Lima belas menit Abigail menunggu, tamu tersebut akhirnya datang dengan mobil mewahnya. Seorang wanita yang usianya mungkin sebaya dengannya, namun terlihat jelas sekali kalau ia berasal dari kalangan atas. Wajahnya begitu sinis menatap sekelilingnya dan sikapnya cukup arogan, tapi siapa yang peduli? selama ia memberikan keuntungan untuk tempat ini maka ia tetap akan diperlakukan seperti seorang ratu.
"Selamat datang nona, kami sudah mempersiapkan table khusus untuk anda." ucap Abigail ramah, tapi wanita itu sama sekali tidak menoleh ke arahnya.Abigail membuang nafas pelan, ia bukan tipe orang yang memiliki kesabaran yang seluas samudera namun ia tahan rasa kesalnya demi uang. Wanita itu menatap meja yang hendak ia tempati, terlihat guratan rasa kesal di wajahnya namun tidak ada yang tau penyebabnya."Mr. Hansen," panggilnya seraya menjentikkan jemari lentiknya."Ya nona Lucia, ada yang bisa saya bantu?" tanya Hansen."Apa anda ingin membuat kulit saya kotor dengan menempatkan saya di meja kotor seperti ini?"Hansen menatap meja tersebut dengan teliti, namun meja tersebut tidak terlihat kotor sama sekali. Lucia mendesah kesal, ia menarik ujung jas Hansen dan menjadikannya kain untuk membersihkan meja tersebut."Apa kamu sudah bisa melihat bayanganmu disana?" tunjuk Lucia pada meja yang baru saja ia bersihkan."Sudah nona,""Jadi apakah sekarang kamu sudah paham mengapa meja ini aku sebut kotor?"Hansen mengangguk cepat, ia segera mengambil alat-alat untuk membersihkan ulang meja hingga meja tersebut nampak terlihat mengilat. Semua karyawan yang memang sudah tau perangai Lucia nampak biasa saja melihat sikap arogannya, namun untuk Abigail itu terasa sangat menyebalkan bahkan rasanya Abigail ingin menampar Lucia dengan baki berisi air kotor tersebut."Dimana wine pesanan ku?" tanyanya.Abigail segera menuangkan wine untuknya, namun karena moodnya yang sedang tidak baik Abigail tanpa sengaja membuat wine tersebut menetes keluar dari gelas. Lucia nampak begitu kesal melihatnya, ia lalu mendorong tangan Abigail hingga wine tersebut semakin banyak tumpah ke meja dan mengenai tas mahalnya."Ah, tas mahalku!" pekiknya."Dasar pelayan bodoh! apa kamu tidak bisa bekerja!" ia mendorong bahu Abigail kasar.Tidak hanya itu, ia juga menarik alas table hingga semua makanan yang ada tumpah berantakan ke lantai. Lucia memang terkenal dengan perangainya yang buruk juga emosinya yang tidak terkontrol, namun tidak ada yang berani menentangnya karena ia putri kesayangan dari konglomerat di negara ini."Abigail, cepat minta maaf!" pinta Hansen berbisik dengan suara gemetar."Kenapa aku harus minta maaf, aku tidak melakukan hal buruk padanya. Tasnya kotor karena ulahnya sendiri yang mendorong tanganku,""Abigail, demi tuhan cepat minta maaf padanya! aku punya dua putri yang harus aku biayai. Kamu tidak tau siapa dia jadi tolong minta maaf saja,"Abigail akhirnya mengalah, ia meminta maaf pada Lucia namun Lucia yang arogan tidak merasa puas hanya dengan ucapan permohonan maaf. Lucia ingin Abigail bersujud di bawah kakinya, Abigail awalnya menolak permintaan Lucia namun semua orang menatap Abigail penuh harap. Mau tidak mau Abigail berlutut di bawah kaki Lucia, namun yang terjadi selanjutnya benar-benar membuat Abigail kesal setengah mati.Lucia tertawa, ia