"Apalagi pa?" tanya Ainel sambil memegang perutnya yang tampak mulai membesar.
"Duduk!"
Dengan malas Ainel menurut dan kembali duduk di kursi yang tadi ditinggalkannya.
"Kamu mau jabatan apa untuk Bara?" tanya tuan Hario.
"CEO mungkin?" jawab Ainel santai.
"Kamu jangan asal Ainel, CEO bukan untuk orang sembarangan."
"Terserah papa deh, percuma juga Ainel ngomong papa gak akan ngerti," ucap Ainel sambil kembali meninggalkan meja makan.
"Ainel!"
Teriak tuan Hario yang kali ini tak digubris oleh Ainel.
"Udah pa biarin aja," ucap bu Sirra.
Tuan Hario dan istrinya kembali melanjutkan makan malam tanpa Ainel. Denting bunyi sendok dan garpu yang beradu ke piring yang mengisi keheningan di meja makan keluarga Hario.
Sementara itu di dalam kamarnya, Ainel sedang berlayar di sosial medianya.
"Kenapa hidup gua jadi ribet gini?" gumam Ainel seorang diri.
"Mending kemarin gua gak usah nikah nurutin papa, mending gua kabur ke luar negeri aja."
Ainel terus saja menggerutu sambil melihat-lihat postingan Nilam yang sedang berliburan ke luar negeri.
*
Dia Ainel Celia Putri Hario, anak semata wayang seorang konglomerat kaya raya, dengan berbagai bidang bisnis digeluti legal maupun ilegal.
Ainel yang sedari kecil hidup bergelimang harta, apa yang diinginkan semuanya terpenuhi.
Tuan dan nyonya Hario semuanya sibuk, hingga tumbuh kembang Ainel diserahkan sepenuhnya kepada pengasuhnya.
Tuan Hario sibuk dengan bisnisnya, sedangkan nyonya Hario sibuk dengan geng sosialitanya, jalan-jalan, shopping dan arisan kegiatan hari-hari nyonya Hario.
Ainel anak yang cerdas dan berbakat, namun karena merasa terabaikan membuat dia mencari dunianya sendiri, hingga terjatuh dalam pergaulan bebas yang sebebas bebasnya.
Pernah waktu itu Ainel kecil merengek meminta kepada sang ibu untuk menyaksikan dia tampil sebagai penari balet berbakat di acara sekolahnya.
"Mama, besok Ainel akan tampil loh. Mama hadir ya lihatin Ainel," rengek Ainel kecil kepada sang mama.
"Aduh sayang, mama gak bisa. Besok mama harus terbang ke Jepang, liburan bersama teman-teman mama."
"Ainel boleh ikut?"
Saat itu umur Ainel menginjak sepuluh tahun dan duduk di kelas lima sekolah dasar.
"Ngapain kamu ikut, gak ada anak kecil ikut. Udah sana sama mbok Inah aja."
Bukan kebanggaan yang didapat saat menceritakan prestasi kepada ibunya, hanya kata-kata sibuk dan pengusiran yang didapat.
Lain lagi saat penerimaan raport kelas dua sekolah menengah pertama. Dengan riang Ainel menunjukkan hasil nilai raportnya kepada ibunya yang sedang sibuk dengan ponselnya.
"Mama, Ainel juara satu ma?" lapornya sambil menyodorkan buku raport.
"Bagus dong, memang seharusnya begitu kan sudah les privat."
"Ini ma raport Ainel."
"Kamu juara kan, ngapain lagi mama lihat!"
Dengan langkah gontai Ainel membawa raport itu ke ruang kerja ayahnya.
"Papa!"
Betapa terkejutnya Ainel saat itu mendapati papanya sedang bermain kuda-kudaan dengan mbak Yen salah satu asisten rumah tangga di rumahnya.
"Ada apa Ainel?" tanya tuan Hario sembari menaikkan kembali celananya.
"Ainel juara satu pa."
"Bagus."
Hanya jawaban singkat yang dia dapatkan. Sementara Mbak Yen berbaring pada posisi semula menutupi bagian intim yang terbuka dengan tangannya.
"Papa dan mbak Yen lagi ngapain?" tanya Ainel.
