Share

2. Kita sudah berakhir

Pagi menjelang, Abigail terbangun ketika mendengar suara lalu lalang kendaraan dan aktifitas orang-orang di sekitarnya. semua orang menoleh ke arahnya bahkan berbisik tentangnya namun tidak ada satupun yang menolongnya, keadaannya begitu kacau dengan mata sembab dan kepala yang terasa sakit karena menangis semalaman.

Abigail mencoba membuka pintu namun ternyata Ben menguncinya dari dalam, Ben benar-benar serius mengusirnya.

"Ben," panggil Abigail lemah, tenggorokannya terasa kering dan perutnya juga terasa sakit.

Setelah berkali-kali memanggilnya, Ben akhirnya keluar menghampirinya namun di tangannya membawa koper milik Abigail. Tatapannya begitu dingin, ia bahkan tidak sudi menatap Abigail terlalu lama.

"Kamu benar-benar mengusirku?" tanya Abigail, air mata kembali menggenang di netranya.

Ben menatapnya cukup lama, dengan tatapan yang sulit untuk Abigail artikan.

"Apakah saat ini kamu sudah cukup membenciku Abigail?" tanya Ben yang dibalas anggukan oleh Abigail.

"Tapi aku akan memaafkanmu jika kamu mengembalikan uang yang kamu curi dariku,"

"Kalau begitu pergilah, aku tidak akan pernah mengembalikan uangmu dan kamu juga tidak bisa menuntutku atas uang itu. Kita sudah berakhir Abigail,"

Hati Abigail terasa berdenyut nyeri dan rasanya seperti tersayat sebilah belati tajam. "Baiklah, aku akan pergi. Aku pasti bisa menemukan pengganti yang jauh lebih baik darimu dan semoga kamu terus bahagia setelah menghancurkan hidup seseorang Benedict Cattegrin."

Abigail mengambil kopernya, ia tertawa di dalam tangisnya. Menertawakan kebodohan dirinya karena terlalu mempercayai Ben, juga menangisi ketragisan kisah hidupnya. Abigail tidak tau harus pergi kemana, uangnya tidak cukup untuk menyewa sebuah rumah bahkan untuk makan satu bulanpun sepertinya sangat tidak cukup.

Abigail terus berjalan menyeret kopernya tidak tentu arah, sampai akhirnya ia tidak sanggup lagi berjalan dan memilih beristirahat di sebuah kursi minimarket. Ia memesan sebuah roti sandwich kecil dan air mineral untuk mengisi perutnya, baru saja Abigail hendak menyantap sandwich tersebut namun dari kejauhan seorang anak kecil memperhatikan lekat sandwich yang tengah ia pegang. Abigail menggerakan tangan dengan gestur memanggil, anak kecil itu langsung menghampirinya dengan senyum lebar dan menampilkan giginya yang tanggal.

"Kamu mau sandwich ini?" tanya Abigail.

"Iya, aku mau." jawabnya riang.

Abigail memberikan sandwich miliknya, namun tiba-tiba seorang wanita datang dan melempar sandwich tersebut ke jalanan yang tergenang air kotor.

"Claire, sudah beberapa kali ibu katakan jangan pernah menerima makanan ataupun minuman dari orang asing!" bentaknya lalu membawa anak itu pergi tanpa meminta maaf pada Abigail.

Abigail menatap nanar sandwich yang tergeletak di jalan, ia memungut kembali sandwich tersebut dan membersihkan bagian yang kotor. Abigail memakan sandwich tersebut dengan punggung yang gemetar, tangan kirinya terus menyeka air matanya yang tidak kunjung berhenti mengalir. Ia ingin pulang ke pangkuan suster Margaretha, namun ia tidak ingin suster Margaretha terbebani pikirannya karena masalah yang menimpanya. Abigail kembali berjalan menyusuri jalan yang perlahan mulai menggelap, Abigail mengecek saldo akun rekeningnya yang hanya menyisakan beberapa dollar. Memikirkan bagaimana caranya ia bertahan hidup hanya dengan uang seadanya, juga tempat tinggal dengan harga sewa yang murah.

