Gara-gara kejadian handuk kemarin, Zach seperti tidak memiliki muka untuk berhadapan dengan Abigail. Zach takut Abigail salah sangka, Zach takut jika Abigail menganggap jika ia melakukan itu dengan sengaja.
Saat keadaan masih sangat sepi di pagi hari, Zach mengendap-endap keluar untuk membuat sarapan untuknya dan juga Abigail. Zach membuat sarapan dengan terburu-buru, berharap jika ia tidak berpapasan dengan Abigail dan langsung pergi setelah selesai sarapan. Namun rencananya sungguh di luar ekspektasinya, Abigail keluar dari kamar hanya dengan menggunakan handuk kimono dan rambut yang nampak basah. Wajahnya yang polos tanpa make up terlihat lebih muda, dengan pipi kemerahan alami yang sedikit chubby."Zach, kebetulan kamu ada disini. Boleh aku minta tolong padamu? hair dryer ku tidak bisa digunakan, apa mungkin stop kontak di kamar ini mati?" tanya Abigail seraya mengacungkan hair dryer ke arahnya.Zach masih terdiam dengan mata yang terus tertuju pada Abigail, seakan dunianya berhenti berputar saat ini ketika melihat kecantikan alami dari wanita di hadapannya ini. Abigail yang kesal karena pertanyaannya tidak kunjung dijawab oleh Zach akhirnya menyentil kening Zach, Zach terkesiap dan tersadar dari lamunannya karena rasa sakit di dahinya akibat sentilan jemari Abigail."Kamu kenapa menyentilku!" ucap Zach kesal."Apa kamu tuli? aku berkali-kali bertanya padamu, tapi kamu hanya diam seperti patung.""Oh, maaf. Apa yang kamu ingin tanyakan?""Tidak usah, aku sudah tidak mood."Abigail masuk kembali ke dalam kamar, ia menghembuskan nafas pelan dan merasa bersalah pada Zach karena sudah bersikap ketus padanya. Abigail mengganti pakaiannya, dan keluar untuk meminta maaf padanya namun sayang Zach sudah pergi bekerja dan meninggalkan roti panggang yang sama sekali belum tersentuh.Sebagai ungkapan rasa terimakasih, Abigail membersihkan rumah Zach yang sudah seperti terkena bencana alam. Pakaian dalam berhamburan dimana-dimana, juga pakaian bersih dan kotor yang tercampur menjadi satu. Abigail yang sangat menyukai kerapihan dan kebersihan tentu merasa risih dengan kekacauan ini, ia bahkan sampai kebingungan darimana ia harus memulai membersihkannya.Setelah memutuskan akan memulai darimana, Abigail akhirnya memutuskan untuk memberesihkan ruang pakaian terlebih dulu. Ruang pakaian dan kamar tidur Zach terpisah, entah apa sebabnya. Abigail melipat semua baju bersih dan hendak memasukkannya ke dalam lemari, saat hendak memasukkan pakaian milik Zach ia menemukan sesuatu yang seharusnya tidak ada disana. Beberapa pasang lingerie wanita yang masih baru, pil dan alat kontrasepsi tergeletak disana. Abigail menaikkan satu alisnya, jika mereka hanya berteman rasanya tidak mungkin jika Zach memiliki ini semua."Ah, masa bodoh apapun status mereka." gumam Abigail lalu kembali merapihkan pakaian Zach.Setelah hampir tiga jam membersihkan rumah, Abigail pun merebahkan dirinya di atas sofa untuk menghilangkan rasa lelahnya. Rumah ini kini terlihat bersih dan nyaman untuk ditempati, Abigail sedikit memejamkan matanya namun ternyata ia malah tertidur pulas.******Abigail terbangun saat ia merasakan sesuatu benda yang basah menjilati pipinya, saat kedua netranya terbuka lebar ia mendapati seekor anjing golden retriever betina tengah berdiri di hadapannya. Wajahnya nampak menggemaskan, ia terus menjilati Abigail seolah-olah anjing tersebut sangat menyukainya."Rainy, sini!" panggil Zach saat melihat anjingnya tengah sibuk menjilati Abigail."Rainy? jadi namamu Rainy anjing yang baik," Abigail mengusapnya dengan penuh kasih sayang."Iya, dia Rainy. Aku memungutnya di tempat pembuangan sampah saat tengah hujan lebat, saat itu Rainy baru lahir dan keadaannya sangat menyedihkan. Itu sebabnya aku memberikannya nama Rainy,""Oh, anak malang." sahut Abigail seraya memeluk Rainy.Zach