Share

Chapter 4

"Sigh ..." Nekh menghela napas, ia menatap wajah tegas Eleanor dengan tatapan datar. "Lalu aku harus apa?" tanyanya sebal.

Sudut bibir Eleanor perlahan naik beberapa derajat, wanita berkacamata itu menatap anak buahnya tenang. "Aku ingin kau melenyapkannya, direktur utama perusahaan Cosh.Inc, dia sudah tahu terlalu banyak. Pastikan dia bertemu maut."

Nekh menelan ludahnya perlahan. Ini akan sulit, ia tahu itu. "Caranya?" tanyanya lagi. Eleanor tertawa, lalu menjawabnya dengan berkata kalau itu bukanlah urusannya.

"Sialan," bisik Nekh, nyaris tak terdengar oleh Eleanor. "T-tapi aku tidak mungkin membunuh seseorang, kamu tentu tahu apa jabatanku kan?"

Eleanor tertawa. "Pikirmu, itu urusanku? Pikirkan caranya sendiri, aku tidak mau tahu, pria itu harus mati di tanganmu, atau nyawamu sebagai gantinya."

Nekh kembali mendecih, kalau sudah seperti itu, tentu saja dirinya tak bisa melawan sama sekali. Eleanor itu absolut, dan itu sukses menyusahkan Nekh setiap saat.

-000-

Nekh terdiam di ruangannya yang sangat luas dan dingin, ia menatap sebuah buku dengan tatapan yang tak dapat diartikan. Pikirannya melayang, memikirkan bagaimana gadis itu mengatasi tugasnya kali ini.

Pikirannya terus mengembara, membuat perutnya perlahan terasa panas. Ya, Nekh tidak sempat makan karena rapat yang ia lakukan dengan berbagai delegasi negara lain, kemudian dilanjutkan dengan pertemuan dengan Eleanor alias sang ratu, dan kini, sedikit pun mood Nekh untuk makan tidak muncul.

Nekh menghela napas, ia meraih sebuah wafer yang memang disiapkannya untuk berjaga-jaga apabila gadis itu tak ingin makan. Perlahan, Nekh membuka bungkusannya dan memakan wafer itu. Dirinya tak lapar, tetapi mau bagaimana lagi, daripada maagh-nya kambuh.

Sembari makan, ia terus memikirkan mengenai tugas yang diberikan Eleanor. Sebuah ide gila melintas di kepalanya, tampak Nekh tersenyum tipis. Sepertinya menjadi sekretaris bukan ide yang buruk.

Lagipula, gayanya kan lumayan cocok untuk menjadi sekretaris maut.

-000-

Dengan tatapan dingin, Nekh menatap gedung pencakar langit yang berada di hadapannya. Selama beberapa bulan kedepan, ini adalah tempat kerja gadis itu.

Senyumnya merekah, namun bukan senyum senang karena akan bekerja sebagai sekretaris di perusahaan besar yang bergerak di bidang farmasi tersebut, melainkan senyum licik. Nekh sudah menyusun semuanya. 

"Selamat datang, ada yang bisa saya bantu?" tanya seorang petugas keamanan yang berdiri di depan pintu. Nekh menganggul, kemudian mengatakan kalau dirinya adalah sekretaris baru dari CEO yang ada di perusahaan itu. Sang petugas langsung mengangguk, kemudian mengizinkan Nekh untuk masuk.

Tanpa benar-benar mempedulikan sekitarnya, Nekh melangkah dengan percaya diri menuju lift yang akan membawanya menuju korbannya. Walaupun tingkat kewaspadaan Nekh menurun, gadis itu tetap tahu kalau setiap langkahnya selalu diiringi puluhan bahkan ratusan pasang mata yang menatap penasaran.

"Dia siapa? Cantik sekali," bisik seorang pegawai wanita yang tengah mengantar sebuah dokumen ke manajernya.

"Sepertinya sih sekretaris yang baru, soalnya ada selentingan kalau sekretaris yang lama akan diganti. Mungkin itu dia, si sekretaris baru." 

"Menurutku sih dia lebih pas menjadi sekretaris daripada sekretaris yang lama, sudahlah dia cantik, anggun, tampaknya sangat pintar lagi!"

Mendengar itu, Nekh tersenyum simpul, tentu saja, sekretaris yang lama sudah ia singkirkan sebelum dirinya datang ke perusahaan ini. Gadis itu menekan tombol lift dengan anggun, kemudian memasukinya dan ketika hendak menutup pintu lift-nya, seorang pria lain masuk ke lift itu, membuat Nekh nyaris saja membatalkan rencana pertamanya.

"Halo," sapa pria itu dengan lembut. Nekh menoleh, sembari tersenyum hangat, ia menjawab sapaan pria yang menyapanya.

"Kamu sekretaris baru?" Nekh kembali mengangguk.

"Ah, kalau begitu, perkenalkan, namaku Alan, salam kenal ... anu ... siapa?"

