共有

Setelah Foto Kini Video

作者: CheRy
last update 最終更新日: 2023-07-07 01:19:44

Bagai dihantam godam besar ke dada, aku merasa hancur berkeping. Mas Reno mengusirku dari rumah ini?

"Tidak, Mas! Malaya nggak mau! Ini semua salah paham. Itu bukan Malaya. Pasti ada seseorang yang menginginkan kehancuran rumah tangga kita! Demi Allah dan Rasul-Nya. Malaya berani bersumpah! Malaya tak pernah mengkhianati cinta kita. Malaya—"

"Cukup! Kau tak perlu menjelaskan apa pun lagi. Semua bukti sudah jelas di foto-foto itu! Bahkan, aku juga sudah melihat video mesum kamu, Malaya! Aku ma-lu! Sangat malu dan jijik melihatnya!"

Lagi. Ragaku bagai tersetrum ribuan volt saat Mas Reno berkata demikian. Tadi foto, sekarang ia bilang video mesum? Bisa gila diri ini jika terus-terusan dicecar dengan dosa yang tak pernah kulakukan sama sekali.

"Video? Video apa lagi, bangsat!? Video appa!!! Huhu." Aku bertambah kalap. Tak memedulikan bahasa apa yang keluar dari mulutku. Pun, tak memedulikan lagi bila putriku terganggu dari tidurnya. Sebah di dada yang tak tertahankan lagi membuatku ingin menjerit lepas. Air mata semakin tumpah ruah. Ingin rasanya aku menjambak rambut dan mencakar wajah pria itu.

Selama hidup bisa dihitung dengan jari, bahkan bisa dipastikan aku tak pernah sekali pun berbicara sembari membentak, berteriak, atau yang membuat urat leher timbul. Mama mengajarkanku menjadi seorang wanita yang penuh kelembutan, sopan santun pada siapa pun, apalagi kepada suami sendiri. Jika marah atau pun kesal pada sesuatu aku lebih banyak diam untuk menetralkan rasa. Tapi malam ini, semua pengajaran mama hilang tak berbekas.

Kami berdua saling mencintai. Cinta Mas Reno begitu besar untukku dan Qairen, putri semata wayang kami yang saat ini sudah berumur satu tahun setengah. Bagaimana mungkin aku berkhianat dan melakukan perbuatan tak senonoh hingga mempunya bukti foto dan video?

"Huaaaaa haaaa. Aamaaaa."

Pikiranku tentang foto dan video terputus, dikarenakan Qairen yang tiba-tiba saja menangis histeris. Putriku pasti kaget demi mendengar jerit spontan mamanya karena memang suara yang kuhasilkan benar-benar memekakkan telinga siapa pun yang mendengar.

Cetar!

Duar!

"Huaaaa aaaaa. Ammaaaa, aaaa."

Suara langit ikut menambah tangisan Qairen. Kilatan cahaya sesaat berkedip disusul dengan suara menggelegar. Suhu udara juga menurun—sejuk. Kemungkinan hujan lebat akan turun membasahi bumi.

Setengah berlari, kutuju pembaringan di mana putriku sudah duduk dengan bertopang tangan ke depan. Menggendongnya perlahan karena telapak tanganku masih berdenyut sakit. Tak memedulikan bajuku yang lembab gadis kecil itu kugendong di balik pundak berusaha untuk menenangkan dengan menepuk-nepuk pantat kecilnya

"Cup cup cup. Sayangnya Mamaaa. Qairen kaget ya. Oooh, Qairen putri pintar dan solehanya Mamaaa. Cup cup us us us. Maafin Mama ya, Sayang," kataku mencoba menghentikan tangisannya sedangkan isak tangisku masih ingin menguasai.

"Kita buat susu ya!" bujukku dalam isak seraya berlalu ke luar dari kamar menuju dapur.

Kutinggalkan Mas Reno yang masih memaku di depan meja rias. Biarlah aku menenangkan Qairen terlebih dahulu. Pun sekalian sibuk menenangkan hati sendiri dari sang suami. Ini masalah besar. Semua harus ditangani dengan kepala dingin. Aku yakin, Mas Reno masih emosi dengan foto editan itu, hingga tak sadar dengan apa yang ia lakukan.

Ya, suami mana yang tak akan marah demi melihat foto-foto menjijikkan istrinya dengan lelaki lain. Terlebih pula cinta lelaki itu begitu besar untukku. Namun, siapa yang telah tega menciptakan bara api di rumah tangga kami ini? Kuyakinkan diri bila tak mempunyai musuh, apalagi seseorang yang begitu membenci hingga tega berbuat seperti ini pada keluarga kecil kami yang bahagia. Ya Allah, tunjukkan kebenaran dari semua permasalahan ini.

Seraya menggendong Qairen, air panas dan dingin di dispenser kucampur agar segera hangat kuku. Ini disebabkan air yang kuperuntukan untuk susu putriku itu telah habis disiram Mas Reno ke wajahku tadi.

