Semenjak kejadian di meja makan itu, mbak Yen dipecat. Dan Ainel semakin terabaikan oleh kedua orang tuanya yang semakin disibukkan dengan urusan masing-masing.
Hingga Ainel memasuki sekolah menengah atas, kehidupannya semakin bebas. Pulang atau gak itu tidak pernah dipedulikan oleh kedua orang tuanya. Ainel mencari dunianya sendiri, clubbing menjadi kegiatan rutinnya.
Bahkan hidup bebas bercampur pria dan wanita menjadi hal yang lumrah. Hingga malam itu dalam keadaan setengah mabuk Ainel diajak Ben pulang kerumahnya setelah mereka clubbing.
Ben membawa Ainel ke kamarnya kemudian menyerang bibir Ainel. Ainel yang sedang mabuk membalas pagutan demi pagutan Ben, hingga tanpa disadari oleh Ainel mereka telah melakukan hal tersebut dan Ben yang merenggut kesuciannya.
"Kok gua dirumah lo Ben?" tanya Ainel saat terbangun di pagi hari dan mendapatkan tubuhnya tanpa sehelai benangpun.
"Lo ngapain gua Ben?" tanya Ainel marah.
Sementara Ben duduk dan memutar rekaman di ponselnya apa yang mereka lakukan semalam. Ternyata Ben licik, dia sengaja menjerat Ainel merekam hingga Ainel tak mampu untuk menuntutnya.
Ainel menutup mulutnya tak percaya melihat apa yang dilakukannya bersama Ben bahkan betapa liarnya dia.
Ben tersenyum melihat ekspresi Ainel kemudian meremas dada Ainel, hingga Ainel merasa gelenyar aneh di tubuhnya menuntut Ben untuk melakukan lebih.
Dimulai dari situlah Ainel mulai merasa ketergantungan untuk melakukan hal itu, entah kepada siapa saja yang bersedia diajak ngamar. Bahkan dengan orang yang tak dikenal sekalipun. Tak jarang si Asep tukang kebun pun pernah merasakan nikmatnya tubuh Ainel.
Saat Ainel sedang dirumah dan merasa bosan, tidak ada teman untuk diajak nongkrong maka Asep lah yang menjadi sasaran untuk memenuhi hasratnya.
Hingga di usianya yang menginjak dua puluh tahun, Ainel hamil dan yang parahnya tidak tahu benih siapa yang tumbuh di rahimnya. Dan sudah beberapa kali dicoba untuk digugurkan namun, kandungannya masih saja tetap bertahan.
Tuan Hario begitu berang saat mengetahui anak semata wayangnya hamil.
"Katakan Ainel, anak siapa yang sedang kamu kandung?" tanya tuan Hario penuh penekanan saat mengetahui Ainel hamil.
"Ainel tak tahu," jawab Ainel tegas.
"Dengan siapa kau melakukannya hah?" bentak tuan Hario.
"Banyak."
Dengan santai Ainel menjawab tanpa rasa bersalah.
"Gugurkan anak itu!" titah tuan Hario.
"Sudah, tapi tidak berhasil dengan cara apapun."
Plak! Plak!
Tuan Hario tak bisa lagi menahan emosi nya dan menampar Ainel dengan keras. Sedangkan Ainel hanya diam memegang kedua pipinya yang terasa panas.
"Papa!"
Teriak nyonya Hario tak terima anaknya diperlakukan kasar.
"Kenapa ma? Masih mau bela anak tak tahu diri ini. Mempermalukan keluarga!"
Tuan Hario terus berteriak memaki Ainel, sedangkan Ainel terlihat santai tanpa pembelaan sedikitpun.
"Sudah?" tanya Ainel setelah beberapa saat kedua orang tuanya terdiam.
"Kalau sudah, Ainel mau ke kamar, ngantuk."
Ainel beranjak menuju kamarnya di lantai dua. Dengan usia kandungan yang semakin besar membuat Ainel sedikit ngos-ngosan saat menaiki tangga.
