Suamiku terus memaksa hingga berhasil membawaku berdiri dengan tangan yang masih menjambak. Sementara aku berusaha menguatkan pertahanan dengan mengeraskan tubuh di lantai. Tapi apa daya, tenagaku tak sebanding dengan tenaga lelaki itu. Dua kali hentakan dan tarikan di tangan ia berhasil membuatku berpindah posisi. "Sakit, Mas. Hentikan!" jeritku meminta. Akan tetapi, ayah dari putriku itu benar-benar tak ada rasa iba dan peduli. Ia terus saja membawaku hingga sampai di depan pintu utama.
Darah kembali membasahi kasa yang membungkus luka. Mas Reno menghentikan perbuatannya sesaat untuk membuka pintu. Begitu benda ber-engsel itu terbuka tangan ini di tarik lagi hingga kami berdua berada di teras.Bruk!"Aaw," teriakku kesakitan.Hujan lebat disertai petir menyambut tubuhku yang didorong paksa oleh Mas Reno, hingga terjatuh di lantai berbaping block. Rintik air hujan laksana jarum yang dengan leluasa menembus hijab dan piyama. Lutut seketika perih, tapi aku gegas bangkit mencoba berlari untuk mengejar daun pintu yang terlihat akan ditutup oleh pria tak punya hati itu. Namun, terlambat sudah, benda persegi telah menutup rapat dan terkunci.Brak!Brak!Pintu kupaksa membuka dengan bahu yang di dorong kencang, tapi kerja kerasku tak membuahkan apa-apa. Pintu jati tetap mengunci sempurna tak bisa terbuka."Buka pintunya, Mas!!!"Brak!Brak!Brak!"Bukaaa!!!"Aku memukul-mukul pintu dengan kencang. Darah semakin banyak keluar hingga pintu penuh dengan jejak merah. Aku tak perduli asal Mas Reno mau membukakan pintu rumah itu sudah lebih dari cukup."Buka, Mas ... buka! Jangan perlakukan aku seperti ini. Buka, hiks hiks hiks. Kasihan Qairen. Gimana kalau nanti ia nangis dan cari aku? Buka, Mas ...!" Teriakanku seolah tak ada artinya, tenggelam di antara derasnya hujan dan kuatnya petir.Beberapa waktu pintu terus kugedor paksa, tetapi Mas Reno tak juga punya hati untuk membukakan. Lelah, tubuh melorot di depan pintu. Suara petir bercampur kilat menjadi baground menyeramkan di balik punggung. Otak tak dapat berpikir jernih saat seperti ini. Diriku hanya bisa menangis mengharap belas kasih dari suami sendiri. Pintu masih kugedor, tapi tak se-ekstrim tadi karena tenaga telah habis. Suara pun terus menggema memanggil-manggil suamiku itu, walau berakhir dengan panggilan lirih dalam sengguguan.****Tabuh berbunyi. Azan subuh berkumandang dari masjid yang tak begitu jauh. Mataku mengerjab perlahan. Tak ingat sejak kapan aku mulai tertidur di depan pintu dalam keadaan kuyup. Hembusan angin serasa ingin menyatu dengan raga. Rasa dingin yang tak terkira mulai menjalari. Tubuhku merespon, ia menggigil hebat. Bibirku bergetar. Tak ada yang bisa dilakukan selain memeluk diri sendiri, sembari berusaha merapatkan tubuh lebih jauh ke tembok rumah. Qairen, aku tiba-tiba merindukan putri semata wayangku itu.Biasanya, ia akan terbangun di jam-jam sebelum subuh lalu dengan suara celat memintaku untuk menggendongnya dengan kain jarik. Mendekati azan subuh, barulah ia kembali nyenyak dan aku bisa mulai beraktifitas seperti beribadah dan mengurus segala kebutuhan papanya.Akan tetapi, sampai azan telah habis berkumandang suara tangisan Qairen tak terdengar. Bahkan, semenjak aku menidurkannya di kamar sebelah. Apa Mas Reno mampu menenangkan putri kami?"Haaaa ... amaaaa ... amaaaa ...."Baru saja mengingat anak itu, suara tangisannya memecah pagi. Perlahan, kubawa diri untuk bisa berdiri tegak. Menggedor pintu pelan sebagai isyarat agar Mas Reno segera membukakan pintu. Aku ingin bertemu Qairen