Sebenarnya aku tak suka membuatkan susu dengan air campuran dingin dan panas. Aku lebih suka menghangatkan air yang benar-benar panas. Entah mengapa, dalam pikiranku air yang dicampur dengan suhu yang berbeda tak baik buat putriku. Jadi, sebelum Qairen menangis meminta susu, air telah kusediakan sebelumnya karena tahu kapan jadwal ia akan meminta susu.

Qairen anteng dalam gendongan. Susu di botol ia sesap tanpa jeda. Biasanya ia akan kuberi dodot sambil menidurkannya di atas ranjang kamar. Tapi saat ini, aku lebih memilih menggendongnya dengan duduk di ruang makan. Setengah jam berlalu putri cantikku kembali nyenyak.

Mas Reno masih berada di dalam kamar Aku ingin menuntaskan permasalahan ini di sana. Jika Qairen kutidurkan di kamar kami, bisa jadi tidurnya akan terganggu lagi seperti tadi.

Tak ingin kejadian seperti tadi, aku memilih kamar di sebelah, kamar yang memang kami peruntukan untuk Qairen kelak. Tubuh kecil itu menggeliat lucu ketika dibaringkan. Pantatnya kutepuk pelan agar ia tak lagi merengek. Melihat ia yang sudah kembali nyenyak, pintu kututup rapat. Aku tak sangsi bila nanti ia menangis pasti tetap kedengaran karena suara tangisan dari Qairen mampu membuat seluruh rumah bergetar.

Kulangkahkan kaki menuju di mana Mas Reno berada. Tampak pria itu sedang menelepon seseorang. Ia tak sadar jika aku sudah berada di dalam kamar ini. Pria itu tetap asyik bertelepon dengan menghadap ke arah jendela.

"Ya, beri aku bukti yang lain untuk menguatkan! Oke, baik!"

この本を無料で読み続ける
コードをスキャンしてアプリをダウンロード

最新チャプター

  • Pembalasan Manis untuk Para Pengkhianat   Part 28

    "Bukankah Dokter Aslan sedang di luar kota, ya, Om?" tanyaku begitu nama dokter itu disebutkan.Bayang-bayang akan penglihatanku atas dirinya di rumah sakit tadi menghantarkan pada pikiran negatif. "Luar kota?" Om Abi membeo akan pertanyaanku. "Iya, Om tidak tau?" balasku. "Ck! Iya, mungkin Om kamu lupa. Iya, iya, Dokter Aslan udah balik dari luar kota. Baru aja. Tadi ... Tante sendiri yang memintanya untuk kemari," jelas Tante Nilam mengubah nada suaranya menjadi lebih lembut. "Oh, ya udah. Kalau begitu Malaya mau memeriksa jasad mama dulu. Mari, Om, Tante."Kusudahi membaur dengan mereka. Selanjutnya aku menuju jasad mama yang telah ditutupi lebih banyak lagi kain jarik. Kusentuh kaki membujur itu pelan-pelan. Mama ... maafkan Malaya. Karena Malaya, sampai membuat mama seperti ini. Bu Laila menatapku iba, begitu juga kedua wanita yang masih setia berada di sebelahnya. "Bu, maafkan saya, ya," ucapku pada ketua pemandi jenazah itu. Aku merasa jika sikap dan perkataanku yang men

  • Pembalasan Manis untuk Para Pengkhianat   Part 27

    "Oh, tadi saya lihat sama Non Syafira di taman samping, Non. Coba lihat dulu, mana tau masih di sana," jawabnya. "Baik, terima kasih, ya," ucapku lagi. "Sama-sama, Non," balasnya. Aku berpindah ke samping rumah. Kediaman mamaku memang begitu besar. Setiap sudut dipenuhi dengan berbagai aneka bunga bermacam warna. Di taman belakang tumbuh berbagai pohon buah dan pohon peneduh. Seperti pohon mangga, pohon rambutan, pohon ketapang, dan beberapa pohon lain yang aku lupa namanya. Kata mama, dulu—ia sendiri yang menanam dan merawatnya hingga sampai sesempurna ini. Ah, itu dia. Ternyata, putri kecilku memang sedang bersama tantenya—Syafira. Mereka menikmati gemercik air pancur yang diperuntukan untuk kolam ikan mas Koi kesayangan almarhum papa. Tawa dan canda terlihat dari raut dan bibir mereka. Aku berniat mendatangi keduanya melalui lorong yang menghubungkan kamar para pembantu dengan taman di mana gadis beda generasi itu berada. "Kenapa kamu ikutan bersuara di sana, Naina! Bagaimana