"Erick, lihat wanita disana. Sepertinya kita akan mendapatkan uang malam ini," pasangan muda itu lalu menghampiri Abigail yang tengah kebingungan di tengah gelapnya malam.

"Hai, aku Emily! aku lihat kamu sedang kebingungan. Apakah kamu sedang membutuhkan bantuan?" tanyanya.

Abigail memperhatikannya dari ujung kepala hingga kaki, ia nampak ragu untuk menjawab pertanyaan Emily.

"Tidak perlu takut, aku tidak akan berbuat jahat padamu."

"Aku, aku butuh tempat tinggal dan pekerjaan." sahut Abigail pelan.

Emily dan Erick saling pandang dengan senyum licik, "Aku bisa membantumu untuk itu,"

"Benarkah?"

"Ya, apakah kamu ingin bekerja di klub itu? kamu juga akan mendapatkan tempat tinggal dan makan gratis selama bekerja disana," tunjuk Emily pada sebuah gedung yang ada di pertigaan jalan.

Abigail menatap ragu tempat tersebut, "Pekerjaan apa yang akan aku dapatkan disana?"

"Waitress, apa kamu bersedia?"

Abigail akhirnya menyetujui tawaran Emily, Emily dengan senang hati menggandeng tangannya sedangkan Erick membawakan koper miliknya. Abigail dituntun ke sebuah ruangan yang berada paling pojok gedung, hiruk pikuk keramaian dan dentuman alunan musik yang cukup keras membuat Abigail merasa tidak nyaman. Disana ia dipertemukan dengan seorang wanita paruh baya yang Emily panggil madam Veronica, wanita itu masih memiliki penampilan yang cukup menawan di usianya yang tidak lagi muda.

"Cantik juga, berapa harga yang kalian tawarkan untuk gadis ini?" tanya madam Veronica.

"Harga? apa maksudnya ini?" tanya Abigail panik.

"Oh, rupanya kalian menipu gadis polos ini ya?" madam Veronica berdecak pelan ke arah Emily dan Erick.

"Harga yang aku maksud adalah harga dirimu gadis manis, Erick dan Emily menjualmu kepadaku sebagai pekerja seks di klub milikku." sambungnya seraya mengelus rambut Abigail.

"Tidak! aku tidak mau!"

Tanpa pikir panjang Abigail langsung berlari secepat kilat dari ruangan madam Veronica, tanpa memperhatikan apa yang ada di depannya dan seberapa besar sisa tenaganya. Abigail berlari terengah-engah, mencoba menghindari kejaran anak buah madam Veronica, Erick dan juga Emily. Koper yang ia seret juga ia jadikan senjata untuk menyerang siapapun yang mengejar ataupun menghalangi jalannya, ia bahkan tidak perduli apakah orang tersebut anak buah madam Veronica atau bukan.

"Ada apa?" tanya salah satu pengunjung VIP kepada seorang waitress, ketika melihat Abigail lewat dengan diikuti anak buah madam Veronica.

"Ada seorang gadis yang kabur dari ruangan madam Veronica," sahutnya.

"Calon gadis penghibur disini?"

"Entahlah, saya tidak mengetahuinya tuan."

*******

Setelah berhasil kabur dari klub malam tersebut, Abigail mulai bisa bernafas lega dengan dada yang terasa panas seperti terbakar. Kaki dan tangannya agak terasa nyeri Karena perlawanan yang ia lakukan untuk menghindari kejaran para pria itu, tenaganya juga habis terkuras dan rasanya ia tidak sanggup lagi untuk berjalan.

Abigail merebahkan dirinya di atas aspal yang dingin, tidak ada selimut hangat yang menyelimuti atau mengalaskan tubuhnya. Tubuhnya kedinginan dengan rasa lapar yang terus menggerogoti perutnya, Abigail ingin sekali membeli makanan namun ia harus menghemat sampai ia kembali mendapatkan pekerjaan.

Abigail terlelap dalam keadaan yang menyedihkan, tidak pernah terlintas di dalam benaknya jika ia akan mengalami nasib seperti ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status