Share

5. Aku tidak bersalah!

Lima belas menit Abigail menunggu, tamu tersebut akhirnya datang dengan mobil mewahnya. Seorang wanita yang usianya mungkin sebaya dengannya, namun terlihat jelas sekali kalau ia berasal dari kalangan atas. Wajahnya begitu sinis menatap sekelilingnya dan sikapnya cukup arogan, tapi siapa yang peduli? selama ia memberikan keuntungan untuk tempat ini maka ia tetap akan diperlakukan seperti seorang ratu.

"Selamat datang nona, kami sudah mempersiapkan table khusus untuk anda." ucap Abigail ramah, tapi wanita itu sama sekali tidak menoleh ke arahnya.

Abigail membuang nafas pelan, ia bukan tipe orang yang memiliki kesabaran yang seluas samudera namun ia tahan rasa kesalnya demi uang. Wanita itu menatap meja yang hendak ia tempati, terlihat guratan rasa kesal di wajahnya namun tidak ada yang tau penyebabnya.

"Mr. Hansen," panggilnya seraya menjentikkan jemari lentiknya.

"Ya nona Lucia, ada yang bisa saya bantu?" tanya Hansen.

"Apa anda ingin membuat kulit saya kotor dengan menempatkan saya di meja kotor seperti ini?"

Hansen menatap meja tersebut dengan teliti, namun meja tersebut tidak terlihat kotor sama sekali. Lucia mendesah kesal, ia menarik ujung jas Hansen dan menjadikannya kain untuk membersihkan meja tersebut.

"Apa kamu sudah bisa melihat bayanganmu disana?" tunjuk Lucia pada meja yang baru saja ia bersihkan.

"Sudah nona,"

"Jadi apakah sekarang kamu sudah paham mengapa meja ini aku sebut kotor?"

Hansen mengangguk cepat, ia segera mengambil alat-alat untuk membersihkan ulang meja hingga meja tersebut nampak terlihat mengilat. Semua karyawan yang memang sudah tau perangai Lucia nampak biasa saja melihat sikap arogannya, namun untuk Abigail itu terasa sangat menyebalkan bahkan rasanya Abigail ingin menampar Lucia dengan baki berisi air kotor tersebut.

"Dimana wine pesanan ku?" tanyanya.

Abigail segera menuangkan wine untuknya, namun karena moodnya yang sedang tidak baik Abigail tanpa sengaja membuat wine tersebut menetes keluar dari gelas. Lucia nampak begitu kesal melihatnya, ia lalu mendorong tangan Abigail hingga wine tersebut semakin banyak tumpah ke meja dan mengenai tas mahalnya.

"Ah, tas mahalku!" pekiknya.

"Dasar pelayan bodoh! apa kamu tidak bisa bekerja!" ia mendorong bahu Abigail kasar.

Tidak hanya itu, ia juga menarik alas table hingga semua makanan yang ada tumpah berantakan ke lantai. Lucia memang terkenal dengan perangainya yang buruk juga emosinya yang tidak terkontrol, namun tidak ada yang berani menentangnya karena ia putri kesayangan dari konglomerat di negara ini.

"Abigail, cepat minta maaf!" pinta Hansen berbisik dengan suara gemetar.

"Kenapa aku harus minta maaf, aku tidak melakukan hal buruk padanya. Tasnya kotor karena ulahnya sendiri yang mendorong tanganku,"

"Abigail, demi tuhan cepat minta maaf padanya! aku punya dua putri yang harus aku biayai. Kamu tidak tau siapa dia jadi tolong minta maaf saja,"

Abigail akhirnya mengalah, ia meminta maaf pada Lucia namun Lucia yang arogan tidak merasa puas hanya dengan ucapan permohonan maaf. Lucia ingin Abigail bersujud di bawah kakinya, Abigail awalnya menolak permintaan Lucia namun semua orang menatap Abigail penuh harap. Mau tidak mau Abigail berlutut di bawah kaki Lucia, namun yang terjadi selanjutnya benar-benar membuat Abigail kesal setengah mati.

Lucia tertawa, ia tertawa terbahak-bahak setelah menuangkan sebotol wine ke kepala Abigail. Tanpa basa basi Abigail bangkit, ia mengambil botol wine tersebut dari tangan Lucia dan melemparnya hingga pecah berkeping-keping. Sorot mata Lucia langsung berubah ketakutan, wanita arogan tersebut nampak sedikit gemetar namun kesombongannya tidak pudar juga dari wajahnya.

"Aku pikir sepertinya aku harus memberikan kamu sedikit pelajaran," ucap Abigail dingin.

"Apa, apa maksudmu? kamu pikir kamu siapa! dasar pelayan rendahan!" tantang Lucia.

Plak!

Sebuah tamparan kuat mendarat di pipi Lucia, kulit wajahnya yang putih seketika berubah memerah dengan denyut nyeri yang cukup membuat pikirannya blank sejenak.

"Kamu! kamu akan menerima balasan atas perbuatanmu ini, juga restoran ini! aku akan membuatnya tutup untuk selamanya!" ancamnya lalu pergi.

"Abigail! apa yang sudah kamu lakukan!" Hansen panik bukan main.

