Mas Reno berbalik badan. Ia tampak kaget melihatku yang sudah berdiri di antara baju dan barang pribadi yang telah berserak akibat ulahnya tadi.
"Mas, mari kita bahas semuanya dengan kepala dingin," kataku mencoba berucap dengan nada yang lembut."Tidak Malaya. Tak ada yang perlu kita bahas lagi untuk ke depannya. Seribu kesalahanmu masih bisa aku maafkan, tapi jika masalah rumah tangga sudah berkaitan dengan perselingkuhan, aku tak akan sudi untuk berdamai. Tak ada kata tolerir untuk pengkhianatan! Kau jelas-jelas telah berselingkuh di belakangku dengan lelaki lain. Bahkan, sampai sanggup tidur dengannya. Berbagi peluh, berbagi erangan, berbagi kenikmatan!" ucapnya dengan nada tak se-menggebu-gebu tadi, tetapi penuh penekanan tegas di indra pendengaran."Dari mana mas mendapatkan semua foto-foto menjijikkan itu?!" tanyaku akan asal usul foto jahanam yang menjadi bukti kuat Mas Reno menuduhku telah berselingkuh."Dari mananya foto-foto itu kamu tak perlu tahu, Malaya," balas Mas Reno cepat atas pertanyaanku."Tentu perlu, Mas! Karena foto itu yang menyebabkan kita berdua seperti ini!" jawabku lantang."Tak perlu lagi kamu membahas soal foto, yang jelas itu semua sudah menjadi bukti kuat atas perselingkuhan mu!""Foto bisa diedit, Mas. Malaya yakin itu. Mari kita cari kebenarannya bersama-sama. Siapa dalang di balik ini semua yang menginginkan kehancuran rumah tangga kita!""Ya, kamu benar Malaya. Foto bisa diedit tapi tidak video dengan wajah asli kamu!""Dari tadi kamu terus mengatakan tentang video. Jika benar ada bukti seperti itu, tunjukkan pada Malaya!" tantangku pada lelaki yang bergelar suami itu."Tentu! Aku akan menunjukkannya padamu. Tapi setelah itu, kau akan tau akibatnya!"Mas Reno mengambil ponsel di saku celananya. Mengutak atik sebentar lalu terdengarlah nada pesan masuk ke dalam ponselku. Benda pipih itu terdengar di antara tumpukan baju dan make up karena tadi memang benda itu berada di atas meja rias.Kubuka ponsel dengan cepat lalu menuju pesan pada aplikasi berwarna hijau. Kuunduh beberapa saat lalu klik mulai.Permainan ranjang dua manusia berlainan jenis itu begitu jelas terekam. Tak ada sehelai benang pun yang menutupi tubuh kami berdua. Pun, lagi-lagi wajahku yang terlihat sedangkan sang lelaki tak tersorot. Namun, bisa dipastikan jika ia bukanlah Mas Reno.Aku hanya terkulai lemas di bawah tubuhnya dengan mata terpejam tanpa adanya perlawanan. Tubuhku bergerak karena mendapat hentakan dari pria itu. Ia terus memacu diri ini yang sesekali mengeluarkan suara lirih dan lemah."Emmh ... eemmh ... Mas Re mmmfffth ...."Suaraku tertahan, karena lawan yang berada di atas membekap mulut dengan bibirnya. Benar-benar menjijikkan!Stok oksigen serasa berhenti, tubuh gemetar, tungkai kaki melemah. Aku ambruk ke lantai bersama denting air mata. Kubekap mulut agar tak histeris. Pantas saja Mas Reno begitu marah sehingga sanggup memperlakukanku seperti ini dan berniat mengusirku dari rumah."Maas ...."Lidah memanggilnya lemah merasa tak kuasa dengan apa yang barusan kusaksikan di layar ponsel. Itu memang diriku. Tapi demi Tuhan, segila gilanya aku tak akan pernah mau melakukan hal-hal seperti di dalam video dengan orang lain selain suamiku sendiri. Mas Reno tak menjawab. Lelaki bercambang tipis itu kembali menuju lemari lalu mengeluarkan koper yang tersusun di bawah lemari gantung. Benda persegi itu ia campakkan kasar tepat di depanku."Sudah kau saksikan sendiri, bukan? Perempuan terkutuk di dalam video