bahu sang istri ia mengajak Kania duduk di tepi ranjang.

"Iya, Mas." ucap Kania lesu. "Maafin aku ya karena belum bisa jadi istri yang sempurna buat kamu."

"Stss. Jangan ngomong gitu. Aku nggak nyalahin kamu. Emang kitanya aja yang belum dipercaya Tuhan."

Pernikahan Kania dan Dika sudah berjalan tiga tahun, tapi Kania belum juga hamil. Mereka juga sudah melakukan konsultasi ke banyak dokter spesialis dan sudah melakukan berbagai cara yang dianjurkan oleh banyak orang guna mendapatkan keturunan.

Sampai akhirnya, suatu malam Kania berpikir untuk menyerah. Ia tidak lagi berambisi untuk melahirkan bayi dari rahimnya sendiri.

"Mas."

"Kenapa, Dek?" kata Dika yang baru selesai mandi. Aroma lidah buaya yang menguar dari rambut suaminya membuat Kania sejenak terpesona akan ketampanan wajah Dika.

"Duduk sini dulu, deh." Kania menepuk sisi kosong di atas ranjang. "Aku punya permintaan, tapi Mas janji enggak boleh marah, ya." Wajar, karena sebelumnya Dika sempat menolak keras saat Kania meminta hal serupa.

"Permintaan apa? Adek mau kita jalan-jalan ke luar negeri lagi?"

"Enggak, Mas, bukan itu. Tapi ...." Kania menghela napas. "Aku mau adopsi anak," ucap Kania yang ditanggapi Dika dengan gelengan pelan. "Aku tahu Mas juga sangat menginginkannya kan?"

Dika mengusap pelan rambut istrinya sambil tersenyum. "Iya, aku sangat ingin, tapi aku ingin anak yang berasal dari sini. Bukan anak orang lain," katanya sambil mengusap lembut perut Kania. "Tapi kalau Tuhan belum memberikan kita kepercayaan, ya gimana lagi? Kita kan juga sudah berusaha."

"Tapi, Mas, sudah banyak cara yang kita lakukan. Sudah tiga tahun! Ibumu di kampung juga hampir setiap bulan bertanya tentang datang bulanku. Mas pikir aku nggak stress?" ucap Kania dengan suara yang hampir menangis.

"Dek, wajarlah ibu begitu. Nggak usah diambil hati. Mas akan anak pertama, jadi dia sangat mengharap cucu dari Mas."

"Makanya itu, Mas. Ayo kita adopsi aja. Adopsi anak itu nggak melulu bermasalah, kok. Kita bisa cari bayi yang baru lahir dan menyelidiki asal usul orang tuanya. Aku yakin tidak akan mengurangi rasa kasih sayang kita ke dia. Aku juga sudah banyak tanya ke teman-temanku yang lain, di mana kita bisa dapat anak adopsi dengan asal usul keluarga yang bisa dipercaya."

Dika tidak langsung menjawab. Ia hanya menarik napas dalam berulang kali dan memandang lurus ke depan, menghindari tatapan memelas istrinya.

"Gimana, Mas? Boleh, kan?"

"Adek yakin? Biar bagaimanapun mengurus anak orang lain, dan anak yang kamu lahirkan dari rahim sendiri itu pasti beda."

"Yakin, Mas." Lagipula aku nggak mau dihantui rasa bersalah terus-terusan. Baik sama kamu maupun sama ibumu. Aku ingin sedikit saja memberikan kebahagiaan untukmu dan aku rasa anak itulah yang bisa membuatmu bahagia, lanjut Kania dalam hati.

"Nanti mas pikirkan."

"Jangan lama-lama, ya, Mas. Aku pengen cepet-cepat menimang bayi."

Dika kembali mengusap lembut kepala Kania. "Sekarang kamu istirahat dulu, ya. Tidur duluan aja. Aku masih ada kerjaan."

"Iya, Mas," ucap Kania sambil merebahkan tubuhnya dan menarik selimut.

