Pagi menjelang, Abigail terbangun ketika mendengar suara lalu lalang kendaraan dan aktifitas orang-orang di sekitarnya. semua orang menoleh ke arahnya bahkan berbisik tentangnya namun tidak ada satupun yang menolongnya, keadaannya begitu kacau dengan mata sembab dan kepala yang terasa sakit karena menangis semalaman.
Abigail mencoba membuka pintu namun ternyata Ben menguncinya dari dalam, Ben benar-benar serius mengusirnya."Ben," panggil Abigail lemah, tenggorokannya terasa kering dan perutnya juga terasa sakit.Setelah berkali-kali memanggilnya, Ben akhirnya keluar menghampirinya namun di tangannya membawa koper milik Abigail. Tatapannya begitu dingin, ia bahkan tidak sudi menatap Abigail terlalu lama."Kamu benar-benar mengusirku?" tanya Abigail, air mata kembali menggenang di netranya.Ben menatapnya cukup lama, dengan tatapan yang sulit untuk Abigail artikan."Apakah saat ini kamu sudah cukup membenciku Abigail?" tanya Ben yang dibalas anggukan oleh Abigail."Tapi aku akan memaafkanmu jika kamu mengembalikan uang yang kamu curi dariku,""Kalau begitu pergilah, aku tidak akan pernah mengembalikan uangmu dan kamu juga tidak bisa menuntutku atas uang itu. Kita sudah berakhir Abigail,"Hati Abigail terasa berdenyut nyeri dan rasanya seperti tersayat sebilah belati tajam. "Baiklah, aku akan pergi. Aku pasti bisa menemukan pengganti yang jauh lebih baik darimu dan semoga kamu terus bahagia setelah menghancurkan hidup seseorang Benedict Cattegrin."Abigail mengambil kopernya, ia tertawa di dalam tangisnya. Menertawakan kebodohan dirinya karena terlalu mempercayai Ben, juga menangisi ketragisan kisah hidupnya. Abigail tidak tau harus pergi kemana, uangnya tidak cukup untuk menyewa sebuah rumah bahkan untuk makan satu bulanpun sepertinya sangat tidak cukup.Abigail terus berjalan menyeret kopernya tidak tentu arah, sampai akhirnya ia tidak sanggup lagi berjalan dan memilih beristirahat di sebuah kursi minimarket. Ia memesan sebuah roti sandwich kecil dan air mineral untuk mengisi perutnya, baru saja Abigail hendak menyantap sandwich tersebut namun dari kejauhan seorang anak kecil memperhatikan lekat sandwich yang tengah ia pegang. Abigail menggerakan tangan dengan gestur memanggil, anak kecil itu langsung menghampirinya dengan senyum lebar dan menampilkan giginya yang tanggal."Kamu mau sandwich ini?" tanya Abigail."Iya, aku mau." jawabnya riang.Abigail memberikan sandwich miliknya, namun tiba-tiba seorang wanita datang dan melempar sandwich tersebut ke jalanan yang tergenang air kotor."Claire, sudah beberapa kali ibu katakan jangan pernah menerima makanan ataupun minuman dari orang asing!" bentaknya lalu membawa anak itu pergi tanpa meminta maaf pada Abigail.Abigail menatap nanar sandwich yang tergeletak di jalan, ia memungut kembali sandwich tersebut dan membersihkan bagian yang kotor. Abigail memakan sandwich tersebut dengan punggung yang gemetar, tangan kirinya terus menyeka air matanya yang tidak kunjung berhenti mengalir. Ia ingin pulang ke pangkuan suster Margaretha, namun ia tidak ingin suster Margaretha terbebani pikirannya karena masalah yang menimpanya. Abigail kembali berjalan menyusuri jalan yang perlahan mulai menggelap, Abigail mengecek saldo akun rekeningnya yang hanya menyisakan beberapa dollar. Memikirkan bagaimana caranya ia bertahan hidup hanya dengan uang seadanya, juga tempat tinggal dengan harga sewa yang murah."Erick, lihat wanita disana. Sepertinya kita akan mendapatkan uang malam ini," pasangan muda itu lalu menghampiri Abigail yang tengah kebingungan di tengah gelapnya malam."Hai, aku Emily! aku lihat kamu sedang kebingungan. Apakah kamu sedang membutuhkan bantuan?" tanyanya.Abigail