tertawa terbahak-bahak setelah menuangkan sebotol wine ke kepala Abigail. Tanpa basa basi Abigail bangkit, ia mengambil botol wine tersebut dari tangan Lucia dan melemparnya hingga pecah berkeping-keping. Sorot mata Lucia langsung berubah ketakutan, wanita arogan tersebut nampak sedikit gemetar namun kesombongannya tidak pudar juga dari wajahnya."Aku pikir sepertinya aku harus memberikan kamu sedikit pelajaran," ucap Abigail dingin."Apa, apa maksudmu? kamu pikir kamu siapa! dasar pelayan rendahan!" tantang Lucia.Plak!Sebuah tamparan kuat mendarat di pipi Lucia, kulit wajahnya yang putih seketika berubah memerah dengan denyut nyeri yang cukup membuat pikirannya blank sejenak."Kamu! kamu akan menerima balasan atas perbuatanmu ini, juga restoran ini! aku akan membuatnya tutup untuk selamanya!" ancamnya lalu pergi."Abigail! apa yang sudah kamu lakukan!" Hansen panik bukan main."Apa otakmu tidak bisa berfungsi dengan baik? kamu membuat semua pekerja yang ada disini terancam menjadi pengangguran Abigail!"Hansen pergi ke ruangannya dan membanting semua barang yang ada di ruangan ini, tidak hanya Hansen. Semua pekerja yang lain juga marah, mereka menggantungkan hidup mereka dari restoran ini dan Abigail membuat mereka terancam kehilangan pendapatan mereka."Aku minta maaf," ucap Abigail penuh penyesalan, namun semuanya sudah terlambat.Abigail dipecat, ini belum satu hari jam kerjanya namun ia sudah membuat kekacauan. Tidak hanya itu, Lucia juga benar-benar membuktikan ucapannya. Restoran tersebut sudah didatangi oleh pihak berwajib, dalam waktu sekejap mata proses penutupan restoran akan segera dilaksanakan.Abigail pulang dengan perasaan bersalah dan menyesal yang amat dalam, jika ia bisa memutar waktu kembali ia ingin bersujud lebih tulus di kaki Lucia."Aby?" panggil Zach, ia nampak heran melihat Abigail pulang dengan air mata yang mengalir deras.Abigail langsung memeluk Rainy yang tengah menyambutnya di ambang pintu, Zach segera menghampirinya dan menggiringnya duduk ke sofa. Zach melepas rompi kerjanya yang kotor, lalu memeluk Abigail erat. Abigail menangis sesenggukan hingga dadanya terasa sakit, Zach tidak tau apa yang sudah menimpanya namun dari tangisannya Zach tau ini bukan masalah sepele."Zach, aku telah melakukan kesalahan." ucapnya di dalam pelukan Zach.Belum sempar Zach bertanya, tiba-tiba polisi datang dan menjemput Abigail secara paksa. Abigail bahkan diseret seperti seekor hewan, Zach yang panik segera pergi menyusul Abigail ke kantor polisi tanpa membawa apapun selain mobil tuanya.******"Nona Abigail Lynelle Wright, apa benar anda telah melakukan tindak penganiayaan terhadap nona Lucia Walton?" tanya penyelidik."Aku, aku tidak menganiayanya. Aku hanya menamparnya!" sanggah Abigail."Tapi kami menemukan pecahan botol wine dengan sidik jari anda disana, tolong bersikaplah kooperatif nona.""Tapi aku memang tidak melakukan apapun selain menamparnya, aku memang melempar botol wine itu tapi aku tidak melukai Lucia dan semua pegawai ada disana. Mereka melihat yang aku lakukan, Mr.Hansen! kamu melihat semuanya kan? apa aku menganiaya Lucia? aku tidak melakukannya bukan?" ucap Abigail, namun Hansen hanya diam dan menggeleng tanpa arti."Karena kamu tidak memiliki bukti kalau kamu tidak bersalah, maka untuk sementara