itu kau, Malaya Aurora! Sekarang, kemasi barang-barangmu dan enyahlah dari hadapanku!"Tak kuhiraukan perkataan Mas Reno. Ponsel yang masih memutar adegan panas itu terlepas dari genggaman. Aku memeluk tubuh yang memaku di lantai dingin— menggigil—menggigil karena syok."Pergi dari sini sekarang juga!""Aaaaahhk!!! Hiks hiks hiks."Aku menjerit sekuat-kuatnya, melepaskan sesak di dada akibat rasa benci, kecewa dan tak percaya pada diri sendiri. Aku tak terima. Tak mungkin! Bagaimana bisa? Bagaimana bisa?! Bagaimana bisa aku yang berada di dalam video itu!? Tidak?! Itu pasti rekayasa. Semua rekayasa! Pasti! Pasti! Aku merutuki diri. Terus menyangkal bahwa itu bukan aku. Bukan aku!"Mas masih tak percaya, Malaya. Di balik wajah lugu dan tutur bahasamu yang santun ternyata hanya digunakan sebagai kedok untuk menutupi kebobrokan siapa dirimu yang sebenarnya. Pelacur!" rutuk Mas Reno sambil berjalan keluar untuk meninggalkanku."Jaga bicara kamu, Mas! Aku tak sudi disebut pelacur olehmu sedari tadi. Itu semua fitnah! Aku difitnah!" jerit dan sanggahku geram tak terima dikata-katain perempuan seperti itu olehnya. Mas Reno menghentikan langkah lalu berbalik badan menatapku tajam. Lelaki itu memasukkan kedua belah tangannya di masing-masing saku celana. Senyum sinis dihadiahkannya untukku."Hehehe. Jika bukan pelacur apa namanya, Malaya? Wanita terhormat? Begitu, hem?" sahutnya tak kalah geram dengan kekehan yang terdengar memuakkan bagiku."Beri waktu Malaya untuk membuktikan semua kesalahpahaman ini, Mas," rengekku melemah dengan isak tangis seperti anak kecil. Aku bahkan memegang kaki suamiku itu untuk melembutkan hatinya. Mengharap ia mau berbesar hati sampai aku merealisasikan semua ucapanku."Tak perlu!" Mas Reno menghentak kasar kakinya yang kupegang. Aku kaget hingga pegangan pada kakinya pun terlepas."Sudah kukatakan berkali-kali pergi dari rumah ini sekarang juga, atau aku akan bertindak lebih kasar lagi kepadamu, Malaya!""Tidak, Mas! Malaya tak akan pergi dari rumah ini sebelum bisa membuktikan kalau foto dan video itu palsu belaka!" Kembali aku bersuara lantang. Menyesal, mengapa tadi memohon di bawah kakinya. Ya, jika tak merasa bersalah buat apa takut? Aku akan tetap pada pendirian.Mas Reno berjalan ke arahku lalu menjambak rambut yang tertutup hijab dengan kuat. "Keras kepala! Ternyata kau ingin melihat bagaimana diriku yang sebenarnya, ya! Ayo ikut!""Arrgkkh ... sakit!"Suamiku terus memaksa hingga berhasil membawaku berdiri dengan tangan yang masih menjambak. Sementara aku berusaha menguatkan pertahanan dengan mengeraskan tubuh di lantai. Tapi apa daya, tenagaku tak sebanding dengan tenaga lelaki itu. Dua kali hentakan dan tarikan di tangan ia berhasil membuatku berpindah posisi. "Sakit, Mas. Hentikan!" jeritku meminta. Akan tetapi, ayah dari putriku itu benar-benar tak ada rasa iba dan peduli. Ia terus saja membawaku hingga sampai di depan pintu utama.Darah kembali membasahi kasa yang membungkus luka. Mas Reno menghentikan perbuatannya sesaat untuk membuka pintu. Begitu benda ber-engsel itu terbuka tangan ini di tarik lagi hingga kami berdua berada di teras. Bruk! "Aaw," teriakku kesakitan. Hujan lebat disertai petir menyambut tubuhku yang didorong paksa oleh Mas Reno, hingga terjatuh di lantai berbaping block. Rintik air hujan laksana jarum yang dengan leluasa menembus hijab dan piyama. Lutut seketika perih, tapi aku gegas bangkit mencoba berl
