Share

Bab 2

         

Tamparan itu mengagetkan Kumi. Kesadarannya langsung pulih dan menyadari lelaki yang berada di atasnya adalah Arka! Bau alcohol menyeruak dari mulut pria itu. Kumi tidak tahan dan hanya bisa menangis diam-diam.

Esok paginya, room service datang membawakan sarapan untuk mereka tepat jam 7 pagi. Arka sudah bangun. Wajahnya sangar dan dingin seperti biasa. Pria itu menikmati sarapan nasi goreng tanpa peduli dengan mata sembab Kumi.

Kumi hanya memperhatikan dari jauh. Ketika lelaki itu hendak pergi. Ia memberanikan diri untuk bicara.

 “Mas Arka tolong jangan kunci kamarnya, aku mau jalan-jalan ke pantai,” pinta Kumi hati-hati. Padahal dia jenuh dan kelaparan di kamar.

 “Oke! Tapi aku tidak mengijinkan kamu jalan-jalan keluar.” Dia lalu melemparkan 5 lembar uang ratusan ribu ke wajah Kumi. “Pesanlah makanan sepuasmu dengan uang itu! Awas kalau kamu langgar, kamu akan kupukul!” Dia berbalik dan meninggalkan Kumi.

Mulut Kumi terkunci. Dia tak menyangka. Lelaki yang terlihat sopan dan telah menjadi suaminya itu berani mengancamnya. Hatinya patah. Dia bergidik ngeri membayangkan badannya yang mungil menjadi samsak Arka yang berbadan atletis. Tanpa sadar dia menyentuh pipinya yang semalam ditampar Arka.

Setelah itu Arka membawa Kumi tinggal di rumah orang tuanya di salah satu perumahan mewah di Jakarta Selatan, karena Rini – Mama mertuanya tidak mau anak semata wayang dan kesayangannya pergi dari rumahnya.

            ***

Hari pertama di rumah mertua indah.

            Seperti kebiasaannya di rumah, Kumi bangun jam 4.30 pagi, setelah sholat subuh, dia langsung pergi ke dapur. Dengan cekatan dia memasak sambil membersihkan rumah.

            Ia ingin membuat simpati pada Arka dan kedua orang tuanya supaya menerima kehadirannya dengan sukacita. Setelah itu ia membersihkan diri dan bersiap-siap pergi ke kantor.

            “Kumiiiiiii…. sini!’ teriak mama mertuanya.

            Kumi yang sedang berganti pakaian, bergegas menemui mama mertuanya. “Iya Mam,” jawabnya. Ia takut melihat roman muka mama mertuanya yang kelihatan gusar.

            “Siapa yang menyuruhmu memasak?” Rini menatap Kumi tak suka.

            “Tidak ada Mam, itu inisiatif Kumi sendiri,” jawab Kumi dengan suara gemetar. Ia menunduk ketakutan.

            “Besok-besok, kamu harus tanya mama dulu! Jangan asal masak. Apa ibumu tidak mengajarimu sopan santun?” sindirnya pedas.

            Rini lalu membuka tudung saji. Ada opor ayam dan telur tempe goreng. Dia mencicipinya. “Bah! Apa ini?!! Mama gak suka dengan masakan yang menggunakan santan instan. Santannya harus fresh. Kamu harus memarutnya sendiri! Yang paling penting nasi harus dimasak pake tungku dan kayu bakar!” Ia lalu membuang semangkuk besar opor ayam ke wastafel.

            Nyali Kumi semakin ciut melihatnya.

            “Kamu mau ke mana pakai baju rapi begitu?” tanya Rini lagi?

            “Kumi mau siap-siap berangkat kerja, Ma.”

            “Lho, enak saja! Terus siapa nanti yang masak, nyuci, nyetrika dan bersih-bersih rumah? Apa ibumu tidak memberitahumu kamu harus berhenti bekerja setelah menjadi istri Arka?”

            Kumi tersentak. Kejutan apa lagi ini? Ayah maupun ibunya tidak pernah memberitahunya soal berhenti bekerja. Gadis itu menunduk menekuri ubin. “Tapi Ma, tidak mungkin Kumi berhenti mendadak. Kumi harus bilang ke atasan dulu.”

            Rini yang bertumbuh tambun tak suka dengan jawaban Kumi. “Itu masalah kamu, Mama gak mau tahu. Pokoknya mulai hari ini kamu gak boleh kerja lagi. Titik!!”

            “Tapi Ma…” Air mata Kumi hendak tumpah.

            “Gak ada tapi-tapian. Cepat ganti bajumu dengan daster!”

            Mendengar suara keributan di ruang tengah, Teguh yang baru datang dari jogging datang menghampiri. “Ada apa ini? Pagi-pagi sudah ribut.”

            “Ini lho Pap, Kumi mau berangkat bekerja,” jawab istrinya sambil memberikan segelas air hangat kepadanya.

            Teguh duduk di kursi. “Papa lupa memberitahu kedua orang tuamu. Peraturan di keluarga kami, perempuan dilarang bekerja. Kami para lelakilah yang mencari nafkah dan tugas utama kalian, para perempuan adalah melayani kami.”

            Dada Kumi langsung sesak. Ayah tidak pernah mengajarinya begitu. Justru dia yang mendorong Kumi untuk bekerja, mencari penghasilan supaya tidak tergantung dengan orang lain. Dia hendak berontak, tapi suaranya tercekat di kerongkongan.

            “Ma, siapkan makanannya. Aku sudah lapar,” titah Teguh.

            Mama mertuanya ketus melihat Kumi. “Sana cepat masak! Buat sayur lodeh, ayam goreng bumbu lengkuas dan sambal terasi!” Dia lalu menoleh pada suaminya. “Apa Papa mau kubuatkan roti bakar dulu.”

            “Perutku gak kenyang Ma, kalau gak makan nasi!! Ah kalian memang wanita-wanita gak berguna,” sungutnya kesal. Dia menggebrak meja.

            Kumi ketakutan. Dia langsung berlari ke belakang rumah. Di sana ada pondok bambu yang terpisah dari bangunan utama. Kumi gemetar saat membuka pintu. Seumur-umur dia belum pernah masak di tungku dengan kayu bakar.

            Kumi menangis dan mengadu pada ibunya lewat telepon dan menceritakan semuanya. “Bu, Kumi gak kerasan tinggal di sini. Kumi mau pulang saja.” Dia menangis sesenggukan.

            “Maaf Nduk, Ibu tak bisa membantumu. Kamu sudah menjadi istri Arka. Bagaimanapun kamu harus nurut aturan di rumah mereka. Kamu yang sabar ya. Pelan-pelan nanti pasti kamu bisa adaptasi,” jawab sang Ibu. Dia menghapus bulir bening di sudut matanya.

            Tiba-tiba dari arah belakang ada yang merebut ponselnya. 

            “Bagus, bagus sekali sikapmu! Pakai mengadu segala pada ibumu. Awas kalau mengadu lagi, kuadukan kamu ke Arka!” Dia berbalik.

           

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ike Rahma
punya kerja..laki kayak gitu tinggal saja kumi
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status