"Ainel, kalau tidak ada perlu kamu sebaiknya kembali ke kamar. Papa mau kerja."
"Sama mbak Yen pa?"
"Iya."
Tuan Hario mendorong tubuh kecil Ainel keluar dari ruang kerjanya, tanpa melihat mata Ainel sudah memerah menahan butiran-butiran bening di sudut matanya.
Terabaikan.
Itulah yang dirasakan Ainel kecil, hingga mulai hari itu Ainel tidak pernah sekalipun menunjukkan apapun prestasinya kepada kedua orang tuanya.
Dengan berlari Ainel menuju kamar mbok Inah.
Ceklek.
Ainel berlari memeluk mbok Inah saat mendapati wanita paruh baya dengan rambut yang sudah mulai ada yang memutih sedang berdiri di kamarnya.
Mbok Inah mengusap pelan rambut majikan kecilnya yang tampaknya sedang benar-benar terluka. Tak terdengar suara tangis dari mulutnya, hanya isak kecil dan dada yang turun naik menandakan hati majikan kecilnya sedang tidak baik-baik saja.
"Non, mbok ambil minum dulu ya," ujar mbok Inah melepaskan pelukan Ainel.
Ainel didudukan diranjang mbok Inah.
"Minum non," mbok Inah menyodorkan segelas air putih dingin kepada Ainel.
Ainel menghabiskan air yang diberikan mbok Inah.
Mbok Inah mengambil buku raport ditangan Ainel dan melihat-lihat isinya.
"Non Ainel hebat, dapat juara ya."
"Ayok senyum atuh non, masak dapat juara kok nangis."
Mbok Inah mengelus lembut rambut Ainel dan memeluknya.
"Selamat ya non dapat juara, nilainya bagus semua. Mbok bangga."
Ucapan mboh Inah semakin membuat tangis Ainel tak bisa berhenti.
"Papa mama tidak sayang dengan Ainel mbok."
"Kok bilang gitu, tuan dan nyonya sangat sayang kok kepada non Ainel."
"Papa dan mama sama sekali tidak mau lihat raport Ainel mbok."
"Mungkin mereka sedang sibuk non."
"Iya mbok."
Kembali Ainel memeluk mbok Inah dengan erat.
"Mbok, tadi Ainel lihat papa lagi kerja sama mbak Yen,"
"Kerja apa non?"
"Tadi Ainel ke ruang kerja papa, disana ada mbak Yen sama papa sedang kerja di sofa mbok. Papa sedang berada diatas tubuh mbak Yen, papa dan mbak Yen sama-sama gak pake baju mbok," cerita lugu Ainel. Sedangkan mbok Inah syok mendengar cerita Ainel.
"Emang mbak Yen sakit ya mbok?" tanya Ainel lagi.
"Kenapa non?"
"Mbak Yen jerit-jerit mbok bilang. Aa.. Aau ... Au pak enak."
"Papa menekan-nekan tubuh mbak Yen mbok," lanjut Ainel.
"Terus papa mengusir Ainel mbok."
"Yaudah non Ainel istirahat aja dulu ya," bujuk mbok Inah kepada Ainel.
"Boleh disini mbok tidur sama mbok?"
"Boleh non."
Dengan riang Ainel mengambil posisi tidur diatas kasur dan berbagi ranjang dengan mbok Inah.
Ainel tertidur sambil tersenyum.
Mbok Inah hanya melihat dengan kasihan kepada anak majikannya ini. Apapun yang diinginkan semuanya terpenuhi tanpa perlu menunggu. Namun satu hal yang tak pernah didapatkan semenjak lahir adalah kasih sayang kedua orang tuanya.
Bahkan anak sekecil Ainel melihat secara langsung perselingkuhan papanya bersama salah satu pembantunya.
Saat dimeja makan pagi, sarapan sudah tersedia di meja dengan teratur. Saat mbak Yen mengantarkan piring, Ainel dengan polosnya bertanya.
"Mbak Yen sudah sembuh?"
Pertanyaan Ainel sontak membuat tuan Hario geram.
"Kamu sakit Yen?" tanya nyonya Hario.
"Enggak, Nyah,"
"Semalam mbak Yen di meja kerja papa tanpa baju."
