"Ma-aaf tuan," ujar Asep langsung menyambar pakaian nya dan segera berlalu keluar dari kamar.
Bara hanya diam dengan tangan terkepal dan mata yang memerah. Wajar saja saat Bara memasuki rumah seluruh pekerja di rumah ini berusaha mencegahnya menuju kamar..
"Tuan Bara mau makan?" tawar mbok Inah.
"Nanti aja mbok, terima kasih. Saya mau istirahat dulu mbok," jawab Bara santai menuju lantai atas.
"Atau tuan mau jus?"
"Gak."
"Mau kue?"
"Terima kasih, gak perlu melayani saya seperti itu saya biasa melakukan sendiri mbok,"
Bara menjelaskan, namun mbok Inah seperti tak putus semangat menawarkan Bara dengan sesuatu.
"Buah, tuan?"
Bara hanya menggeleng.
"Atau mau mbok buatkan minuman dingin tuan?"
Bara membalikkan badan menghadap mbok Inah yang tampak gelisah.
"Mbok sebenarnya ada apa?" tanya Bara.
"Gak ada apa-apa tuan, saya hanya menawarkan makan tuan."
"Mbok gak usah repot-repot, mbok kan sudah tau saya disini diperlakukan seperti apa. Dan juga saya bisa lakukan sendiri untuk hal-hal seperti itu mbok."
Mbok Inah tak mampu lagi menahan langkah kaki Bara yang sudah menaiki tangga menuju kamar Ainel.
Bara hanya tersenyum miris, mengingat usaha mbok Inah melindungi majikannya.
"Ternyata ini alasan mbok Inah manahan gua dari tadi," gumam Bara.
Bara melihat di atas tempat tidur, Ainel menarik selimut tanpa rasa bersalah. Tidur membelakangi Bara.
Bara melakukan serangan dengan kasar, tanpa menghiraukan rintihan dan jeritan Ainel yang bercampur dengan desahannya. Ainel menghindar saat Bara akan menyerang bibirnya.
Plaakk!
Satu tamparan mendarat di pipi Ainel.
"Kenapa lo menghindar, hah? Gua suami lo!"
Setelah beberapa saat Bara menyudahi permainan, Ainel luruh menangis karena merasakan seluruh tubuhnya sakit.
"Itu kan yang lo mau?"
"Jawab Ainel!"
"Sebegitu jablaynya lo sampai-sampai tukang kebun pun lo ajak."
"Bukan urusan lo!" Ainel menjawab dengan suara lantang.
Bara yang tersulut emosi, mencengkeram dagu Ainel dengan kuat. "Jelas menjadi urusan gua, karen lo sekarang sudah sah jadi istri gua."
"Hanya diatas kertas!" jawab Ainel.
"Gua memang bejat Ainel, tapi gua tahu hukumnya zina itu dosa Ainel."
"Tahu apa lo soal dosa?"
Bara mengepalkan kedua tangannya dengan gigi yang gemerutuk. "Sebaiknya lo mandi, silakan bersihkan diri lo," ujar Bara sedikit melemah.
Bara memegang kepalanya yang terasa sakit, Bara baru mengetahui ternyata Ainel juga memiliki affair sama tukang kebun itu. Dan yang parahnya semua pekerja di rumah ini mengetahui hal itu, mereka semua menutup mata dan telinga. Pura-pura tidak tahu dan sedikit melindungi.
"Wanita seperti apa yang menjadi istri gua ini?" gumam Bara frustasi.
Ainel keluar dari kamar mandi hanya mengenakan handuk pendek menutupi bagian intimnya, Bara hanya melengos.
"Mulai sekarang, selama lo jadi istri gua, lo hanya boleh berhubungan sama gua!"
Ancam Bara sambil memasuki kamar mandi. Dibawah shower yang mengalir, Bara membiarkan air membasahi seluruh tubuhnya menghilangkan beban yang ada di kepalanya.
Saat Bara keluar dari kamar mandi, Ainel sudah kembali bergelung dalam selimutnya. Melihat Bara yang keluar kamar mandi, Ainel menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya.
Bara hanya melirik sekilas kemudian ikut merebahkan diri disebelah ainel.
