Bagai dihantam godam besar ke dada, aku merasa hancur berkeping. Mas Reno mengusirku dari rumah ini?
"Tidak, Mas! Malaya nggak mau! Ini semua salah paham. Itu bukan Malaya. Pasti ada seseorang yang menginginkan kehancuran rumah tangga kita! Demi Allah dan Rasul-Nya. Malaya berani bersumpah! Malaya tak pernah mengkhianati cinta kita. Malaya—""Cukup! Kau tak perlu menjelaskan apa pun lagi. Semua bukti sudah jelas di foto-foto itu! Bahkan, aku juga sudah melihat video mesum kamu, Malaya! Aku ma-lu! Sangat malu dan jijik melihatnya!"Lagi. Ragaku bagai tersetrum ribuan volt saat Mas Reno berkata demikian. Tadi foto, sekarang ia bilang video mesum? Bisa gila diri ini jika terus-terusan dicecar dengan dosa yang tak pernah kulakukan sama sekali."Video? Video apa lagi, bangsat!? Video appa!!! Huhu." Aku bertambah kalap. Tak memedulikan bahasa apa yang keluar dari mulutku. Pun, tak memedulikan lagi bila putriku terganggu dari tidurnya. Sebah di dada yang tak tertahankan lagi membuatku ingin menjerit lepas. Air mata semakin tumpah ruah. Ingin rasanya aku menjambak rambut dan mencakar wajah pria itu.Selama hidup bisa dihitung dengan jari, bahkan bisa dipastikan aku tak pernah sekali pun berbicara sembari membentak, berteriak, atau yang membuat urat leher timbul. Mama mengajarkanku menjadi seorang wanita yang penuh kelembutan, sopan santun pada siapa pun, apalagi kepada suami sendiri. Jika marah atau pun kesal pada sesuatu aku lebih banyak diam untuk menetralkan rasa. Tapi malam ini, semua pengajaran mama hilang tak berbekas.Kami berdua saling mencintai. Cinta Mas Reno begitu besar untukku dan Qairen, putri semata wayang kami yang saat ini sudah berumur satu tahun setengah. Bagaimana mungkin aku berkhianat dan melakukan perbuatan tak senonoh hingga mempunya bukti foto dan video?"Huaaaaa haaaa. Aamaaaa."Pikiranku tentang foto dan video terputus, dikarenakan Qairen yang tiba-tiba saja menangis histeris. Putriku pasti kaget demi mendengar jerit spontan mamanya karena memang suara yang kuhasilkan benar-benar memekakkan telinga siapa pun yang mendengar.Cetar!Duar!"Huaaaa aaaaa. Ammaaaa, aaaa."Suara langit ikut menambah tangisan Qairen. Kilatan cahaya sesaat berkedip disusul dengan suara menggelegar. Suhu udara juga menurun—sejuk. Kemungkinan hujan lebat akan turun membasahi bumi.Setengah berlari, kutuju pembaringan di mana putriku sudah duduk dengan bertopang tangan ke depan. Menggendongnya perlahan karena telapak tanganku masih berdenyut sakit. Tak memedulikan bajuku yang lembab gadis kecil itu kugendong di balik pundak berusaha untuk menenangkan dengan menepuk-nepuk pantat kecilnya"Cup cup cup. Sayangnya Mamaaa. Qairen kaget ya. Oooh, Qairen putri pintar dan solehanya Mamaaa. Cup cup us us us. Maafin Mama ya, Sayang," kataku mencoba menghentikan tangisannya sedangkan isak tangisku masih ingin menguasai."Kita buat susu ya!" bujukku dalam isak seraya berlalu ke luar dari kamar menuju dapur.Kutinggalkan Mas Reno yang masih memaku di depan meja rias. Biarlah aku menenangkan Qairen terlebih dahulu. Pun sekalian sibuk menenangkan hati sendiri dari sang suami. Ini masalah besar. Semua harus ditangani dengan kepala dingin. Aku yakin, Mas Reno masih emosi dengan foto editan itu, hingga tak sadar dengan apa yang ia lakukan.Ya, suami mana yang tak akan marah demi melihat foto-foto menjijikkan istrinya