dan menenangkannya. Namun, kuperkirakan sudah sepuluh menit berlalu, pintu tak jua kunjung dibuka."Nana ... amaaaa ... ana ... amaaa, aaaaaaa."Suara tangisan Qairen belum juga berhenti. Itu pasti karena ia belum melihat wajahku sedari bangun tidur. Qairen memang dekat dengan papanya, tapi untuk urusan menggendong dan mengedot gadis kecil itu akan tetap memilih aku—mamanya."Aaaaaaa, amaaaaaa, amaaaa, aaaaa."Suara anak kunci yang diputar membuatku hampir terlonjak saking bahagianya. Mas Reno pasti menyerah dengan tangisan anak kami. Aku berharap dengan dibukakannya pintu rumah pria itu akan menghambur ke pelukan. Meminta maaf karena telah menghukumku tidur di luar semalaman dalam keadaan hujan petir dan mau percaya jika semua ini adalah fitnah semata. Ya, semua akan baik-baik saja. Pagi ini semuanya akan kembali seperti semula—seperti biasa. Itu harapku.Sesosok wajah tampan menyembul dari balik pintu."Mas Re—"Brak!Dua buah koper sedang ia lemparkan ke halaman. Aku kaget bukan kepalang. Pikiran-pikiran positif tadi seketika terbang melayang hilang tak berbekas. Ternyata, amarah Mas Reno belum juga sirna. Bahkan, ia bersungguh-sungguh ingin mengusirku di pagi buta seperti ini."Itu koper-koper milikmu! Jangan takut, semua barang-barang pribadi kamu sudah ada di sana, termasuk yang kecil-kecil sudah aku masukkan ke sana. Aku pun tak sudi masih menyimpan barang kamu di rumah ini," ujar pria itu dengan senyum smirknyaHatiku tercabik mendengar perkataannya. Tidak! Aku tak akan pergi dari rumah ini. Ini rumahku sendiri. Istanaku! Hasil kerja kerasku!"Aku tak akan pergi dari rumah ini, Mas. Ini rumahku. Jika ada yang harus pergi dari sini, itu kamu, bukan aku!" ucapku tegas, berdiri kokoh menantang bola matanya."Huh, sudah kuduga kamu akan lupa Malaya. Tak ingatkah kamu dengan surat perjanjian pra nikah kita?"Perkataan Mas Reno sontak menyadarkanku akan sesuatu. Ingatan seketika menghantarkan diri pada hari di mana aku dan Mas Reno mendatangi notaris untuk menandatangani surat perjanjian pra nikah. Perjanjian yang kubuat sendiri atas usul dari sepupuku—Syafira. Ia beranggapan, walaupun Mas Reno begitu mencintaiku perjanjian seperti itu harus tetap dibuat hitam di atas putih. Syafira takut jika suatu saat Mas Reno akan berubah. Aku pun menyetujui karena kupikir ide Syafira itu tak terlalu buruk. Ia hanya ingin diriku berjaga-jaga untuk di masa depan.Tapi hari ini, perjanjian itu malah menjadi kanker yang menggerogoti diriku secara perlahan karena salah satu dari isinya adalah menyerahkan seluruh harta benda, baik harta bersama maupun harta bawaan kepada pihak yang dirugikan jika salah satu dari kami terbukti melakukan perselingkuhan. Ya, aku yang membuat semua isi perjanjian itu dengan sadar karena yakin pada diri sendiri jika aku tak akan pernah melakukan perbuatan sehina itu. Aku tipe wanita yang setia pada satu pasangan, dan itu diaminkan oleh Syafira dan Mas Reno."Sudah ingat, Malaya?"Suara Mas Reno menyadarkanku. Ia kembali tersenyum sinis seperti mengejek sembari melipat kedua tangan di depan dada."Mas ... itu ...."Aku tak sanggup melanjutkan perkataan. Aku benar-benar kalah telak."Amaaaaaa... amaaaa... aaaa."Suara tangisan Qairen lagi-lagi terdengar."Tidak bisa, Mas. Bagaimana nasib Qairen jika mamanya pergi dari rumah ini. Kamu nggak mikirin nasib anak kita?"Aku masih berusaha mengambil hati dari suamiku itu. Berharap ia akan berpikir seribu kali untuk memisahkan aku dengan Qairen. Mas Reno pasti paham jika putri kami masih membutuhkan sosok seorang