"Huft pusing, kenapa sih harus ribet mencari siapa bapaknya. Setelah lahir tinggal kasihkan aja ke panti asuhan," ujar Ainel sambil menatap nanar perutnya yang membuncit.
Setelah dikamar Ainel berganti baju dan bersiap party bersama teman-temannya.
"Jemput gua!"
Ainel mengirimkan pesan kepada Ben.
Tak lama setelah itu mobil Ben sudah tiba dan dengan santai Ainel pergi meninggalkan rumahnya.
"Mau kemana?" tanya Ben.
"Gak tahu, boring!"
"Yaudah ke hotel aja, gak tahan gua lihat pesona lo dengan perut membesar gitu."
"Oke cuss."
Ben dan Ainel menghabiskan malam bersama, saling menikmati sentuhan demi sentuhan antara keduanya.
"Kira-kira anak siapa didalam sini Nel?" tanya Ben sambil mengelus perut Ainel.
"Gak tahu, anak lo mungkin?"
"Bukan, walaupun gua yang sering jenguk dia di dalam sana, tapi dia gak respon saat gua pegang gini."
"Entahlah."
"Lo sih gak pake pengaman," ucap Ben.
"Biarin."
"Papa sama mama lo gimana?"
"Papa marah, mama diam aja."
"Lo itu emang gurih Nel, gua saja sebagai teman lo ketagihan. Apalagi orang lain."
"Dasar lo aja rakus, Nilam lo embat juga."
"Nilam punya kelebihan Nel, gayanya tak biasa."
"Tapi lo semenjak hamil semakin menggoda Nel," ucap Ben sambil menggigit benda kecil diatas dada Ainel yang membuat Ainel mendesah seperti terbang ke awan.
Pagi itu, setelah tuan dan nyonya Hario pergi dengan kesibukannya masing-masing, Ainel kembali ke kamar dan meminta Asep ke kamarnya. Asep adalah tukang kebun yang sudah memiliki istri juga anak, setiap habis melayani Ainel, Asep akan menerima bayaran yang lumayan besar dari Ainel.
"Non Ainel memanggil saya?" tanya Asep didepan pintu kamar Ainel.
"Masuk Sep."
"Baik non."
Asep masuk kekamar Ainel, dan mendapati Ainel sudah bugil menunggu diatas tempat tidur. Tak berapa lama terjadilah pergumulan antara keduanya. Asep sudah mengerti gaya apa yang disukai Ainel. Hingga Ainel merintih kesenangan.
Biasanya Asep akan berada di kamar Ainel selama tiga jam, selama itu tugas Asep hanya menyenangi Ainel dengan berbagai gaya.
Semua asisten rumah tangga di rumah ini sudah tahu apabila Asep dipanggil ke kamar Ainel.
Tak ada seorangpun yang berani mengganggu sebelum Asep keluar sendiri dari dalam kamar Ainel. Termasuk mbok Inah.
"Makasih ya non," ujar Asep.
"Sama-sama Sep."
"Asep takut loh non, nanti ketahuan tuan Bara," ujar Asep sambil menunduk.
"Dia gak bakal peduli Sep."
"Kok gitu non?"
"Karena kami menikah hanya untuk status aja Sep."
"Untuk menutupi kehamilan itu ya non?"
"Kehamilannya gak bisa ditutupi lagi Sep, cuma status aja gua hamil ada lakinya. Padahal gua gak peduli sih."
Ainel dan Asep masih berbaring dalam satu selimut yang sama. Menantikan beberapa saat dan mereka akan kembali mengulangi permainannya.
"Tuan Bara kemana non?" tanya Asep.
"Gua gak tahu Sep."
"Itulah makanya non panggil Asep ya karena tuan Bara gak ada?"
"Kami belum melakukan itu malah Sep."
"Sama tuan Bara?"
"Iya."
"Kenapa non?"
"Dianya gak mau kayaknya."
"Ah gak mungkin non, mungkin karena belum tau aja permainan non yang bikin ketagihan."