  • Pembalasan Manis untuk Para Pengkhianat   Part 26

    "Maaf, ibu dan bapak-bapak sekalian. Dengan tidak mengurangi rasa hormat dari pihak ahli bait, sebaiknya kita semua kembali ke depan saja. Biarkan masalah ini ditangani dan diselesaikan dulu oleh pihak keluarga. Mari semuanya!"Pak RT berinisiatif membubarkan para pelayat yang masih memenuhi ruangan. Di ujung sana, tampak Bu Laila dan kedua temannya begitu kerepotan saat menjawab tanya dari beberapa ibu-ibu pelayat. Dapat kurasakan tatapan aneh dari berpuluh pasang mata itu setelah mungkin mendapatkan jawaban dari para pemandi jenazah itu. Bisik-bisik menjadi pelengkap. Ibarat sebuah hidangan di atas meja, akulah yang dijadikan menu utamanya. "Ayo bapak dan ibu sekalian, kita menunggunya di depan saja!" ulang Pak RT memberi perintah dan ajakan pada mereka yang masih terlihat enggan untuk meninggalkan tempat asal keributan. Kemungkinan tak enak hati untuk tak mengindahkan titah orang berpengaruh di lingkungan ini, akhirnya pada pelayat berangsur-angsur beranjak. Walaupun demikian, a

  • Pembalasan Manis untuk Para Pengkhianat   Part 25

    "Sialan kau! Berani-beraninya ikut campur urusan ma-ji-kan! Singkirkan tanganmu itu dariku! Atau ... kau akan menyesal saat ini juga!" perintah Mas Reno dengan menekanan kata 'majikan' untuk lelaki yang juga berstelan koko itu—Norman."Saya nggak akan ikut campur, Tuan Reno, andaikan anda bisa memperlakukan Non Malaya dengan lebih manusiawi!" sahut lawan bicara dari putra kebanggaan mama Chintya itu. Ucapannya terdengar santai. Namun, tegas di telinga. "Lancang! Kau itu hanya seorang jo-ng-os di rumah ini! Tak pantas menceramahiku!"DegMas Reno, tega sekali bibirnya mengeluarkan kata-kata itu. Bagai orang tak beradab, begitu entengnya ia mencela orang lain hanya karena status pekerjaan. Hei, apa pria itu lupa dengan status yang pernah ia sandang dahulu? Ya, status yang hampir sama persis dengan lelaki yang barusan ia hina. Mas Reno benar-benar telah mengubah sifat dan perangainya. Sifat dan perangai yang dulu begitu kubanggakan di dirinya kini telah memudar. Seiring memudarnya cint

  • Pembalasan Manis untuk Para Pengkhianat   Part 24

    "Apa-apaan kamu ini, Malaya? Kamu udah nggak waras, ya? Permintaan kamu itu sungguh gila. Mama udah meninggal. Kenapa harus mempersulit lagi?!"Aku membalikkan badan ke aska suara. Tak tahu darimana, tiba-tiba Mas Reno muncul. Tak segan, pria itu mengataiku gila dan tak waras di tengah keramaian dengan suara keras. Namun, aku tak ambil pusing. Kuanggap ucapannya hanya sebatas angin lalu yang tak ada faedahnya. Kembali badan kubalikkan ke arah papa tiriku. "Bagaimana, Om? Om setuju, kan, kita bawa lagi mama ke rumah sakit sekarang?" ucap dan tanyaku mengulang keinginan pada lelaki yang bergelar suami kedua mamaku itu. "Kamu ini memang benar-benar sudah gila, ya!" tukas Mas Reno sambil memaksa tubuhku untuk kembali melihat ke arahnya dengan penuh amarah. Amarah yang tersulut karena aku tak mengindahkan perkataannya tadi. Mungkin! Terlihat jelas jika pria itu menolak usulanku mentah-mentah. Padahal, aku tak meminta pendapatnya sama sekali. "Ay ...."Om Santo akhirnya membuka mulut. Na

  • Pembalasan Manis untuk Para Pengkhianat   Part 23

    Apa putriku bersama papanya? Atau dengan Om Santo? Otakku langsung terhubung kembali pada dua nama tersebut. "Tadi sama Tuan Reno, Non. Non Qai endak mau dipegang siapa-siapa kecuali ama papanya," jawab Mbok Lani terlihat tak enak hati. Raut wajahnya menyirat rasa bersalah. Aku terdiam sebentar."Yaudah, gak papa, kok, Mbok. Saya hanya khawatir aja. Takut anak itu merengek kayak di rumah sakit tadi kalau sama orang lain. Tapi kalau sama papanya, bagus lah," timpalku berusaha bersikap sewajarnya.Entahlah. Padahal kalau boleh jujur, aku sedikit gelisah saat tahu Qairen bersama pria itu. Pria yang meragukan darah dagingnya sendiri. Terlihat tubuh mama sudah diletakkan di atas meja khusus untuk memandikan mayit. Bu Laila, yang kuketahui selaku ketua dalam seluruh proses pardu kifayah jenazah di lingkungan kami melakukan tugasnya.Dimulai dengan doa memandikan jenazah, lalu mengguyur tubuh mama dengan air wewangian beberapa kali. Dilanjutkan dengan memberi sabun. Mengguyur air kembali

続きを読む
無料で面白い小説を探して読んでみましょう
GoodNovel アプリで人気小説に無料で!お好きな本をダウンロードして、いつでもどこでも読みましょう!
アプリで無料で本を読む
コードをスキャンしてアプリで読む
DMCA.com Protection Status