"Siapa saja dari para pekerja lelaki di rumah ini yang sudah lo ajak untuk memenuhi hasrat lo?" tanya Bara tanpa melihat kearah lawan bicaranya.
"Bukan urusan lo!" ketus Ainel.
"Jelas urusan gua, karena lo istri gua. Persetan mau di atas kertas diatas ranjang gua gak peduli. Selagi lo masih istri gua lo tidak boleh melayani pria manapun kecuali gua."
"Kenapa lo tertarik sama badan gua?" tanya Ainel.
"Karena lo istri gua, gua jijik melihat lo sembarangan hubungan dengan orang lain."
"Satu hal lagi, selama menjadi istri gua lo harus nurut. Kalau gak lo akan tahu sendiri nasib lo dan anak ini," ujar Bara sambil menunjukan perut Ainel.
"Gua gak peduli dengan anak ini," ujar Ainel dengan santai.
"Lo gila ya," Bara emosi dan mencekik leher Ainel hingga Ainel kesulitan bernafas.
Ainel menggeleng-gelengkan kepala untuk melepaskan tangan Bara yang kuat.
"Lee-pp-pas," ujar Ainel dengan nafas tersendat.
Bara melepaskan cengkraman tangannya dileher Ainel dengan keras membuat Ainel terbatuk-batuk mencari udara untuk menstabilkan nafasnya.
"Lo benar-benar sudah gila!" teriak Ainel saat nafasnya sudah mulai teratur.
"Gua hanya memberikan rasa, apa yang dirasakan oleh anak lo yang akan terlahir tidak diinginkan."
"Lo hampir membunuh gua, Bara!"
"Itu hanya permulaan Ainel."
Bara beranjak dari ranjang dan menuju sofa untuk segera tidur, karena malam akan semakin larut.
Bara tidur dengan berbantalkan tangannya memandang keluar jendela yang gordennya sengaja Bara buka agar dapat memandang bintang di langit.
Langit seolah-olah menertawakan keadaan Bara yang seakan menjadi suami yang tak berguna yang bahkan menyaksikan pergumulan Ainel yang sudah tertulis secara sah menjadi istrinya dengan orang lain yang tak lain adalah tukang kebun di rumahnya sendiri.
Bara memandang langit yang gelap sambil memejamkan matanya yang sangat sulit terpejam. Bahkan angin malam yang berhembus lembut mampu menusuk kulitnya yang tanpa selimut.
"Bara! Kenapa jendela dan gordennya gak lo tutup!" teriak Ainel dari ranjangnya.
"Biar udara masuk," jawab Bara santai.
"Dasar udik, kamar ini ada AC nya!"
"Gua mau kena angin malam, salah?" tanya Bara seraya duduk disofa dan menatap tajam kearah Ainel.
"Gua kedinginan," ujar Ainel takut saat melihat sorot tajam mata Bara.
"Pake selimut lo!"
"Gua gak bisa kena angin malam," ujar Ainel.
"Yakin?" tanya Bara sambil berdiri menatap kearah Ainel.
Ainel hanya menggeleng takut saat Bara mulai mendekat.
"Yaudah silakan lo lanjut," ujar Ainel sambil menarik selimut hingga ke atas kepalanya.
"Jangan mengajak Bara bermain-main Ainel," gumam Bara sambil kembali merebahkan diri diatas sofa yang empuk itu.
Ainel bergelung dalam selimutnya dan sedikit merasa takut melihat sorot tajam mata Bara. ternyata Bara adalah bukan orang yang bisa Ainel lawan dengan cara apapun.
Melalui malam yang lambat akhirnya Bara terlelap sambil dibelai oleh angin malam yang terus mengibaskan gorden kamar tersebut.
Saat tengah malam, Bara merasa haus di kamar tidak tersedia minum. Bara keluar kamar akan kebawah menuju dapur, dia melewati ruang kerja tuan Hario. Terdengar suara dua orang didalam sana, Bara berusaha untuk menguping namun tidak kedengaran dengan jelas. Yang Bara dengar di dalam sana seperti dua orang lelaki dan perempuan.
Bara hanya mengerutkan keningnya mendengar hal tersebut.