aku akan menahanmu sampai proses penyelidikan selesai."Tangan Abigail diborgol kembali, ia diseret lagi ke penjara bertepatan dengan kedatangan Zach. Abigail berteriak meminta pertolongan terhadap Zach, namun semuanya sia-sia karena ia tetap diseret ke sel dingin sempit dan kotor yang nampak seperti toilet umum.Zach mencoba bernegosiasi agar Abigail bisa mendapatkan penangguhan penahanan, namun tetap saja polisi tidak mau mendengarkan permohonan Zach karena keluarga Walton sudah membayar mahal untuk membawa kasus ini ke jalur hukum."Baiklah, jika anda tidak mendengarkan permohonan saya. Tapi saya ingin menemui Abigail sebentar saja,""Untuk apa?""Hanya untuk menenangkannya," ucapnya.Zach dipersilahkan menemui Abigail namun hanya beberapa menit saja, baru beberapa menit Abigail dipenjara namun para narapidana wanita lain sudah menghujani wajahnya dengan tamparan berkali-kali atas balasan karena ia sudah menampar Lucia."Zach, sakit." ringis Abigail, wajahnya sudah mulai terlihat membengkak kemerahan.Hati Zach terenyuh nyeri melihatnya, "Aby, aku akan membebaskanmu. Tunggulah, kamu juga harus menghubungi keluargamu agar mereka tau dan bisa menguatkanmu Aby.""Aku tidak punya siapapun di dunia ini Zach," sahut Abigail dengan senyum tipis."Apa maksudmu?""Aku dibesarkan di panti asuhan sejak bayi, hanya suster Margaretha yang aku punya tapi tolong jangan beritahukan dia apapun tentangku. Dia sudah sangat tua dan sering sakit, aku takut kondisinya semakin memburuk jika dia tau keadaanku sekarang." pinta Abigail pasrah."Baiklah, jadilah wanita yang baik dan tunggu aku menjemputmu." ucap Zach sebelum pergi.semakin jauh ia melangkah, Abigail semakin kehilangan sosoknya dan kini Zach benar-benar hilang dari pandangannya. Abigail menangis pelan, meringkuk di lantai dingin tanpa alas dan sesekali mendapatkan perlakuan kasar dari para narapidana lain."Lucia, sepertinya kamu tidak perlu memperpanjang masalah ini. Aku pikir satu hari dipenjara sudah pasti membuatnya jera, apalagi kamu juga membayar para narapidana disana untuk memberikannya pelajaran.""Ada apa? apa kamu merasa kasihan padanya?" "Dia hanya wanita malang, dia tidak memiliki apapun atau siapapun di dunia ini." Lucia berdiri menatap tajam ke arah pria di hadapannya, "Apa kamu masih memiliki perasaan terhadapnya Benedict Cattegirn?" "Tidak! tentu tidak! aku hanya merasa kasihan saja padanya, tidak lebih." "Bagus, tapi aku tetap akan memperpanjang masalah ini. Bahkan semakin akan aku persulit karena ternyata dia adalah mantan kekasihmu," ujarnya angkuh, wanita ini benar-benar tidak memiliki hati nurani. Ben benar-benar menyesal, jika saja ia tidak membuat Abigail bekerja disana mungkin Abigail tidak akan bertemu wanita ini dan mengalami semua ini. Niat membalas rasa bersalahnya, justru Ben malah membuat Abigail menderita untuk yang kedua kalinya karena ulahnya. "Luc