memperhatikannya dari ujung kepala hingga kaki, ia nampak ragu untuk menjawab pertanyaan Emily."Tidak perlu takut, aku tidak akan berbuat jahat padamu.""Aku, aku butuh tempat tinggal dan pekerjaan." sahut Abigail pelan.Emily dan Erick saling pandang dengan senyum licik, "Aku bisa membantumu untuk itu,""Benarkah?""Ya, apakah kamu ingin bekerja di klub itu? kamu juga akan mendapatkan tempat tinggal dan makan gratis selama bekerja disana," tunjuk Emily pada sebuah gedung yang ada di pertigaan jalan.Abigail menatap ragu tempat tersebut, "Pekerjaan apa yang akan aku dapatkan disana?""Waitress, apa kamu bersedia?"Abigail akhirnya menyetujui tawaran Emily, Emily dengan senang hati menggandeng tangannya sedangkan Erick membawakan koper miliknya. Abigail dituntun ke sebuah ruangan yang berada paling pojok gedung, hiruk pikuk keramaian dan dentuman alunan musik yang cukup keras membuat Abigail merasa tidak nyaman. Disana ia dipertemukan dengan seorang wanita paruh baya yang Emily panggil madam Veronica, wanita itu masih memiliki penampilan yang cukup menawan di usianya yang tidak lagi muda."Cantik juga, berapa harga yang kalian tawarkan untuk gadis ini?" tanya madam Veronica."Harga? apa maksudnya ini?" tanya Abigail panik."Oh, rupanya kalian menipu gadis polos ini ya?" madam Veronica berdecak pelan ke arah Emily dan Erick."Harga yang aku maksud adalah harga dirimu gadis manis, Erick dan Emily menjualmu kepadaku sebagai pekerja seks di klub milikku." sambungnya seraya mengelus rambut Abigail."Tidak! aku tidak mau!"Tanpa pikir panjang Abigail langsung berlari secepat kilat dari ruangan madam Veronica, tanpa memperhatikan apa yang ada di depannya dan seberapa besar sisa tenaganya. Abigail berlari terengah-engah, mencoba menghindari kejaran anak buah madam Veronica, Erick dan juga Emily. Koper yang ia seret juga ia jadikan senjata untuk menyerang siapapun yang mengejar ataupun menghalangi jalannya, ia bahkan tidak perduli apakah orang tersebut anak buah madam Veronica atau bukan."Ada apa?" tanya salah satu pengunjung VIP kepada seorang waitress, ketika melihat Abigail lewat dengan diikuti anak buah madam Veronica."Ada seorang gadis yang kabur dari ruangan madam Veronica," sahutnya."Calon gadis penghibur disini?""Entahlah, saya tidak mengetahuinya tuan."*******Setelah berhasil kabur dari klub malam tersebut, Abigail mulai bisa bernafas lega dengan dada yang terasa panas seperti terbakar. Kaki dan tangannya agak terasa nyeri Karena perlawanan yang ia lakukan untuk menghindari kejaran para pria itu, tenaganya juga habis terkuras dan rasanya ia tidak sanggup lagi untuk berjalan.Abigail merebahkan dirinya di atas aspal yang dingin, tidak ada selimut hangat yang menyelimuti atau mengalaskan tubuhnya. Tubuhnya kedinginan dengan rasa lapar yang terus menggerogoti perutnya, Abigail ingin sekali membeli makanan namun ia harus menghemat sampai ia kembali mendapatkan pekerjaan.Abigail terlelap dalam keadaan yang menyedihkan, tidak pernah terlintas di dalam benaknya jika ia akan mengalami nasib seperti ini."Ugh, kenapa pemerintah tidak becus mengurus tunawisma yang berkeliaran di kota ini. Mereka membuat kotor pemandangan kota," gerutu seorang wanita dengan tatapan sinis menatap Abigail. Abigail hanya bisa mengabaikan hinaan yang ia dengar, matanya terus menutup dan baru terbuka setelah orang-orang tidak lagi melewatinya. Ia pergi dari jalanan tempat ia tidur dan kembali berjalan tanpa tentu arah, di sebuah perempatan jalan ia menyusuri sebuah gedung tua yang sudah tidak terawat dan menjajaki setiap lantainya. Abigail sudah benar-benar putus asa, tidak ada hal lain yang ia pikirkan selain menyelesaikan semuanya bagaimana pun caranya."Aku benci kamu Ben!" teriak Abigail. Abigail menangis histeris dengan pikiran yang kacau, kehilangan pekerjaan dan dicampakkan oleh orang yang dicintainya membuat Abigail teramat frustasi. Abigail menapaki sisi pinggir rooftop, ketinggian ini sesungguhnya membuat Abigail merinding dan takut namun rasa putus asa jauh lebih besar dari rasa takutnya. Abiga