Bara semakin menajamkan pendengarannya, tak disangka pintu tersebut ternyata tidak ditutup rapat. Diam-diam Bara menghidupkan video ponselnya untuk merekam pembicaraan dan juga melihat apa yang dilakukan tuan Hario di dalam ruang kerjanya saat tengah malam seperti ini.Dengan susah payah Bara mencari posisi yang pas agar tidak ketahuan sedang mengambil merekam dan mengambil video tersebut.Tuan Hario dan seorang wanita tersebut tidak menyadari bahwa apa yang sedang mereka lakukan sedang direkam oleh Bara. Keduanya terlalu sibuk dengan rencana busuk dan juga terlalu sibuk bergumul manja di tengah malam seperti ini.Hampir tiga puluh menit Bara masih di posisi semua layaknya videografer profesional, karena demi sebuah video bahkan rela berguling di lantai.Sepertinya tuan Hario sudah melakukan pelepasan dan mengakhiri permainan mereka yang hangat. Bara menghentikan rekamannya dan bersembunyi saat mendengar ada pergerakan disana. Ternyata hanya pergerakan dua manusia yang sedang mencapai
Nyonya Hario seperti terhipnotis dengan kata-kata Bara sehingga dengan sekali rayuan Bara berhasil menguasai nyonya Hario, dengan seringai jahat Bara mengaktifkan kamera ponselnya.Bara dan nyonya Hario bagai sepasang kekasih yang lama tak bertemu, keduanya saling memburu. Bara sengaja membiarkan nyonya Hario memimpin permainan, agar beliau merasa semua perkataannya adalah benar bahwa dia masih mampu diranjang.Bara hanya sesekali menguasai selebihnya hanya mengimbangi demi tercapainya misi. Bara bersorak dalam hatinya bahwa semua orang dirumah ini pada akhirnya akan tunduk kepadanya.Bara dan nyonya Hario terpekik dan mengerang bersama saat mereka melakukan pelepasan bersama. Bara terguling di samping mertuanya, sedangkan tuan Hario hingga pukul tiga dini hari belum kembali ke kamarnya hingga membuat Bara dan mertuanya melakukannya hingga beberapa kali."Mama hebat," ujar Bara sambil membelai rambut pirang mertuanya."Hmmm.""Bara kembali ke kamar Ainel, ma?" ucap Bara sambil berdiri
Bara dan Nyonya Hario saling pandang. Dengan gerakan kepala, mama mertuanya itu meminta Bara untuk bersembunyi.Ceklek!Dengan rambut yang masih acak-acakan, Nyonya Hario membuka pintu. Ternyata, sopirnya telah siap."Mobil sudah siap nyonya," ucap sang sopir ramah, namun matanya melirik ke arah dada nyonya Hario yang sedikit terbuka."Terima kasih Rudi, tunggu sebentar lagi saya sedang bersiap-siap," ucap nyonya Hario sambil kembali menutup pintu dan menguncinya.Bara sudah menunggu di belakangnya untuk melanjutkan permainan yang sempat tertunda."Satu lagi ma, mama harus menuruti apa yang Bara minta. Mama akan tahu sendiri akibatnya," bisik Bara di sela-sela serangannya.Nyonya Hario hanya mengangguk sambil memejamkan matanya menikmati sensasi yang diberikan menantunya tersebut.Setelah selesai permainan yang panas di pagi hari, Bara meninggalkan kamar ibu mertuanya dengan santai walaupun saat keluar kamar berpapasan dengan sopir yang kembali akan memanggil sang nyonya karena jadwal
