Share

Diusir Dari Rumah

Kembali aku beringsut mundur dengan tubuh yang masih bergetar demi mendengar caci maki dari mulut seseorang yang paling kucintai di dunia ini. Tega!

Crees

"Aauuw."

Nahas, saat mundur telapak tanganku malah menancap beling kaca. Pecahan itu sukses membuat sobekan besar di sana. Tanpa bisa dicegah lagi darah memuncrat begitu banyak hingga menodai pakaian yang kugunakan.

"Maaas ... sakiiit, tolongin," histerisku demi rasa yang kini membelenggu telapak tangan. Perih dan berdenyut mulai merajai. Apalagi aku begitu phobia dengan yang namanya ... darah.

"Tolong, Mas!" pintaku lagi dengan tangis yang semakin menjadi jadi. Aku tak bisa bergerak. Tungkai kakiku begitu lemas hanya untuk sekedar berdiri setelah melihat foto tadi dan kini ... malah melihat darah yang bercucuran.

Bukannya berniat membantuku, Mas Reno berjalan cepat ke arah meja makan. Ia mengambil gelas yang berisi air di atas meja dan ....

Byuur

Wajah beserta bajuku basah seketika. Pria itu menyiramkan seluruh air yang ada di dalam gelas. Untung saja airnya sudah hangat karena sebelumnya, itu tadi air panas dari dispenser. Sengaja kuhangatkan terlebih dahulu untuk susu Qairen—putri kami. Jika saja air itu masih dalam keadaan panas maka bisa dipastikan wajahku bakalan melepuh.

"Reno sialan!" Seperti ada kekuatan dalam diri ini, aku memekik dan berteriak karena emosi yang sudah tak lagi dapat dikontrol.

Prang

Lagi. Kaca berhamburan di sebelahku. Gelas dalam genggaman ia hantamkan ke lantai. Aku gegas menutup wajah dengan kedua lengan yang telapaknya masih berdarah-darah. Kejam! Setelah beberapa purnama kami hidup bersama, baru lah malam ini aku diperlakukan setega ini oleh orang yang kukenal paling lembut dan penyayang.

"Sudah ketahuan berbuat hina masih sanggup membentakku, hah?!"

"Aku nggak akan berteriak jika kau nggak kasar, Mas! Lagian, sudah kukatakan, kalau aku nggak pernah berbuat hal yang sangat menjijikkan seperti itu! Percayalah!" Aku masih saja berteriak untuk membela diri seraya mencoba bangkit dari duduk karena lantai sudah penuh dengan pecahan kaca.

"Jika itu bukan kamu lalu siapa?! Setan?! Atau kau mau bilang jika punya kembaran di dunia ini, hah?!

Tak ingin beradu argumen lagi dengan lelaki itu, aku gegas ke wastafel untuk membersihkan tangan dari darah yang terus saja mengalir. Saat ini yang perlu kulakukan adalah membalut luka, agar darahnya tak terbuang sia-sia.

Mas Reno sudah tak berada di tempatnya. Ia benar-benar meninggalkanku sendiri dalam keadaan terluka. Rasa sedih, marah dan kecewa menyerang diri secara bersamaan. Tega kamu mas! Apa kau tak iba melihatku seperti ini? Telah hilang kah sisi kebaikan dari dalam dirimu? Setidaknya kau masih punya hati nurani untuk menolongku terlepas dari permasalah kita malam ini.

Nelangsa hati semakin berkecamuk dalam sumpah serapah di dada. Pecahan kaca kucabut asal hingga darah semakin menyembur. Rasa sakitnya tak seberapa dibanding rasa kecewa terhadap Mas Reno. Warna merah memenuhi wastafel. Kubersihkan luka dengan air mengalir kurang lebih sepuluh menitan. Namun, otakku hanya dipenuhi oleh lembaran-lembaran foto diri dengan orang yang tak jelas siapa dia. Menjijikkan! Bulu-bulu halus di tanganku meremang ketika mengingat itu semua. Kuakui kalau wajah yang ada di foto itu memang wajahku. Namun, aku ingat betul tak pernah melakukan hal-hal di luar batas apalagi sampai mau berfoto seperti itu dengan lawan jenis selain suami sendiri. Lalu, mengapa dan dengan siapa aku tidur lalu berfoto seperti itu?

Rasa perih mulai mengintimidasi seluruh persendian. Dirasa cukup, kucari antiseptik di kotak P3K yang memang selalu tersedia di rumah ini jika sewaktu-waktu diperlukan, dan malam ini aku benar-benar memerlukannya. Kubebat tangan yang terluka dengan kain kasa agar darah tak lagi keluar, setelah sebelumnya antiseptik diberikan. Selepas itu aku bergerak menuju kamar untuk melihat Qairen. Ternyata, ayah dari putri kecilku itu juga telah berada di sana. Mas Reno sedang memperhatikan Qairen yang tertidur dengan damai di atas ranjang. Tak ada ekspresi yang berarti di wajah lelaki itu. Pria itu sepertinya tak menyadari kehadiranku karena begitu fokusnya dengan sosok Qairen.

"Maaas ...," panggilku seraya berjalan mendekatinya. "Mas, Malaya nggak tau itu siapa. Malaya tak pernah berhubungan dengan lelaki mana pun selain kamu, Mas. Malaya nggak pernah keluar dari rumah ini tanpa kamu atau pun seizin kamu," ujarku mencoba mengingatkan ia lagi. Amarah yang tadi sempat menghampiri, kucoba untuk menghalaunya sekuat mungkin.

"Sudah ketangkap basah dengan foto-foto itu masih juga berkelit. Kenapa nggak mangaku saja, hah! Memang tak ubahnya kau itu seperti seorang pelacur, Malaya! Murahan! Wanita sundal!"

Deg

Aku masih mematung di tempat. Syok menyapa seluruh persendianku akibat kata yang terucap dari bibir Mas Reno. Pria itu secepatnya menuju lemari pakaian kami. Ia membuka pintu dengan kasar.

Prak!

Bruk!

Bruk!

"Mas, apa yang kamu lakukan?!" pekikku sedikit tertahan demi melihat pria bertubuh atletis itu mengeluarkan semua baju milikku secara brutal dan asal dari lemari. Baik dalam lipatan maupun yang bergantung, ia keluarkan tanpa terkecuali.

Tak mengindahkan pekik dari mulutku, Mas Reno beralih ke meja rias. Dengan sekali halauan dari tangannya, seluruh make up atau apa pun yang berada di atasnya tersapu bersih dan jatuh sembarang di atas baju-baju yang menumpuk di lantai.

"Angkut semua barang-barang kamu keluar dari rumah ini! Apa pun yang berhubungan dengan milikmu, bawa! Aku tak sudi lagi hidup seatap bersama perempuan kotor sepertimu, Malaya!"

Duar

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status