Bagaikan besi panas yang ditancap ke ubun-ubun, otak langsung pecah. Begitulah yang kurasakan. Dengan entengnya bibir sang kekasih hati mengutarakan keraguan dari buah cinta kami. Sehina itukah diriku di matanya? Aku menghentikan tangan yang hendak mengangkat Qairen, berbalik badan dan menyeret langkah untuk mendekati papa dari anakku itu. Dengan pasti telapak tangan yang terluka naik ke udara dan, Plak! Plak! Dua tamparan dari tanganku mendarat di pipi lelaki bajingan itu dengan mulus. Ia hanya membalas dengan kekehan kecilnya lalu meludah ke lantai. Benar-benar bukan Mas Renoku. "Biadab! Iblis! Kau sanggup mengatakan Qairen bukan anakmu, hah! ? Kau boleh menghinaku! Kau boleh menyakitiku, tapi tidak untuk anak tak berdosa itu, Reno Armasyah! Camkan itu!" ucapku pedas padanya tanpa embel-embel 'Mas' lagi karena penghormatanku sudah hilang untuknya. Hatiku telah sakit untuk caci makinya pada diri ini. Namun, semuanya tak sebanding dengan rasa sakit dan benci yang kurasakan atas
Sekali lagi kutelusuri pahatan sempurna pada diri bocah kecil itu. Dimulai dari mata, bibir, hidung, dagu dan seluruh inti wajahnya. Perkataan Mas Reno tadi seketika mengganggu dan menyentil egoku. Diri pun ter-sugesti manakala tiba-tiba teringat dengan ucapan tante beserta sepupu-sepupuku yang selalu mengatakan jika wajah Qairen tak sedikit pun menuruni wajah dari papanya. Tak hanya mereka, Mama Chintya—mertuaku dan Ruri—adik ipar juga sama. Jika berkunjung dan menggendong Qairen selalu membubuhi perkataan yang menyakitkan. Wajah anakku lebih mirip seperti wajah papa tetangga. Menyedihkan memang, walaupun dalam candaan. Namun, tak seharusnya mereka mengatakan itu pada cucu dan ponakan sendiri. Hanya kedua orangtuaku saja yang tak akan berkata demikian. Mereka selalu menjaga perasaanku dengan mengatakan bila wajah anak kecil masih berubah-ubah mengikuti umur. Tanggapi saja ocehan mereka sebagai candaan semata tanpa harus memasukkannya ke dalam hati. Mengingat itu semua menjadikan n
Aku sedikit tersentak dengan semua persyaratan yang diajukan Mas Reno. Jika balik ke masa lalu, segala yang ada di rumah ini 90% nya adalah hasil dari kerja kerasku semasa gadis dan juga pemberian papa dan mamaku. Mas Reno tak ikut andil apa pun di dalamnya. Ia hanyalah seorang pria sederhana yang kuangkat derajatnya hingga bisa menduduki jabatan bagus di perusahaan Om Abi—adik kandungnya Papa. Bagaimana dengan tak tahu malunya, ia meminta semua harta itu tanpa ingin membagi sedikit pun kepadaku dan Qairen, padahal di dalam persyaratanku tak ada sedikit pun aku membahas harta buatku dan perceraian. "Bagaimana, Malaya? Kenapa kau lama sekali berpikirnya? Apa kau takut dengan persyaratan dariku? Jika benar begitu—""Baiklah Reno Armansyah. Aku menyetujui semua persyaratan darimu," potongku cepat tak ingin berlama-lama lagi berinteraksi dengannya. Lagian, sedari awal akulah orang yang menggaungkan persyaratan pra nikah itu. Air dalam gelas kuteguk habis, setelah itu meninggalkannya sen
Aku masih bisa memaklumi jika Mama yang marah denganku dan berucap tak semestinya, tapi mendengar Ruri berkata dan berlaku kasar serta menamai diri ini, aku tersinggung. Harga diri serasa sedang diinjak-injak olehnya. Memang kami seumuran, tapi aku adalah kakak iparnya. Tidak sepantasnya ia berkata seperti itu walau seribu kali diri ini membuat kesalahan. Aku tak suka! "Ya, kau tak perlu pegang-pegang Mama, Malaya. Mama merasa jijik dengan tanganmu itu yang sudah penuh dengan dosa! Seperti tangan wanita murahan!" ucap Mama Chintya menimpali perkataan anak gadisnya. DegAku benar-benar kaget mendengar penuturan dari mulut Mama Chintya sendiri. Ia berbeda, tidak seperti Mama Chintya yang biasa kukenal. Gigi-gigiku sampai bergemelutuk menahan geram. Selama tiga tahun lebih mengenal wanita itu, ia merupakan sosok yang memiliki kepribadian yang sangat menyenangkan. Keibuan, lembut, perhatian dan penyabar menjadi ciri khasnya. Dari situ pula dapat kusimpulkan bila sifat Mas Reno menurun