melirik ke sekitarnya yang sudah sangat rapih dan bersih, sampai-sampai ia tidak bisa mengenali rumahnya sendiri. Zach tau jika semua ini pasti Abigail yang melakukannya, ia begitu kagum pada keterampilan Abigail membersihkan rumah ini namun sedetik kemudian ekspresi wajahnya berubah menegang. Zach berlari ke ruang pakaian, wajahnya mendadak memerah padam saat melihat ruangan ini yang sudah terlihat bersih."Ada apa? kenapa kamu terlihat panik?""Kamu membersihkan semuanya yang ada disini?" tanya Zach."Tentu, ada apa memangnya? oh! apa kamu khawatir aku mencuri barang berharga milikmu? tenang saja Zach, mereka masih aman di tempatnya termasuk lingerie, pil dan alat kontrasepsi yang ada di dalam sana." tunjuk Abigail pada lemari besar yang ada di sudut ruangan.Zach menggaruk kepalanya yang tidak gatal, ia maju mendekati lemari tersebut dan mengambil barang-barang yang Abigail sebutkan tadi."Kamu mau kemana?" tanya Abigail saat melihat Zach keluar dari ruangan dengan setumpuk barang pribadi wanita di tangannya."Ke tempat sampah,""Kamu mau membuang ini semua? tapi ini semua masih baru, biar aku lihat dulu." Abigail merebutnya dari tangan Zach, ia memilih satu persatu lingerie yang memang masih belum dipakai dan masih memiliki tag harga."Kamu yakin ingin memiliki pakaian dalam ini?""Tentu saja, ini masih baru kan?" tanya Abigail yang di jawab anggukan oleh Zach."Dan yang ini bisa kamu simpan sendiri, kamu mungkin akan membutuhkannya dengan wanita lain." Abigail mengembalikan pil dan alat kontrasepsi ke tangan Zach dengan tatapan mengejek.Zach hanya bisa memalingkan wajahnya, menutupi rasa malu karena ejekan Abigail sembari melempar benda di tangannya ke dalam lemari.*****Setelah berhari-hari mencari pekerjaan dan tentunya dengan berbagai macam penolakan karena masalahnya di perusahaan sebelumnya, Abigail akhirnya diterima bekerja di sebuah restoran Perancis yang cukup terkenal di kota ini. Dengan setelan semi formal, Abigail pergi untuk memenuhi panggilan wawancara. Untuk saat ini namanya masih sulit memasuki dunia pekerjaan yang lebih tinggi karena ulah Ben, ia di blacklist beberapa perusahaan meskipun sudah menyelesaikan urusan di kantor lamanya."Selamat bergabung di restoran kami nona Abigail, silahkan ambil seragam anda dan anda kami persilahkan untuk bekerja mulai hari ini sebagai waitress." ucap sang manager.Abigail senang bukan main, ia mengucapkan kata terimakasih berkali-kali dan segera mengambil seragam yang ada di ruang karyawan. Beberapa karyawan disini menyambutnya dengan hangat, namun ada juga yang bersikap sinis padanya karena merasa Abigail bisa lolos di restoran ini dengan mudah hanya dengan mengandalkan kecantikan dan kemolekan tubuh. Tapi Abigail tidak menghiraukannya, ia hanya ingin fokus pada tujuannya mencari uang agar bisa menata kehidupannya kembali.Restoran hari ini tidak ramai namun juga tidak sepi, Abigail masih memiliki waktu untuk mempelajari semua jobdesk yang ada disini. Ia begitu bersemangat melakukan pekerjaan ini, meskipun gajinya sangat jauh nominalnya dari gaji lamanya. Setidaknya ia bisa mengumpulkan uang lagi, untuk membangun lagi impiannya yang kandas karena ulah Ben."Abigail, beberapa menit lagi kita akan kedatangan tamu VIP. Tolong layani dia dengan baik dan aku ingin kamu yang menyambutnya nanti," titah sang manager.Abigail mengangguk penuh antusias, ia merapihkan pakaiannya dan mencoba memasang wajah seramah mungkin agar sang tamu VIP tersebut merasa puas.Lima belas menit Abigail menunggu, tamu tersebut akhirnya datang dengan mobil mewahnya. Seorang wanita yang usianya mungkin sebaya dengannya, namun terlihat jelas sekali kalau ia berasal dari kalangan atas. Wajahnya begitu sinis menatap sekelilingnya dan sikapnya cukup arogan, tapi siapa yang peduli? selama ia memberikan keuntungan untuk tempat