Hampir seharian Zach menunggu Abigail, akhirnya Abigail tersadar juga namun ia nampak linglung dan tidak menunjukkan pergerakan apapun. Zach segera memanggil dokter yang menangani Abigail, setelah dilakukan observasi Abigail akhirnya dapat merespon sekitarnya dan orang yang pertama ia cari adalah Zach. "Zach, apa kamu yang membebaskan aku dari penjara?" tanyanya lemah. "Iya dengan sedikit kesepakatan," "Kesepakatan? maksudmu kamu menjadikan dirimu jaminan Zach?" "Kamu tidak perlu memikirkan itu, yang terpenting sekarang kamu sudah keluar dari tempat itu Aby." Abigail menatap Zach lekat, jika dilihat dari penampilannya Zach tidak terlihat seperti orang yang bisa menjadikan dirinya sebagai jaminan untuk mengeluarkan seseorang dari penjara. Namun setelah Abigail pikir, Zach memiliki nama Christensen di belakang namanya. "Zach, namamu Zachary Christensen kan?" "Iya, ada apa dengan namaku?" "Apa kamu salah satu keturunan Christensen? konglomerat kaya pesaing keluarga Walton?" tanya
Setelah keadaannya dinyatakan membaik, Abigail kini sudah diperbolehkan pulang oleh dokter dan menjalani pengobatan dari rumah. Sejak keluar dari rumah sakit hingga sampai di rumah, Zach begitu perhatian bahkan overprotektif padanya. Abigail tidak boleh melakukan ini itu, bahkan ia tidak diizinkan berjalan oleh Zach. Zach terus menggendongnya seperti bayi, membuat Abigail kesal setengah mati. "Zach, turunkan aku!" titah Abigail yang berada dalam gendongannya.Jika tidak ada memar di tubuhnya mungkin orang-orang akan mengira mereka adalah pengantin baru, mengingat cara menggendong Zach yang nampak seperti pengantin pria. "Tidak, kamu masih lemah." "Zach, aku sudah baik-baik saja jadi turunkan aku sekarang." Zach menatapnya sesaat lalu melepas pegangan tangannya pada kaki Abigail, Abigail memekik kesakitan karena kakinya mendarat dalam posisi yang salah. "Sudah kubilang kamu masih lemah," ucapnya lalu menggendong Abigail kembali. "Aku tidak lemah! kakiku menapak dalam posisi yang
Makan malam yang Zach buat kini sudah siap di atas meja dan siap untuk disantap, namun sejak siang Abigail tidak kunjung keluar dari kamar bahkan kamarnya pun masih terlihat gelap. Zach yang mendadak cemas langsung mengetuk pintu kamar Abigail berkali-kali namun tidak ada sedikitpun respon dari dalam sana, ia yang sudah tidak bisa menahan kesabaran lagi akhirnya mendobrak pintu kamar Abigail dan mengejutkan Abigail yang tengah termenung di dekat jendela. "Apa kamu tuli! aku mengetuk pintu kamarmu berkali-kali tapi kamu tidak kunjung membukanya!" bentaknya tanpa sadar. Abigail hanya diam dan kembali merenung menatap keluar jendela, kebiasaan buruk Abigail adalah ketika ia terlalu banyak berpikir ia akan enggan berbicara kepada siapapun. Zach mendengkus kesal, rasanya sia-sia sekali ia mengkhawatirkannya. Zach yang merasa diabaikan memilih untuk meninggalkan kembali Abigail sendirian di kamar, namun langkahnya terhenti kala melihat dokumen di tangan Abigail dengan nama Walton Corporat
Zach menarik tangan Abigail ke sebuah wahana yang sangat Abigail takuti sejak dulu, apalagi kalau bukan roller coaster. Abigail tidak langsung mengiyakan ajakan Zach untuk menaiki wahana ekstrem itu, ia berpikir keras sampai akhirnya ia mau ikut bersama Zach. "Kenapa kamu tegang sekali?" tanya Zach. "Zach, aku sebenarnya tidak berani menaiki wahana ini." sahut Abigail, wajahnya sudah pucat pasi dan terlihat guratan penyesalan di wajahnya. "Kenapa kamu tidak bilang! ayo kita turun," Namun belum sempat mereka turun, wahana sudah dijalankan dan tidak ada jalan bagi mereka untuk melarikan diri. Abigail berteriak histeris bahkan nyaris menangis saat roller coaster mulai bergerak mengikuti relnya, ia memegang tangan Zach erat sampai Zach meringis kesakitan. Setelah melewati detik-detik yang menengangkan Abigail akhirnya bisa bernafas lega, ia pikir tadi ia akan terkena serangan jantung karena deru detak jantungnya sempat berdetak diluar normal."Itu gila, tapi menyenangkan!" pekiknya, d