Setelah mencium kening Kania dan memastikan kalau istrinya itu sudah terlelap, Dika meninggalkan kamar mereka dan menuju ke ruang kerjanya. Di sana Dika mengambil ponsel dari dalam lacinya dan menghubungi seseorang.

"Halo, Sayang. Udah tidur? Gimana Aksara?"

***

Satu minggu berlalu, Dika akhirnya menyetujui permintaan Kania untuk adopsi anak. Ia pun mengajak istrinya itu ke sebuah yayasan yatim piatu yang sudah ia pilih.

"Gimana, Pak, Bu? Bayi ini baru dilahirkan dan beberapa hari lalu dia saya temukan dalam keranjang bayi di depan pintu yayasan. Miris memang. Di negara ini masih saja banyak kasus serupa. Tanpa ada tindakan dari pihak berwenang untuk mencegah kasus penelantaran bayi yang tidak diinginkan seperti ini," ucap wanita bersafari hitam. Ia menyertakan nada kasih yang cukup besar dalam kalimatnya yang terakhir.

"Tampan ya, Mas? Aku suka," kata Kania seraya pandangannya terpancang pada bayi lelaki di depannya. Sejenak kemudian ia memutar kepalanya ke arah sang suami. Keinginannya untuk membahagiakan Dika mencapai puncak Rinjani, hingga tidak perlu berpikir dua kali saat Dika mengajaknya ke Yayasan Sayap Ibu: yayasan yatim piatu yang tidak jauh dari kediaman mereka.

Dika tersenyum hangat seraya merangkul bahu Kania. "Kami mau bayi ini, Bu."

Atas usulan Dika, mereka menamai bayi lelaki itu Aksara. Bayi yang diharap bisa membuat rumah tangga Kania dan Dika semakin dilimpahi kasih sayang dan kesetiaan.

Satu bulan sudah Aksara menjadi bagian dari keluarga Dika dan Kania. Kania begitu menyayangi bayi itu selayaknya anak sendiri. Begitu pula dengan Dika. Lelaki itu bahkan sering berada di rumah. Namun, lambat laun Kania dihantui prasangka karena semakin lama anak itu kian mirip dengan Dika.

"Kenapa dia mirip sekali sama Mas Dika? Seperti anak kandungnya." Selalu itu yang ada dalam kepala Kania. Namun, Kania lekas menepis prasangkanya. Ia merasa tidak ada alasan untuk mencurigai sang suami. Toh, selama ini Dika selalu bersikap baik, manis dan begitu mencintainya. Bahkan, setelah bayi itu hadir, sikap Dika pada Kania semakin romantis.

Tangisan Aksara yang baru bangun tidur membuat Kania tersentak. Dengan cepat dia menimang Aksara lalu membawanya ke dapur. "Kamu haus, ya? Sebentar mama buatkan susu, ya."

Tak lama ponsel Kania berbunyi. Sambil menggendong Aksara, wanita itu lekas mengangkatnya. Ia pun tersenyum saat nama Nisya muncul. di layar. Tak berlama-lama, Kania langsung menarik tombol hijau ke atas.

"Halo, Sya. Akhirnya kamu nelpon. Ke mana aja sih? Udah lama ngilang. Ditelponin juga nggak bisa-bisa."

Di ujung telpon, sahabat baik Kania itu tertawa masam. "Sorry, Kan. Aku baru balik dari kampung. Ada banyak urusan di sana. Di sana kan sinyal juga susah. Eh, apa kabar kamu?"

"Baik. Eh Nis, ke sini, dong. Ada yang mau aku kenalin," ucap Kania bersamaan dengan tangisan Aksara yang kembali pecah.

Nisya mendadak diam, tapi dia lekas kembali bicara. "Kan, itu bayi siapa?"

"Anakkulah. Makanya ke sini, nanti aku kenalin. Eh, Sya, udahan dulu, ya. Mau bikin susu dulu, ni." Setelah mengucap salam, Kania langsung memutus panggilan.

Setelah telpon terputus, Nisya bersandar di kursi sambil menggigit bibir. Ia lalu tertawa sumbang dengan kedua sudut mata yang sudah berair.

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status