"Apa otakmu tidak bisa berfungsi dengan baik? kamu membuat semua pekerja yang ada disini terancam menjadi pengangguran Abigail!"

Hansen pergi ke ruangannya dan membanting semua barang yang ada di ruangan ini, tidak hanya Hansen. Semua pekerja yang lain juga marah, mereka menggantungkan hidup mereka dari restoran ini dan Abigail membuat mereka terancam kehilangan pendapatan mereka.

"Aku minta maaf," ucap Abigail penuh penyesalan, namun semuanya sudah terlambat.

Abigail dipecat, ini belum satu hari jam kerjanya namun ia sudah membuat kekacauan. Tidak hanya itu, Lucia juga benar-benar membuktikan ucapannya. Restoran tersebut sudah didatangi oleh pihak berwajib, dalam waktu sekejap mata proses penutupan restoran akan segera dilaksanakan.

Abigail pulang dengan perasaan bersalah dan menyesal yang amat dalam, jika ia bisa memutar waktu kembali ia ingin bersujud lebih tulus di kaki Lucia.

"Aby?" panggil Zach, ia nampak heran melihat Abigail pulang dengan air mata yang mengalir deras.

Abigail langsung memeluk Rainy yang tengah menyambutnya di ambang pintu, Zach segera menghampirinya dan menggiringnya duduk ke sofa. Zach melepas rompi kerjanya yang kotor, lalu memeluk Abigail erat. Abigail menangis sesenggukan hingga dadanya terasa sakit, Zach tidak tau apa yang sudah menimpanya namun dari tangisannya Zach tau ini bukan masalah sepele.

"Zach, aku telah melakukan kesalahan." ucapnya di dalam pelukan Zach.

Belum sempar Zach bertanya, tiba-tiba polisi datang dan menjemput Abigail secara paksa. Abigail bahkan diseret seperti seekor hewan, Zach yang panik segera pergi menyusul Abigail ke kantor polisi tanpa membawa apapun selain mobil tuanya.

******

"Nona Abigail Lynelle Wright, apa benar anda telah melakukan tindak penganiayaan terhadap nona Lucia Walton?" tanya penyelidik.

"Aku, aku tidak menganiayanya. Aku hanya menamparnya!" sanggah Abigail.

"Tapi kami menemukan pecahan botol wine dengan sidik jari anda disana, tolong bersikaplah kooperatif nona."

"Tapi aku memang tidak melakukan apapun selain menamparnya, aku memang melempar botol wine itu tapi aku tidak melukai Lucia dan semua pegawai ada disana. Mereka melihat yang aku lakukan, Mr.Hansen! kamu melihat semuanya kan? apa aku menganiaya Lucia? aku tidak melakukannya bukan?" ucap Abigail, namun Hansen hanya diam dan menggeleng tanpa arti.

"Karena kamu tidak memiliki bukti kalau kamu tidak bersalah, maka untuk sementara aku akan menahanmu sampai proses penyelidikan selesai."

Tangan Abigail diborgol kembali, ia diseret lagi ke penjara bertepatan dengan kedatangan Zach. Abigail berteriak meminta pertolongan terhadap Zach, namun semuanya sia-sia karena ia tetap diseret ke sel dingin sempit dan kotor yang nampak seperti toilet umum.

Zach mencoba bernegosiasi agar Abigail bisa mendapatkan penangguhan penahanan, namun tetap saja polisi tidak mau mendengarkan permohonan Zach karena keluarga Walton sudah membayar mahal untuk membawa kasus ini ke jalur hukum.

"Baiklah, jika anda tidak mendengarkan permohonan saya. Tapi saya ingin menemui Abigail sebentar saja,"

"Untuk apa?"

"Hanya untuk menenangkannya," ucapnya.

Zach dipersilahkan menemui Abigail namun hanya beberapa menit saja, baru beberapa menit Abigail dipenjara namun para narapidana wanita lain sudah menghujani wajahnya dengan tamparan berkali-kali atas balasan karena ia sudah menampar Lucia.

"Zach, sakit." ringis Abigail, wajahnya sudah mulai terlihat membengkak kemerahan.

Hati Zach terenyuh nyeri melihatnya, "Aby, aku akan membebaskanmu. Tunggulah, kamu juga harus menghubungi keluargamu agar mereka tau dan bisa menguatkanmu Aby."

"Aku tidak punya siapapun di dunia ini Zach," sahut Abigail dengan senyum tipis.

"Apa maksudmu?"

"Aku dibesarkan di panti asuhan sejak bayi, hanya suster Margaretha yang aku punya tapi tolong jangan beritahukan dia apapun tentangku. Dia sudah sangat tua dan sering sakit, aku takut kondisinya semakin memburuk jika dia tau keadaanku sekarang." pinta Abigail pasrah.

"Baiklah, jadilah wanita yang baik dan tunggu aku menjemputmu." ucap Zach sebelum pergi.

semakin jauh ia melangkah, Abigail semakin kehilangan sosoknya dan kini Zach benar-benar hilang dari pandangannya. Abigail menangis pelan, meringkuk di lantai dingin tanpa alas dan sesekali mendapatkan perlakuan kasar dari para narapidana lain.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status