dengan lelaki lain. Terlebih pula cinta lelaki itu begitu besar untukku. Namun, siapa yang telah tega menciptakan bara api di rumah tangga kami ini? Kuyakinkan diri bila tak mempunyai musuh, apalagi seseorang yang begitu membenci hingga tega berbuat seperti ini pada keluarga kecil kami yang bahagia. Ya Allah, tunjukkan kebenaran dari semua permasalahan ini.Seraya menggendong Qairen, air panas dan dingin di dispenser kucampur agar segera hangat kuku. Ini disebabkan air yang kuperuntukan untuk susu putriku itu telah habis disiram Mas Reno ke wajahku tadi.Sebenarnya aku tak suka membuatkan susu dengan air campuran dingin dan panas. Aku lebih suka menghangatkan air yang benar-benar panas. Entah mengapa, dalam pikiranku air yang dicampur dengan suhu yang berbeda tak baik buat putriku. Jadi, sebelum Qairen menangis meminta susu, air telah kusediakan sebelumnya karena tahu kapan jadwal ia akan meminta susu.Qairen anteng dalam gendongan. Susu di botol ia sesap tanpa jeda. Biasanya ia akan kuberi dodot sambil menidurkannya di atas ranjang kamar. Tapi saat ini, aku lebih memilih menggendongnya dengan duduk di ruang makan. Setengah jam berlalu putri cantikku kembali nyenyak.Mas Reno masih berada di dalam kamar Aku ingin menuntaskan permasalahan ini di sana. Jika Qairen kutidurkan di kamar kami, bisa jadi tidurnya akan terganggu lagi seperti tadi.Tak ingin kejadian seperti tadi, aku memilih kamar di sebelah, kamar yang memang kami peruntukan untuk Qairen kelak. Tubuh kecil itu menggeliat lucu ketika dibaringkan. Pantatnya kutepuk pelan agar ia tak lagi merengek. Melihat ia yang sudah kembali nyenyak, pintu kututup rapat. Aku tak sangsi bila nanti ia menangis pasti tetap kedengaran karena suara tangisan dari Qairen mampu membuat seluruh rumah bergetar.Kulangkahkan kaki menuju di mana Mas Reno berada. Tampak pria itu sedang menelepon seseorang. Ia tak sadar jika aku sudah berada di dalam kamar ini. Pria itu tetap asyik bertelepon dengan menghadap ke arah jendela."Ya, beri aku bukti yang lain untuk menguatkan! Oke, baik!"Mas Reno berbalik badan. Ia tampak kaget melihatku yang sudah berdiri di antara baju dan barang pribadi yang telah berserak akibat ulahnya tadi. "Mas, mari kita bahas semuanya dengan kepala dingin," kataku mencoba berucap dengan nada yang lembut. "Tidak Malaya. Tak ada yang perlu kita bahas lagi untuk ke depannya. Seribu kesalahanmu masih bisa aku maafkan, tapi jika masalah rumah tangga sudah berkaitan dengan perselingkuhan, aku tak akan sudi untuk berdamai. Tak ada kata tolerir untuk pengkhianatan! Kau jelas-jelas telah berselingkuh di belakangku dengan lelaki lain. Bahkan, sampai sanggup tidur dengannya. Berbagi peluh, berbagi erangan, berbagi kenikmatan!" ucapnya dengan nada tak se-menggebu-gebu tadi, tetapi penuh penekanan tegas di indra pendengaran. "Dari mana mas mendapatkan semua foto-foto menjijikkan itu?!" tanyaku akan asal usul foto jahanam yang menjadi bukti kuat Mas Reno menuduhku telah berselingkuh. "Dari mananya foto-foto itu kamu tak perlu tahu, Malaya," balas Mas R