"Ainel!" panggil Bara khawatir."Non!" panggil mbok Inah panik."Tuan harus bertanggung jawab jika terjadi sesuatu kepada non Ainel!" teriak mbok Inah sambil menunjuk ke arah muka Bara.Mang Bidin sibuk menenangkan mbok Inah yang terus berteriak-teriak kepada Bara.Bara memutar kemudi dengan keras dan melajukan mobil dengan kecepatan tinggi, tujuanya saat ini adalah rumah sakit atau klinik terdekat. Bara benar-benar khawatir dengan kondisi Ainel.Tak lama kemudian mobil tampak parkir sembarang di depan sebuah klinik, dengan bergegas Bara turun membuka pintu mobil disamping Ainel dan menggendong Ainel membawa masuk ke dalam klinik."Dokter! Tolong istri saya!" teriak Bara yang disusul mbok Inah dan suaminya dibelakang Bara.Beberapa perawat segera membantu Bara dan membaringkan Ainel di ranjang pasien, tak lama tampak seorang dokter dengan segera memeriksa kondisi Ainel.Bara dan yang lainnya tidak diperbolehkan masuk saat dokter sedang melakukan penanganan.Mbok Inah dan mang Bidin du
"Halo," sapa Bara setelah menggeser tombol jawab pada layar hp nya."Apa kalian sudah sampai?" ternyata tuan Hario yang meneleponnya."Sedikit lagi, tuan," jawab Bara ramah.Bara mengaktifkan loudspeaker ponselnya dan memencet mode rekam. Bara sengaja membiarkan Ainel mendengar percakapan dengan ayahnya."Mulai hari ini kamu tidak usah lagi datang kekantor, kamu saya pecat!" ucap tuan Hario diseberang sana."Alasannya?" tanya Bara masih berusaha santai."Sekarang kamu kerja dirumah baru yang akan ditempati Ainel menjadi sopir dan penjaga rumah sampai tiba Ainel melahirkan, gaji kamu setiap bulan akan saya transfer," jelas tuan Hario."Setelah Ainel melahirkan?" selidik Bara."Kamu harus tinggalkan rumah tersebut dan saya akan berikan kamu pesangon."Ainel, mbok Inah dan mang Bidin terkejut mendengar penjelasan tuan Hario."Baiklah. Tapi saya mohon, izinkan saya bertemu tuan besok ada yang harus saya sampaikan," ucap Bara."Baik, saya tunggu jam sebelas siang. Jika lewat tidak ada kese
"Apaan sih lo, gua panggil security kalau lo gak sopan ke gua," ujar Lily sambil mendorong tubuh Bara.Bara menyeringai, dan memutar video panas tengah malam di ruang kerja tuan Hario. Wajah Lily memerah, menahan malu dan marah."Mau gua sebar?" tanya Bara."Siniin hape lo, hapus!" teriak Lily."Disini boleh dihapus, tapi jangan lupa sudah gua pindahin di semua tempat yang siap sebar. Mau terkenal?" tanya Bara sambil meniup telinga Lily sambil memberikan ponselnya kepada Lily.Lily mematung, tampak sudut matanya sudah siap tumpah."Jangan menangis, baby?" ujar Bara sambil menarik hidung Lily."Apa yang lo inginkan?" tanya Lily."Pertanyaan yang bagus sayang," ujar Bara duduk didepan Lily."Katakan!" Lily menggertak."Turuti saja apa mau gua," Bara menarik tangan Lily.Dengan terpaksa Lily mengikuti langkah kaki Bara.Bara mendudukan Lily di kursi di sebelah pengemudi, Lily masih diam. Bara menjalankan mobilnya dengan sedikit kencang, ternyata menuju sebuah hotel bintang lima yang tida
"Ah enggak tuan, gak ada apa-apa," jawab mbok Inah gugup dan berlalu ke kamarnya.Namun, belum sempat kakinya melangkah Bara sudah mencekal tangannya."Mbok Inah mau kemana?" tanya Bara."Ke-ke kamar tuan," jawab mbok Inah ragu-ragu."Mbok, saya paling benci kebohongan. Beritahu saya apa yang dikatakan tuan Hario," ucap Bara pelan, namun dengan sorot mata yang menakutkan."Iya tuan.""Cepat katakan mbok!" tekan Bara."Tadi tuan Hario kesini, beliau mengatakan kalau tuan Bara adalah Presiden Direktur di sebuah perusahaannya, terus mbok dan mamang harus memantau setiap gerak gerik tuan. Bahkan di rumah ini dipasang beberapa cctv, tapi mbok gak tau persisnya dimana. Sumpah!" bisik mbok Inah pelan."Disini ada?" tanya Bara menunjuk tempat mereka berbicara."Sepertinya tidak ada, karena tadi mbok gak lihat mereka didapur.""Yaudah, terima kasih mbok. Gak usah siapin saya makan, biar saya siapin sendiri.""Baik tuan."Langkah Bara kembali terhenti."Ah iya satu lagi mbok, jangan panggil say