Nekh berdeham sejenak. "Kehn, Kehn Nain."

"Nama yang bagus, Kehn, omong-omong, kamu suka kantor ini?"

Mendengar itu, Nekh menggerutu dalam hati, pria ini baru saja membuatnya kesal. Tetapi Nekh harus menahannya, ia tak ingin misinya gagal hanya karena seorang pria rendahan.

Sekilas, Nekh melirik pria itu. Tinggi, tegap, berwajah ramah, dan bersuara lembut. Ketika Nekh melihat name-tag Alan, ia tertegun.

"Alan, jadi ... kamu ya, direktur utamanya?" Alan tersenyum, kemudian mengangguk.

'Sial sekali aku!' kesal Nekh dalam hati.

"Ah, baiklah Kehn, karena aku sudah melihat data-datamu, jujur saja, aku cukup terkesan. Melihat sifatmu yang murah senyum turut membuatku sangat terkesan. Ya, aku harap kau betah di sini, Kehn." Alan berujar sembari menatap Nekh lembut. Namun, di balik tatapan lembutnya, Nekh dapat merasakan sesuatu yang gelap dari pria itu.

'Tampaknya misi ini takkan semudah kelihatannya,' pikir Nekh dalam hati.

-000-

Nekh menatap ruangan Alan, dalam hati, Nekh berpikir jalur kabur mana saja yang bisa ia gunakan jika misinya berakhir.

Jendela? Tampaknya bukan ide bagus. Ruangan Alan berada di lantai 20, dan akan sangat menyusahkan jika harus membuka parasut dari jendela.

Pintu? Hanya ada satu pintu di ruangan Alan, itu pun tidak menuju kemanapun selain lift menuju atap dan menuju ke bawah.

Lift? Ada tepat di depan pintu ruangan Alan. Lift ke atap hanya dapat diakses oleh Alan, dan satu-satunya lift yang bisa ia akses hanya lift ke bawah. 

'Rasanya tidak mungkin jika Alan hanya memiliki satu pintu dan satu jendela di ruangan sebesar ini.' Gadis itu terus mengobservasi ruangan Alan yang bahkan besarnya tidak sampai setengah dari ruangannya.

"Kehn, ayo kutunjukkan apa-apa saja yang ada di ruanganku!" ajak Alan. Nekh mengangguk.

Setelah menujukkan berbagai tempat di mana pria itu meletakkan dokumen, kini Alan menunjuk sebuah rak, kemudian membukanya dengan menarik sebuah buku.

"Pintu ini adalah jalur evakuasi khusus, ya, anggap saja begitu. Pintu ini akan membawamu ke lantai terbawah melalui sebuah pipa raksasa, kamu akan sampai di lantai satu hanya dalam beberapa menit," jelas Alan sembari tersenyum simpul. Walaupun yang dikatakan pria itu benar, Nekh dapat mencium sisa-sisa darah, bau bubuk mesiu dan lainnya dari ruangan itu.

"Baiklah," kata Nekh sembari tersenyum.

-000-

"Huft ...." Nekh menghela napasnya sembari menyesap segelas matcha latte yang ia beli dari mesin penjual otomatis di kantor baru gadis itu.

"Melelahkan sekali," gumam Nekh sembari menatap minumannya.

"Sekretaris baru, ya?" Nekh menoleh mendegar itu, ia langsung mengangguk, membuat gadis yang memanggilnya tersenyum. "Ara, aku sudah lama disini."

"Ah, hai Ara, aku Kehn, salam kenal."

"Kehn ya, ah, Kehn, tampaknya karena kau masih orang baru, sini, akan kukatakan satu hal."

Perkataan Ara membuat Nekh merasa penasaran, ia kemudian mendekati Ara dan menatap gadis mungil itu.

"Alan itu CEO yang aneh, terlepas dari kekayaan dan kekuasaannya, dia termasuk orang yang kejam."

"Maksudmu?"

"Ya, setiap pergantian sekretaris, Alan yang akan langsung menjemput sekretaris barunya. Dia akan berpura-pura menjadi karyawan baru, lalu berkenalan dengan sekretaris barunya di dalam lift. Setelahnya, pria sialan itu akan membawa sekretarisnya ke ruangannya, menunjukkan hal-hal yang biasa saja, kemudian menunjukkan rak buku, tidak, lebih tepatnya ruangan rahasia di balik rak buku itu."

Apa yang dikatakan Ara, sudah dialami Nekh tadi, Nekh terdiam mendengar itu.

"Ruangan rahasia itu memang menuju lantai pertama, tapi tak hanya sebagai jalur evakuasi, itu juga jalur pembuangan mayat dan ruang penyiksaannya. Ah ya, mungkin mulai sekarang kau harus bisa menahan sentuhan pria itu padamu. Dia itu ... hypersex."

'Ini akan sangat menyusahkan,' batin Nekh.

"Dan tidak ada sekretaris yang bertahan lebih dari dua tahun. Semangat, ya, Kehn."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status