Suamiku terus memaksa hingga berhasil membawaku berdiri dengan tangan yang masih menjambak. Sementara aku berusaha menguatkan pertahanan dengan mengeraskan tubuh di lantai. Tapi apa daya, tenagaku tak sebanding dengan tenaga lelaki itu. Dua kali hentakan dan tarikan di tangan ia berhasil membuatku berpindah posisi. "Sakit, Mas. Hentikan!" jeritku meminta. Akan tetapi, ayah dari putriku itu benar-benar tak ada rasa iba dan peduli. Ia terus saja membawaku hingga sampai di depan pintu utama.Darah kembali membasahi kasa yang membungkus luka. Mas Reno menghentikan perbuatannya sesaat untuk membuka pintu. Begitu benda ber-engsel itu terbuka tangan ini di tarik lagi hingga kami berdua berada di teras. Bruk! "Aaw," teriakku kesakitan. Hujan lebat disertai petir menyambut tubuhku yang didorong paksa oleh Mas Reno, hingga terjatuh di lantai berbaping block. Rintik air hujan laksana jarum yang dengan leluasa menembus hijab dan piyama. Lutut seketika perih, tapi aku gegas bangkit mencoba berl
Bagaikan besi panas yang ditancap ke ubun-ubun, otak langsung pecah. Begitulah yang kurasakan. Dengan entengnya bibir sang kekasih hati mengutarakan keraguan dari buah cinta kami. Sehina itukah diriku di matanya? Aku menghentikan tangan yang hendak mengangkat Qairen, berbalik badan dan menyeret langkah untuk mendekati papa dari anakku itu. Dengan pasti telapak tangan yang terluka naik ke udara dan, Plak! Plak! Dua tamparan dari tanganku mendarat di pipi lelaki bajingan itu dengan mulus. Ia hanya membalas dengan kekehan kecilnya lalu meludah ke lantai. Benar-benar bukan Mas Renoku. "Biadab! Iblis! Kau sanggup mengatakan Qairen bukan anakmu, hah! ? Kau boleh menghinaku! Kau boleh menyakitiku, tapi tidak untuk anak tak berdosa itu, Reno Armasyah! Camkan itu!" ucapku pedas padanya tanpa embel-embel 'Mas' lagi karena penghormatanku sudah hilang untuknya. Hatiku telah sakit untuk caci makinya pada diri ini. Namun, semuanya tak sebanding dengan rasa sakit dan benci yang kurasakan atas
Sekali lagi kutelusuri pahatan sempurna pada diri bocah kecil itu. Dimulai dari mata, bibir, hidung, dagu dan seluruh inti wajahnya. Perkataan Mas Reno tadi seketika mengganggu dan menyentil egoku. Diri pun ter-sugesti manakala tiba-tiba teringat dengan ucapan tante beserta sepupu-sepupuku yang selalu mengatakan jika wajah Qairen tak sedikit pun menuruni wajah dari papanya. Tak hanya mereka, Mama Chintya—mertuaku dan Ruri—adik ipar juga sama. Jika berkunjung dan menggendong Qairen selalu membubuhi perkataan yang menyakitkan. Wajah anakku lebih mirip seperti wajah papa tetangga. Menyedihkan memang, walaupun dalam candaan. Namun, tak seharusnya mereka mengatakan itu pada cucu dan ponakan sendiri. Hanya kedua orangtuaku saja yang tak akan berkata demikian. Mereka selalu menjaga perasaanku dengan mengatakan bila wajah anak kecil masih berubah-ubah mengikuti umur. Tanggapi saja ocehan mereka sebagai candaan semata tanpa harus memasukkannya ke dalam hati. Mengingat itu semua menjadikan n
Aku sedikit tersentak dengan semua persyaratan yang diajukan Mas Reno. Jika balik ke masa lalu, segala yang ada di rumah ini 90% nya adalah hasil dari kerja kerasku semasa gadis dan juga pemberian papa dan mamaku. Mas Reno tak ikut andil apa pun di dalamnya. Ia hanyalah seorang pria sederhana yang kuangkat derajatnya hingga bisa menduduki jabatan bagus di perusahaan Om Abi—adik kandungnya Papa. Bagaimana dengan tak tahu malunya, ia meminta semua harta itu tanpa ingin membagi sedikit pun kepadaku dan Qairen, padahal di dalam persyaratanku tak ada sedikit pun aku membahas harta buatku dan perceraian. "Bagaimana, Malaya? Kenapa kau lama sekali berpikirnya? Apa kau takut dengan persyaratan dariku? Jika benar begitu—""Baiklah Reno Armansyah. Aku menyetujui semua persyaratan darimu," potongku cepat tak ingin berlama-lama lagi berinteraksi dengannya. Lagian, sedari awal akulah orang yang menggaungkan persyaratan pra nikah itu. Air dalam gelas kuteguk habis, setelah itu meninggalkannya sen