Saat Bara membalikkan badan akan kembali menuju teras, terdengar suara ranting yang dipijak. Memang disebelah kanan rumah ini terdapat tanah kosong dan pohon-pohon besar. Namun, lagi-lagi Bara tidak melihat apapun dari dalam sini.Bara mendengus kesal, dan memilih kembali duduk di teras rumah hingga menjelang pagi."Kok tuan Bara disini?" tanya Mang Bidin saat keluar rumah setelah shalat subuh."Gapapa mang, cari udara segar aja," ucap Bara sambil mematikan rokoknya."Kayaknya dari semalam tuan disini, bekas rokoknya udah banyak banget," sambung mang Bidin sambil duduk disebelah Bara."Dari jam satu mang.""Kenapa tuan?""Mang, jangan panggil Bara tuan ya. Bara gak terbiasa dan gak pantas.""Kok tuan bicara seperti itu.""Bara sama kayak mamang hanya pekerja disini, jadi jangan panggil tuan.""Tapi kan suami non Ainel.""Iya walaupun saya suaminya Ainel tapi saya gak suka dipanggil tuan.""Mamang panggil apa?""Panggil Bara aja gapapa mang.""Mamang panggil 'nak' aja ya?""Itu juga bo
"Minum dulu Nel," ujar Bara menyodorkan air mineral yang sudah dibukanya.Ainel menerima air tersebut kemudian menenggaknya hingga setengah botol."Gua gak tahan baunya," ujar Ainel kemudian."Yaudah kita cari mini market aja," ajak Bara.Akhirnya keduanya kembali masuk kedalam mobil untuk mencari minimarket. Namun, setelah puas berkeliling hingga senja menjadi gelap mereka tak juga menemukan minimarket hanya ada beberapa toko yang lumayan besar, namun saat magrib tiba semuanya serentak tutup.Ainel hanya menghela nafas menyaksikan bagaimana suramnya kehidupannya saat ini setelah diasingkan ayahnya sendiri."Pulang aja," gumam Ainel pelan.Bara hanya mengangguk dan melirik sekilas kearah istrinya yang tampak kecewa."Inilah alasan kenapa gua gak boleh lo berangkat sendiri Nel," ujar Bara."Tempat ini seperti tempat pengasingan narapidana bagi lo yang dibesarkan dengan glamornya kehidupan kota," lanjut Bara lagi."Gua gak tahan," ujar Ainel."Sabarlah Nel, minimal sampai anak lo lahir.
"Rania tahu pak," ujar Rania santai dan duduk mepet ke Bara."Jangan menggoda saya kalau kamu sudah tahu Ran, nanti kamu menyesal," peringat Bara."Apa salahnya pak, poligami aja boleh kok asal mampu," ujar Rania sambil cemberut."Saya menghargai istri saya Ran.""Gak usah munafik deh pak, bapak menikah dengan anak pak Hario karena terpaksa kan. Dan dia juga tidak mencintai bapak kan?""Mau cinta atau tidak yang jelas kami sudah menikah," jawab Bara masih memejamkan matanya."Rania bisa memberikan apa yang dia tidak bisa berikan pak," ujar Rania sambil memegang pipi Bara.Dengan sedikit kasar Bara menepis tangan Rania, membuat wanita itu merasa sangat kesal."Dan perlu kamu ketahui Ran, saya ini bukan siapa-siapa, dan tidak memiliki apa-apa Ran. Semua ini adalah milik orang tua istri saya."Bara beranjak menuju meja kerjanya melewati Rania yang kecewa mendapat penolakan. Baru kali ini ada orang yang menolak seksi tubuhnya."Jika tidak ada kepentingan lagi, kamu boleh keluar Ran," peri