Menempuh perjalanan selama hampir satu jam, mereka akhirnya tiba di sebuah pedesaan yang berada di pinggir kota. Sebuah rumah sederhana dengan papan kayu usang di halaman rumah bertuliskan panti asuhan yang sudah terkelupas catnya, bahkan nyaris tidak terbaca jika tidak melihatnya dari jarak dekat. Beberapa anak bermain di halaman rumah, ditemani oleh seorang gadis berusia belasan tahun yang nampak kurus. Gadis itu menoleh ke arah Abigail dan Zach, ia nampak bingung sejenak sampai akhirnya gadis itu bangkit dan menghampiri Abigail. "Aku merindukan kakak," ucapnya dengan mata berkaca-kaca. "Aku juga merindukanmu, Esther. Omong-omong dimana suster Margaretha?" "Dia ada di belakang, sedang menyiapkan makanan untuk makan siang." Abigail masuk ke tempat dimana ia pernah tinggal sebelum akhirnya memilih untuk hidup mandiri, tidak ada yang berubah dari tempat ini sejak ia meninggalkan rumah hingga sekarang."Esther, siapa yang datang!" teriak suster Margaretha dari balik dapur.Abigail
Beberapa hari berlalu, Abigail tidak lagi memikirkan soal penawaran Benedict padanya. Abigail lebih memilih memulai hidup yang baru daripada harus berurusan lagi dengan Lucia, ia ingin mengumpulkan kembali uang untuk perbaikan panti asuhan suster Margaretha. Di pagi hari, Abigail dengan setelan formalnya pergi ke sebuah perusahaan properti yang baru saja buka di kota ini. Meski hanya di terima di bagian pemasaran alias membagikan brosur kepada orang-orang di jalan, Abigail tetap menerima pekerjaan ini dengan senang hati. Hingga nyaris sore hari Abigail masih belum juga menemukan seseorang yang berminat dengan apa yang ia tawarkan, Abigail tidak tau jika mencari client ternyata sesulit ini. Dulu yang ia tau bagian pemasaran lah yang paling mudah, karena hanya harus menawarkan produk tapi nyatanya itu tidak semudah yang ia kira. Akhirnya malam pun tiba, Abigail pulang dengan tangan kosong karena ia belum mendapatkan client hari ini. Perutnya terasa keroncongan namun uangnya tidak cuk
Hingga pagi hari Zach masih belum juga kembali ke rumah, sebenarnya Abigail merasa bersalah karena sudah berkata seperti itu terhadapnya. Disaat keadaan tersulitnya yang menolongnya adalah Zach, namun ia malah berani berkata seperti itu kepada orang yang sudah menyelamatkan hidupnya. Rainy menggonggong di bawah kaki Abigail, hidungnya menggeser tempat makannya seolah-olah tengah meminta diberi makan. "Anak malang, kamu pasti kelaparan semalaman." ujarnya sambil melihat Rainy yang begitu lahap memakan makanannya. Hujan mulai turun deras di luar, namun hingga kini Abigail masih belum melihat kedatangan Zach. Berbagai asumsi berkecamuk di dalam benaknya, yang membuat hatinya semakin merasa bersalah pada Zach. Abigail memutar pikirannya dan mencari cara agar Zach mau memaafkannya, namun sialnya ia tidak tau apapun tentang Zach. Hanya satu yang bisa ia lakukan, yaitu membuatkan makanan untuk Zach. Entah Zach akan menyukainya atau tidak, yang jelas ia sudah berusaha meminta maaf. Abigail