ibu."Baiklah. Bila masalahnya Qairen, kau tak perlu takut."Mas Reno melebarkan daun pintu lalu pergi meninggalkanku. Tak ingin menunggu di luar aku turut masuk mengekor pria itu di belakangnya. Lelaki itu membuka pintu kamar kami dengan segera. Tak sabar, aku menabrak tubuh Mas Reno yang ada di ambang pintu untuk melihat putri kecilku. Tampak Qairen kami sedang duduk dengan kaki berlipat ke belakang sambil memegang dotnya."Amaaaa ... amaaaa ...."Putriku ngedot dengan mata sesekali terpejam menahan kantuk dan sesekali menangis memanggil-manggil diriku. Jika hati dalam keadaan normal, Qairen akan tampak lucu, tapi tidak saat ini. Hatiku mencelos. Bagaimana bisa Mas Reno membiarkan anaknya duduk sendirian seperti itu. Memegang dot dalam keadaan mengantuk dan sesekali hampir terguling ke belakang. Sungguh luar biasa. Aku berhambur ke ranjang ingin menimang putriku. Semalaman tak bersamanya, rasa seminggu tak bersua."Bawa anak itu bersamamu, Malaya! Setelah dipikir-pikir, aku pun jadi curiga jika Qairen itu ... bukanlah darah dagingku sendiri!"Duar"Bukankah Dokter Aslan sedang di luar kota, ya, Om?" tanyaku begitu nama dokter itu disebutkan.Bayang-bayang akan penglihatanku atas dirinya di rumah sakit tadi menghantarkan pada pikiran negatif. "Luar kota?" Om Abi membeo akan pertanyaanku. "Iya, Om tidak tau?" balasku. "Ck! Iya, mungkin Om kamu lupa. Iya, iya, Dokter Aslan udah balik dari luar kota. Baru aja. Tadi ... Tante sendiri yang memintanya untuk kemari," jelas Tante Nilam mengubah nada suaranya menjadi lebih lembut. "Oh, ya udah. Kalau begitu Malaya mau memeriksa jasad mama dulu. Mari, Om, Tante."Kusudahi membaur dengan mereka. Selanjutnya aku menuju jasad mama yang telah ditutupi lebih banyak lagi kain jarik. Kusentuh kaki membujur itu pelan-pelan. Mama ... maafkan Malaya. Karena Malaya, sampai membuat mama seperti ini. Bu Laila menatapku iba, begitu juga kedua wanita yang masih setia berada di sebelahnya. "Bu, maafkan saya, ya," ucapku pada ketua pemandi jenazah itu. Aku merasa jika sikap dan perkataanku yang men
"Oh, tadi saya lihat sama Non Syafira di taman samping, Non. Coba lihat dulu, mana tau masih di sana," jawabnya. "Baik, terima kasih, ya," ucapku lagi. "Sama-sama, Non," balasnya. Aku berpindah ke samping rumah. Kediaman mamaku memang begitu besar. Setiap sudut dipenuhi dengan berbagai aneka bunga bermacam warna. Di taman belakang tumbuh berbagai pohon buah dan pohon peneduh. Seperti pohon mangga, pohon rambutan, pohon ketapang, dan beberapa pohon lain yang aku lupa namanya. Kata mama, dulu—ia sendiri yang menanam dan merawatnya hingga sampai sesempurna ini. Ah, itu dia. Ternyata, putri kecilku memang sedang bersama tantenya—Syafira. Mereka menikmati gemercik air pancur yang diperuntukan untuk kolam ikan mas Koi kesayangan almarhum papa. Tawa dan canda terlihat dari raut dan bibir mereka. Aku berniat mendatangi keduanya melalui lorong yang menghubungkan kamar para pembantu dengan taman di mana gadis beda generasi itu berada. "Kenapa kamu ikutan bersuara di sana, Naina! Bagaimana