Bara masih berdiri di balkon, sambil melihat sekeliling. Hanya beberapa rumah yang tampak lampu menyala ikut menerangi kompleks ini, lainnya hanya ada lampu temaram di depan rumah menunjukkan bahwa rumah tersebut tak berpenghuni.Tanpa terasa waktu menunjukkan tengah malam, Bara masih berdiri di tempatnya. Entah sudah berapa batang rokok yang dihisapnya. Hingga saat ini Bara mulai terbatuk-batuk mungkin terlalu banyak asap yang ditelannya.Akhirnya Bara memilih masuk untuk segera mengistirahatkan tubuhnya. Memandangi langit kamar yang putih dan menghipnotis Bara segera terlelap.Sementara itu di kamarnya, Ainel belum bisa memejamkan matanya. Dia mengutuk Peter yang telah melecehkannya. Karena dulu Ainel memang sering mengajak Peter menemaninya saat dia sedang bete.Semburat cahaya matahari pagi menyilaukan, membuat Bara terbangun. Matahari telah bersinar menerobos masuk ke kamarnya karena jendela dan gorden yang tidak tertutup. Segera Bara mengecek jam di dindingnya, ternyata masih ja
Hampir jam sembilan malam Bara baru tiba dirumah. Ainel masih didepan tv dengan mengenakan baju yang kurang bahan. Terlihat Peter beberapa kali melirik Ainel sebelum masuk ke kamarnya."Kamu kalo mau makan langsung aja Peter, gak usah menunggu," teriak Bara sembari duduk disebelah Ainel."Iya pak," jawab Peter singkat."Nel, ini ada martabak dan dibelakang ada ayam bakar," ujar Bara."Beli dimana?" tanya Ainel cuek."Di dekat pabrik banyak yang jualan ternyata.""Hem, gua gak suka jajanan pinggir jalan!" jawab Ainel ketus."Kenapa?""Gak enak.""Oke, gapapa kalo lo gak mau. Tapi sampai kapan? Lo coba lihat ke sekitar sini, ini adalah tempat pembuangan. Dimana lo harus menempuh perjalanan kurang lebih empat jam untuk mencapai kota dan membeli makanan yang lo maksud.""Dan juga tidak setiap hari ada yang kekota," sambung Bara."Gua punya mobil.""Terserah lo kalo gak mau," ujar Bara sambil membawa kotak martabak kebelakang dan meletakkannya di atas meja makan.Bara menaiki tangga menuju
Setelah sarapan Bara berpamitan kepada Ainel untuk berangkat kerja."Gua kerja dulu," ucap Bara sambil berdiri dari duduknya."Lo tau tempatnya?" tanya Ainel."Tuan Hario mengirimkan mobil beserta sopirnya.""Siapa?""Peter.""Peter jadi sopir?" tanya Ainel sambil mengernyitkan dahinya."Iya, kenapa?" jawab Bara singkat."Ah gapapa," jawab Ainel sedikit gugup.Di teras depan, mang Bidin sudah siap menunggu Bara. Mang Bidin akan ke pasar terdekat membeli perlengkapan berkebun."Yok mang," ucap Bara sopan.Mang Bidin mengikuti naik mobil yang akan membawanya ke pasar."Di dekat pabrik aja ojekkan, Peter?" tanya Bara."Ada tuan.""Yaudah nanti mamang ke pasar dari pabrik naik ojek aja ya," ucap Bara sambil mengedipkan mata kepada mang Bidin."Iya tuan." ucap mang Bidin pelan.Setelah sekitar tiga puluh menit mereka tiba di sebuah pabrik kertas yang akan Bara pimpin. Mang Bidin turun di depan pintu gerbang dan melanjutkan ke pasar dengan naik ojek.Sementara Bara langsung mengikuti meetin
Saat Bara membalikkan badan akan kembali menuju teras, terdengar suara ranting yang dipijak. Memang disebelah kanan rumah ini terdapat tanah kosong dan pohon-pohon besar. Namun, lagi-lagi Bara tidak melihat apapun dari dalam sini.Bara mendengus kesal, dan memilih kembali duduk di teras rumah hingga menjelang pagi."Kok tuan Bara disini?" tanya Mang Bidin saat keluar rumah setelah shalat subuh."Gapapa mang, cari udara segar aja," ucap Bara sambil mematikan rokoknya."Kayaknya dari semalam tuan disini, bekas rokoknya udah banyak banget," sambung mang Bidin sambil duduk disebelah Bara."Dari jam satu mang.""Kenapa tuan?""Mang, jangan panggil Bara tuan ya. Bara gak terbiasa dan gak pantas.""Kok tuan bicara seperti itu.""Bara sama kayak mamang hanya pekerja disini, jadi jangan panggil tuan.""Tapi kan suami non Ainel.""Iya walaupun saya suaminya Ainel tapi saya gak suka dipanggil tuan.""Mamang panggil apa?""Panggil Bara aja gapapa mang.""Mamang panggil 'nak' aja ya?""Itu juga bo