Aku masih bisa memaklumi jika Mama yang marah denganku dan berucap tak semestinya, tapi mendengar Ruri berkata dan berlaku kasar serta menamai diri ini, aku tersinggung. Harga diri serasa sedang diinjak-injak olehnya. Memang kami seumuran, tapi aku adalah kakak iparnya. Tidak sepantasnya ia berkata seperti itu walau seribu kali diri ini membuat kesalahan. Aku tak suka! "Ya, kau tak perlu pegang-pegang Mama, Malaya. Mama merasa jijik dengan tanganmu itu yang sudah penuh dengan dosa! Seperti tangan wanita murahan!" ucap Mama Chintya menimpali perkataan anak gadisnya. DegAku benar-benar kaget mendengar penuturan dari mulut Mama Chintya sendiri. Ia berbeda, tidak seperti Mama Chintya yang biasa kukenal. Gigi-gigiku sampai bergemelutuk menahan geram. Selama tiga tahun lebih mengenal wanita itu, ia merupakan sosok yang memiliki kepribadian yang sangat menyenangkan. Keibuan, lembut, perhatian dan penyabar menjadi ciri khasnya. Dari situ pula dapat kusimpulkan bila sifat Mas Reno menurun
"Aaaa ... aaaa ... huuuh, sakit! Hentikan perempuan kotor!" jerit dan teriak Ruri menggema. Meninggalkan rasa mendengung di telinga. Ya, tak puas menampar pipi, jari jemari lentik ini mencari celah di antara helaian rambut gadis itu. Mencengkram kuat lalu menghentakkan kepalanya berulangkali ke bawah lutut. Mau tak mau ia mengikuti irama tarikan. Jika tidak begitu kupastikan kulit kepalanya akan mudah terlepas dari tengkorak. Beruntung, aku melayangkan tamparan serta jambakan di saat Ruri masih santai berselonjoran di sofa, sehingga gadis itu tak sempat untuk melindungi diri dari serangan."Hentikan, Malaya! Kau sudah gila, ya!?" histeris Mama Chintya berusaha menarik tangan dari rambut anak gadisnya, padahal apa yang dia lakukan semakin membuat putrinya bertambah kesakitan. "Aaaah, Mama ...," rintih Ruri menyedihkan.Seperti gasing, kubawa kepala Ruri memutar. Gadis berkulit sawo matang itu hanya meraung dan menjerit tanpa melakukan perlawanan. Terkesan bodoh memang, tetapi itu su
Langkahku sesaat terhenti karena ponsel tiba-tiba terdengar nyaring. Namun, sejurus kemudian kaki kembali melangkah tak mengindahkan ponsel. Diri terlalu malas untuk menerima panggilan dari siapa pun setelah tragedi bersama mertua dan ipar barusan. Bercanda ria dan bersenang-senang bersama Qairen menjadi pilihan tepat buat saat ini.Melalui jendela kupastikan keadaan di luar, apakah mama mertua dan Ruri beneran sudah pergi atau masih berada di sana. Tak ada. Tampaknya mereka benar-benar telah meninggalkan rumahku.Setelah susu hangat berpindah ke dalam botol dot aku membawa Qairen nyantai di taman belakang dengan mendudukkannya di jogger stroller berkaki tiga. Qairen anteng bersandar dengan dot susu di mulut, sedangkan aku sesekali sibuk memeriksa apotek hidup dan warung hidup yang memenuhi taman.Ya, aku membudidayakan beberapa tanaman bermanfaat yang tersusun rapi di dalam pot. Seperti jahe, temulawak, daun sirih, kumis kucing, dan lidah buaya, sedangkan untuk urusan dapur aku menan