"Aaaa ... aaaa ... huuuh, sakit! Hentikan perempuan kotor!" jerit dan teriak Ruri menggema. Meninggalkan rasa mendengung di telinga. Ya, tak puas menampar pipi, jari jemari lentik ini mencari celah di antara helaian rambut gadis itu. Mencengkram kuat lalu menghentakkan kepalanya berulangkali ke bawah lutut. Mau tak mau ia mengikuti irama tarikan. Jika tidak begitu kupastikan kulit kepalanya akan mudah terlepas dari tengkorak. Beruntung, aku melayangkan tamparan serta jambakan di saat Ruri masih santai berselonjoran di sofa, sehingga gadis itu tak sempat untuk melindungi diri dari serangan."Hentikan, Malaya! Kau sudah gila, ya!?" histeris Mama Chintya berusaha menarik tangan dari rambut anak gadisnya, padahal apa yang dia lakukan semakin membuat putrinya bertambah kesakitan. "Aaaah, Mama ...," rintih Ruri menyedihkan.Seperti gasing, kubawa kepala Ruri memutar. Gadis berkulit sawo matang itu hanya meraung dan menjerit tanpa melakukan perlawanan. Terkesan bodoh memang, tetapi itu su
Langkahku sesaat terhenti karena ponsel tiba-tiba terdengar nyaring. Namun, sejurus kemudian kaki kembali melangkah tak mengindahkan ponsel. Diri terlalu malas untuk menerima panggilan dari siapa pun setelah tragedi bersama mertua dan ipar barusan. Bercanda ria dan bersenang-senang bersama Qairen menjadi pilihan tepat buat saat ini.Melalui jendela kupastikan keadaan di luar, apakah mama mertua dan Ruri beneran sudah pergi atau masih berada di sana. Tak ada. Tampaknya mereka benar-benar telah meninggalkan rumahku.Setelah susu hangat berpindah ke dalam botol dot aku membawa Qairen nyantai di taman belakang dengan mendudukkannya di jogger stroller berkaki tiga. Qairen anteng bersandar dengan dot susu di mulut, sedangkan aku sesekali sibuk memeriksa apotek hidup dan warung hidup yang memenuhi taman.Ya, aku membudidayakan beberapa tanaman bermanfaat yang tersusun rapi di dalam pot. Seperti jahe, temulawak, daun sirih, kumis kucing, dan lidah buaya, sedangkan untuk urusan dapur aku menan
"Halo, Dok, ini saya, Amon ...."Atensiku teralihkan atas pembicaraan Pak Amon dengan dokter Aslan, karena pada saat yang bersamaan Mbok Lani masuk ke dalam kamar diikuti seorang wanita muda yang aku taksir berusia 19 atau 20 tahunan. Aku tak mengenal siapa wanita itu, sebab seminggu yang lalu ia belum tampak ada di rumah ini. Apa pembantu baru mama? Ah, nanti saja kutanyakan. Urusan mama jauh lebih penting dari dirinya, batinku. "Mbak, tolong jagain anak saya!" ucapku sambil menyerahkan Qairen yang masih saja menangis, walaupun tak sekencang tadi kepadanya. Wanita muda itu mengangguk lalu menerima gadis kecilku dengan takut-takut. "Susunya ada di dalam—"PlekAku menepuk dahi pelan, merutuki diri yang lupa membawa ponsel dan tas yang berisi segala keperluan Qairen dari dalam mobil saking paniknya tadi. "Saya ke mobil sebentar ambil susu," kataku melanjutkan pada wanita itu lalu meninggalkannya. Dengan langkah lebar kutuju di mana mobil terparkir. Sesekali aku berlari kecil agar s