"Ah enggak tuan, gak ada apa-apa," jawab mbok Inah gugup dan berlalu ke kamarnya.Namun, belum sempat kakinya melangkah Bara sudah mencekal tangannya."Mbok Inah mau kemana?" tanya Bara."Ke-ke kamar tuan," jawab mbok Inah ragu-ragu."Mbok, saya paling benci kebohongan. Beritahu saya apa yang dikatakan tuan Hario," ucap Bara pelan, namun dengan sorot mata yang menakutkan."Iya tuan.""Cepat katakan mbok!" tekan Bara."Tadi tuan Hario kesini, beliau mengatakan kalau tuan Bara adalah Presiden Direktur di sebuah perusahaannya, terus mbok dan mamang harus memantau setiap gerak gerik tuan. Bahkan di rumah ini dipasang beberapa cctv, tapi mbok gak tau persisnya dimana. Sumpah!" bisik mbok Inah pelan."Disini ada?" tanya Bara menunjuk tempat mereka berbicara."Sepertinya tidak ada, karena tadi mbok gak lihat mereka didapur.""Yaudah, terima kasih mbok. Gak usah siapin saya makan, biar saya siapin sendiri.""Baik tuan."Langkah Bara kembali terhenti."Ah iya satu lagi mbok, jangan panggil say
"Apaan sih lo, gua panggil security kalau lo gak sopan ke gua," ujar Lily sambil mendorong tubuh Bara.Bara menyeringai, dan memutar video panas tengah malam di ruang kerja tuan Hario. Wajah Lily memerah, menahan malu dan marah."Mau gua sebar?" tanya Bara."Siniin hape lo, hapus!" teriak Lily."Disini boleh dihapus, tapi jangan lupa sudah gua pindahin di semua tempat yang siap sebar. Mau terkenal?" tanya Bara sambil meniup telinga Lily sambil memberikan ponselnya kepada Lily.Lily mematung, tampak sudut matanya sudah siap tumpah."Jangan menangis, baby?" ujar Bara sambil menarik hidung Lily."Apa yang lo inginkan?" tanya Lily."Pertanyaan yang bagus sayang," ujar Bara duduk didepan Lily."Katakan!" Lily menggertak."Turuti saja apa mau gua," Bara menarik tangan Lily.Dengan terpaksa Lily mengikuti langkah kaki Bara.Bara mendudukan Lily di kursi di sebelah pengemudi, Lily masih diam. Bara menjalankan mobilnya dengan sedikit kencang, ternyata menuju sebuah hotel bintang lima yang tida
"Halo," sapa Bara setelah menggeser tombol jawab pada layar hp nya."Apa kalian sudah sampai?" ternyata tuan Hario yang meneleponnya."Sedikit lagi, tuan," jawab Bara ramah.Bara mengaktifkan loudspeaker ponselnya dan memencet mode rekam. Bara sengaja membiarkan Ainel mendengar percakapan dengan ayahnya."Mulai hari ini kamu tidak usah lagi datang kekantor, kamu saya pecat!" ucap tuan Hario diseberang sana."Alasannya?" tanya Bara masih berusaha santai."Sekarang kamu kerja dirumah baru yang akan ditempati Ainel menjadi sopir dan penjaga rumah sampai tiba Ainel melahirkan, gaji kamu setiap bulan akan saya transfer," jelas tuan Hario."Setelah Ainel melahirkan?" selidik Bara."Kamu harus tinggalkan rumah tersebut dan saya akan berikan kamu pesangon."Ainel, mbok Inah dan mang Bidin terkejut mendengar penjelasan tuan Hario."Baiklah. Tapi saya mohon, izinkan saya bertemu tuan besok ada yang harus saya sampaikan," ucap Bara."Baik, saya tunggu jam sebelas siang. Jika lewat tidak ada kese