"Mbak Yem mengeluarkan suara seperti ini ma Au.. Au.. Au pak enak sambil matanya terpejam ma," cerita Ainel.
Wajah nyonya Hario sudah memerah menahan amarah.
"Papa kamu bilang apa nak?"
"Papa gak bilang apa-apa ma, cuma terus menekan tubuh mbak Yen yang terus menjerit."
"Ainel!" teriak tuan Hario kepada Ainel.
"Mbok Inah, bawa Ainel pergi dari sini!"
Mata Ainel mendelik mendengar perkataan Bara.“Dasar lo,” ujar Ainel kembali mencubit lengan Bara.“Lo suka banget sih nyubit, sakit Nel,” ujar Bara. “Biarin,” jawab Ainel.“Lo gemesin juga lama-lama, Nel,” ujar Bara.Tanpa disadari mobil yang dikendarai Bara telah memasuki halamab depan toko Ainel yang juga dimanfaatkan sebagai rumah tinggal bagi Ainel dan salah satu karyawannya.“Masuk, Bar,” ujar Ainel ramah setelah membuka pintu samping tokonya.“Masuk kemana?” goda Bara.“Lo mau makan di depan toko?” tanya Ainle kesal.“Asal sama lo gapapa, Nel,” jawab Bara santai.“Gua ogah!” ujar Ainel.Bara mengikuti langkah Ainel menuju ruang tamu yang berada tepat di belakang toko.“Lo tunggu sini sebentar ya, gua mau naik panggil si Neni,” ujar Ainel.“Siap!,” jawab Bara menghempaskan bobot tubuhnya pada kursi yang ada dan sekelebat bayangan dulu apa yang dia lakukan pada Ainel di ruangan ini.Bara hanya tersenyum-senyum dan memegang bibirnya.“Kok lo senyum-senyum sendiri sih?” tanya Aine
“Gak usah Bar, thanks,” ucap Ainel.“Tetap gua antar,” ujar Bara menuju mobilnya dan meminta kunci kepada Yuda.“Gak usah Bara, gua udah pesan taksi online kok,” ujar Ainel menunjukan layar ponselnya.Bara merebut ponsel yang ada di tangan Ainel, dan memencet tombol cancel kemudian tampak mengetikkan sesuatu di layar pipih milik Ainel.“Kok lo cancel, Bar?’ tanya Ainel cemberut.“Gua kan udah bilang, gua yang antar,” ujar Bara kesal.Akhirnya Ainel hanya menurut, mengikuti Bara yang berjalan menuju mobilnya.“Kamu mau kemana, Bara?” tanya bu Bira yang tiba-tiba muncul dari balik pintu.“Mau antar Ainel pulang, Ma,” jawab Bara santai.“Loh kan datangnya sendiri, ya pulangnya gak perlu diantar,” ujar bu Bira sewot.“Nanti kayak jelangkung, Ma,” jawab Bara sambil tertawa.“Iya datang gak dijemput pulang gak diantar,” ujar Ainel.Bara hanya tergelak, sedangkan bu Bira berdiri didepan pintu sambil manyun.“Kamu kan baru pulang kerja Bara, gak capek?” tanya bu Bira mencoba mencari alasan un
"Pak Tigor mau bertemu Bapak hari ini," ujar Ari kepada Bara setelah selesai makan siang."Iya, langsung ajak keruangan aja ya," pesan Bara."Iya, Pak," jawab Ari."Eh itu tadi yang kita makan, catering dari Alina ya?" tanya Bara."Betul pak. Enak kan?" tanya Ari."Iya enak, itu menu kita request ya?" tanya Bara lagi."Iya pak setiap akhir bulan mereka memberikan daftar paket menu sebulan. Jadi kita tinggal pilih aja mau yang mana," cerita Ari."Oh... Bagus kalau begitu, biar karyawan kita gak bosan," ujar Bara."Iya, Pak," jawab Ari.Bara menyesap kopinya dengan perlahan karena masih tersisa ampasnya."Ri, minta Acil gantiin kopinya ya," ujar Bara sambil berlalu ke kamar mandi."Siap, Pak," jawab Ari sambil mengangkat gagang telepon dan menghubungkan ke pantry memesan kopi kepada Acil."Cil, kopi pak bos," ujar Ari saat mendengar sahutan dari Acil di ujung telepon."Pak Ari gak ya?" tanya Acil."Juga dong, masak nggak. Tega kamu Cil," ujar Ari."Oke pak, tunggu sebentar ya nanti Acil