Gara-gara kejadian handuk kemarin, Zach seperti tidak memiliki muka untuk berhadapan dengan Abigail. Zach takut Abigail salah sangka, Zach takut jika Abigail menganggap jika ia melakukan itu dengan sengaja.Saat keadaan masih sangat sepi di pagi hari, Zach mengendap-endap keluar untuk membuat sarapan untuknya dan juga Abigail. Zach membuat sarapan dengan terburu-buru, berharap jika ia tidak berpapasan dengan Abigail dan langsung pergi setelah selesai sarapan. Namun rencananya sungguh di luar ekspektasinya, Abigail keluar dari kamar hanya dengan menggunakan handuk kimono dan rambut yang nampak basah. Wajahnya yang polos tanpa make up terlihat lebih muda, dengan pipi kemerahan alami yang sedikit chubby."Zach, kebetulan kamu ada disini. Boleh aku minta tolong padamu? hair dryer ku tidak bisa digunakan, apa mungkin stop kontak di kamar ini mati?" tanya Abigail seraya mengacungkan hair dryer ke arahnya.Zach masih terdiam dengan mata yang terus tertuju pada Abigail, seakan dunianya berhent
Lima belas menit Abigail menunggu, tamu tersebut akhirnya datang dengan mobil mewahnya. Seorang wanita yang usianya mungkin sebaya dengannya, namun terlihat jelas sekali kalau ia berasal dari kalangan atas. Wajahnya begitu sinis menatap sekelilingnya dan sikapnya cukup arogan, tapi siapa yang peduli? selama ia memberikan keuntungan untuk tempat ini maka ia tetap akan diperlakukan seperti seorang ratu."Selamat datang nona, kami sudah mempersiapkan table khusus untuk anda." ucap Abigail ramah, tapi wanita itu sama sekali tidak menoleh ke arahnya.Abigail membuang nafas pelan, ia bukan tipe orang yang memiliki kesabaran yang seluas samudera namun ia tahan rasa kesalnya demi uang. Wanita itu menatap meja yang hendak ia tempati, terlihat guratan rasa kesal di wajahnya namun tidak ada yang tau penyebabnya."Mr. Hansen," panggilnya seraya menjentikkan jemari lentiknya."Ya nona Lucia, ada yang bisa saya bantu?" tanya Hansen."Apa anda ingin membuat kulit saya kotor dengan menempatkan saya d
"Lucia, sepertinya kamu tidak perlu memperpanjang masalah ini. Aku pikir satu hari dipenjara sudah pasti membuatnya jera, apalagi kamu juga membayar para narapidana disana untuk memberikannya pelajaran.""Ada apa? apa kamu merasa kasihan padanya?" "Dia hanya wanita malang, dia tidak memiliki apapun atau siapapun di dunia ini." Lucia berdiri menatap tajam ke arah pria di hadapannya, "Apa kamu masih memiliki perasaan terhadapnya Benedict Cattegirn?" "Tidak! tentu tidak! aku hanya merasa kasihan saja padanya, tidak lebih." "Bagus, tapi aku tetap akan memperpanjang masalah ini. Bahkan semakin akan aku persulit karena ternyata dia adalah mantan kekasihmu," ujarnya angkuh, wanita ini benar-benar tidak memiliki hati nurani. Ben benar-benar menyesal, jika saja ia tidak membuat Abigail bekerja disana mungkin Abigail tidak akan bertemu wanita ini dan mengalami semua ini. Niat membalas rasa bersalahnya, justru Ben malah membuat Abigail menderita untuk yang kedua kalinya karena ulahnya. "Luc