ini maka ia tetap akan diperlakukan seperti seorang ratu."Selamat datang nona, kami sudah mempersiapkan table khusus untuk anda." ucap Abigail ramah, tapi wanita itu sama sekali tidak menoleh ke arahnya.Abigail membuang nafas pelan, ia bukan tipe orang yang memiliki kesabaran yang seluas samudera namun ia tahan rasa kesalnya demi uang. Wanita itu menatap meja yang hendak ia tempati, terlihat guratan rasa kesal di wajahnya namun tidak ada yang tau penyebabnya."Mr. Hansen," panggilnya seraya menjentikkan jemari lentiknya."Ya nona Lucia, ada yang bisa saya bantu?" tanya Hansen."Apa anda ingin membuat kulit saya kotor dengan menempatkan saya d
"Lucia, sepertinya kamu tidak perlu memperpanjang masalah ini. Aku pikir satu hari dipenjara sudah pasti membuatnya jera, apalagi kamu juga membayar para narapidana disana untuk memberikannya pelajaran.""Ada apa? apa kamu merasa kasihan padanya?" "Dia hanya wanita malang, dia tidak memiliki apapun atau siapapun di dunia ini." Lucia berdiri menatap tajam ke arah pria di hadapannya, "Apa kamu masih memiliki perasaan terhadapnya Benedict Cattegirn?" "Tidak! tentu tidak! aku hanya merasa kasihan saja padanya, tidak lebih." "Bagus, tapi aku tetap akan memperpanjang masalah ini. Bahkan semakin akan aku persulit karena ternyata dia adalah mantan kekasihmu," ujarnya angkuh, wanita ini benar-benar tidak memiliki hati nurani. Ben benar-benar menyesal, jika saja ia tidak membuat Abigail bekerja disana mungkin Abigail tidak akan bertemu wanita ini dan mengalami semua ini. Niat membalas rasa bersalahnya, justru Ben malah membuat Abigail menderita untuk yang kedua kalinya karena ulahnya. "Luc
Hampir seharian Zach menunggu Abigail, akhirnya Abigail tersadar juga namun ia nampak linglung dan tidak menunjukkan pergerakan apapun. Zach segera memanggil dokter yang menangani Abigail, setelah dilakukan observasi Abigail akhirnya dapat merespon sekitarnya dan orang yang pertama ia cari adalah Zach. "Zach, apa kamu yang membebaskan aku dari penjara?" tanyanya lemah. "Iya dengan sedikit kesepakatan," "Kesepakatan? maksudmu kamu menjadikan dirimu jaminan Zach?" "Kamu tidak perlu memikirkan itu, yang terpenting sekarang kamu sudah keluar dari tempat itu Aby." Abigail menatap Zach lekat, jika dilihat dari penampilannya Zach tidak terlihat seperti orang yang bisa menjadikan dirinya sebagai jaminan untuk mengeluarkan seseorang dari penjara. Namun setelah Abigail pikir, Zach memiliki nama Christensen di belakang namanya. "Zach, namamu Zachary Christensen kan?" "Iya, ada apa dengan namaku?" "Apa kamu salah satu keturunan Christensen? konglomerat kaya pesaing keluarga Walton?" tanya
Setelah keadaannya dinyatakan membaik, Abigail kini sudah diperbolehkan pulang oleh dokter dan menjalani pengobatan dari rumah. Sejak keluar dari rumah sakit hingga sampai di rumah, Zach begitu perhatian bahkan overprotektif padanya. Abigail tidak boleh melakukan ini itu, bahkan ia tidak diizinkan berjalan oleh Zach. Zach terus menggendongnya seperti bayi, membuat Abigail kesal setengah mati. "Zach, turunkan aku!" titah Abigail yang berada dalam gendongannya.Jika tidak ada memar di tubuhnya mungkin orang-orang akan mengira mereka adalah pengantin baru, mengingat cara menggendong Zach yang nampak seperti pengantin pria. "Tidak, kamu masih lemah." "Zach, aku sudah baik-baik saja jadi turunkan aku sekarang." Zach menatapnya sesaat lalu melepas pegangan tangannya pada kaki Abigail, Abigail memekik kesakitan karena kakinya mendarat dalam posisi yang salah. "Sudah kubilang kamu masih lemah," ucapnya lalu menggendong Abigail kembali. "Aku tidak lemah! kakiku menapak dalam posisi yang