"Emang kamu ketagihan Sep?"
"Iya non, tapi kalo bukan non yang manggil Asep takut kesini."
"Nanti kalau kamu lagi mau bilang aja sama gua Sep, gua siap kok," jawab Ainel.
"Kenapa non lebih suka sama Asep kan yang disini banyak, ada Ade tu yang masih muda."
"Ajak aja sesekali Sep."
"Bertiga gitu neng?"
"Iya gantian sama kamu."
"Siap neng."
Ceklek!
Pintu kamar dibuka. Asep dan Ainel shock melihat siapa yang datang.
"Silakan Salma duluan," Bara mempersilahkan Salma yang menjawab lebih dahulu."Hmmm," Abah berdehem untuk memutuskan siapa yang akan lebih dahulu berbicara."Salma ada apa, Nak?" tanya Abah yang secara tidak langsung mempersilahkan Salma untuk menjawab lebih dahulu."Salma meminta waktu sampai bulan depan, Bah. Karena Salma mau menyerahkan dulu toko kepada Fira yang akan urus setelah Salma menikah," ujar Salma."Ada lagi?" tanya Abah."Ada bah, Salma mau pernikahan yang sederhana bah. Tanpa resepsi yang mewah," ujar Salma yang mampu membuat bu Bira terkejut dengan kesederhanaan Salma."Nak Bara?" tanya Abah."Bara ingin pernikahan ini dilaksanakan secepatnya dalam dua minggu kedepan, besok akan mulai pengurusan surat menyurat. Untuk pengurusan serah terima toko nanti bisa saya temani jika setelah menikah ada yang belum selesai diserahkan," jawab Bara."Yang pertama kita akan melakukan akad nikah terlebih dahulu, dan resepsi akan diadakan dua bulan kemudian, untuk permintaan Salma rese
"Salma....," belum selesai ucapannya, tiba-tiba badan Salma melemah dan pandangan yang berkunang-kunang hingga semuanya menjadi gelap.Bara dan semua yang didalam ruangan menjadi panik melihat kondisi Salma yang lemah tak berdaya jatuh kedalam pelukan bu Aisah."Nak Fira, tolong ambilkan minyak kayu putih di dekat TV," ujar Umi sambil memijat kening anaknya."Salma mengalami trauma berat semenjak kecelakaan dua tahun lalu, dia akan selalu seperti ini saat sedang tegang," ujar Abah sambil terus menatap anak bungsunya tersebut.Fira, istrinya Hafiz, bergegas mengambil minyak yang diminta oleh Umi Melati. Dan setelah menemukannya segera diberikan kepada Umi."Maaf ya, Nak," ujar Umi membuka sedikit cadar Salma untuk mengoleskan minyak kayu putih pada hidung Salma.Pada saat itulah dada Bara berdesir saat tanpa sengaja melihat wajah Salma yang putih bersih dan sangat cantik, bekas luka yang abah maksud ada di bawah dagunya tak akan terlihat jika dia tidak mendongak.Umi Melati mengoleskan
"Maaf nak Salma kelakuan Tama dan Rikel," ujar bu Aisah."Gapapa bu," jawab Salma."Tama Rikel sini sama nenek yok," panggil bu Aisah kepada kedua cucunya.Namun, disaat bersamaan seorang perempuan sepuh memandang wajah Aisah dan berucap."Aisah?" tanyanya sambil memandang lekat wajah bu Aisah seolah perlu keyakinan kalau itu benar Aisah yang dia kenal.Bu Aisah terperangah dan juga Bara, dan bu Bira menatap penuh tanda tanya kok bisa ada yang mengenali bu Aisah di rumahnya Salma."Umi Melati?" tanya bu Aisah sambil menyalami dan memeluk dengan erat wanita yang bernama Umi Melati tersebut yang tak lain adalah ibunda dari Salma."Ya Allah nak, kamu apa kabar?" tanya umi Melati."Baik, Umi," jawab Bu Aisah sopan."Jadi, ini siapanya kamu?" umi Melati menunjuk Bara karena yang dia tahu bu Aisah tidak memiliki anak."Ini anaknya Aisah, Mi," jawab bu Aisah sambil tersenyum."Anak?" tanya nya."Iya, Mi," jawab bu Aisah.Tampak Salma menjawil tangan ibunya dan mengangguk. Kemudian umi Melati