"Maaf, ibu dan bapak-bapak sekalian. Dengan tidak mengurangi rasa hormat dari pihak ahli bait, sebaiknya kita semua kembali ke depan saja. Biarkan masalah ini ditangani dan diselesaikan dulu oleh pihak keluarga. Mari semuanya!"Pak RT berinisiatif membubarkan para pelayat yang masih memenuhi ruangan. Di ujung sana, tampak Bu Laila dan kedua temannya begitu kerepotan saat menjawab tanya dari beberapa ibu-ibu pelayat. Dapat kurasakan tatapan aneh dari berpuluh pasang mata itu setelah mungkin mendapatkan jawaban dari para pemandi jenazah itu. Bisik-bisik menjadi pelengkap. Ibarat sebuah hidangan di atas meja, akulah yang dijadikan menu utamanya. "Ayo bapak dan ibu sekalian, kita menunggunya di depan saja!" ulang Pak RT memberi perintah dan ajakan pada mereka yang masih terlihat enggan untuk meninggalkan tempat asal keributan. Kemungkinan tak enak hati untuk tak mengindahkan titah orang berpengaruh di lingkungan ini, akhirnya pada pelayat berangsur-angsur beranjak. Walaupun demikian, a
"Sialan kau! Berani-beraninya ikut campur urusan ma-ji-kan! Singkirkan tanganmu itu dariku! Atau ... kau akan menyesal saat ini juga!" perintah Mas Reno dengan menekanan kata 'majikan' untuk lelaki yang juga berstelan koko itu—Norman."Saya nggak akan ikut campur, Tuan Reno, andaikan anda bisa memperlakukan Non Malaya dengan lebih manusiawi!" sahut lawan bicara dari putra kebanggaan mama Chintya itu. Ucapannya terdengar santai. Namun, tegas di telinga. "Lancang! Kau itu hanya seorang jo-ng-os di rumah ini! Tak pantas menceramahiku!"DegMas Reno, tega sekali bibirnya mengeluarkan kata-kata itu. Bagai orang tak beradab, begitu entengnya ia mencela orang lain hanya karena status pekerjaan. Hei, apa pria itu lupa dengan status yang pernah ia sandang dahulu? Ya, status yang hampir sama persis dengan lelaki yang barusan ia hina. Mas Reno benar-benar telah mengubah sifat dan perangainya. Sifat dan perangai yang dulu begitu kubanggakan di dirinya kini telah memudar. Seiring memudarnya cint
"Apa-apaan kamu ini, Malaya? Kamu udah nggak waras, ya? Permintaan kamu itu sungguh gila. Mama udah meninggal. Kenapa harus mempersulit lagi?!"Aku membalikkan badan ke aska suara. Tak tahu darimana, tiba-tiba Mas Reno muncul. Tak segan, pria itu mengataiku gila dan tak waras di tengah keramaian dengan suara keras. Namun, aku tak ambil pusing. Kuanggap ucapannya hanya sebatas angin lalu yang tak ada faedahnya. Kembali badan kubalikkan ke arah papa tiriku. "Bagaimana, Om? Om setuju, kan, kita bawa lagi mama ke rumah sakit sekarang?" ucap dan tanyaku mengulang keinginan pada lelaki yang bergelar suami kedua mamaku itu. "Kamu ini memang benar-benar sudah gila, ya!" tukas Mas Reno sambil memaksa tubuhku untuk kembali melihat ke arahnya dengan penuh amarah. Amarah yang tersulut karena aku tak mengindahkan perkataannya tadi. Mungkin! Terlihat jelas jika pria itu menolak usulanku mentah-mentah. Padahal, aku tak meminta pendapatnya sama sekali. "Ay ...."Om Santo akhirnya membuka mulut. Na
Apa putriku bersama papanya? Atau dengan Om Santo? Otakku langsung terhubung kembali pada dua nama tersebut. "Tadi sama Tuan Reno, Non. Non Qai endak mau dipegang siapa-siapa kecuali ama papanya," jawab Mbok Lani terlihat tak enak hati. Raut wajahnya menyirat rasa bersalah. Aku terdiam sebentar."Yaudah, gak papa, kok, Mbok. Saya hanya khawatir aja. Takut anak itu merengek kayak di rumah sakit tadi kalau sama orang lain. Tapi kalau sama papanya, bagus lah," timpalku berusaha bersikap sewajarnya.Entahlah. Padahal kalau boleh jujur, aku sedikit gelisah saat tahu Qairen bersama pria itu. Pria yang meragukan darah dagingnya sendiri. Terlihat tubuh mama sudah diletakkan di atas meja khusus untuk memandikan mayit. Bu Laila, yang kuketahui selaku ketua dalam seluruh proses pardu kifayah jenazah di lingkungan kami melakukan tugasnya.Dimulai dengan doa memandikan jenazah, lalu mengguyur tubuh mama dengan air wewangian beberapa kali. Dilanjutkan dengan memberi sabun. Mengguyur air kembali