Makan malam yang Zach buat kini sudah siap di atas meja dan siap untuk disantap, namun sejak siang Abigail tidak kunjung keluar dari kamar bahkan kamarnya pun masih terlihat gelap. Zach yang mendadak cemas langsung mengetuk pintu kamar Abigail berkali-kali namun tidak ada sedikitpun respon dari dalam sana, ia yang sudah tidak bisa menahan kesabaran lagi akhirnya mendobrak pintu kamar Abigail dan mengejutkan Abigail yang tengah termenung di dekat jendela. "Apa kamu tuli! aku mengetuk pintu kamarmu berkali-kali tapi kamu tidak kunjung membukanya!" bentaknya tanpa sadar. Abigail hanya diam dan kembali merenung menatap keluar jendela, kebiasaan buruk Abigail adalah ketika ia terlalu banyak berpikir ia akan enggan berbicara kepada siapapun. Zach mendengkus kesal, rasanya sia-sia sekali ia mengkhawatirkannya. Zach yang merasa diabaikan memilih untuk meninggalkan kembali Abigail sendirian di kamar, namun langkahnya terhenti kala melihat dokumen di tangan Abigail dengan nama Walton Corporat
Zach menarik tangan Abigail ke sebuah wahana yang sangat Abigail takuti sejak dulu, apalagi kalau bukan roller coaster. Abigail tidak langsung mengiyakan ajakan Zach untuk menaiki wahana ekstrem itu, ia berpikir keras sampai akhirnya ia mau ikut bersama Zach. "Kenapa kamu tegang sekali?" tanya Zach. "Zach, aku sebenarnya tidak berani menaiki wahana ini." sahut Abigail, wajahnya sudah pucat pasi dan terlihat guratan penyesalan di wajahnya. "Kenapa kamu tidak bilang! ayo kita turun," Namun belum sempat mereka turun, wahana sudah dijalankan dan tidak ada jalan bagi mereka untuk melarikan diri. Abigail berteriak histeris bahkan nyaris menangis saat roller coaster mulai bergerak mengikuti relnya, ia memegang tangan Zach erat sampai Zach meringis kesakitan. Setelah melewati detik-detik yang menengangkan Abigail akhirnya bisa bernafas lega, ia pikir tadi ia akan terkena serangan jantung karena deru detak jantungnya sempat berdetak diluar normal."Itu gila, tapi menyenangkan!" pekiknya, d
Menempuh perjalanan selama hampir satu jam, mereka akhirnya tiba di sebuah pedesaan yang berada di pinggir kota. Sebuah rumah sederhana dengan papan kayu usang di halaman rumah bertuliskan panti asuhan yang sudah terkelupas catnya, bahkan nyaris tidak terbaca jika tidak melihatnya dari jarak dekat. Beberapa anak bermain di halaman rumah, ditemani oleh seorang gadis berusia belasan tahun yang nampak kurus. Gadis itu menoleh ke arah Abigail dan Zach, ia nampak bingung sejenak sampai akhirnya gadis itu bangkit dan menghampiri Abigail. "Aku merindukan kakak," ucapnya dengan mata berkaca-kaca. "Aku juga merindukanmu, Esther. Omong-omong dimana suster Margaretha?" "Dia ada di belakang, sedang menyiapkan makanan untuk makan siang." Abigail masuk ke tempat dimana ia pernah tinggal sebelum akhirnya memilih untuk hidup mandiri, tidak ada yang berubah dari tempat ini sejak ia meninggalkan rumah hingga sekarang."Esther, siapa yang datang!" teriak suster Margaretha dari balik dapur.Abigail
Beberapa hari berlalu, Abigail tidak lagi memikirkan soal penawaran Benedict padanya. Abigail lebih memilih memulai hidup yang baru daripada harus berurusan lagi dengan Lucia, ia ingin mengumpulkan kembali uang untuk perbaikan panti asuhan suster Margaretha. Di pagi hari, Abigail dengan setelan formalnya pergi ke sebuah perusahaan properti yang baru saja buka di kota ini. Meski hanya di terima di bagian pemasaran alias membagikan brosur kepada orang-orang di jalan, Abigail tetap menerima pekerjaan ini dengan senang hati. Hingga nyaris sore hari Abigail masih belum juga menemukan seseorang yang berminat dengan apa yang ia tawarkan, Abigail tidak tau jika mencari client ternyata sesulit ini. Dulu yang ia tau bagian pemasaran lah yang paling mudah, karena hanya harus menawarkan produk tapi nyatanya itu tidak semudah yang ia kira. Akhirnya malam pun tiba, Abigail pulang dengan tangan kosong karena ia belum mendapatkan client hari ini. Perutnya terasa keroncongan namun uangnya tidak cuk