"Assalamualaikum, saya Salma. Bisa abang datang kerumah abah?" tanya suara di seberang yang mampu membuat Bara terlonjak kaget.Degupan jantung Bara menjadi tak karuan, mungkin jika Salma ada di dekatnya sudah bisa dipastikan melihat tangan Bara yang bergetar hebat memegang ponsel saat mendengar suara merdu nan anggun di seberang sana."Sal-ma?" tanya Bara tak percaya."Iya, saya tunggu di rumah abah," jawab Salma kemudian mengucapkan salam dan mematikan sambungan telepon.Bara masih memandang tak percaya dengan apa yang barusan didengarnya, apa itu artinya Salma menerima lamarannya.Dengan segera Bara mencari kedua ibunya yang sedang asyik menonton acara televisi saat weekend seperti ini. Saat weekend semua orang ada dirumah, toko milik ibunya tetap buka dan hanya karyawan yang datang."Mama, ibu," panggil Bara bahagia."Ada apa, Nak?" tanya bu Aisah lembut."Salma," jawab Bara sambil tertawa dan duduk di sebelah mamanya.Ekspresi bu Bira langsung meredup saat mendengar nama Salma ya
Salma terdiam, sekelebat bayangan sang suami yang sudah lama pergi meninggalkannya menari di pelupuk mata, dan juga Salma merasa dia bukanlah orang yang tepat untuk mendampingi Bara, salah satu dari kedua wanita yang sangat berarti dalam hidup Bara sepertinya tidak menyukainya dan itu adalah ibu kandung Bara."Kamu tidak perlu menjawab sekarang kalau masih perlu berpikir dan meminta pendapat kedua orang tuamu, Nak," ujar bu Aisah sambil mengusap lembut pundak Salma yang tampak tidak nyaman dengan suasana saat ini."Kalau kamu sudah ada jawabannya bisa beritahu Hafiz waktunya, biar dia yang aturkan kita ketemu," ujar Bara."Saya....," ujar Salma kemudian menghela nafas berat."Saya, tidak bisa menerimanya," ujar Salma sambil mendongak.Semua orang yang ada di dalam ruangan terkejut dan semua memandang ke arah Salma, hanya Tama dan Rikel yang tidak mengerti arah pembicaraan orang-orang dewasa ini."Kamu tidak perlu buru-buru menjawabnya, Nak," ujar bu Aisah lembut."Saya tidak pantas un
Bu Bira tampak sangat kesal mendengar pilihan Bara untuk menikahi seorang janda yang belum jelas siapa orangnya dan seperti apa, apalagi yang menjadi dasar pertimbangan Bara dan bu Aisah dalam memilih seorang istri adalah yang bisa menerima dan menyayangi anak Bara padahal itu bukanlah anak kandung.Ekspektasi bu Bira untuk jodoh Bara adalah seorang artis atau minimal anak seorang pengusaha juga sama seperti Bara."Tapi kan dua-duanya bukan anak kandung.....," ucapan bu Bira terhenti karena langsung dipotong oleh Bara."Maaa," ucap Bara sambil menggeleng.Bu Bira terdiam, karena tahu bahwa Bara benar-benar tidak suka jika menganggap Tama dan Rikel bukan anak kandung. Bara menyayangi mereka seperti anak kandung sendiri."Mending kamu pikir-pikir lagi nak untuk menikahi wanita seperti itu, dia tidak akan mengerti dengan dunia bisnis, Nak," ujar bu Bira."Ma, Bara mencari istri bukan mencari partner bisnis. Kalau untuk bisnis cukup Bara aja, Ma," ujar Bara kemudian menarik selimut untuk