Hampir seharian Zach menunggu Abigail, akhirnya Abigail tersadar juga namun ia nampak linglung dan tidak menunjukkan pergerakan apapun. Zach segera memanggil dokter yang menangani Abigail, setelah dilakukan observasi Abigail akhirnya dapat merespon sekitarnya dan orang yang pertama ia cari adalah Zach. "Zach, apa kamu yang membebaskan aku dari penjara?" tanyanya lemah. "Iya dengan sedikit kesepakatan," "Kesepakatan? maksudmu kamu menjadikan dirimu jaminan Zach?" "Kamu tidak perlu memikirkan itu, yang terpenting sekarang kamu sudah keluar dari tempat itu Aby." Abigail menatap Zach lekat, jika dilihat dari penampilannya Zach tidak terlihat seperti orang yang bisa menjadikan dirinya sebagai jaminan untuk mengeluarkan seseorang dari penjara. Namun setelah Abigail pikir, Zach memiliki nama Christensen di belakang namanya. "Zach, namamu Zachary Christensen kan?" "Iya, ada apa dengan namaku?" "Apa kamu salah satu keturunan Christensen? konglomerat kaya pesaing keluarga Walton?" tanya
Setelah keadaannya dinyatakan membaik, Abigail kini sudah diperbolehkan pulang oleh dokter dan menjalani pengobatan dari rumah. Sejak keluar dari rumah sakit hingga sampai di rumah, Zach begitu perhatian bahkan overprotektif padanya. Abigail tidak boleh melakukan ini itu, bahkan ia tidak diizinkan berjalan oleh Zach. Zach terus menggendongnya seperti bayi, membuat Abigail kesal setengah mati. "Zach, turunkan aku!" titah Abigail yang berada dalam gendongannya.Jika tidak ada memar di tubuhnya mungkin orang-orang akan mengira mereka adalah pengantin baru, mengingat cara menggendong Zach yang nampak seperti pengantin pria. "Tidak, kamu masih lemah." "Zach, aku sudah baik-baik saja jadi turunkan aku sekarang." Zach menatapnya sesaat lalu melepas pegangan tangannya pada kaki Abigail, Abigail memekik kesakitan karena kakinya mendarat dalam posisi yang salah. "Sudah kubilang kamu masih lemah," ucapnya lalu menggendong Abigail kembali. "Aku tidak lemah! kakiku menapak dalam posisi yang
Makan malam yang Zach buat kini sudah siap di atas meja dan siap untuk disantap, namun sejak siang Abigail tidak kunjung keluar dari kamar bahkan kamarnya pun masih terlihat gelap. Zach yang mendadak cemas langsung mengetuk pintu kamar Abigail berkali-kali namun tidak ada sedikitpun respon dari dalam sana, ia yang sudah tidak bisa menahan kesabaran lagi akhirnya mendobrak pintu kamar Abigail dan mengejutkan Abigail yang tengah termenung di dekat jendela. "Apa kamu tuli! aku mengetuk pintu kamarmu berkali-kali tapi kamu tidak kunjung membukanya!" bentaknya tanpa sadar. Abigail hanya diam dan kembali merenung menatap keluar jendela, kebiasaan buruk Abigail adalah ketika ia terlalu banyak berpikir ia akan enggan berbicara kepada siapapun. Zach mendengkus kesal, rasanya sia-sia sekali ia mengkhawatirkannya. Zach yang merasa diabaikan memilih untuk meninggalkan kembali Abigail sendirian di kamar, namun langkahnya terhenti kala melihat dokumen di tangan Abigail dengan nama Walton Corporat
Zach menarik tangan Abigail ke sebuah wahana yang sangat Abigail takuti sejak dulu, apalagi kalau bukan roller coaster. Abigail tidak langsung mengiyakan ajakan Zach untuk menaiki wahana ekstrem itu, ia berpikir keras sampai akhirnya ia mau ikut bersama Zach. "Kenapa kamu tegang sekali?" tanya Zach. "Zach, aku sebenarnya tidak berani menaiki wahana ini." sahut Abigail, wajahnya sudah pucat pasi dan terlihat guratan penyesalan di wajahnya. "Kenapa kamu tidak bilang! ayo kita turun," Namun belum sempat mereka turun, wahana sudah dijalankan dan tidak ada jalan bagi mereka untuk melarikan diri. Abigail berteriak histeris bahkan nyaris menangis saat roller coaster mulai bergerak mengikuti relnya, ia memegang tangan Zach erat sampai Zach meringis kesakitan. Setelah melewati detik-detik yang menengangkan Abigail akhirnya bisa bernafas lega, ia pikir tadi ia akan terkena serangan jantung karena deru detak jantungnya sempat berdetak diluar normal."Itu gila, tapi menyenangkan!" pekiknya, d