“Bu,” panggil Bara kepada bu Aisah saat Alma sedang bersama bu Bira.“Iya, Nak,” jawab bu Aisah sambil melihat ke arah sang anak.“Minggu ke rumah Abah yo, Bu. Sudah dua bulan umur Alma belum ketemu Abah lagi,” usul Bara kepada bu Aisah.“Boleh,” jawab bu Aisah setuju.“Tama dan Rikel?” tanya bu Aisah.“Tama biar dijemput Ainel, kan dia udah kangen juga sama Ainel. Rikel mungkin bisa titip bik Sri aja,” ujar Bara.Bu Aisah hanya mengangguk.“Lelah ya, Bu?” ujar Bara sambil mengurut kaki ibunya.“Gak juga,” jawab bu Aisah.“Bara cariin babysitter untuk Alma ya, Bu,” tawar Bara.“Untuk apa?” tanya bu Aisah.“Untuk merawat Alma, Bu. Biar ibu bisa istirahat dengan nyaman,” jawab Bara.“Gak usah nak, ibu masih sanggup. Ibu ikhlas kok, Nak,” ujar bu Aisah.“Beneran, Bu?” tanya Bara.“Beneran, Nak,” ujar bu Aisah.“Yaudah ibu kasih tahu Bara ya kalau sudah perlu bantuan,” ujar Bara.“Iya, Nak,” jawab bu Aisah.**“Papa,” panggil Tama.“Iya sayang,” jawab Bara.“Pusing,” ujar Tama sambil lan
Ari hanya menerima laporan tersebut dan mengangguk berarti memahami apa yang diperintahkan oleh Bara.“Dan apa ini?” tanya Bara kesal saat matanya menatap layar laptopnya.“Hario mau bermain-main dengan saya memanfaatkan momen saya sedang berduka?” ujar Bara saat melihat laporan yang dikirimkan oleh orangnya yang di tempatkan di pabrik roti milik Hario dan bantuan keuangan dari AK Group.Ari hanya diam menunduk karena sebenarnya Ari sudah melihat kejanggalan itu sejak dua hari lalu,namun tidak langsung melaporkannya kepada Bara, mengingat Bara masih dalam masa berkabung.“Kenapa kamu diam?” tanya Bara.“Maaf pak, saya belum sempat melaporkan hal itu kepada Bapak. Tapi saya sudah mengirimkan email peringatan kepada mereka untuk segera merevisi laporan itu, Pak,” jawab Ari.Bara segera mengecek email yang dimaksud Ari, dan benar saja sekretarisnya tersebut telah mengambil langkah yang tepat.“Thanks, Ri,” ucap Bara.“Iya pak sama-sama,” jawab Ari dengan pelan.“Orang jahat, selalu menca
Beberapa saat Bara hanya terdiam melihat siapa tamu yang dimaksud."Alina Rosmala," kernyit Bara heran.Bara menghampiri sang tamu yang tampak sudah di persilakan duduk oleh bu Bira."Hai mbak Alin, terima kasih sudah mampir," ujar Bara sembari duduk di hadapan Alin."Pak Bara, saya sudah ke kantor anda, dan katanya anda belum masuk kerja. Maaf jadi mengganggu waktu anda dirumah. Saya turut berduka cita ya, Pak," ujar Alin menyalami Bara."Terima kasih mbak Alin, malah repot-repot ke rumah," ujar Bara."Entahlah, saya sudah terbiasa datang langsung, saya tidak suka kirim karangan bunga atau kirim pesan," ujar Alin tersenyum."Anda sopan sekali," ujar Bara.Bu Bira yang sudah didalam sebenarnya penasaran dengan tamu Bara, wajahnya mengingatkan dia kepada Bizar. Dan jika ditelisik wajah perempuan itu mirip dengan Bara. Apalagi senyumnya."Ini saya bawakan sedikit kado untuk putri anda, Pak," ujar Alin menyerahkan satu buah paperbag kepada Bara."Terima kasih, anda baik sekali," jawab Ba